Dua hari sudah aku mencari cara untuk mengetahui kebenaran kabar burung yang kudengar dari mulut ibu-ibu tetangga itu. Namun, aku tak menemukan solusi lain selain harus berkunjung ke rumah mantan mertuaku itu.
Mau bertanya ke tetangga-tetangganya yang kukenal, sepertinya juga bukan cara tepat. Aku harus memastikannya sendiri. Benarkah Bang Agam meninggalkanku karena permintaan Ibu mertua bersebab hanya karena aku ibu rumah tangga biasa tanpa penghasilan?Selama lima tahun, ibu tak pernah mempermasalahkan itu. Sikapnya sangat lembut dan terlihat sangat penyayang. Bahkan aku sudah menganggapnya seperti ibuku sendiri karena memang aku tidak punya Ibu sejak lahir.Masalah keuangan juga tidak menjadi kendala keluarga Bang Agam selama ini. Ibu dan Bang Agam mengurus beberapa toko pakaian yang ditinggalkan almarhum Bapak mertua. Sedangkan kedua adik perempuan Bang Agam telah menikah dan tinggal terpisah. Ibu hanya tinggal berdua saja dengan si bungsu Ria yang masih kuliah serta seorang asisten rumah tangga yang membantu mengurus rumah.Jadi, rasanya tidak mungkin jika Ibu meminta Bang Agam menceraikanku dan menikahi perempuan kaya. Ada apa sebenarnya ini?Awalnya aku sudah belajar mengikhlaskan Bang Agam meski sakit. Aku pikir untuk apa mempertahankan orang yang memang tidak mencintai kita untuk tetap bersama. Karenanya aku mengangguk setuju dengan mudah untuk perceraian ini dan tidak menuntut harta gono gini. Apalagi, Bang Agam juga tidak mempermasalahkan hak asuh Delima. Itu sudah lebih dari cukup untukku.Aku tahu pasti, jika sampai Bang Agam menggugat hak asuh Delima maka pasti aku akan kalah karena aku tidak punya penghasilan tetap untuk membiayai Delima.Bang Agam juga masih mengirimkan biaya untuk Delima ke rekeningku setiap bulan setelah putusan pengadilan itu. Jadi, aku pikir semuanya baik-baik saja. Namun, gosip Ibu-ibu itu mengusik ketenangan yang coba kubangun selama tiga bulan ini.Kupacu motor matic yang dibelikan Bang Agam saat Delima berumur dua tahun dulu menuju rumah Ibu. Motor ini juga ditinggalkan untukku oleh Bang Agam.Jarak ke rumah Ibu hanya sekitar dua puluh menit saja, namun sejak bercerai dengan Bang Agam aku belum pernah datang satu kali pun lagi ke rumah Ibu.Memasuki halaman rumah yang luas, suasana tampak lenggang. Muungkin Ibu masih di toko? pikirku.Setelah memarkirkan motor, aku mengetuk pintu rumah perlahan sembari mengucapkan salam.Kulirik arloji di pergelangan tangan. Lima menit telah berlalu, namun tak ada sahutan dari dalam."Assalamualaikum." kembali kuperkeras suara."Eh, Kak Rumi." Aku berbalik. Tampak Laila -art Ibu- sedikit berlari dari arah gerbang menuju ke teras tempatku berada. Kemudian dengan gerak cepat ia merogoh saku dasternya, mengeluarkan kunci dan membukakan pintu."Maaf, Kak Rumi sudah lama ya?" tanyanya setelah mempersilakan aku masuk."Laila nongkrong sambil ngerujak di tetangga sebelah," ucapnya melanjutkan."Kok sepi La, Ibu dan Ria ke mana?