Share

Bab 6

Author: Silla Defaline
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Bab 6

 

 

   Jantung Arsyad berdegup. Apakah mungkin sang istri sudah menebak maksud kali ini? Entah mengapa lidah itu terasa kelu. Ada rasa gugup dan ragu untuk menyampaikan maksud yang sebenarnya.

 

      "Apakah Ami sudah tahu semuanya?" Arsyad ingin memastikan.

 

     "Bicaralah dulu. Jangan ragu dan jangan kaku. Insya Allah Ami akan menerima dengan lapang dada apapun yang akan Abi bicarakan."

     

     Mendengarnya Arsyad merunduk. Sebenarnya matanya mulai merah. Ada bulir-bulir yang tertahan di sana. saat ini adalah perjuangan bagaimana ia akan menyampaikan sebuah berita yang tentu saja akan menghujam hati Ika. Namun Arsyad menahan diri. Seperti kata ibunya, dia adalah laki-laki. Tidak boleh menangis di depan perempuan.

 

     Begitupun Ika, ia sudah bisa menebak apa yang akan di sampaikan oleh Arsyad. Namun ia mencoba untuk tetap teguh dan tidak menjatuhkan air mata di depan Arsyad. Dia ingin membuktikan bahwa ia masih kuat.

 

     Arsyad meraih kedua tangan istrinya. Ika membiarkan Arsyad menggenggam jari-jemarinya. 

 

     "Mi..." Arsyad memastikan hatinya untuk memulai bicara.

 

     "Ya,"

 

     "Abi ingin membicarakan sesuatu yang penting sama Ami malam ini. Abi ingin Ami tidak terkejut. Tidak juga marah. Abi tahu ini adalah masalah yang teramat sulit bagi kita." Sampai di sana ucapan Arsyad berhenti.

 

     Ada sesak yang tertahan pada kerongkongan Arsyad untuk melanjutkan kata-kata. 

 

     "Tidak apa-apa, Bi. lanjutkan saja. Insya Allah Ami tidak akan marah."

 

     Huuuuufh... Arsyad menelan ludah.

 

     "Mi, maafkan Abi.... Abi ingin meminta Izin dan restu. Untuk... Untuk menikahi Naura."

 

     Dugh... 

 

     Terasa bagai petir di siang bolong yang menyambar hati Ika saat itu. Kata-kata yang sudah bisa dia tebak sebelumnya, keluar dengan jelas dari mulut Arsyad. 

 

     Namun sekuat tenaga, Ika menahan airmata. 

 

     "Mi, maaf." Arsyad memeluk istrinya.

 

     "Aku tidak bisa menceraikanmu, Mi. Tolong kamu jangan menggugat dan meminta cerai Abi. Meski ini berat bagi kita."

 

     "Setelah Abi menikahi Naura nanti, Abi akan berusaha untuk berlaku adil. Tidak akan membeda-bedakan diantara kalian. Abi akan menganggap kalian berdua dalam posisi yang sama. dan juga pernikahanku dan Naura tidak akan mengurangi rasa cinta Abi ke Ami."

 

     Ika benar-benar berada dalam dilema. Kalau boleh berkata-kata dengan kejujuran, maka  perempuan mana yang ingin diduakan? Istri mana yang ingin dimadu? 

 

     Namun dibalik perasaan serba salahnya, Ika sadar, dia tidak boleh egois. Meski terasa sakit, dia tahu Arsyad sudah sejak lama menginginkan seorang penerus yang belum mampu ia berikan. 

 

     Haruskah ia memaksakan diri untuk meminta bercerai? 

 

     Atau haruskah ia mencegah keinginan Arsyad dengan sekuat tenaga?

 

     Ika sudah memikirkan ini sejak mendengar percakapan antara Arsyad dan ibu mertua. Dengan beban perasaan yang berat, Ika menatap Arsyad lekat.

 

     "Bi, sebenarnya saya sudah tahu niat Abi. saya sudah mendengar percakapan antara Abi dan ibu."

 

     Tidak ada air mata yang jatuh ketika Ika berucap. Pertahanannya masih belum runtuh.

