Share

Bab 3

last update Last Updated: 2021-08-07 11:30:56

Bab 3

 

 

     "Ami, kenapa menangis? Apa yang sedang Ami pikirkan? Ayo ceritakan sama Abi."

 

     Sentuhan tangan Arsyad di pundaknya dari belakang, sontak membuat Ika terkejut. Dia merasa lalai, mengapa tangisannya sampai bisa menarik perhatian sang suami.

 

     Apa yang harus ia katakan? Ika bingung, haruskah ia menyampaikan keluh kesahnya? Tapi tidak, wanita itu masih bisa mengontrol hatinya. Walaupun beban batin yang ia pikul begitu berat, tapi setidaknya sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan itu.

 

     "Tidak, Bi. Ami tidak apa-apa?"

 

      "Tapi Ami menangis? Jangan bohong, Mi."

 

     "Tidak, Ami baik-baik saja. Ini tadi mata Ami kelilipan. Makanya terasa sedikit perih." 

 

     "Kelilipan dimana?"

 

     "Tadi tiba-tiba saja ada serangga yang terbang, eh tiba-tiba masuk ke mata Ami. Sudah, Bi. Tidak apa-apa." 

 

     "Sini, coba Abi lihat, siapa tahu serangga ya masih ada di dalam." 

 

     Ika bingung. Ia takut apabila Arsyad tidak menemukan tanda-tanda adanya bekas gigitan serangga atau semacamnya, karena memang matanya merah bukan karena hal itu.

 

     "Sudah tidak ada lagi, Bi. Tadi sudah Ika keluarin serangganya."

 

     "Beneran?"

 

     "Iya, masa Ami bohong." Ika memaksa untuk tersenyum.

 

     "Abi heran sama Ami pagi ini, kok kelihatan agak sungkan sama Abi," lanjut Arsyad.

 

     Semula Ika mengira pertanyaan Arsyad akan berakhir, tapi nyatanya lelaki itu masih saja melontarkan pertanyaan yang lain. Membuat suasana hati Ika semakin tidak menentu.

 

     "Arsyad, Apa yang kau lakukan di sana? Ika bisa menyusun sayuran-sayuran itu sendiri di kulkas. Ia tidak perlu bantuanmu. Untuk apa kamu menunggunya di sana?"

 

     Suara ibu mertua dari ambang pintu dapur. Sontak membuat pasangan suami istri itu terkejut.

 

     "Ibu? Arsyad cuma duduk, tidak membantu apa-apa. Iya kan, sayang?" Arsyad menoleh ke istrinya sebagai syarat minta pendapat.

 

     "Iya Bu, Arsyad benar." Ika mengiyakan.

 

     "Baiklah kalau begitu. Arsyad, tolong kamu menemani ibu mengambilkan pesanan, dan mengantarnya ke rumah Naura."

 

    Arsyad terkejut.

 

    Sedangkan Ika, setelah mendengar mertuanya menyebut nama Naura, ada rasa perih yang menusuk hati Ika. Ada rasa yang sulit diungkapkan mendengar nama perempuan yang mertuanya sebut "Naura".

 

     "Pesanan apa, Bu? Kenapa harus mengantarnya ke rumah Naura?" 

 

     Arsyad sesekali melirik kearah Ika. Melihat reaksi istrinya. Namun saat sang istri tetap diam saja. Meski Ika terlihat tidak menanggapi ucapan Bu Melia, namun Arsyad bisa melihat wajah itu menunduk lesu. Ada gelagat yang tidak baik pada wajah sang istri.

 

     "Arsyad, tidak usah terlalu banyak tanya. Ibu cuma minta tolong menemani Ibu mengambilkan pesanan dan mengantarnya ke rumah Naura. Itu saja."

 

    Sesaat Arsyad diam, kembali ia menoleh pada Ika,

 

     "Mi, boleh Abi pergi menemani Ibu sebentar?"

 

     "Bagaimana kalau Ika ikut?" Usul Ika.

 

     "Apa? Ikut? Pekerjaanmu di rumah masih belum selesai. Maaf Ika, lebih baik kau selesaikan dulu pekerjaanmu." Timpal Ibu Mertua.

 

     "Ya sayang, lagian Abi cuma sebentar. Boleh ya?"

 

     "Ya silakan, Bi." Ika menjawab pendek.

