Setelah berbalasan pesan dengan Bang Agam, aku menyimpan ponsel di atas meja samping kompor dan mulai memasak untuk makan siang. Katanya, Bang Agam akan makan siang di sini.Lucu juga, kami justru semakin akrab dan layaknya teman setelah bercerai. Bang Agam sekarang lebih perhatian dan setiap kali bertemu tatapannya penuh cinta. Kadang aku sampai harus menenangkan jantungku sendiri dan juga menata hati setelah bertemu dengannya akhir-akhir ini."Masak apa, Rum?"Aku menoleh, Adam sudah berdiri di pintu penghubung dapur dan ruang makan."Loh, sudah pulang?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya."Mak, Lihat ini." Delima memamerkan boneka Elsa di tangannya."Delima minta macam-macam ya sama Om Adam?" aku mendelik ke arahnya."Nggak Mak ...""Delima nggak minta kok, Rum. Nggak perlu melotot begitu." Adam menyela kalimat Delima yang belum selesai."Ya sudah, Om pulang dulu ya!" ucap Adam mengelus kepala Delima dan berlalu pulang ke rumahnya di sebelah.Sejak tadi pagi, Adam membawa Delima
"Begitu Mbak ceritanya." tutup Karina setelah kalimat-kalimat panjangnya mengurai bagaimana ia bertanya hati-hati pada Papanya tentang apa yang diceritakan Rahma."Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa Papa dan Mama tidak pernah satu kali pun menyebutkan keberadaan Mbak Arumi selama ini." ujar Karina lagi sambil menatap prihatin ke arahku.Kubalas tatapannya dengan senyuman. "Tidak apa Dek, Aku baik-baik saja." balasku lembut."Eh, dari tadi melow banget ya, ayo dong kopinya diminum." Rahma mencairkan suasana pertemuan ini."Minum kopi Aceh langsung di Aceh, pasti beda ya 'kan rasanya dengan minum kopi Aceh tapi bukan di Aceh." lanjut Rahma lagi promosi yang di sambut gelak dari Karina dan Rendra."Benar Mbak, ini nikmat banget. Sumpah." ucap Rendra menanggapi.Puluhan tahun aku baru tahu jika punya adik perempuan. Benar-benar di luar dugaan, belum lagi aku sungguh nggak menyangka juga akan tahu kabar Ayah yang memang tidak pernah kulihat sama sekali selama hidupku. Bahkan fotonya pun
"Mak, Arumi yakin Mak pasti tahu alasan kenapa Ayah mengatakan malu untuk pulang kemari bukan?" tanyaku memancing, rasanya kesabaranku tidak cukup banyak untuk menunggu waktu berbicara berdua saja dengan Mak Jannah.Terlihat Mak Jannah menghela napas dalam dan memperhatikan kami semua yang berada di sini bergantian. Mulai dari aku, Karina, Rendra dan Rahma."Nak Karina, Nak Rendra dan Nak Rahma, silakan diminum dulu!" ucap Mak Jannah mempersilakan para tamuku mencicipi teh yang memang dibuatkan oleh Mak Jannah sesaat setelah kami tiba di rumah tadi. Sepertinya Mak Jannah sengaja mengulur waktu untuk menjawab pertanyaanku."Mak!" aku mengingatkan.Untuk kesekian kalinya, gerakan tubuh Mak Jannah menjadi tidak tenang, tampak gelisah seperti enggan bersuara.Aku ikut menatap Karina dan juga Rendra, sepertinya mereka juga sama menunggu jawaban Mak Jannah sepertiku. Wajah mereka menunjukkan raut penasaran."Maafkan Mak, Arumi. Tidak pantas rasanya membongkar masa lalu seseorang tanpa seizi