 

    Mendengar pernyataan Ika,  Arsyad bisa menyimpulkan, itulah mengapa wajah istrinya nampak berbeda semenjak pulang dari pasar, rupanya istrinya itu telah mendengar percakapannya bersama sang ibu di meja makan tadi pagi.

 

     "Lalu mengapa Ami tidak cerita?"

 

     "Untuk apa Ami cerita, keputusan itu ada di tangan Abi sendiri. Aku juga sadar, Bi. aku belum bisa memberikan ibu seorang cucu."

 

     "Jangan berucap seperti itu, Mi. Soal anak itu rahasia Tuhan. Kita tidak tahu kapan ia akan membuat kita anugerah itu."

 

     "Kalau Abi percaya hal itu, mengapa harus mencari rahim yang lain? Apa karena Abi yakin kalau rahimku ini benar-benar kering, seperti yang ibu katakan?"

 

     Arsyad semakin kebingungan. Ia kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan sang istri. Jauh dilubuk hatinya, Arsyad sangat membenarkan yang Ika sampaikan. 

 

     Namun apalah daya paksaan ibunya lebih dominan. Perintah ibunya juga terkesan sangat mengharuskan. 

 

     "Maafkan Abi, Mi. Abi tidak mampu untuk menolak keinginan ibu. Anggaplah ini permohonan terbesar Abi untukmu. Tolong ikhlaskan Abi untuk menikahi Naura."

 

      Ika diam. Ada kata yang ingin ia ucapkan namun untuk sementara tertahan. Ia sedang menyiapkan mental agar bisa dengan lantang berucap. Ika mengangkat kepalanya yang sedari tadi merunduk.

 

     "Ya, Ami mengizinkan Abi menikahi Naura. Ami ikhlas. Nikahi dia. Semoga kalian lekas di karuniai buah hati, sebagaimana yang ibu inginkan." Ucap Ika. 

 

     Arsyad semakin erat menggenggam jari-jemari Ika. Meskipun bagi Ika, Genggaman itu terasa hampa. 

 

     "Ami ikhlaskan?" Arsyad menekankan.

 

     "Ya, Ami Ikhlas."

 

     sebenarnya kata-kata ikhlas pada jawabannya Ika sulit untuk rasakan. Seperti yang tertulis sebelumnya, keikhlasan seorang istri untuk dimadu, tidaklah mudah untuk dilakukan. 

 

    Meski kata ikhlas itu diucap dengan lantang, namun tidak begitu dengan suasana hati. Memang soal perasaan, siapa juga yang ingin ikhlas untuk berbagi. Apalagi dalam kurun waktu yang tiba-tiba.

 

     "Maafkan Abi, Mi. Abi terpaksa melakukan ini."

 

     "Ya, Ami bisa memaklumi"

 

 

***

 

 

     "Sah..." 

 

     Ucapan para hadirin menggema di ruangan yang menjadi saksi bisu pernikahan Arsyad dan Naura.  

 

     Ika berusaha untuk bertahan.

 

     Pertahanannya tidak boleh runtuh di keramaian ini. 

 

     Balutan gaun putih membalut tubuh Naura, beserta hijab yang menutupi kepalanya, menambah pesona kecantikan perempuan itu. 

 

    Sepanjang acara resepsi, banyak juga nyinyiran para hadirin yang ditujukan untuk Ika.

 

     "Ika mau saja ya dimadu. Apa nggak sakit hati, tuh orang."

 

     "Kasihan Ika wanita sebaik dia, kok diduaan sama suaminya."

 

     "Kuat sekali Ika mampu menghadiri dan menyaksikan pesta pernikahan suaminya dan wanita lain."

 

     "Tapi tidak salah sih, Bu Melia menjodohkan anaknya dengan wanita lain. Lihat saja tuh Ika, sudah lima tahun menikah tidak juga dikaruniai anak. Mungkin Ika itu benar-benar wanita mandul. Makanya Arsyad memilih menikahi Naura."

 

     "Iya iya, bisa bener itu."

 

     Ika menahan diri dari nyinyiran para hadirin yang berhasil mampir di telinganya.

 

     Untuk meredakan rasa sesak, Ika beranjak menuju ke toilet.

