"Oh benar ternyata, kamu malah asik pacaran."Suara keras Bang Agam menyambutku di teras rumah saat aku baru saja membuka pagar sehabis berbelanja bersama Rendra.Aku menatap Bang Agam sembari menautkan alis, menunjukkan raut bingung dengan maksud kalimatnya. Meski sebenarnya aku paham, pasti Mona mengabari Bang Agam kejadian di pasar tadi. Namun, aku tidak menyangka saja akan secepat ini."Jangan pura-pura polos Arumi, apa maksudmu berduaan seperti ini?" Bang Agam mengajukan tanya padaku, tetapi matanya melirik Rendra dengan pandangan tidak suka."Rumi, ini siapa lagi?" tanya Rendra berbisik."Ayahnya Delima." jawabku sembari menyerahkan kantong plastik belanjaan ke tangan Rendra dan menyuruhnya masuk terlebih dahulu dengan kode tatapan mata.Untungnya Rendra mengerti dan berlalu ke dalam setelah sedikit mengangguk pada Bang Agam."Kamu kenapa, Bang?" tanyaku santai."Jangan berlagak pilon Arumi, siapa laki-laki itu?" tanya Bang Agam bernada ketus."Sudah sedemikian dekatnya ternyata
"Ayah, kata Om Adam kemarin itu, Ayah tidak akan pernah tinggal lagi bersama Ima di sini, benar?" Delima yang sedang duduk di pangkuanku bertanya sepulang entah dari mana bersama Karina yang kata Arumi -mantan istriku- itu adalah adiknya seayah.Iya, Arumi Keumala, ibunya Delima -anakku- kini hanya berstatus mantan istri. Aku menceraikannya karena terpaksa. Tidak ada pilihan lain yang menjadi solusi saat itu. Keputusan yang akhirnya kusesali."Kenapa om Adam bisa bicara begitu?" tanyaku pada Delima yang masih menatap wajahku menunggu jawaban atas pertanyaannya.Sejak perpisahan kami, aku dan Arumi memang sepakat tidak menceritakan apa-apa pada Delima. Biarkan ia tumbuh sebagaimana anak lainnya. Delima masih terlalu kecil untuk memahami situasi ini. Nanti, seiring bertambahnya umur ia pasti akan mengerti dengan sendirinya."Iya Yah, minggu lalu, saat Om Adam ada di sini, Ima bilang sama Om Adam jika Ayah sudah jarang pulang. Ima sedih. Tapi, kata Om Adam, Ima nggak boleh sedih karena
Sepulang dari tempat Arumi dan Delima, aku membelokkan mobil ke rumah Ibu. Kepalaku sedang mumet, jadi aku tak ingin pulang ke rumah Mona dan bertemu perempuan bar-bar itu."Kenapa wajahmu kusut begini? kamu sakit, Nak?" tanya Ibu begitu melihat aku masuk ke rumah dengan mengucap salam dalam keadaan lesu.Berat sekali rasanya menggerakkan bibir menjawab pertanyaan Ibu, jadi kuputuskan memberikan gelengan kepala saja sebagai jawaban."Sudah makan?" pertanyaan kedua dari Ibu setelah kuhempaskan diri di sofa ruang tengah, di depan televisi yang sedang menyala. Sepertinya Ibu sedang menonton acara pengajian yang dipandu oleh seorang ustadzah yang entah siapa itu."Arumi sudah mendengar alasan bohong yang Ibu hembuskan itu." ucapku tanpa menjawab pertanyaan Ibu lagi.Terlihat Ibu menyuguhkan tatapan ibanya padaku sembari menarik napas dalam. Kemudian, Ibu meraih remot televisi yang terletak di atas meja dan mengecilkan volumenya."Apa dia semakin membencimu?" "Entahlah Bu, aku tidak tahu
Kebencianku pada Rendra pudar dengan sendirinya seiring waktu kebersamaan kami. Aku pun menyadari, saat Ayah lebih memilih membesarkannya ketimbang aku yang anak kandungnya sendiri, tentu Rendra juga tidak tahu apa-apa. Umurnya masih lima tahun saat Ibunya dan Ayahku menikah.Seminggu yang indah bersama Karina dan Rendra harus berakhir. Besok mereka akan pulang kembali ke Jakarta. Berulang kali Karina dan Rendra membujukku untuk ikut. Namun, amarah terhadap Ayah tidak mudah padam seperti ketidaksukaan terhadap Rendra.Kadang sempat terpikir untuk memaafkan, karena walau bagaimanapun, lelaki bernama Junaidi itu tetaplah Ayah kandungku. Darahnya mengalir dalam tubuhku. Akan tetapi, lagi-lagi, rasa kecewa masih saja begitu mendominasi sehingga sampai detik ini aku belum juga mampu meredam semua itu.Biarkanlah, mungkin aku memang butuh lebih banyak waktu untuk terlebih dahulu berdamai dengan diriku sendiri. Berdamai dengan suratan takdir Tuhan. Baru setelahnya, aku akan datang menemui Ay
