Tok ...
Tok ...Bergegas aku menuju ruang tamu hendak membukakan pintu yang diketuk berulang kali dengan begitu kasar. Sepertinya yang sedang mengetuk pintu itu sedang dalam kondisi marah. Aku jadi takut sendiri."Mona." aku terpana melihat siapa yang berdiri di depan pintu.Dengan gerakan kasar ia mendorong bahuku dan melenggang masuk ke dalam tanpa kupersilakan."Ada apa?" tanyaku ikut duduk di hadapannya."Kembalikan uang yang dikirimkan Bang Agam." ucapnya datar tanpa basa basi.Aku diam dan menaikkan sebelah alis serta memberikan tatapan merendahkan untuknya. Jangan mentang-mentang ia istri Bang Agam sekarang bisa seenaknya padaku."Kenapa kamu diam? sini, kembalikan uang yang dua hari lalu ditransfer Bang Agam." suaranya meninggi."Itu jatah Delima." jawabku santai."Itu uang suamiku, seharusnya kamu jangan jadi benalu." Mona semakin ngegas."hahaha ..." aku justru memperkeraskan tawa menangkapi kemarahan Mona."Dasar perempuan gila." desisnya masih bisa tertangkap telinga."Lebih gila mana sama orang yang merebut suami sepupunya sendiri?" tanyaku dengan senyum manis menghias di wajahku yang kubuat agar terlihat sedang meremehkannya."Sakit jiwa karena ditinggalkan, kasihan ..." Mona masih tidak mau kalah mengeluarkan kalimat sinisnya."Biasanya ya ..., ini biasanya loh. Hanya pemulung yang suka pada barang bekas."Tawaku pecah setelah mengeluarkan pernyataan itu. Kulirik Mona dengan ujung netraku yang sedikit berembun akibat tertawa, tampak wajahnya semakin gusar menahan amarah.Aku berhenti tertawa dan menatap sinis pada Mona. Kamu dan Ibumu telah lama memusuhiku, maka sekarang aku pun bisa melakukan hal yang sama, Mona. Jangan dipikir karena aku miskin aku tidak berani."Aku datang kemari bukan untuk berdebat denganmu. Aku datang kemari untuk meminta kembali uang suamiku." ucapan Mona mulai melunak."Apa perlu kutegaskan sekali lagi? Suami yang kau rebut dariku itu adalah ayahnya Delima, anakku. Paham?" emosiku meledak juga."Pergi kamu dari sini!" aku berdiri sembari mengarahkan telunjuk ke arah pintu."Ini rumah kakekku, suka-suka aku dong mau tetap di sini atau pulang." jawabnya santai.Sepertinya Mona sengaja memancing kemarahanku sedari tadi. Aku duduk kembali setelah menghela napas berat. Meredakan emosi yang sempat menguasai hati.Mona diam sambil matanya jelalatan memandangi seisi rumah. Aku juga diam memperhatikan gerak perempuan itu."Mana Delima?" tanyanya memecah ketegangan."Bukan urusanmu." jawabku ketus."Ingat ya, jika kamu masih mendekati suamiku, akan kubuat hidupmu menderita." ucap Mona tiba-tiba sambil berdiri."Dan, satu lagi. Kamu harus tahu diri. Ini rumah kakekku, seharusnya kamu tidak berhak tinggal di rumah ini." ia menunjuk-nunjuk wajahku dengan telunjuknya.Kutarik tangannya, lalu kuturunkan dengan hempasan kasar."Rumah ini milikku. Kakek sudah menghibahkannya untukku sebelum Kakek meninggal." ucapku dengan mendelikkan mata ke arahnya, tidak mau kalah."Kau merebut yang seharusnya menjadi milik kami. Sekarang terima lah aku merebut suamimu." ujar Mona lagi dengan tertawa berderai sebelum akhirnya ia keluar dan pergi dari sini.Aku menutup pintu kasar sepeninggal Mona. Tubuhku ambruk menyandarkan punggung di belakang pintu. Air mata yang sedari tadi