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Laila sebelumnya."Ria belum pulang kuliah sepertinya Kak, sedangkan Ibu ..."Laila terdiam, tidak melanjutkan kalimatnya. Tetapi dari raut wajahnya tampak ia seperti sedang menimbang untuk mengatakan atau tidak. Terlihat ragu-ragu pada matanya."Ibu kenapa La?" tanyaku menuntut."Ibu ..."Kembali ia menjeda."Laila, Ibu kenapa?" aku sudah tidak sabar."Ibu ke rumah Bang Agam, Kak." jawabnya seperti takut-takut."Ke rumah Bang Agam?" aku mengulang tanya."Jadi Bang Agam tidak tinggal di sini setelah perceraian kami?" lirih suara bertanya seperti berbicara pada diriku sendiri."Maaf Kak, mau dibuatkan minum apa?" Laila bertanya.Aku tahu, sepertinya Laila sengaja ingin secepatnya menghindar dariku. Mungkin dia takut aku akan menginterogasi dirinya."Bang Agam tinggal di mana?" tanyaku lagi tanpa menggubris gelagat Laila yang sudah tidak nyaman."Kenapa harus takut menyampaikan padaku Laila?" suaraku mulai kesal karena sedari tadi Laila seperti terus ingin menyembunyikan sesuatu."Maaf Kak.""Tenang saja La, aku dan Bang Agam sudah bercerai. Jadi, jika pun Bang Agam menikah lagi, itu bukanlah sebuah kesalahan." ucapku dengan intonasi datar. Ingin menunjukkan seolah aku biasa saja jika harus mendengar kabar itu.Tampak Laila menarik napas dan gerak tubuhnya mulai rileks setelah mendengar ucapanku barusan."Jadi, benar ya La, Bang Agam sudah menikah lagi?" tanyaku memastikan berita yang kudengar dua hari lalu itu.Laila mengangguk pelan seakan sungkan dengan kejujurannya atau mungkin ia tak tega padaku. Entah lah ..."Kapan, La?""Seminggu lalu." kali ini suaranya sudah sedikit lebih santai."Sama siapa?"Kembali Laila berubah ke mode salah tingkah. Ada apa dengan dia? Kenapa tidak bersikap biasa saja menjawab pertanyaanku. Laila memang sudah seperti keluarga sendiri di keluarga Bang Agam karena ia telah tinggal di sini bahkan sebelum aku menikah dengan Bang Agam, namun rasanya tak perlu ia menunjukkan sikap seperti merasa bersalah dengan perceraian aku dan Bang Agam. Oh, mungkin Laila hanya kasihan padaku."Sama siapa, La?" kuulangi lagi tanyaku."Mona, Kak." Pelan sekali suara Laila, namun aku masih bisa menangkal dengan jelas."Hah? Siapa La?" meski jelas namun tetap aku ingin Laila mengulangnya sekali lagi."Mo-na?" aku mengeja.Satu wajah terlintas daalm memori. Namun, segera kucegah dengan cepat. Tidak mungkin."Mona anaknya Wak Djalil?" aku bertanya dengan gumaman lirih, berharap menemukan jawaban gelengan kepala dari Laila.Sayangnya, harapanku tidak menjadi kenyataan. Laila justru mengangguk meski dengan gerakan yang sangat pelan.Mona, sepupuku sendiri. Wak Djalil adalah kakak kandung Ibuku satu-satunya. Ibu dan Wak Djalil hanya dua bersaudara, dan Mona adalah anak pertama Wak Djalil. Umurnya setahun di bawahku.Aku ingat, sejak kecil Mona memang selalu menunjukkan sikap permusuhannya padaku. Apalagi jika tahu, Wak Djalil -ayahnya- memberikanku uang jajan. Bukan hanya Mona, Wak Leni -Ibunya- juga selalu memberikan tatapan sinis dan ucapan ketusnya tiap kali bertemu aku.Dulu, jika Wak Djalil ingin memberikanku sesuatu maka harus dilakukan sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan istrinya itu."Arumi itu bukan anak yatim, jadi tidak perlu diberi sedekah." suara nyaringnya pernah kudeng