 

     "Halah, Arsyad. Mau ambil pesanan saja pake pamit ke Ika. Sering Ibu bilang sama istri tidak perlu berlebihan. Biasa-biasa saja." Sela Bu Melia.

 

     "Ya, Ibu benar. Abi seharusnya mendengar apa kata ibu." 

 

     Arsyad menghirup nafas panjang, lalu mengelahnya perlahan.

 

     "Kalau begitu, Abi pergi ya, Sayang. Sebentar saja habis ngambil pesanan dan mengantarkannya, Abi akan segera pulang."

 

     "Ya, Bi pergilah."

 

 

***

 

     

     Dalam perjalanan,  Arsyad terus kepikiran pada istrinya. Membayangkan bagaimana apabila Ika mengetahui rencana sang ibu. Sikap Arsyad yang lebih banyak diam. Membuat Bu Melia dongkol. 

 

     "Arsyad? Apa Ika benar-benar telah menguasai hatimu? Sehingga membuatmu jarang bicara seperti ini. Kamu cuma diam saja, mengabaikan Ibu kandungmu sendiri."

 

     Arsyad tertegun. Dia tidak menyadari kalau dari tadi Bu Melia mengamati gerak geriknya.

 

     "Ah tidak Bu. Arsyad cuma merasa tidak enak saja sama dia."

 

     Mendengar jawaban itu, Bu Melia semakin kesal.

 

     "Tidak enak kenapa? Apa yang membuat perasaanmu terlalu condong sama Ika, dibanding sama Naura? Tidakkah kalian perbedaannya begitu besar di antara mereka?

 

     "Tentu saja karena dia istriku, Bu." Jawab Arsyad cepat.

 

     "Oh jadi karena dia istrimu, kamu lalu mengabaikan aku yang merupakan ibu kandungmu? Sekarang ibu tanya sama kamu, kamu lebih menyayangi Ika atau Ibu?"

 

     pertanyaan Bu Melia membuat Arsyad berada dalam dua pilihan yang berat. Karena memang kedua-duanya merupakan wanita yang ia sayang.

 

     "Tidak usah membuatkan aku pilihan seperti itu. Ibu maupun Ika sama-sama aku sayangi. Sama-sama aku cintai." 

 

     "Sepertinya kamu menyejajarkan posisi ibu dan Ika. Tidak bisa, Arsyad. Aku adalah ibumu, yang harus kau hormati. Kau tentu sudah tahu dengan pepatah yang mengatakan "Jasa Ibu tidak akan terbalaskan". Kau dan ibu terikat dengan ikatan darah yang kuat. Sedangkan kau Dan Ika hanya terikat dengan satu akad pernikahan. Dan bisa terpisahkan kapan saja. Apakah kamu masih menyejajarkan posisi ibu dan Ika di hatimu?"

 

     Arsyad bukannya tidak tahu dengan pepatah yang disebutkan oleh ibunya. Memang Arsya tidak menyalahkan pepatah itu. Memang jasa Ibu tidak akan pernah terbalaskan. Tapi tidak berarti semua perintah seseorang ibu harus dituruti. Karena ia sadar seorang ibu juga adalah manusia biasa. Tidak semua kemauan seorang ibu bisa dibenarkan.Termasuk perintah ibunya saat ini. Sungguh menikahi Naura adalah sebuah keputusan yang berat. 

 

     "Kemana kita harus mengambil pesanannya?"

 

     "Kita tidak langsung mengambil pesanannya, tapi terlebih dahulu kita ke rumah Naura."

 

     "Lha, tadi kata ibu mau ambil pesanan dulu?"

 

     "Tidak usah nanti kalian saja yang ambil."

 

     "Kalian siapa yang Ibu maksud?"

 

     "Kau dan Naura."

 

     "Apa? aku dan Naura? Kenapa harus kami berdua?" Arsyad melotot keheranan. Hatinya bertanya-tanya ada apa lagi kah ini?"

 

 

     Arsyad menerka-nerka bahwa sang Ibu  mengajaknya ke rumah Naura, pastilah ada niat tertentu menyangkut perjodohan yang ingin beliau lakukan. Dalam hati Arsyad memohon pada yang kuasa semoga saja Bu Melia terbuka hatinya dan menarik keinginan untuk menyuruh anak lelakinya menikahi Naura.

