"Dek, bagaimana jika kita bercerai saja?" Duarrr ...Pertanyaan bak petir menggelegar di siang yang sedang terik-teriknya itu menyentakku, seolah sebuah tamparan tangan kasar berulang kali di daratkan pada pipi menyisakan perih, bukan di wajah namun di hati."A-apa maksud Abang?" tanyaku bergetar."Kita sudah menikah lima tahun, tapi ..."Bang Agam suamiku menjeda kalimatnya. Tatapan matanya beralih ke luar jendela, entah apa yang sedang ia terawang."Kamu tahu sendiri, kita menikah karena dijodohkan. Lima tahun ini aku terus mencoba mencintaimu Rumi, tetapi maaf, tetap saja tidak bisa." Setelah mengeluarkan kalimat itu ia menunduk dalam.Apa katanya tadi, ia tidak mencintaiku? Lalu, saat ia menyentuhku sampai menghadirkan Delima itu tidak karena cinta?Benar memang seperti yang Bang Agam -Suamiku- itu katakan. Pernikahan kami karena perjodohan orang tua, balas Budi karena dulu orangtua Bang Agam banyak dibantu oleh kakekku.Menjelang meninggalnya, Kakek meminta orangtua Bang Agam a
Dua hari sudah aku mencari cara untuk mengetahui kebenaran kabar burung yang kudengar dari mulut ibu-ibu tetangga itu. Namun, aku tak menemukan solusi lain selain harus berkunjung ke rumah mantan mertuaku itu.Mau bertanya ke tetangga-tetangganya yang kukenal, sepertinya juga bukan cara tepat. Aku harus memastikannya sendiri. Benarkah Bang Agam meninggalkanku karena permintaan Ibu mertua bersebab hanya karena aku ibu rumah tangga biasa tanpa penghasilan?Selama lima tahun, ibu tak pernah mempermasalahkan itu. Sikapnya sangat lembut dan terlihat sangat penyayang. Bahkan aku sudah menganggapnya seperti ibuku sendiri karena memang aku tidak punya Ibu sejak lahir.Masalah keuangan juga tidak menjadi kendala keluarga Bang Agam selama ini. Ibu dan Bang Agam mengurus beberapa toko pakaian yang ditinggalkan almarhum Bapak mertua. Sedangkan kedua adik perempuan Bang Agam telah menikah dan tinggal terpisah. Ibu hanya tinggal berdua saja dengan si bungsu Ria yang masih kuliah serta seorang asist
"Mo-na?" aku mengeja.Satu wajah terlintas daalm memori. Namun, segera kucegah dengan cepat. Tidak mungkin."Mona anaknya Wak Djalil?" aku bertanya dengan gumaman lirih, berharap menemukan jawaban gelengan kepala dari Laila.Sayangnya, harapanku tidak menjadi kenyataan. Laila justru mengangguk meski dengan gerakan yang sangat pelan.Mona, sepupuku sendiri. Wak Djalil adalah kakak kandung Ibuku satu-satunya. Ibu dan Wak Djalil hanya dua bersaudara, dan Mona adalah anak pertama Wak Djalil. Umurnya setahun di bawahku.Aku ingat, sejak kecil Mona memang selalu menunjukkan sikap permusuhannya padaku. Apalagi jika tahu, Wak Djalil -ayahnya- memberikanku uang jajan. Bukan hanya Mona, Wak Leni -Ibunya- juga selalu memberikan tatapan sinis dan ucapan ketusnya tiap kali bertemu aku.Dulu, jika Wak Djalil ingin memberikanku sesuatu maka harus dilakukan sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan istrinya itu."Arumi itu bukan anak yatim, jadi tidak perlu diberi sedekah." suara nyaringnya pernah kudeng
[siapa itu, Ma?] balasku.[Selebgram say. Kamu sih nggak gaul, nggak kenal sama orang-orang terkenal.] tulis Rahma yang diakhiri dengan emotikon tertawa lebar.[Oh. Keren juga ya, aku bisa mirip selebgram.] aku pun mulai membalas candaan Rahma.[Namanya Karina. Aku pernah lihat salah satu postingan Instagramnya yang menuliskan jika Ayahnya orang Aceh, hanya saja dia belum pernah ke Aceh.] balas Rahma panjang.[Maksud kamu?] tanyaku. Aku seperti sudah paham maksud Rahma mengirimkan foto itu ke aku.[Iya Rumi, kamu ngerti 'kan, siapa tahu dia adikmu seayah.] tutup Rahma.[Tidak mungkin. Kata orang-orang wajahku mirip Ibu.] aku membantah.[Lagi pula di dunia ini memang ada 'kan orang mirip bahkan hampir identik namun tak punya hubungan kekerabatan sama sekali.] aku melanjutkan.[Terserah kamu lah, tetapi sesekali cobalah buka dan lihat-lihat instagramnya dia ya?!] [oke.] kubalas cepat chat terakhirnya Rahma dan aku mulai berselancar lagi mencari lowongan kerja yang mungkin diposting di