 

     Belum juga kakinya masuk ke dalam toilet. Kembali terdengar nyinyiran seseorang di belakangnya.

 

     "Mungkin Ika terpaksa mau di madu. Secara Ika itu hidupnya sebatang kara, kedua orang tuanya sudah tidak ada lagi. Dia juga tidak punya saudara. Tidak ada tempat dia untuk kembali. Satu-satunya cara agar dia bisa bertahan hidup adalah tetap menjadi istri Arsyad, meskipun harus menanggung rasa sakit hati. Kalau Arsyad masih nekat menceraikan Ika, maka tidak tahulah Ika akan hidup dengan cara bagaimana."

 

     "Iya, mungkin itu salah satu dari alasan mengapa Arsyad masih mau mempertahankan wanita mandul seperti dia. Hanya karena rasa belas kasihan saja."

 

     kedua orang itu tidak menyadari apabila Ika mendengar semua isi percakapan mereka. Kalau saja Ika tidak bersabar, maka kericuhan akan terjadi saat itu. namun Ika sadar apabila hal buruk terjadi, maka semua itu akan semakin memburuk reputasinya yang dianggap orang-orang sebagai istri pertama yang tersakiti.

 

     Tidak mau mendengar lebih lama lagi, Ika terus melanjutkan langkahnya ke toilet.  

 

     "Ya Tuhan beginikah nasib getir seorang perempuan yang belum bisa memberikan keturunan? Apakah setiap perempuan yang ber nasib sepertiku akan menerima nyinyiran pahit?"

 

 

***

 

     "Mi, untuk malam ini Abi akan membawa Naura bermalam di rumah kita. Boleh ya?" 

 

     Ya bagaimana Ika bisa menolak jika Naura nya sudah bawa ke rumah duluan.

 

      Ika diam sesaat.

 

     "Boleh ya Mi, sebelum Abi bisa membelikan rumah baru untuknya."

 

     Whatt?? Rumah baru? Secepat itukah? Padahal dulu Ika dan Arsyad harus menunggu beberapa tahun untuk bisa membeli rumah. Itu pun dengan cara menyicil. 

 

     "Ya tidak apa-apa, Bi." Jawab Ika pendek.

 

     "Terima kasih ya, Mi" Arsya mencubit dagu Ika gemas.

 

     "Mmm, iya mbak, terima kasih ya, udah ngizinin Naura untuk tinggal di sini." Naura yang sedari tadi ternyata melihat dari ambang pintu menimpali ucapan Arsyad.

 

     Ika menggangguk. 

 

     Soal bagaimana rasanya berada seatap dengan madu, hanya wanita yang pernah mengalaminya saja yang bisa merasakan sensasinya. 

 

 

Bersambung...

 

 

 

     

 

 

 

 

    

     

 

     

     

 

     

     

     

      

    

-benar wanita mandul. Makanya Arsyad memilih menikahi Naura."

 

     "Iya iya, bisa bener itu."

 

     Ika menahan diri dari nyinyiran para hadirin yang berhasil mampir di telinganya.

 

     Untuk meredakan rasa sesak, Ika beranjak menuju ke toilet.

 

     Belum juga kakinya masuk ke dalam toilet. Kembali terdengar nyinyiran seseorang di belakangnya.

 

     "Mungkin Ika terpaksa mau di madu. Secara Ika itu hidupnya sebatang kara, kedua orang tuanya sudah tidak ada lagi. Dia juga tidak punya saudara. Tidak ada tempat dia untuk kembali. Satu-satunya cara agar dia bisa bertahan hidup adalah tetap menjadi istri Arsyad, meskipun harus menanggung rasa sakit hati. Kalau Arsyad masih nekat menceraikan Ika, maka tidak tahulah Ika akan hidup dengan cara bagaimana."

 

     "Iya, mungkin itu salah satu dari alasan mengapa Arsyad masih mau mempertahankan wanita mandul seperti dia. Hanya karena rasa belas kasihan saja."