     

 

Bersambung...

 

     

     

    

 

     

     

     

     

 

 

 

 

 

 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Emi Susanti
sebenarnya malas baca novel dgn tokoh wanita SPT ini, wanitangak berdaya padahal punya penghasilan,sok bakti akhirnya cerai juga,..
goodnovel comment avatar
Anitha Yunitha
,semoga mertuanya suatu saat menyesal krna melukai perasaan hati seorang istri ......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 4

    Bab 4 "Apa? aku dan Naura? Kenapaharuskami berdua?" Arsyad melotot keheranan. Hatinya bertanya-tanya ada apa lagi kah ini? Arsyad menerka-nerka bahwa sang Ibu mengajaknya ke rumah Naura, pastilah ada niat tertentu menyangkut perjodohan yang ingin beliau lakukan. Dalam hati Arsyad memohon pada yang kuasa semoga saja Bu Melia terbuka hatinya dan menarik keinginan untuk menyuruh anak lelakinya menikahi Naura. "Kenapa harus aku sama Naura, Bu?" Ulang Arsyad. "Tidak usah banyak tanya. Cukup kamu ikuti saja. Kau tahu? ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk kamu. Jadi tidak usah khawatir dan berpikir yang tidak-tidak." Arsyad sadar betul, setiap Ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Termasuk ibunya. Dia tidak meragukan itu. Demi men

    Last Updated : 2021-08-07
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 5

    Bab 5 Menjelang sore barulahBu Melia mengajak Arsyad pulang. sebenarnya dari tadi Arsyad mengisyaratkan kepada ibunya agar segera pulang tapi perempuan itu itu tidak menggubris. "Bagaimana sosok Naura menurutmu? Apa dia cukup cantik untukmu?" "Entahlah, Bu. Iya, aku akui dia cantik." "Lalu apakah kamu masih ragu untuk menikahinya?" "Sekarang belum saatnya berbicara begitu. Bahkan aku belum bicarakan ini sama Ika. Oh iya Ika, dia pasti sudah lama menunggu." Arsyad melirik jam tangannya menjelang pukul 16.00. hatinya mulai gelisah. "Tadi pagi kita bilang sama Ika pergi tidak akan lama. Tapi tahu-tahu pulangnya sudah sore begini. Pasti ia merasa dibohongi."

    Last Updated : 2021-08-07
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 6

    Bab 6 Jantung Arsyad berdegup. Apakah mungkin sang istri sudah menebak maksud kali ini? Entah mengapa lidah itu terasa kelu. Ada rasa gugup dan ragu untuk menyampaikan maksud yang sebenarnya. "Apakah Ami sudah tahu semuanya?" Arsyad ingin memastikan. "Bicaralah dulu. Jangan ragu dan jangan kaku. Insya Allah Ami akan menerima dengan lapang dada apapun yang akan Abi bicarakan." Mendengarnya Arsyad merunduk. Sebenarnya matanya mulai merah. Ada bulir-bulir yang tertahan di sana. saat ini adalah perjuangan bagaimana ia akan menyampaikan sebuah berita yang tentu saja akan menghujam hati Ika. Namun Arsyad menahan diri. Seperti kata ibunya, dia adalah laki-laki. Tidak boleh menangis di depan perempuan. Begitupun Ika, ia su

    Last Updated : 2021-08-07
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 7

    Bab 7 Menjelang malam, Ika selonjoran di sofa kamar sembari menonton sinetron favoritnya. Meskipun kedua mata itu tertuju ke monitor televisi, namun sesungguhnya pikiran Ika tidaklah fokus ke sana. Malam ini Arsyad dan Naura kembali tidur bersama di kamar yang telah disulap sedemikian rupa. Dan itu satu atap dengan Ika. Apakah itu pilihan mudah baginya untuk menerima? Sakit, namun cukup rasa sakit itu ia pendam dihati. Tidak bisa ia uraikan. Krieet... Pintu kamarnya terbuka. Ika menoleh. Arsyad memandangnya tersenyum, lalu pria itu melangkah masuk menghampiri. "Mii, kenapa kok kelihatannya lesu sekali?" Arsyad mere

    Last Updated : 2021-08-07
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 8