Sepeninggal Bang Agam, tawa Adam menggelegar. kudelikkan mata ke arahnya."Gila kamu," ucapku mencebikkan bibir."Eh Rum, kamu lihat nggak tadi, wajah Agam memerah saat mendengar aku ngomong begitu?" Adam bertanya masih dengan sisa-sisa kekehannya."Kamu beneran mau balikan sama dia?" kali ini suara Adam berubah serius.Setelah aku membuka pintu, Adam ikut masuk membawakan semua kantong plastik belanjaan."Rum, jawab dong, kamu beneran mau balikan lagi sama Agam?" Adam masih memaksakan pertanyaannya agar aku jawab."Tapi, kata kamu jangan." jawabku singkat."Oke, kalau gitu aku pulang," ucapnya cepat. Wajahnya terlihat sumringah dan sempat-sempatnya mengedipkan mata ke Delima sebelum sedikit berlari pulang.Aku menatap kepergiannya dengan menaikkan alis, heran. Ada apa dengan Adam?***Aku melangkah gontai meninggalkan pantai setelah hampir satu jam lebih menekuri deburan ombak yang saling berkejaran, seolah berlomba siapa lebih cepat tiba ke tujuan.Aku sudah bertekad, ada baiknya me
Aku membolak-balikkan tubuh yang belum juga mau ikut terpejam bersama Delima yang sudah terlelap. Pikiran terus saja fokus memikirkan sikap Adam yang aneh.Kenapa ya, Adam tiba-tiba saja menjadi sekeras itu? Darimana dia mengambil kesimpulan jika Delima nantinya tidak akan betah di sana? Apakah Delima pernah mengatakan padanya? mengingat betapa dekatnya mereka.Sayup-sayup azan subuh terdengar, tapi rasanya mataku sangat berat untuk terbuka. Entah berapa aku tertidur semalam. Ah, mungkin setelah tak menemukan alasan apa pun dibalik sikap Adam yang berbeda dari biasanya itu.Aku sempat berpikir apakah Adam menaruh hati padaku, tetapi rasanya tak mungkin karena jika benar pasti bukan sekarang sudah dari dulu. Sejak kecil kami bersama, dibesar bersama oleh Mak Jannah, aku yakin sekali Adam hanya menganggapku adiknya yang selalu harus dijaga. Malu rasanya jika menyangka Adam menaruh rasa yang lebih. Terlalu ke-GR-an.Setelah shalat subuh, saat hendak menyiapkan sarapan, aku melihat ponsel
Kedatangan Bang Agam menghentikan pembicaraan Adam. Padahal aku masih ingin bertanya, benarkah Adam serius dengan ucapannya atau hanya sekedarnya karena merasa kasihan padaku dan Delima."Assalamualaikum Rumi dan Adam," ucap Bang Agam sembari memandang kami secara bergantian."Wa'alaikumsalam," jawab Adam seraya mempersilakan Bang Agam masuk."Sebaiknya Adam ikut masuk juga bersama kami, agar orang-orang tidak salah anggap lagi."Permintaan Bang Agam membuat Adam urung melangkah, padahal dari gelagatnya tadi kulihat ia akan segera kembali ke rumahnya.Bang Agam dan Adam duduk di teras, sementara aku masuk terlebih dahulu hendak menyuguhkan mereka teh."Kamu 'kan hakim Mahkamah Syar'iyah Dam, menurutmu bagaimana jika aku dan Arumi menikah kembali?"Sayup aku mendengar suara Bang Agam bertanya pada Adam saat melangkah membawakan mereka teh dan roti bakar isi coklat yang baru saja aku buatkan.Aku berhenti, hendak mendengar jawaban apa yang diberikan Adam."Boleh saja Bang, asalkan Arumi
Bismillah, lafazku dalam hati sambil menggelengkan kepala mantap. Semoga ini keputusan yang benar dan tidak akan pernah kusesali nantinya.Perlahan aku mengangkat wajah dan menatap Bang Agam. Terlihat wajahnya pias dan sedikit kaget. Mungkin ia tidak menyangka jika aku akan menolak untuk kembali padanya."Karena Adam?" tanyanya dengan suara bergetar.Lagi, untuk kedua kalinya aku menggeleng mantap. Meski sedikit terpengaruh dengan apa yang kudengar dari pembicaraan Adam dan Mak Jannah pagi tadi, juga dari lisan Adam sendiri barusan. Namun, aku belum berani berharap banyak padanya. Jadi, keputusan ini murni dari dalam diriku sendiri. Hasil perenungan berbulan-bulan."Aku yakin, aku bisa membesarkan Delima sendirian, Bang," ucapku pelan agar tidak semakin menyinggung Bang Agam."Kamu egois, Rumi."Kekesalan Bang Agam begitu nyata dari gurat wajahnya. Sorotan matanya menatapku dalam seakan hendak protes dengan keputusanku."Lebih egois lagi jika aku kembali padamu Bang, sementara ada Mon