Kebencianku pada Rendra pudar dengan sendirinya seiring waktu kebersamaan kami. Aku pun menyadari, saat Ayah lebih memilih membesarkannya ketimbang aku yang anak kandungnya sendiri, tentu Rendra juga tidak tahu apa-apa. Umurnya masih lima tahun saat Ibunya dan Ayahku menikah.Seminggu yang indah bersama Karina dan Rendra harus berakhir. Besok mereka akan pulang kembali ke Jakarta. Berulang kali Karina dan Rendra membujukku untuk ikut. Namun, amarah terhadap Ayah tidak mudah padam seperti ketidaksukaan terhadap Rendra.Kadang sempat terpikir untuk memaafkan, karena walau bagaimanapun, lelaki bernama Junaidi itu tetaplah Ayah kandungku. Darahnya mengalir dalam tubuhku. Akan tetapi, lagi-lagi, rasa kecewa masih saja begitu mendominasi sehingga sampai detik ini aku belum juga mampu meredam semua itu.Biarkanlah, mungkin aku memang butuh lebih banyak waktu untuk terlebih dahulu berdamai dengan diriku sendiri. Berdamai dengan suratan takdir Tuhan. Baru setelahnya, aku akan datang menemui Ay
Sepeninggal Bang Agam, tawa Adam menggelegar. kudelikkan mata ke arahnya."Gila kamu," ucapku mencebikkan bibir."Eh Rum, kamu lihat nggak tadi, wajah Agam memerah saat mendengar aku ngomong begitu?" Adam bertanya masih dengan sisa-sisa kekehannya."Kamu beneran mau balikan sama dia?" kali ini suara Adam berubah serius.Setelah aku membuka pintu, Adam ikut masuk membawakan semua kantong plastik belanjaan."Rum, jawab dong, kamu beneran mau balikan lagi sama Agam?" Adam masih memaksakan pertanyaannya agar aku jawab."Tapi, kata kamu jangan." jawabku singkat."Oke, kalau gitu aku pulang," ucapnya cepat. Wajahnya terlihat sumringah dan sempat-sempatnya mengedipkan mata ke Delima sebelum sedikit berlari pulang.Aku menatap kepergiannya dengan menaikkan alis, heran. Ada apa dengan Adam?***Aku melangkah gontai meninggalkan pantai setelah hampir satu jam lebih menekuri deburan ombak yang saling berkejaran, seolah berlomba siapa lebih cepat tiba ke tujuan.Aku sudah bertekad, ada baiknya me
Aku membolak-balikkan tubuh yang belum juga mau ikut terpejam bersama Delima yang sudah terlelap. Pikiran terus saja fokus memikirkan sikap Adam yang aneh.Kenapa ya, Adam tiba-tiba saja menjadi sekeras itu? Darimana dia mengambil kesimpulan jika Delima nantinya tidak akan betah di sana? Apakah Delima pernah mengatakan padanya? mengingat betapa dekatnya mereka.Sayup-sayup azan subuh terdengar, tapi rasanya mataku sangat berat untuk terbuka. Entah berapa aku tertidur semalam. Ah, mungkin setelah tak menemukan alasan apa pun dibalik sikap Adam yang berbeda dari biasanya itu.Aku sempat berpikir apakah Adam menaruh hati padaku, tetapi rasanya tak mungkin karena jika benar pasti bukan sekarang sudah dari dulu. Sejak kecil kami bersama, dibesar bersama oleh Mak Jannah, aku yakin sekali Adam hanya menganggapku adiknya yang selalu harus dijaga. Malu rasanya jika menyangka Adam menaruh rasa yang lebih. Terlalu ke-GR-an.Setelah shalat subuh, saat hendak menyiapkan sarapan, aku melihat ponsel
Kedatangan Bang Agam menghentikan pembicaraan Adam. Padahal aku masih ingin bertanya, benarkah Adam serius dengan ucapannya atau hanya sekedarnya karena merasa kasihan padaku dan Delima."Assalamualaikum Rumi dan Adam," ucap Bang Agam sembari memandang kami secara bergantian."Wa'alaikumsalam," jawab Adam seraya mempersilakan Bang Agam masuk."Sebaiknya Adam ikut masuk juga bersama kami, agar orang-orang tidak salah anggap lagi."Permintaan Bang Agam membuat Adam urung melangkah, padahal dari gelagatnya tadi kulihat ia akan segera kembali ke rumahnya.Bang Agam dan Adam duduk di teras, sementara aku masuk terlebih dahulu hendak menyuguhkan mereka teh."Kamu 'kan hakim Mahkamah Syar'iyah Dam, menurutmu bagaimana jika aku dan Arumi menikah kembali?"Sayup aku mendengar suara Bang Agam bertanya pada Adam saat melangkah membawakan mereka teh dan roti bakar isi coklat yang baru saja aku buatkan.Aku berhenti, hendak mendengar jawaban apa yang diberikan Adam."Boleh saja Bang, asalkan Arumi