memang sudah siap terjun bebas melimpah ruah sekarang.Apa karena rumah ini, Mona mengupayakan berbagai cara membuat Bang Agam menceraikanku? Mengapa sereceh itu alasannya? Jika ia meminta baik-baik mungkin masih bisa dimusyawarahkan.Wak Djalil punya banyak usaha. Hidup mereka lebih dari kata berkecukupan. Bahkan kedua adik lelaki Mona seorang kuliah di luar pulau ini."Mamak Kenapa?" Delima muncul dari pintu samping. Ia baru saja pulang dari rumah Mak Jannah, tetangga sebelah yang sudah menganggap Delima seperti cucunya sendiri.Kurentangkan tangan tanda meminta dipeluk Delima. Ia mendekat dan langsung menghambur ke pelukanku. Delima ada kekuatan dan memeluknya serta menghidu aroma tubuhnya cukup untuk menjadi suplemen penyemangat hidup.***"Bang, Mona tadi pagi datang kemari." ucapku mengadukan pada Bang Agam melalui saluran telepon."Hah? Ngapain dia datang ke situ?" Bang terdengar kaget dengan pemberitahuanku."Dia marah dan meminta kembali uang yang Abang transferkan untuk Delima." jawabku."Kamu kembalikan?" tanya Bang Agam."Nggak lah, enak saja. Itu kewajiban Abang menafkahi Delima." ucapku penuh penekanan pada kata kewajiban."Bagus lah." jawab Bang Agam.Aku merasa sepertinya Bang Agam tersenyum karena nada suaranya seperti orang yang merasa lega."Abang lelah menghadapi sikap Mona selama ini." ucap Bang Agam lagi. Kali ini suaranya sedikit terdengar putus asa.Aku seperti ingin terpingkal mendengarkan keluhan Bang Agam. Sepertinya ia salah tempat curhat. Masa' curhat tentang istri yang sekarang pada mantan istri. Itu sungguh menggelikan."Memangnya Mona kenapa Bang?" seketika rasa kepo-ku meronta."Sudah lah Dek, nggak usah dibahas. Delima sudah tidur kah?" Bang Agam mengalihkan pembicaraan."Sudah." jawabku sambil mengangguk meski tak terlihat oleh Bang Agam."Oh ya Dek, jika menelepon dan Abang menjawab 'iya, sebentar saya ke sana.' itu berarti Abang sedang bersama Mona ya. Nanti biar Abang yang telepon balik." ucap Bang Agam hati-hati.Kali ini aku tidak bisa lagi menahan tawa. Aku tergelak mendengar kode yang diberikan Bang Agam itu.Setelah mengakhiri pembicaraan telepon dengan Bang Agam, muncul sebuah ide gila di kepala. Bagaimana jika aku terus mendekati Bang Agam agar rumah tangganya dengan Mona menjadi hancur. Ada Delima yang bisa digunakan sebagai alasan.Seketika senyumku merekah. Ayo, Mona kita bermain-main sejenak.Tok ...Tok ...Suara ketukan pintu terdengar saat aku sedang menyiapkan sarapan. Siapa yang datang pagi-pagi sekali? Sejak kedatangan Mona bulan lalu, setiap kali terdengar suara ketukan di pintu aku menjadi sedikit was-was.Namun, karena ketukan ini terdengar lembut tidak gerudak geruduk seperti kedatangan Mona, maka perasaan was-was itu sedikit meluntur."Biar Ima saja, Mak." ujar Delima sembari berlari ke arah pintu depan saat aku baru saja mencuci tangan hendak membukakan pintu."Ayah ...!" teriakan Ima membuat aku harus mengurut dada. Antara kaget dan juga sedikit syok, ada apa Bang Agam datang kemari?Cepat-cepat kuangkat telur dadar sayur kesukaan Delima dari penggorengan, mematikan kompor dan bergegas ke ruang tamu."Bang.""Eh, Dek, lagi apa?" Bang Agam bertanya sedang Delima sudah berada dalam gendongannya."Lagi siapin sarapan. Delima minta nasi goreng kampung seperti biasanya." jawabku memberitahu.Setelah mendengar jawabanku, aku melihat sepertinya Bang Agam menelan luda