 

     kedua orang itu tidak menyadari apabila Ika mendengar semua isi percakapan mereka. Kalau saja Ika tidak bersabar, maka kericuhan akan terjadi saat itu. namun Ika sadar apabila hal buruk terjadi, maka semua itu akan semakin memburuk reputasinya yang dianggap orang-orang sebagai istri pertama yang tersakiti.

 

     Tidak mau mendengar lebih lama lagi, Ika terus melanjutkan langkahnya ke toilet.  

 

     "Ya Tuhan beginikah nasib getir seorang perempuan yang belum bisa memberikan keturunan? Apakah setiap perempuan yang ber nasib sepertiku akan menerima nyinyiran pahit?"

 

 

***

 

     "Mi, untuk malam ini Abi akan membawa Naura bermalam di rumah kita. Boleh ya?" 

 

     Ya bagaimana Ika bisa menolak jika Naura nya sudah bawa ke rumah duluan.

 

      Ika diam sesaat.

 

     "Boleh ya Mi, sebelum Abi bisa membelikan rumah baru untuknya."

 

     Whatt?? Rumah baru? Secepat itukah? Padahal dulu Ika dan Arsyad harus menunggu beberapa tahun untuk bisa membeli rumah. Itu pun dengan cara menyicil. 

 

     "Ya tidak apa-apa, Bi." Jawab Ika pendek.

 

     "Terima kasih ya, Mi" Arsya mencubit dagu Ika gemas.

 

     "Mmm, iya mbak, terima kasih ya, udah ngizinin Naura untuk tinggal di sini." Naura yang sedari tadi ternyata melihat dari ambang pintu menimpali ucapan Arsyad.

 

     Ika menggangguk. 

 

     Soal bagaimana rasanya berada seatap dengan madu, hanya wanita yang pernah mengalaminya saja yang bisa merasakan sensasinya. 

 

 

Bersambung...

 

 

 

     

 

 

 

 

    

     

 

     

     

 

     

     

     

      

    

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
dasar laki2 tdk punya perasaan mas bawa istri lain, digabung dg istri pertama, samacaja tuh mertua kayaknya bukan perempuan tapi setan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 7

    Bab 7 Menjelang malam, Ika selonjoran di sofa kamar sembari menonton sinetron favoritnya. Meskipun kedua mata itu tertuju ke monitor televisi, namun sesungguhnya pikiran Ika tidaklah fokus ke sana. Malam ini Arsyad dan Naura kembali tidur bersama di kamar yang telah disulap sedemikian rupa. Dan itu satu atap dengan Ika. Apakah itu pilihan mudah baginya untuk menerima? Sakit, namun cukup rasa sakit itu ia pendam dihati. Tidak bisa ia uraikan. Krieet... Pintu kamarnya terbuka. Ika menoleh. Arsyad memandangnya tersenyum, lalu pria itu melangkah masuk menghampiri. "Mii, kenapa kok kelihatannya lesu sekali?" Arsyad mere

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 8

    Bab 8 Belang wanita kedua "Pa, Mbak Ika telah selesai memasakkan masakan yang istimewa untuk sarapan kita. Kelihatannya sedap sekali, Pa." Naura menghampiri suami barunya. "Ya memang setiap masakan Ika pasti menggugah selera." "Kalau begitu Bagus lah, Pa. Artinya kita tidak perlu mencari asisten sebagai tukang masak." Lanjut Naura. "Maksudmu?" "Maksudku, kita bisa bekerja sama. Aku dan kamu mencari uang. Sedangkan Mbak Ika bertugas di rumah. beres-beres memasak mencuci mengepel dan sebagainya. Adil kan?" Arsyad memandang bibir sensual Naura yang menggoda. "Mmm, sayang. Pendapatmu tidak salah sih. Tapi... Bagaimana kalau

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 9

    Bab 9 "Mbak, tolong ambilkan aku minum? Aku haus nih baru pulang kerja." Terdengar suara permintaan dari Naura. Ika yang sedang membalas pesan-pesan pelanggan yang masuk di ponselnya, merasa risih dengan permintaan Naura. "Apa kau tidak bisa mengambilnya sendiri ke dapur Naura?" Sahut Ika. Naura tidak suka mendengar jawaban kakak madunya. "Masa cuma ambilkan aku minum saja susah? Apa gunanya Mbak di rumah kalau cuma diam nongkrong. Padahal aku baru pulang dari banting tulang cari uang untuk makan kita. Supaya mulut mbak bisa makan. Ini aku cuma minta ambilkan minum saja mbak keberatan." Suara Naura kian keras. Ika bangkit dari duduknya, terus terang Ika tak suka dibilang demikian oleh Naura.