"Arumi kamu masak apa?"Sebuah suara dari belakang tubuhku yang sedang berdiri menghadap kompor cukup mengangetkan.Aku berpaling, "Eh Rendra, aku sedang membuatkan sarapan untuk kita." jawabku seperti tergeragap efek kaget."Kamu masak sambil melamun ya?" tanya Rendra.Dari mana ia tahu aku melamun? Memang benar, akhir-akhir ini aku memang sering kedapatan tidak fokus melakukan sesuatu, kata Mak Jannah."Aku tahu kamu melamun Arumi, karena hanya karena aku sudah bertanya dua kali sebenarnya pertanyaan tadi." kembali Rendra bersuara dengan mengulas senyum tipis."Apa yang bisa aku bantu?" tanya Rendra lagi.Aku menggeleng, "hanya nasi goreng dengan lauk simple saja kok." jawabku datar.Perasaan ketidaksukaanku pada Rendra kembali menyeruak. Rasanya aku tak ingin melihat lelaki ini. Saat melihat wajahnya, aku selalu teringat Ayah. Mungkin karena aku merasa ia mengambil 'hakku' sebagai anak kandung Ayah.Aku melanjutkan kegiatanku dengan benar-benar memusatkan pikiran pada setiap geraka
"Oh benar ternyata, kamu malah asik pacaran."Suara keras Bang Agam menyambutku di teras rumah saat aku baru saja membuka pagar sehabis berbelanja bersama Rendra.Aku menatap Bang Agam sembari menautkan alis, menunjukkan raut bingung dengan maksud kalimatnya. Meski sebenarnya aku paham, pasti Mona mengabari Bang Agam kejadian di pasar tadi. Namun, aku tidak menyangka saja akan secepat ini."Jangan pura-pura polos Arumi, apa maksudmu berduaan seperti ini?" Bang Agam mengajukan tanya padaku, tetapi matanya melirik Rendra dengan pandangan tidak suka."Rumi, ini siapa lagi?" tanya Rendra berbisik."Ayahnya Delima." jawabku sembari menyerahkan kantong plastik belanjaan ke tangan Rendra dan menyuruhnya masuk terlebih dahulu dengan kode tatapan mata.Untungnya Rendra mengerti dan berlalu ke dalam setelah sedikit mengangguk pada Bang Agam."Kamu kenapa, Bang?" tanyaku santai."Jangan berlagak pilon Arumi, siapa laki-laki itu?" tanya Bang Agam bernada ketus."Sudah sedemikian dekatnya ternyata
"Ayah, kata Om Adam kemarin itu, Ayah tidak akan pernah tinggal lagi bersama Ima di sini, benar?" Delima yang sedang duduk di pangkuanku bertanya sepulang entah dari mana bersama Karina yang kata Arumi -mantan istriku- itu adalah adiknya seayah.Iya, Arumi Keumala, ibunya Delima -anakku- kini hanya berstatus mantan istri. Aku menceraikannya karena terpaksa. Tidak ada pilihan lain yang menjadi solusi saat itu. Keputusan yang akhirnya kusesali."Kenapa om Adam bisa bicara begitu?" tanyaku pada Delima yang masih menatap wajahku menunggu jawaban atas pertanyaannya.Sejak perpisahan kami, aku dan Arumi memang sepakat tidak menceritakan apa-apa pada Delima. Biarkan ia tumbuh sebagaimana anak lainnya. Delima masih terlalu kecil untuk memahami situasi ini. Nanti, seiring bertambahnya umur ia pasti akan mengerti dengan sendirinya."Iya Yah, minggu lalu, saat Om Adam ada di sini, Ima bilang sama Om Adam jika Ayah sudah jarang pulang. Ima sedih. Tapi, kata Om Adam, Ima nggak boleh sedih karena
Sepulang dari tempat Arumi dan Delima, aku membelokkan mobil ke rumah Ibu. Kepalaku sedang mumet, jadi aku tak ingin pulang ke rumah Mona dan bertemu perempuan bar-bar itu."Kenapa wajahmu kusut begini? kamu sakit, Nak?" tanya Ibu begitu melihat aku masuk ke rumah dengan mengucap salam dalam keadaan lesu.Berat sekali rasanya menggerakkan bibir menjawab pertanyaan Ibu, jadi kuputuskan memberikan gelengan kepala saja sebagai jawaban."Sudah makan?" pertanyaan kedua dari Ibu setelah kuhempaskan diri di sofa ruang tengah, di depan televisi yang sedang menyala. Sepertinya Ibu sedang menonton acara pengajian yang dipandu oleh seorang ustadzah yang entah siapa itu."Arumi sudah mendengar alasan bohong yang Ibu hembuskan itu." ucapku tanpa menjawab pertanyaan Ibu lagi.Terlihat Ibu menyuguhkan tatapan ibanya padaku sembari menarik napas dalam. Kemudian, Ibu meraih remot televisi yang terletak di atas meja dan mengecilkan volumenya."Apa dia semakin membencimu?" "Entahlah Bu, aku tidak tahu