    Bab 8 Belang wanita kedua "Pa, Mbak Ika telah selesai memasakkan masakan yang istimewa untuk sarapan kita. Kelihatannya sedap sekali, Pa." Naura menghampiri suami barunya. "Ya memang setiap masakan Ika pasti menggugah selera." "Kalau begitu Bagus lah, Pa. Artinya kita tidak perlu mencari asisten sebagai tukang masak." Lanjut Naura. "Maksudmu?" "Maksudku, kita bisa bekerja sama. Aku dan kamu mencari uang. Sedangkan Mbak Ika bertugas di rumah. beres-beres memasak mencuci mengepel dan sebagainya. Adil kan?" Arsyad memandang bibir sensual Naura yang menggoda. "Mmm, sayang. Pendapatmu tidak salah sih. Tapi... Bagaimana kalau

    Last Updated : 2021-08-07
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 9

    Bab 9 "Mbak, tolong ambilkan aku minum? Aku haus nih baru pulang kerja." Terdengar suara permintaan dari Naura. Ika yang sedang membalas pesan-pesan pelanggan yang masuk di ponselnya, merasa risih dengan permintaan Naura. "Apa kau tidak bisa mengambilnya sendiri ke dapur Naura?" Sahut Ika. Naura tidak suka mendengar jawaban kakak madunya. "Masa cuma ambilkan aku minum saja susah? Apa gunanya Mbak di rumah kalau cuma diam nongkrong. Padahal aku baru pulang dari banting tulang cari uang untuk makan kita. Supaya mulut mbak bisa makan. Ini aku cuma minta ambilkan minum saja mbak keberatan." Suara Naura kian keras. Ika bangkit dari duduknya, terus terang Ika tak suka dibilang demikian oleh Naura.

    Last Updated : 2021-08-07
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 10

    Bab 10 Arsyad memandang wajah Naura wajah itu masih tersedu dengan buliran air jatuh dari sudut matanya. Arsyad yang mulai merasa jatuh cinta pada istri keduanya itu, merasa iba. "Mi mengambil air itu bukan pekerjaan susah, apa salahnya Ami mengambilkannya. tidak perlu juga menjadi masalah besar apalagi sampai bertengkar. Lihat Naura menangis. Bersikaplah lebih dewasa, Mi. Kelakuanmu tidak seperti yang Abi lihat selama ini." Istri mana yang tidak sakit apabila suaminya membela sang istri kedua secara blak-blakan di depan mata. Tanpa mau menelisik duduk permasalahan yang sebenarnya. "Bi, kalau sekiranya Naura sakit atau tidak bisa berjalan, tentu saja aku ingin memenuhi permintaannya apalagi cuma sekedar mengambilkannya air minum. Tapi kalau kakinya masih kuat untuk berjalan. Tangannya juga masih kuat untuk menuangkan air putih ke gelas, maaf bi aku bukan orang suruhan. S

    Last Updated : 2021-08-16
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 11

    Bab 11 "Segitukah teganya Ami mengusirku? Apakah Ami ingin Abi tidur menemani Ami malam ini?" Cih, Ika berdecih halus. "Aku ingin istirahat. Keluarlah." Dengan terpaksa, Arsyad melangkahkan kaki keluar dari ruangan yang telah banyak menyimpan kisah tersebut. Namun sekarang terasa kamar itu tidak sehangat dahulu. Yang ada hanya sikap dingin dari sang istri tuanya. *** Pagi hari telah tiba, pagi ini sengaja Ika tidak keluar kamar seperti biasanya. Ika hanya menghabiskan waktu di kamarnya, dengan menelisik pesan-pesan dari para pelanggan usaha online nya. Ika tersenyum melihat perkembangan usaha online nya cukup maju dibanding dengan toko pakaian yang ia jual secara offline. "Alhamdulillah, Tuhan memang mengerti akan perasaan hamba-hambanya. Dia pa