[siapa itu, Ma?] balasku.[Selebgram say. Kamu sih nggak gaul, nggak kenal sama orang-orang terkenal.] tulis Rahma yang diakhiri dengan emotikon tertawa lebar.[Oh. Keren juga ya, aku bisa mirip selebgram.] aku pun mulai membalas candaan Rahma.[Namanya Karina. Aku pernah lihat salah satu postingan Instagramnya yang menuliskan jika Ayahnya orang Aceh, hanya saja dia belum pernah ke Aceh.] balas Rahma panjang.[Maksud kamu?] tanyaku. Aku seperti sudah paham maksud Rahma mengirimkan foto itu ke aku.[Iya Rumi, kamu ngerti 'kan, siapa tahu dia adikmu seayah.] tutup Rahma.[Tidak mungkin. Kata orang-orang wajahku mirip Ibu.] aku membantah.[Lagi pula di dunia ini memang ada 'kan orang mirip bahkan hampir identik namun tak punya hubungan kekerabatan sama sekali.] aku melanjutkan.[Terserah kamu lah, tetapi sesekali cobalah buka dan lihat-lihat instagramnya dia ya?!] [oke.] kubalas cepat chat terakhirnya Rahma dan aku mulai berselancar lagi mencari lowongan kerja yang mungkin diposting di
Tok ...Tok ...Bergegas aku menuju ruang tamu hendak membukakan pintu yang diketuk berulang kali dengan begitu kasar. Sepertinya yang sedang mengetuk pintu itu sedang dalam kondisi marah. Aku jadi takut sendiri."Mona." aku terpana melihat siapa yang berdiri di depan pintu.Dengan gerakan kasar ia mendorong bahuku dan melenggang masuk ke dalam tanpa kupersilakan."Ada apa?" tanyaku ikut duduk di hadapannya."Kembalikan uang yang dikirimkan Bang Agam." ucapnya datar tanpa basa basi.Aku diam dan menaikkan sebelah alis serta memberikan tatapan merendahkan untuknya. Jangan mentang-mentang ia istri Bang Agam sekarang bisa seenaknya padaku."Kenapa kamu diam? sini, kembalikan uang yang dua hari lalu ditransfer Bang Agam." suaranya meninggi."Itu jatah Delima." jawabku santai."Itu uang suamiku, seharusnya kamu jangan jadi benalu." Mona semakin ngegas."hahaha ..." aku justru memperkeraskan tawa menangkapi kemarahan Mona."Dasar perempuan gila." desisnya masih bisa tertangkap telinga."Leb
Tok ...Tok ...Suara ketukan pintu terdengar saat aku sedang menyiapkan sarapan. Siapa yang datang pagi-pagi sekali? Sejak kedatangan Mona bulan lalu, setiap kali terdengar suara ketukan di pintu aku menjadi sedikit was-was.Namun, karena ketukan ini terdengar lembut tidak gerudak geruduk seperti kedatangan Mona, maka perasaan was-was itu sedikit meluntur."Biar Ima saja, Mak." ujar Delima sembari berlari ke arah pintu depan saat aku baru saja mencuci tangan hendak membukakan pintu."Ayah ...!" teriakan Ima membuat aku harus mengurut dada. Antara kaget dan juga sedikit syok, ada apa Bang Agam datang kemari?Cepat-cepat kuangkat telur dadar sayur kesukaan Delima dari penggorengan, mematikan kompor dan bergegas ke ruang tamu."Bang.""Eh, Dek, lagi apa?" Bang Agam bertanya sedang Delima sudah berada dalam gendongannya."Lagi siapin sarapan. Delima minta nasi goreng kampung seperti biasanya." jawabku memberitahu.Setelah mendengar jawabanku, aku melihat sepertinya Bang Agam menelan luda
"Arumi!"Aku mengangkat kepala yang sedari tadi menunduk menghadapi pandangan orang-orang."Rahma! kamu di sini juga?" tanyaku sembari menyeka buliran bening yang kucoba tahan namun menetes juga.Rahma duduk setelah celingukan melihat orang-orang di kiri dan kanan. Mendelikkan matanya pada mereka mengkode agar menjauh.Sebelumnya banyak yang telah pergi memang sesudah kepergian Mona dan Bang Agam. Namun, masih ada juga yang tetap di tempatnya, masih mencuri-curi pandang ke tempatku duduk."Ada apa, Rumi? tadi aku mendengar ocehan orang-orang jika ada pelakor yang dilabrak." ujar Rahma pelan."Apa yang terjadi?" Rahma kembali bertanya karena aku hanya diam.Mendengar pertanyaannya aku semakin terisak. Sudah kuduga, pasti orang yang menonton pertunjukan yang dibuat Mona tadi akan men-cap aku sebagai pelakor."Kamu yang sabar ya?!"Kemudian Rahma menarik kepalaku ke pelukannya. Tangisku semakin menderas di bahunya. Aku seperti mendapat tempat menumpahkan segalanya. Selama ini aku tak pun