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 10

    Bab 10 Arsyad memandang wajah Naura wajah itu masih tersedu dengan buliran air jatuh dari sudut matanya. Arsyad yang mulai merasa jatuh cinta pada istri keduanya itu, merasa iba. "Mi mengambil air itu bukan pekerjaan susah, apa salahnya Ami mengambilkannya. tidak perlu juga menjadi masalah besar apalagi sampai bertengkar. Lihat Naura menangis. Bersikaplah lebih dewasa, Mi. Kelakuanmu tidak seperti yang Abi lihat selama ini." Istri mana yang tidak sakit apabila suaminya membela sang istri kedua secara blak-blakan di depan mata. Tanpa mau menelisik duduk permasalahan yang sebenarnya. "Bi, kalau sekiranya Naura sakit atau tidak bisa berjalan, tentu saja aku ingin memenuhi permintaannya apalagi cuma sekedar mengambilkannya air minum. Tapi kalau kakinya masih kuat untuk berjalan. Tangannya juga masih kuat untuk menuangkan air putih ke gelas, maaf bi aku bukan orang suruhan. S

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 11

    Bab 11 "Segitukah teganya Ami mengusirku? Apakah Ami ingin Abi tidur menemani Ami malam ini?" Cih, Ika berdecih halus. "Aku ingin istirahat. Keluarlah." Dengan terpaksa, Arsyad melangkahkan kaki keluar dari ruangan yang telah banyak menyimpan kisah tersebut. Namun sekarang terasa kamar itu tidak sehangat dahulu. Yang ada hanya sikap dingin dari sang istri tuanya. *** Pagi hari telah tiba, pagi ini sengaja Ika tidak keluar kamar seperti biasanya. Ika hanya menghabiskan waktu di kamarnya, dengan menelisik pesan-pesan dari para pelanggan usaha online nya. Ika tersenyum melihat perkembangan usaha online nya cukup maju dibanding dengan toko pakaian yang ia jual secara offline. "Alhamdulillah, Tuhan memang mengerti akan perasaan hamba-hambanya. Dia pa

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 12

    Bab 12 "Dan juga untukmu Arsyad, sekalipun kamu tidak pernah membelikan aku barang-barang mewah. Aku tidak masalah, lagi pula aku tidak pernah memintanya padamu. Tapi kau pikir aku tidak tahu kamu membelikan sebuah kalung mahal untuk Naura? Aku menyaksikan engkau memasangkan kalung itu di leher istri mudamu ini. Sedangkan aku, tidak pernah kau hadiahi barang-barang seperti itu. Tapi aku tidak mempermasalahkannya. jadi sebaiknya mulai sekarang, kalian berdua tidak usah pusing dan tidak usah ikut campur dengan semua yang ku pakai dan apapun yang aku lakukan." Tegas Ika kembali. Gejolak amarahnyalah yang membuat ia mampu meluncurkan kata-kata seperti itu. "Hei Mbak Ika, Mbak mau tahu alasannya mengapa Arsyad memberikan aku hadiah? Sedangkan Mbak sendiri tidak pernah diberikan apapun. Itu artinya Arsyad lebih mencintai aku daripada Mbak. Mbak seharusnya introspeksi diri. Tidak usah salah menyalahkan. Perba