    Last Updated : 2021-08-16

Latest chapter

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 54 Extra Part

    Bab 54 "Ma, sini Papa yang jemur pakaiannya ya," ujar Erland sembari menarik keranjang yang berisi pakaian-pakaian yang baru saja dikeringkan dari dalam mesin cuci. "Aduh, Pa. Ntar nggak enak kalo di liat orang. Kok Papa yang jemur pakaian?" "Ah nggak apa-apa. Namanya rumah tangga itu harus sama-sama. Apalagi Bik Inah dan Bik Inun sedang tidak ada. Bisa-bisa Mama sakit bila harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, udah deh, Mama istirahat saja dulu sana. Ntar sakit kalo kecapean. Papa lihat saudari bangun pagi tadi Mama beristirahat. Sambil liat-liat si kembar" ujar Erland dengan senyuman. Erland keluar menuju ke jemuran disamping rumah. Ika mengucap syukur kehadirat Tuhan yang telah menganugerahinya sesosok lelaki yang sudah dianggapnya seperti malaikat Sedangkan Erland mulai sibuk dengan pak

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 53 ENDING

    Bab 53 Beberapa tahun kemudian, Arsyad membanting begitu saja sebuah tas hitam yang berisi segenap berkas di tangannya. "Ada apa, Arsyad?" Bu Melia mendelik heran. "Tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerima aku lagi, Bu. Terpaksa Arsyad tetap bekerja di pencucian mobil yang menyebalkan itu. Dengan hasil yang jauh dari standar hidup. Selamanya kita akan terus terpuruk dalam kehidupan yang tidak menyenangkan ini," ucap Arsyad. "Sabar dulu, nanti pasti ada-ada saja perusahaan yang mau menerima kamu. Kerja di perkantoran lebih baik daripada bekerja di tempat cucian mobil." Bu Melia menenangkan. "Perusahaan mana lagi Bu, yang mau menerima seorang pria yang baru keluar dari penjara seperti aku? Bahkan perusahaan kecil pun menolak dengan kasar. Masih untung aku dapat pekerjaan di steam pencucian mobil. Kalau ti

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 52

    Bab 52 "Pak Erland, bisakah aku meminta izin untuk pulang lebih cepat?" Suara Ika terdengar serak. Erlan melihat ada yang mengkhawatirkan dari wajah perempuan itu. "Ika, kau terlihat begitu pucat. Apa kau sakit?" Tanya Erland. "Tidak, aku baik-baik saja hanya sedikit pusing, Pak." Jawab Ika. "Baik kalau begitu, biar aku antarkan kamu pulang," Erland bangkit dari duduknya. "Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pulang pekerjaan Bapak belum selesai," "Tidak! Pekerjaanku bisa diselesaikan nanti. Aku khawatir jika kau harus pulang sendiri," ujar Erland. "Terserah Bapak saja kalau begitu. Tapi aku tidak enak terlalu banyak merepotkan Anda, Pak Erland." Ujar Ika sambil terhuyung. Tangannya berpegangan pada dinding. "Ika, kau tidak apa-apa?"

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 51

    Bab 51 Hari demi hari, bulan demi bulan, tidak terasa usia Nada, Putri yang telah Naura lahirkan kian bertambah. Tentu saja kebutuhan yang harus dipenuhi juga bertambah banyak "Bu, Pampers Nada udah habis. Bagaimana ini? Pinjam duit Ibu dulu boleh ya?" Naura mendekati Bu Ema. "Kamu ini bagaimana, Naura? Kamu pikir ibu ini gudang duit apa? Darimana lagi ibu mendapatkan uang. Ibu sudah menghitung-hitung, setiap bulan kita harus mengeluarkan uang berapa, untuk jatah Nada juga berapa." Jawab Bu Ema. "Tapi uang yang ibu serahkan untuk Nada udah habis, Bu." Ujar Naura. "Naura, kondisi keuangan kita sedang sempit. Seharusnya kau tahu cara untuk berhemat, lihatlah rencana ibu untuk membuka usaha baru belum terwujud. Uang hasil gadai rumah kita pun hampir habis, nanti kalau kita tidak bisa menebus rumah ini, bahaimana? Mau kamu rumah in

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 50

    Bab 50"Haaaa ...?" Naura tersentak. "Mahendra menyebut anak kecil itu sebagai anaknya? Apakah selama ini Mahendra sudah menikah?" Naura melongo dengan kedua tangan menutup mulut. "Kurang aj*r...!" Seru Naura seraya berjalan dengan amarah yang naik ke ubun-ubun. Langkah kakinya menuju ke arah di mana Mahendra dan wanita itu berada. "Mahendra...!" Teriak Naura. "Lhoo? Naura...? Kok kamu ada di sini?" Mahendra amat kaget melihat Naura berdiri tepat di hadapannya. "Pa, siapa wanita ini?" Istri Mahendra tidak kalah kaget. "Mmm ... ia bukan siapa-siapa, Sayang." Jawab Mahendra. Mendengar jawaban lelaki yang sejak lama ia kenali tersebut, Naura naik pitam. Hatinya sakit dengan pengakuan palsu Mahendra. "Apa kau bilang? Kau tak katakan jika aku ini