Bang Agam benar-benar datang tidak sampai setengah jam setelah obrolan telepon tadi. Aku menyuruh Delima yang keluar mengambil makanan pada ayahnya. Sebelumnya, Delima sudah kuwanti-wanti agar tidak mengajak ayahnya untuk masuk ke dalam rumah.Ia mengangguk, namun anak berumur empat tahun mana bisa diharapkan sesuai harapan."Mamak mana?"Terdengar suara Bang Agam bertanya pada Delima. Aku sudah berniat tidak akan keluar menemuinya. Jangan sampai jadi omongan tetangga. Lebih parah lagi jika sampai ada yang melaporkan dan didatangi Tetua kampung. Belum lagi jika sampai ke polisi wilayatul hisbah, wah semakin parah.Untuk menghindari hal memalukan itu memang sebaiknya seperti ini. Biarkan Delima saja yang menjumpai Ayahnya. Sudah cukup kejadian memalukan siang tadi."Mamak ada di dalam." jawab Delima.Aku mengintip dengan sedikit menyibak tirai jendela. Tampak, Delima sudah duduk di bangku teras dengan ayahnya."Panggil Mamak, ini makanan Mamak." pinta Bang Agam pada Delima dengan menun
Karena suara di luar semakin berisik, aku keluar juga meski hati sebenarnya gentar. Sepertinya itu bukan Mona seperti sangkaan awal. Ketakutan menjadi kenyataan."Maaf, ada apa ya?" tanyaku menyapa pada tiga orang perangkat kampung yang sudah duduk bersama Bang Agam di ruang tamu. Sementara beberapa orang lainnya duduk di kursi teras."Arumi, ini tidak benar Nak, kalian tidak boleh lagi seperti ini." Pak Imam berkata lembut. Beliau dulu adalah temannya Kakek.Aku memandang ke arah Bang Agam dengan tatapan bertanya apakah ia tidak menjelaskan kenapa ia tidur di sini dan dengan siapa ia tidur?"Saya tidur bersama anak Pak di kamar satunya bukan bersama Arumi." Bang Agam berkomentar seperti mengerti tatapanku."Iya, kamu sudah dua kali bicara itu. Tetapi tetap saja ini tidak boleh." kali ini Bapak kepala lorong yang bicara. Nadanya ketus dan lumayan kasar."Jadi bagaimana Bapak-bapak? bukankah Anda semua sudah lihat sendiri? kami tidak melakukan apa-apa?" aku bersuara juga. Apa mereka ng
"Bukan rujuk Bang. Karena kita sudah bercerai lebih dari setengah tahun, maka jika ingin kembali, ya, harus menikah ulang." jawabku memperbaiki kalimat Bang Agam."Iya, itu lah Dek maksudnya." balas Bang Agam tersenyum.Cih, pede sekali dia ngajak balikan seenak udelnya, dipikirnya hatiku barang mainan apa. Aku ngedumel dalam hati dan mengarahkan pandangan ke ombak yang saling berkejaran."Pernikahan itu bukan perkara main-main." ucapku setelah menghembuskan napas meredakan emosi yang sebenarnya mulai akan naik karena sikap Bang Agam ini."Apa dengan mengajakku balik begini, itu artinya Abang akan menceraikan Mona?" tanyaku melanjutkan.Aku menunggu, Bang Agam bukan menjawab malah terdengar menghembuskan napas berat. Kenapa dia? Sebegitu cintanya kah ia pada Mona sehingga berat sekali menjawab iya atau tidak pada pertanyaanku barusan."Abang belum bisa meninggalkan Mona sekarang, Dek." Seiring kalimat itu terdengar helaan napas masygul dari Bang Agam."Kenapa? Abang cinta sangat ya sa