"Arumi!"Aku mengangkat kepala yang sedari tadi menunduk menghadapi pandangan orang-orang."Rahma! kamu di sini juga?" tanyaku sembari menyeka buliran bening yang kucoba tahan namun menetes juga.Rahma duduk setelah celingukan melihat orang-orang di kiri dan kanan. Mendelikkan matanya pada mereka mengkode agar menjauh.Sebelumnya banyak yang telah pergi memang sesudah kepergian Mona dan Bang Agam. Namun, masih ada juga yang tetap di tempatnya, masih mencuri-curi pandang ke tempatku duduk."Ada apa, Rumi? tadi aku mendengar ocehan orang-orang jika ada pelakor yang dilabrak." ujar Rahma pelan."Apa yang terjadi?" Rahma kembali bertanya karena aku hanya diam.Mendengar pertanyaannya aku semakin terisak. Sudah kuduga, pasti orang yang menonton pertunjukan yang dibuat Mona tadi akan men-cap aku sebagai pelakor."Kamu yang sabar ya?!"Kemudian Rahma menarik kepalaku ke pelukannya. Tangisku semakin menderas di bahunya. Aku seperti mendapat tempat menumpahkan segalanya. Selama ini aku tak pun
Bang Agam benar-benar datang tidak sampai setengah jam setelah obrolan telepon tadi. Aku menyuruh Delima yang keluar mengambil makanan pada ayahnya. Sebelumnya, Delima sudah kuwanti-wanti agar tidak mengajak ayahnya untuk masuk ke dalam rumah.Ia mengangguk, namun anak berumur empat tahun mana bisa diharapkan sesuai harapan."Mamak mana?"Terdengar suara Bang Agam bertanya pada Delima. Aku sudah berniat tidak akan keluar menemuinya. Jangan sampai jadi omongan tetangga. Lebih parah lagi jika sampai ada yang melaporkan dan didatangi Tetua kampung. Belum lagi jika sampai ke polisi wilayatul hisbah, wah semakin parah.Untuk menghindari hal memalukan itu memang sebaiknya seperti ini. Biarkan Delima saja yang menjumpai Ayahnya. Sudah cukup kejadian memalukan siang tadi."Mamak ada di dalam." jawab Delima.Aku mengintip dengan sedikit menyibak tirai jendela. Tampak, Delima sudah duduk di bangku teras dengan ayahnya."Panggil Mamak, ini makanan Mamak." pinta Bang Agam pada Delima dengan menun
Karena suara di luar semakin berisik, aku keluar juga meski hati sebenarnya gentar. Sepertinya itu bukan Mona seperti sangkaan awal. Ketakutan menjadi kenyataan."Maaf, ada apa ya?" tanyaku menyapa pada tiga orang perangkat kampung yang sudah duduk bersama Bang Agam di ruang tamu. Sementara beberapa orang lainnya duduk di kursi teras."Arumi, ini tidak benar Nak, kalian tidak boleh lagi seperti ini." Pak Imam berkata lembut. Beliau dulu adalah temannya Kakek.Aku memandang ke arah Bang Agam dengan tatapan bertanya apakah ia tidak menjelaskan kenapa ia tidur di sini dan dengan siapa ia tidur?"Saya tidur bersama anak Pak di kamar satunya bukan bersama Arumi." Bang Agam berkomentar seperti mengerti tatapanku."Iya, kamu sudah dua kali bicara itu. Tetapi tetap saja ini tidak boleh." kali ini Bapak kepala lorong yang bicara. Nadanya ketus dan lumayan kasar."Jadi bagaimana Bapak-bapak? bukankah Anda semua sudah lihat sendiri? kami tidak melakukan apa-apa?" aku bersuara juga. Apa mereka ng