Kebencianku pada Rendra pudar dengan sendirinya seiring waktu kebersamaan kami. Aku pun menyadari, saat Ayah lebih memilih membesarkannya ketimbang aku yang anak kandungnya sendiri, tentu Rendra juga tidak tahu apa-apa. Umurnya masih lima tahun saat Ibunya dan Ayahku menikah.Seminggu yang indah bersama Karina dan Rendra harus berakhir. Besok mereka akan pulang kembali ke Jakarta. Berulang kali Karina dan Rendra membujukku untuk ikut. Namun, amarah terhadap Ayah tidak mudah padam seperti ketidaksukaan terhadap Rendra.Kadang sempat terpikir untuk memaafkan, karena walau bagaimanapun, lelaki bernama Junaidi itu tetaplah Ayah kandungku. Darahnya mengalir dalam tubuhku. Akan tetapi, lagi-lagi, rasa kecewa masih saja begitu mendominasi sehingga sampai detik ini aku belum juga mampu meredam semua itu.Biarkanlah, mungkin aku memang butuh lebih banyak waktu untuk terlebih dahulu berdamai dengan diriku sendiri. Berdamai dengan suratan takdir Tuhan. Baru setelahnya, aku akan datang menemui Ay
"Iya, siang itu, Kak Mona datang saat beberapa karyawan sedang makan siang di belakang. Saat itu hanya ada saya dan dua orang lainnya. Setelah mengambil beberapa potong pakaian, ia mendatangi saya di meja kasir. Bukannya membayar, Kak Mona malah memaksa membuka laci. Alasannya, ingin melihat pemasukan hari itu." Sekali-sekali Mira mengusap air matanya."Saya menolak karena saya takut terjadi apa-apa. Saya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi lagi pada toko.""Tapi 'kan Mona istrinya Bang Agam, Mir," aku menyela mengingatkan Mira."Iya, saya tahu Kak Rum, tapi hati kecil saya tidak mengizinkan saya untuk memberikan tahukan kode tersebut."Aku hanya mengangguk. Namun, masih penasaran kenapa Mira justru datang kemari untuk menceritakan ini semua padaku. Apakah Mira tahu kalau aku yang memberikan modal agar Toko Bang Agam bangkit lagi? Apa mungkin Bang Agam menceritakannya pada Mira? Entahlah."Bang Agam tidak pernah akur dengan Kak Mona. Bahkan, seringkali mereka bertengkar di toko ...."
Aku menautkan alis ke arah Mona, bersikap seolah dia bukan siapa-siapa yang perlu dipedulikan."Ngapain kamu di sini?" Mona mendekat ke tempat aku dan ibu berdiri. Menatapku dengan pandangan permusuhan yang begitu nyata. Bukankah seharusnya aku yang membencinya? aneh.Kualihkan mata ke wajah ibu, beliau justru menatap ke arah lain. Sebelum sempat kujawab pertanyaan Mona, bang Agam muncul dari dapur."Kamu ngapain kemari?" tanya bang Agam pada istrinya itu.Mona berpaling, "Oh, jadi sekarang kalian mau main-main di belakang aku dan di rumah ibu pula. Luar biasa," ucapnya sinis sambil bertepuk tangan.Terdengar ibu menghela napas berat. "Arumi itu anak saya, dan ini rumah saya. Jadi siapa pun yang datang ke rumah ini bukan urusan kamu." Tiba-tiba ibu bersuara begitu keras. Seumur-umur baru kali ini aku mendengar ibu berbicara sekeras itu."Pulang!" bang Agam mendekat dan menarik tangan Mona. Bukan Mona namanya jika langsung menurut.Ia meronta dan melepaskan tangannya dari cekalan bang