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 13

    Bab 13 Dalam perjalanan menuju kantor, Naura terus saja bicara penuh penekanan pada Arsyad. "Pa, siapa membelikan sepatu dan tas mahal untuk Ika? Papa, kan?" "Tidak, bukan Papa yang membelikan. Papa saja tidak tahu dari mana Ika mendapatkan uangnya." Jawab Arsyad. "Memangnya berapa sih gaji Mbak Ika sebulan dari mengurus usaha online kecilnya itu?" Tanya Karin ingin memastikan. "Halah... Penghasilan kakak madumu tidak sampai tiga juta sebulan." Arsyad menjawab asal. Pada dasarnya memang Arsyad tidak tahu berapa nominal gaji Ika yang sebenarnya. Selama ini Arsyad mengakui ia tidak ambil pusing dengan penghasilan yang didapatkan Ika. Yang ia tahu apabila ada keperluan dan kebutuhan rumah tangga yang kurang, Ika bersedia menutupi. "Lalu bagaimana caranya dia bisa membeli sesuatu

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 14

    Bab 14 "Terus mobil siapa yang mbak pakai? Minjam? Demi terlihat elegan, mbak rela minjam begitu?" Celetuk Naura. Ika terkekeh ringan. "Minjam? Tentu saja tidak. Mobil itu ku beli dengan uangku sendiri. Mengapa memangnya? Kalian kaget?..." Karin berkata sambil menatap Naura. "Tidak, juga siapa yang kaget memangnya? Cuma mobil begitu saja kok. kami juga bisa kok, membeli mobil baru yang lebih bagus dari mobil itu. Ngomong-ngomong nggak usah sombong deh, bilang aja kalau mobil kreditan." Ucap Naura sembari mencibirkan bibir. Kesannya meremehkan sekali. "Aku tidak sombong. Kan tadi kalian bertanya, aku menjawab. Wajar kan? Lagipula kalau misalkan itu mobil kreditan, apa itu jadi masalah buat kalian? Punyamu mana Naura? Meskipun cuma mobil kreditan, kamu punya nggak?" Jawab Ika. &nb

Latest chapter

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 54 Extra Part

    Bab 54 "Ma, sini Papa yang jemur pakaiannya ya," ujar Erland sembari menarik keranjang yang berisi pakaian-pakaian yang baru saja dikeringkan dari dalam mesin cuci. "Aduh, Pa. Ntar nggak enak kalo di liat orang. Kok Papa yang jemur pakaian?" "Ah nggak apa-apa. Namanya rumah tangga itu harus sama-sama. Apalagi Bik Inah dan Bik Inun sedang tidak ada. Bisa-bisa Mama sakit bila harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, udah deh, Mama istirahat saja dulu sana. Ntar sakit kalo kecapean. Papa lihat saudari bangun pagi tadi Mama beristirahat. Sambil liat-liat si kembar" ujar Erland dengan senyuman. Erland keluar menuju ke jemuran disamping rumah. Ika mengucap syukur kehadirat Tuhan yang telah menganugerahinya sesosok lelaki yang sudah dianggapnya seperti malaikat Sedangkan Erland mulai sibuk dengan pak

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 53 ENDING

    Bab 53 Beberapa tahun kemudian, Arsyad membanting begitu saja sebuah tas hitam yang berisi segenap berkas di tangannya. "Ada apa, Arsyad?" Bu Melia mendelik heran. "Tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerima aku lagi, Bu. Terpaksa Arsyad tetap bekerja di pencucian mobil yang menyebalkan itu. Dengan hasil yang jauh dari standar hidup. Selamanya kita akan terus terpuruk dalam kehidupan yang tidak menyenangkan ini," ucap Arsyad. "Sabar dulu, nanti pasti ada-ada saja perusahaan yang mau menerima kamu. Kerja di perkantoran lebih baik daripada bekerja di tempat cucian mobil." Bu Melia menenangkan. "Perusahaan mana lagi Bu, yang mau menerima seorang pria yang baru keluar dari penjara seperti aku? Bahkan perusahaan kecil pun menolak dengan kasar. Masih untung aku dapat pekerjaan di steam pencucian mobil. Kalau ti

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 52

    Bab 52 "Pak Erland, bisakah aku meminta izin untuk pulang lebih cepat?" Suara Ika terdengar serak. Erlan melihat ada yang mengkhawatirkan dari wajah perempuan itu. "Ika, kau terlihat begitu pucat. Apa kau sakit?" Tanya Erland. "Tidak, aku baik-baik saja hanya sedikit pusing, Pak." Jawab Ika. "Baik kalau begitu, biar aku antarkan kamu pulang," Erland bangkit dari duduknya. "Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pulang pekerjaan Bapak belum selesai," "Tidak! Pekerjaanku bisa diselesaikan nanti. Aku khawatir jika kau harus pulang sendiri," ujar Erland. "Terserah Bapak saja kalau begitu. Tapi aku tidak enak terlalu banyak merepotkan Anda, Pak Erland." Ujar Ika sambil terhuyung. Tangannya berpegangan pada dinding. "Ika, kau tidak apa-apa?"