"Bukan rujuk Bang. Karena kita sudah bercerai lebih dari setengah tahun, maka jika ingin kembali, ya, harus menikah ulang." jawabku memperbaiki kalimat Bang Agam."Iya, itu lah Dek maksudnya." balas Bang Agam tersenyum.Cih, pede sekali dia ngajak balikan seenak udelnya, dipikirnya hatiku barang mainan apa. Aku ngedumel dalam hati dan mengarahkan pandangan ke ombak yang saling berkejaran."Pernikahan itu bukan perkara main-main." ucapku setelah menghembuskan napas meredakan emosi yang sebenarnya mulai akan naik karena sikap Bang Agam ini."Apa dengan mengajakku balik begini, itu artinya Abang akan menceraikan Mona?" tanyaku melanjutkan.Aku menunggu, Bang Agam bukan menjawab malah terdengar menghembuskan napas berat. Kenapa dia? Sebegitu cintanya kah ia pada Mona sehingga berat sekali menjawab iya atau tidak pada pertanyaanku barusan."Abang belum bisa meninggalkan Mona sekarang, Dek." Seiring kalimat itu terdengar helaan napas masygul dari Bang Agam."Kenapa? Abang cinta sangat ya sa
Setelah berbalasan pesan dengan Bang Agam, aku menyimpan ponsel di atas meja samping kompor dan mulai memasak untuk makan siang. Katanya, Bang Agam akan makan siang di sini.Lucu juga, kami justru semakin akrab dan layaknya teman setelah bercerai. Bang Agam sekarang lebih perhatian dan setiap kali bertemu tatapannya penuh cinta. Kadang aku sampai harus menenangkan jantungku sendiri dan juga menata hati setelah bertemu dengannya akhir-akhir ini."Masak apa, Rum?"Aku menoleh, Adam sudah berdiri di pintu penghubung dapur dan ruang makan."Loh, sudah pulang?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya."Mak, Lihat ini." Delima memamerkan boneka Elsa di tangannya."Delima minta macam-macam ya sama Om Adam?" aku mendelik ke arahnya."Nggak Mak ...""Delima nggak minta kok, Rum. Nggak perlu melotot begitu." Adam menyela kalimat Delima yang belum selesai."Ya sudah, Om pulang dulu ya!" ucap Adam mengelus kepala Delima dan berlalu pulang ke rumahnya di sebelah.Sejak tadi pagi, Adam membawa Delima
"Begitu Mbak ceritanya." tutup Karina setelah kalimat-kalimat panjangnya mengurai bagaimana ia bertanya hati-hati pada Papanya tentang apa yang diceritakan Rahma."Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa Papa dan Mama tidak pernah satu kali pun menyebutkan keberadaan Mbak Arumi selama ini." ujar Karina lagi sambil menatap prihatin ke arahku.Kubalas tatapannya dengan senyuman. "Tidak apa Dek, Aku baik-baik saja." balasku lembut."Eh, dari tadi melow banget ya, ayo dong kopinya diminum." Rahma mencairkan suasana pertemuan ini."Minum kopi Aceh langsung di Aceh, pasti beda ya 'kan rasanya dengan minum kopi Aceh tapi bukan di Aceh." lanjut Rahma lagi promosi yang di sambut gelak dari Karina dan Rendra."Benar Mbak, ini nikmat banget. Sumpah." ucap Rendra menanggapi.Puluhan tahun aku baru tahu jika punya adik perempuan. Benar-benar di luar dugaan, belum lagi aku sungguh nggak menyangka juga akan tahu kabar Ayah yang memang tidak pernah kulihat sama sekali selama hidupku. Bahkan fotonya pun