"Rum, maaf, boleh aku bertanya seuatu yang sedikit sensitif?" Tiba-tiba Hilman menyela dengan wajah yang tampak sungkan di tengah pembicaraan kami tentang konsep kafe.Aku hanya menautkan alis dengan sedikit anggukan samar, belum mampu menerka Hilman akan menanyakan apa."Maaf sebelumnya," ucapnya ragu-ragu."Benarkah jika Mona menikah dengan suamimu?" pungkasnya cepat seakan takut keraguannya sesaat tadi membuatnya tidak jadi mengeluarkan pertanyaannya ini."Mantan suami," jawabku cepat dengan senyum yang kubuat semanis mungkin. Aku ingin membuat Hilman tidak merasa bersalah dengan pertanyaannya, menunjukkan jika aku baik-baik saja."Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan wajah iba."Santai saja, Man, nggak perlu mukanya begitu!" balasku tertawa."Jujur, mungkin jika pembicaraan ini kita lakukan dia tahun lalu, aku akan meneteskan air mata. Tapi, tidak dengan sekarang, Man. Kini, aku sudah berdamai dengan masa laluku itu." Aku menarik napas dan menjeda kalimat sejenak.Dengan memfokusk
"Kamu serius?" Mata Bang Agam tampak dipenuhi binar-binar harap."Ada syaratnya." Kuulangi sekali lagi."Apa syaratnya?""Pertama, Mona tidak boleh tahu aku yang memberikan modal. Kedua, setiap bulan keuntungan dari toko nantinya kirimkan ke rekeningku, Abang hanya boleh mengambil untuk Ibu dan sedikit untuk diri Abang sendiri. Ketiga, aku tidak mau keuntungan tersebut Abang gunakan untuk menafkahi Mona satu rupiah pun. Bagaimana?" Aku tersenyum tipis menatap Bang Agam dengan mengerutkan dahi. Mungkin lebih tepatnya aku menyeringai bukan tersenyum.Setelah sekian menit berlalu, akhirnya Bang Agam mengangguk juga. Tentu saja, aku bersorak dalam hati karena aku masih manusia biasa belum menjadi malaikat yang bisa serta merta melupakan semua kesakitan yang pernah menghampiri hidupku."Baiklah, mari ikut aku Bang, kita buat kontrak dan sekaligus kuitansinya sekarang!" Aku berdiri memanggil pelayan warung kopi. Setelah membayar tagihan minuman kami, aku melangkah terlebih dulu. Ada suatu r
"Bang Agam!""Apa kabar, Arumi?""Alhamdulillah, seperti yang Abang lihat.""Abang kenapa di sini? bukannya toko Abang di sebelah sana?" lanjutku bertanya sembari mengarahkan telunjuk ke ujung kanan jalan tempat toko pakaian besar milik Bang Agam.Bang Agam hanya menggeleng sebagai jawaban, "banyak yang terjadi dalam dua tahun ini, Arumi," ucapnya kemudian dengan tatapan menerawang."Abang sekarang bekerja di toko itu," lanjutnya menunjuk toko tempat pramuniaganya tadi meremehkanku seolah aku tidak akan sanggup membayar harga sebuah baju yang terpajang di manekinnya."Bekerja?" ejaku lirih. Bagaimana mungkin seorang Bang Agam bekerja di toko orang."Ceritanya panjang, Rum. Bisakah kita bicara sebentar?"Reflek aku mengangguk."Ayo, kalau begitu!"Aku mengikuti langkah Bang Agam yang berjalan cepat."Kita mau bicara di mana?" tanyaku cepat sebelum Bang Agam sempat menyeberang jalan."Di sudut sana ada warung kopi, kita bicara di sana saja ya, kamu sudah sarapan?""Sudah."***Warung ko
Menahan sesak sendirian tanpa ada satu orang pun yang menyadarinya sungguh tak enak. Sekuat mungkin aku berusaha agar air mata tak menampakkan dirinya. Setidaknya, jangan di sini."Ima, jangan jalan-jalan dong, Sayang!" Aku mengikuti ke mana pun Delima melangkah dari depan. Sebenarnya jika tak kuikuti, Delima tak akan berlarian seperti ini, hanya saja kegiatan ini lah yang dapat kulakukan agar terlihat seolah aku biasa saja.Dengan tidak begitu khusu' menghadirkan hati pada prosesi sakral ini, aku menenangkan diriku sendiri."Sah."Koor suara sedikit menggema, lalu memantul ke dinding hati, membuatnya semakin hancur berantakan. Kupejamkan mata dan menelan saliva kuat berulang-ulang. Tenang Arumi, rasa ini akan segera hilang," bisik hati menguatkan.Adam, seseorang yang telah menemani sejak aku bayi, menjaga setulus hati hingga aku benar-benar tak menyadari jika rasanya bukan lagi sebatas kakak-adik. Aku yang bodoh, dan ini adalah yang terbaik, Adam berhak bahagia setelah semua yang te