Bismillah, lafazku dalam hati sambil menggelengkan kepala mantap. Semoga ini keputusan yang benar dan tidak akan pernah kusesali nantinya.Perlahan aku mengangkat wajah dan menatap Bang Agam. Terlihat wajahnya pias dan sedikit kaget. Mungkin ia tidak menyangka jika aku akan menolak untuk kembali padanya."Karena Adam?" tanyanya dengan suara bergetar.Lagi, untuk kedua kalinya aku menggeleng mantap. Meski sedikit terpengaruh dengan apa yang kudengar dari pembicaraan Adam dan Mak Jannah pagi tadi, juga dari lisan Adam sendiri barusan. Namun, aku belum berani berharap banyak padanya. Jadi, keputusan ini murni dari dalam diriku sendiri. Hasil perenungan berbulan-bulan."Aku yakin, aku bisa membesarkan Delima sendirian, Bang," ucapku pelan agar tidak semakin menyinggung Bang Agam."Kamu egois, Rumi."Kekesalan Bang Agam begitu nyata dari gurat wajahnya. Sorotan matanya menatapku dalam seakan hendak protes dengan keputusanku."Lebih egois lagi jika aku kembali padamu Bang, sementara ada Mon
Aku tergeragap karena terkejut dengan kedatangannya."Siapa Rumi?" Suara Rendra kembali bertanya."Mas, nanti kita lanjut lagi, ya, ada Adam datang." Aku pamit pada Rendra dan segera menekan tombol merah."Kamu sejak kapan di situ? Ada apa datang ke mari?""Kamu bicara dengan Rendra?"Bukannya menjawab pertanyaanku, Adam justru balik bertanya.Aku mengangguk, "Iya, tanggal tiga nanti aku dan Delima akan ke Jakarta." Aku memberitahu."Sepertinya aku sudah pernah melarangmu untuk ke sana 'kan? tanya Adam pelan namun terdengar penuh penekanan."Aku butuh suasana baru, lingkungan baru untuk menata hati dan hidupku lagi. Tolong mengertilah, Adam!" Aku pun menjawab lembut namun tetap juga dengan penuh penekanan agar Adam paham."Butuh suasana baru? iya?" Suara Adam naik satu oktaf."Kalau begitu, ikut denganku ke kota tempat aku bekerja," lanjutnya."Nggak begitu Adam. Aku memang harus ke Jakarta. Keluargaku di sana ... ""Apa? Keluarga katamu?" Adam memotong kalimatku."Keluarga yang mana
Begitu kaki menjejak bandara Soekarno Hatta, aku terpana. Tentu saja tak kupungkiri jika aku sedikit takjub dengan ramainya orang yang berlalu lalang. Ini kali pertama aku berpergian ke luar Aceh seumur hidupku. Beruntung tidak jetlag meski baru pertama kali juga naik pesawat. Alhamdulillah, Delima juga aman-aman saja, bahkan ia tak bisa menutupi kegembiraannya."Mak, ternyata begini ya, rasanya naik pesawat," ucapnya sumringah sebelum kami turun dari maskapai penerbangan nasional itu. Garuda Indonesia, pesawat komersil milik nasional yang dirintis berawal dari sumbangan rakyat Aceh itu justru paling mahal tiketnya untuk jalur 'dari' dan 'ke' Aceh. Aku tersenyum getir mengingat itu semua. Sebagai orang yang suka pelajaran sejarah dulu saat sekolah, aku ikut membaca bagaimana Soekarno datang ke Aceh untuk minta dibantu beli pesawat pertama Indonesia.[Kami sudah sampai.] Ketikku untuk Rendra sesaat setelah menghidupkan kembali ponsel.[Iya, aku tahu. Aku dan Karina memang sudah menun
Saat jarak dengan lelaki itu hanya bersisa tiga langkah lagi saja, aku kembali berhenti. Kaku, wajah itu ... ah, rasanya ada kristal yang hendak menyeruak dari netra. Ingin memanggilnya 'Ayah' tetapi suaraku tak kuasa bergema.Tanpa menyangka, justru beliau yang mendekat. Kurasakan kaki dan tanganku mendingin. Saat sedekat ini, aku harus apa?"Arumi ...!" Suara lelaki yang harusnya kusebut Ayah itu memanggil namaku dengan serak.Jika aku tidak salah mendengar, beliau pun sepertinya menyimpan sesak yang luar biasa."Maafkan Ayah, Maafkan ...!" ucapnya sembari merangkul tubuhku dan membawa ke pelukannya.Air mata yang sedari tadi aku tahan tumpah juga akhirnya. Bingung dan tergugu, bahkan aku tak ingat untuk membalas pelukan ini. Aku hanya mematung dalam dekapannya."A-a-ayah ..."Akhirnya, setelah dua puluh enam tahun, panggilan itu menemukan muaranya. Pernah memang aku menghayalkan pertemuan ini. Namun, entah mengapa saat menjadi kenyataan rasanya aneh dan asing."Ini rumahmu, Nak," u