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 49

    Bab 49 Karena tindakan yang mereka lakukan, Bu Melia dan Arsyad tidak mampu mengelak dari kenyataan bahwa mereka harus mendekam dalam jeruji besi. Bahkan jasa seorang pengacara yang mereka sewa pun tidak mampu untuk melepaskan mereka dari jeratan hukum. "Mengapa nasibku begini apes? Apa salahku? Huuuh...! Ika...semuanya gara-gara dia...!" Bu Melia terus sesenggukan meratapi nasib. "Bagaimana bisa dia menjadi marketing manager di perusahaan itu, jabatan yang bahkan melebihi jabatan anakku dulu. Apakah selama ini Ika membohongi kami?" dalam isak tangisnya Bu Melia masih sempat untuk mengumpat. Kembali ia teringat penampilan Ika yang ia lihat kemarin, "Sungguh sulit dipercaya, dari mana Ika mendapatkan uang banyak yang bisa merubah penampilannya hingga sedrastis itu? Hu

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 48

    Bab 48 Bu Melia tersenyum sumringah dengan mengibas-ngibaskan lembaran-lembaran uang di tangannya. "Tidak apalah aku kehilangan rumah, yang penting anakku bisa bebas. Toh aku masih punya usaha mebel yang bisa kukembangkan," "Cicilan Bank tidak akan mengurangi hasil yang akan kudapatkan," gumam Bu Melia. "Sebaiknya aku harus mengabari Arsyad dulu soal ini,"*** Setelah melewati beberapa prosedur, Bu Melia akhirnya bertatap muka dengan Arsyad. "Arsyad, ibu punya cerita bagus untukmu," "Berita soal apa, Bu?" "Ibu akan membebaskanmu dari sini,"ujar Bu Melia tersenyum senang. "Oh ya? Tapi tidak sedikit uangnya yang diperlukan untuk membebaskan aku dari sini Bu, dari mana ibu mendapatkan uang?" Tanya Arsyad.

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 47

    Bab 47 "Sekarang aku tanya Pak, apakah dia sering kemari hanya untuk melamar pekerjaan? saya hanya memberikan masukan jangan pernah menerima karyawan wanita janda seperti dia. Meskipun hanya untuk menjadi cleaning service sekali pun. Dia hanya akan mengusik para lelaki yang telah beristri. Karena apalah martabatnya sebagai janda mandul, seorang diri pula. Secara dari mana dia bisa hidup nyaman kalau tidak dari uang laki-laki hidung belang," ujar Bu Melia tanpa rasa bersalah. "Hentikan Bu Melia, aku tidak seperti yang ibu ucapkan," Ika menyela. Terlalu lama Ika membiarkan Bu Melia berkata sesuka hati. "Aku memang janda, tapi aku bukan janda gelenjotan. Aku bukan penikmat duit orang. Bahkan dengan tanganku ini, aku mampu mencari uang sendiri bahkan melebihi yang mampu Arsyad dapatkan," balas Ika. "Nah Pak Erland, Anda bisa lihat sendiri kesombongan wanita ini." Bu

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 46

    Bab 46 "Mmm,kalau aku masih mencintainya, aku tidak akan meminta cerai." Jawab Ika. "Syukurlah kalau begitu," sahut Erland. "Kamu kok bersyukur?"Ika heran. "Tidak apa-apa. Artinya ada peluang." Sahut Erland. "Peluang? Peluang apa?" Tanya Ika bingung. "Ah tidak. Tidak ada maksud apa-apa," *** "Selamat siang, Pak Erland!" Seseorang menyapa. "Siang ada apa?" Erland bertanya. "Ada seseorang di luar sana yang ingin bertemu sama bapak," "Oh ya siapa?" "Saya tidak kenal, Pak," "Mmm, apakah dia mencurigakan?" "Tidak juga, dia seorang perempuan paruh baya. Tapi sepertinya kedatangannya tidak d

DMCA.com Protection Status