Tok ...Tok ...Bergegas aku menuju ruang tamu hendak membukakan pintu yang diketuk berulang kali dengan begitu kasar. Sepertinya yang sedang mengetuk pintu itu sedang dalam kondisi marah. Aku jadi takut sendiri."Mona." aku terpana melihat siapa yang berdiri di depan pintu.Dengan gerakan kasar ia mendorong bahuku dan melenggang masuk ke dalam tanpa kupersilakan."Ada apa?" tanyaku ikut duduk di hadapannya."Kembalikan uang yang dikirimkan Bang Agam." ucapnya datar tanpa basa basi.Aku diam dan menaikkan sebelah alis serta memberikan tatapan merendahkan untuknya. Jangan mentang-mentang ia istri Bang Agam sekarang bisa seenaknya padaku."Kenapa kamu diam? sini, kembalikan uang yang dua hari lalu ditransfer Bang Agam." suaranya meninggi."Itu jatah Delima." jawabku santai."Itu uang suamiku, seharusnya kamu jangan jadi benalu." Mona semakin ngegas."hahaha ..." aku justru memperkeraskan tawa menangkapi kemarahan Mona."Dasar perempuan gila." desisnya masih bisa tertangkap telinga."Leb
Tok ...Tok ...Suara ketukan pintu terdengar saat aku sedang menyiapkan sarapan. Siapa yang datang pagi-pagi sekali? Sejak kedatangan Mona bulan lalu, setiap kali terdengar suara ketukan di pintu aku menjadi sedikit was-was.Namun, karena ketukan ini terdengar lembut tidak gerudak geruduk seperti kedatangan Mona, maka perasaan was-was itu sedikit meluntur."Biar Ima saja, Mak." ujar Delima sembari berlari ke arah pintu depan saat aku baru saja mencuci tangan hendak membukakan pintu."Ayah ...!" teriakan Ima membuat aku harus mengurut dada. Antara kaget dan juga sedikit syok, ada apa Bang Agam datang kemari?Cepat-cepat kuangkat telur dadar sayur kesukaan Delima dari penggorengan, mematikan kompor dan bergegas ke ruang tamu."Bang.""Eh, Dek, lagi apa?" Bang Agam bertanya sedang Delima sudah berada dalam gendongannya."Lagi siapin sarapan. Delima minta nasi goreng kampung seperti biasanya." jawabku memberitahu.Setelah mendengar jawabanku, aku melihat sepertinya Bang Agam menelan luda
"Arumi!"Aku mengangkat kepala yang sedari tadi menunduk menghadapi pandangan orang-orang."Rahma! kamu di sini juga?" tanyaku sembari menyeka buliran bening yang kucoba tahan namun menetes juga.Rahma duduk setelah celingukan melihat orang-orang di kiri dan kanan. Mendelikkan matanya pada mereka mengkode agar menjauh.Sebelumnya banyak yang telah pergi memang sesudah kepergian Mona dan Bang Agam. Namun, masih ada juga yang tetap di tempatnya, masih mencuri-curi pandang ke tempatku duduk."Ada apa, Rumi? tadi aku mendengar ocehan orang-orang jika ada pelakor yang dilabrak." ujar Rahma pelan."Apa yang terjadi?" Rahma kembali bertanya karena aku hanya diam.Mendengar pertanyaannya aku semakin terisak. Sudah kuduga, pasti orang yang menonton pertunjukan yang dibuat Mona tadi akan men-cap aku sebagai pelakor."Kamu yang sabar ya?!"Kemudian Rahma menarik kepalaku ke pelukannya. Tangisku semakin menderas di bahunya. Aku seperti mendapat tempat menumpahkan segalanya. Selama ini aku tak pun
Bang Agam benar-benar datang tidak sampai setengah jam setelah obrolan telepon tadi. Aku menyuruh Delima yang keluar mengambil makanan pada ayahnya. Sebelumnya, Delima sudah kuwanti-wanti agar tidak mengajak ayahnya untuk masuk ke dalam rumah.Ia mengangguk, namun anak berumur empat tahun mana bisa diharapkan sesuai harapan."Mamak mana?"Terdengar suara Bang Agam bertanya pada Delima. Aku sudah berniat tidak akan keluar menemuinya. Jangan sampai jadi omongan tetangga. Lebih parah lagi jika sampai ada yang melaporkan dan didatangi Tetua kampung. Belum lagi jika sampai ke polisi wilayatul hisbah, wah semakin parah.Untuk menghindari hal memalukan itu memang sebaiknya seperti ini. Biarkan Delima saja yang menjumpai Ayahnya. Sudah cukup kejadian memalukan siang tadi."Mamak ada di dalam." jawab Delima.Aku mengintip dengan sedikit menyibak tirai jendela. Tampak, Delima sudah duduk di bangku teras dengan ayahnya."Panggil Mamak, ini makanan Mamak." pinta Bang Agam pada Delima dengan menun