"Mak, Arumi yakin Mak pasti tahu alasan kenapa Ayah mengatakan malu untuk pulang kemari bukan?" tanyaku memancing, rasanya kesabaranku tidak cukup banyak untuk menunggu waktu berbicara berdua saja dengan Mak Jannah.Terlihat Mak Jannah menghela napas dalam dan memperhatikan kami semua yang berada di sini bergantian. Mulai dari aku, Karina, Rendra dan Rahma."Nak Karina, Nak Rendra dan Nak Rahma, silakan diminum dulu!" ucap Mak Jannah mempersilakan para tamuku mencicipi teh yang memang dibuatkan oleh Mak Jannah sesaat setelah kami tiba di rumah tadi. Sepertinya Mak Jannah sengaja mengulur waktu untuk menjawab pertanyaanku."Mak!" aku mengingatkan.Untuk kesekian kalinya, gerakan tubuh Mak Jannah menjadi tidak tenang, tampak gelisah seperti enggan bersuara.Aku ikut menatap Karina dan juga Rendra, sepertinya mereka juga sama menunggu jawaban Mak Jannah sepertiku. Wajah mereka menunjukkan raut penasaran."Maafkan Mak, Arumi. Tidak pantas rasanya membongkar masa lalu seseorang tanpa seizi
"Iya, siang itu, Kak Mona datang saat beberapa karyawan sedang makan siang di belakang. Saat itu hanya ada saya dan dua orang lainnya. Setelah mengambil beberapa potong pakaian, ia mendatangi saya di meja kasir. Bukannya membayar, Kak Mona malah memaksa membuka laci. Alasannya, ingin melihat pemasukan hari itu." Sekali-sekali Mira mengusap air matanya."Saya menolak karena saya takut terjadi apa-apa. Saya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi lagi pada toko.""Tapi 'kan Mona istrinya Bang Agam, Mir," aku menyela mengingatkan Mira."Iya, saya tahu Kak Rum, tapi hati kecil saya tidak mengizinkan saya untuk memberikan tahukan kode tersebut."Aku hanya mengangguk. Namun, masih penasaran kenapa Mira justru datang kemari untuk menceritakan ini semua padaku. Apakah Mira tahu kalau aku yang memberikan modal agar Toko Bang Agam bangkit lagi? Apa mungkin Bang Agam menceritakannya pada Mira? Entahlah."Bang Agam tidak pernah akur dengan Kak Mona. Bahkan, seringkali mereka bertengkar di toko ...."
Aku menautkan alis ke arah Mona, bersikap seolah dia bukan siapa-siapa yang perlu dipedulikan."Ngapain kamu di sini?" Mona mendekat ke tempat aku dan ibu berdiri. Menatapku dengan pandangan permusuhan yang begitu nyata. Bukankah seharusnya aku yang membencinya? aneh.Kualihkan mata ke wajah ibu, beliau justru menatap ke arah lain. Sebelum sempat kujawab pertanyaan Mona, bang Agam muncul dari dapur."Kamu ngapain kemari?" tanya bang Agam pada istrinya itu.Mona berpaling, "Oh, jadi sekarang kalian mau main-main di belakang aku dan di rumah ibu pula. Luar biasa," ucapnya sinis sambil bertepuk tangan.Terdengar ibu menghela napas berat. "Arumi itu anak saya, dan ini rumah saya. Jadi siapa pun yang datang ke rumah ini bukan urusan kamu." Tiba-tiba ibu bersuara begitu keras. Seumur-umur baru kali ini aku mendengar ibu berbicara sekeras itu."Pulang!" bang Agam mendekat dan menarik tangan Mona. Bukan Mona namanya jika langsung menurut.Ia meronta dan melepaskan tangannya dari cekalan bang
"Rum, maaf, boleh aku bertanya seuatu yang sedikit sensitif?" Tiba-tiba Hilman menyela dengan wajah yang tampak sungkan di tengah pembicaraan kami tentang konsep kafe.Aku hanya menautkan alis dengan sedikit anggukan samar, belum mampu menerka Hilman akan menanyakan apa."Maaf sebelumnya," ucapnya ragu-ragu."Benarkah jika Mona menikah dengan suamimu?" pungkasnya cepat seakan takut keraguannya sesaat tadi membuatnya tidak jadi mengeluarkan pertanyaannya ini."Mantan suami," jawabku cepat dengan senyum yang kubuat semanis mungkin. Aku ingin membuat Hilman tidak merasa bersalah dengan pertanyaannya, menunjukkan jika aku baik-baik saja."Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan wajah iba."Santai saja, Man, nggak perlu mukanya begitu!" balasku tertawa."Jujur, mungkin jika pembicaraan ini kita lakukan dia tahun lalu, aku akan meneteskan air mata. Tapi, tidak dengan sekarang, Man. Kini, aku sudah berdamai dengan masa laluku itu." Aku menarik napas dan menjeda kalimat sejenak.Dengan memfokusk