Hangatnya pelukan Mak Jannah yang kurindukan sangat kembali terasa, nyata menentramkan kembali hati yang sungguh tak baik-baik saja.Tujuanku pulang bukan hanya mengurus kafe yang baru saja rampung, tetapi lebih dari itu. Hampir dua tahun aku mengeja kata memiliki terhadap Adam, yang pada akhirnya setelah semua luka masa laluku sembuh baru kusadari ada cinta di sana.Jarak mampu menguak benih-benih rasa itu menemukan definisinya. Rasa yang mungkin saja telah bersarang lama namun tertutupi tirai semu bernama 'kebiasaan'. Ya, aku terlalu terbiasa dengan seluruh perhatian dan pengertiannya hingga tak menyadari jika itu semua adalah cinta.Sayangnya, saat tabir itu tersingkap, aku kembali harus sadar dalam sebuah kenyataan yang tak pernah kuduga sebelumnya."Dia teman sekantornya Adam, Rum. Baru setahunan ini menjadi pegawai di sana." Mak Jannah bercerita tentang calon istri Adam yang akan dinikahinya besok, dan sekarang di rumah Mak Jannah sedang melakukan beberapa persiapan.Bak bunga y
Sejak kejadian itu, ayah membelikan sebuah apartemen untukku yang kami tinggali berempat bersama Delima, aku, seorang Asisten Rumah Tangga dan seorang Pengasuh.Baru saja aku merasakan punya keluarga lengkap yang tinggal bersama dalam sebuah rumah, kini harus 'terpisah' lagi. Namun, inilah yang terbaik. Ayah kerap datang hampir setiap sore untuk bermain dengan Delima dan juga mengobrol serta mengajariku banyak hal terkait pengelolaan hotel dan minimarket.Hari ini tepat setahun aku berkecimpung di dunia bisnis yang sama sekali tak pernah terbayangkan sebelumnya. Jangan membayangkan, memimpikan sekadar halu saja aku tak berani. Qadarullah, kini hal tersebut terwujud nyata di hadapan.Arumi, kamu berubah banyak, bisik hatiku sendiri. Netraku menangkap bayangan sesosok perempuan dalam balutan rok kulot lebar hitam dengan blouse berwarna teh susu serta dilengkapi blazer senada rok. Aku yakin, jika pulang ke Aceh mungkin mereka tidak akan percaya jika ini adalah Arumi.ddrrt ... ddrrt ...
"Berhenti!"Aku berpaling dengan kembali menurunkan tangan yang hendak kudaratkan sekali lagi di pipi mulus Karina."Kamu apa-apaan Arumi?" Mas Rendra menatapku tajam seperti ingin membalas tamparanku terhadap Karina melalui tatapan matanya.Tanpa menghiraukan mereka berdua --Karina yang menatapku nyalang dengan sebelah telapak tangan memegang pipi dan Mas Rendra dengan tatapan membunuhnya-- aku kembali duduk ke tempat semula.Berulangkali aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Mencoba meredakan degupan jantung yang berdetak di luar kelaziman.Seorang Arumi Keumala menampar orang, dan seingatku, selama aku hidup, ini pertama kali. Bayangan Kakek terlintas, cepat-cepat kugelengkan kepala, menghalau sendu wajahnya yang mungkin kecewa atas sikapku.Seharusnya kau harus lebih mampu mengontrol emosi, Arumi! Hardik hati menggantikan bayangan Kakek.Kembali kubuka mata yang sesaat terpejam. Karina dan Mas Rendra masih ada di hadapan. Saling diam, entah apa yang sekarang mereka pikir