"Kamu serius?" Mata Bang Agam tampak dipenuhi binar-binar harap."Ada syaratnya." Kuulangi sekali lagi."Apa syaratnya?""Pertama, Mona tidak boleh tahu aku yang memberikan modal. Kedua, setiap bulan keuntungan dari toko nantinya kirimkan ke rekeningku, Abang hanya boleh mengambil untuk Ibu dan sedikit untuk diri Abang sendiri. Ketiga, aku tidak mau keuntungan tersebut Abang gunakan untuk menafkahi Mona satu rupiah pun. Bagaimana?" Aku tersenyum tipis menatap Bang Agam dengan mengerutkan dahi. Mungkin lebih tepatnya aku menyeringai bukan tersenyum.Setelah sekian menit berlalu, akhirnya Bang Agam mengangguk juga. Tentu saja, aku bersorak dalam hati karena aku masih manusia biasa belum menjadi malaikat yang bisa serta merta melupakan semua kesakitan yang pernah menghampiri hidupku."Baiklah, mari ikut aku Bang, kita buat kontrak dan sekaligus kuitansinya sekarang!" Aku berdiri memanggil pelayan warung kopi. Setelah membayar tagihan minuman kami, aku melangkah terlebih dulu. Ada suatu r
"Bang Agam!""Apa kabar, Arumi?""Alhamdulillah, seperti yang Abang lihat.""Abang kenapa di sini? bukannya toko Abang di sebelah sana?" lanjutku bertanya sembari mengarahkan telunjuk ke ujung kanan jalan tempat toko pakaian besar milik Bang Agam.Bang Agam hanya menggeleng sebagai jawaban, "banyak yang terjadi dalam dua tahun ini, Arumi," ucapnya kemudian dengan tatapan menerawang."Abang sekarang bekerja di toko itu," lanjutnya menunjuk toko tempat pramuniaganya tadi meremehkanku seolah aku tidak akan sanggup membayar harga sebuah baju yang terpajang di manekinnya."Bekerja?" ejaku lirih. Bagaimana mungkin seorang Bang Agam bekerja di toko orang."Ceritanya panjang, Rum. Bisakah kita bicara sebentar?"Reflek aku mengangguk."Ayo, kalau begitu!"Aku mengikuti langkah Bang Agam yang berjalan cepat."Kita mau bicara di mana?" tanyaku cepat sebelum Bang Agam sempat menyeberang jalan."Di sudut sana ada warung kopi, kita bicara di sana saja ya, kamu sudah sarapan?""Sudah."***Warung ko
Menahan sesak sendirian tanpa ada satu orang pun yang menyadarinya sungguh tak enak. Sekuat mungkin aku berusaha agar air mata tak menampakkan dirinya. Setidaknya, jangan di sini."Ima, jangan jalan-jalan dong, Sayang!" Aku mengikuti ke mana pun Delima melangkah dari depan. Sebenarnya jika tak kuikuti, Delima tak akan berlarian seperti ini, hanya saja kegiatan ini lah yang dapat kulakukan agar terlihat seolah aku biasa saja.Dengan tidak begitu khusu' menghadirkan hati pada prosesi sakral ini, aku menenangkan diriku sendiri."Sah."Koor suara sedikit menggema, lalu memantul ke dinding hati, membuatnya semakin hancur berantakan. Kupejamkan mata dan menelan saliva kuat berulang-ulang. Tenang Arumi, rasa ini akan segera hilang," bisik hati menguatkan.Adam, seseorang yang telah menemani sejak aku bayi, menjaga setulus hati hingga aku benar-benar tak menyadari jika rasanya bukan lagi sebatas kakak-adik. Aku yang bodoh, dan ini adalah yang terbaik, Adam berhak bahagia setelah semua yang te
Hangatnya pelukan Mak Jannah yang kurindukan sangat kembali terasa, nyata menentramkan kembali hati yang sungguh tak baik-baik saja.Tujuanku pulang bukan hanya mengurus kafe yang baru saja rampung, tetapi lebih dari itu. Hampir dua tahun aku mengeja kata memiliki terhadap Adam, yang pada akhirnya setelah semua luka masa laluku sembuh baru kusadari ada cinta di sana.Jarak mampu menguak benih-benih rasa itu menemukan definisinya. Rasa yang mungkin saja telah bersarang lama namun tertutupi tirai semu bernama 'kebiasaan'. Ya, aku terlalu terbiasa dengan seluruh perhatian dan pengertiannya hingga tak menyadari jika itu semua adalah cinta.Sayangnya, saat tabir itu tersingkap, aku kembali harus sadar dalam sebuah kenyataan yang tak pernah kuduga sebelumnya."Dia teman sekantornya Adam, Rum. Baru setahunan ini menjadi pegawai di sana." Mak Jannah bercerita tentang calon istri Adam yang akan dinikahinya besok, dan sekarang di rumah Mak Jannah sedang melakukan beberapa persiapan.Bak bunga y
Sejak kejadian itu, ayah membelikan sebuah apartemen untukku yang kami tinggali berempat bersama Delima, aku, seorang Asisten Rumah Tangga dan seorang Pengasuh.Baru saja aku merasakan punya keluarga lengkap yang tinggal bersama dalam sebuah rumah, kini harus 'terpisah' lagi. Namun, inilah yang terbaik. Ayah kerap datang hampir setiap sore untuk bermain dengan Delima dan juga mengobrol serta mengajariku banyak hal terkait pengelolaan hotel dan minimarket.Hari ini tepat setahun aku berkecimpung di dunia bisnis yang sama sekali tak pernah terbayangkan sebelumnya. Jangan membayangkan, memimpikan sekadar halu saja aku tak berani. Qadarullah, kini hal tersebut terwujud nyata di hadapan.Arumi, kamu berubah banyak, bisik hatiku sendiri. Netraku menangkap bayangan sesosok perempuan dalam balutan rok kulot lebar hitam dengan blouse berwarna teh susu serta dilengkapi blazer senada rok. Aku yakin, jika pulang ke Aceh mungkin mereka tidak akan percaya jika ini adalah Arumi.ddrrt ... ddrrt ...
"Berhenti!"Aku berpaling dengan kembali menurunkan tangan yang hendak kudaratkan sekali lagi di pipi mulus Karina."Kamu apa-apaan Arumi?" Mas Rendra menatapku tajam seperti ingin membalas tamparanku terhadap Karina melalui tatapan matanya.Tanpa menghiraukan mereka berdua --Karina yang menatapku nyalang dengan sebelah telapak tangan memegang pipi dan Mas Rendra dengan tatapan membunuhnya-- aku kembali duduk ke tempat semula.Berulangkali aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Mencoba meredakan degupan jantung yang berdetak di luar kelaziman.Seorang Arumi Keumala menampar orang, dan seingatku, selama aku hidup, ini pertama kali. Bayangan Kakek terlintas, cepat-cepat kugelengkan kepala, menghalau sendu wajahnya yang mungkin kecewa atas sikapku.Seharusnya kau harus lebih mampu mengontrol emosi, Arumi! Hardik hati menggantikan bayangan Kakek.Kembali kubuka mata yang sesaat terpejam. Karina dan Mas Rendra masih ada di hadapan. Saling diam, entah apa yang sekarang mereka pikir