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 51

    Bab 51 Hari demi hari, bulan demi bulan, tidak terasa usia Nada, Putri yang telah Naura lahirkan kian bertambah. Tentu saja kebutuhan yang harus dipenuhi juga bertambah banyak "Bu, Pampers Nada udah habis. Bagaimana ini? Pinjam duit Ibu dulu boleh ya?" Naura mendekati Bu Ema. "Kamu ini bagaimana, Naura? Kamu pikir ibu ini gudang duit apa? Darimana lagi ibu mendapatkan uang. Ibu sudah menghitung-hitung, setiap bulan kita harus mengeluarkan uang berapa, untuk jatah Nada juga berapa." Jawab Bu Ema. "Tapi uang yang ibu serahkan untuk Nada udah habis, Bu." Ujar Naura. "Naura, kondisi keuangan kita sedang sempit. Seharusnya kau tahu cara untuk berhemat, lihatlah rencana ibu untuk membuka usaha baru belum terwujud. Uang hasil gadai rumah kita pun hampir habis, nanti kalau kita tidak bisa menebus rumah ini, bahaimana? Mau kamu rumah in

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 50

    Bab 50"Haaaa ...?" Naura tersentak. "Mahendra menyebut anak kecil itu sebagai anaknya? Apakah selama ini Mahendra sudah menikah?" Naura melongo dengan kedua tangan menutup mulut. "Kurang aj*r...!" Seru Naura seraya berjalan dengan amarah yang naik ke ubun-ubun. Langkah kakinya menuju ke arah di mana Mahendra dan wanita itu berada. "Mahendra...!" Teriak Naura. "Lhoo? Naura...? Kok kamu ada di sini?" Mahendra amat kaget melihat Naura berdiri tepat di hadapannya. "Pa, siapa wanita ini?" Istri Mahendra tidak kalah kaget. "Mmm ... ia bukan siapa-siapa, Sayang." Jawab Mahendra. Mendengar jawaban lelaki yang sejak lama ia kenali tersebut, Naura naik pitam. Hatinya sakit dengan pengakuan palsu Mahendra. "Apa kau bilang? Kau tak katakan jika aku ini

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 49

    Bab 49 Karena tindakan yang mereka lakukan, Bu Melia dan Arsyad tidak mampu mengelak dari kenyataan bahwa mereka harus mendekam dalam jeruji besi. Bahkan jasa seorang pengacara yang mereka sewa pun tidak mampu untuk melepaskan mereka dari jeratan hukum. "Mengapa nasibku begini apes? Apa salahku? Huuuh...! Ika...semuanya gara-gara dia...!" Bu Melia terus sesenggukan meratapi nasib. "Bagaimana bisa dia menjadi marketing manager di perusahaan itu, jabatan yang bahkan melebihi jabatan anakku dulu. Apakah selama ini Ika membohongi kami?" dalam isak tangisnya Bu Melia masih sempat untuk mengumpat. Kembali ia teringat penampilan Ika yang ia lihat kemarin, "Sungguh sulit dipercaya, dari mana Ika mendapatkan uang banyak yang bisa merubah penampilannya hingga sedrastis itu? Hu

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 48

    Bab 48 Bu Melia tersenyum sumringah dengan mengibas-ngibaskan lembaran-lembaran uang di tangannya. "Tidak apalah aku kehilangan rumah, yang penting anakku bisa bebas. Toh aku masih punya usaha mebel yang bisa kukembangkan," "Cicilan Bank tidak akan mengurangi hasil yang akan kudapatkan," gumam Bu Melia. "Sebaiknya aku harus mengabari Arsyad dulu soal ini,"*** Setelah melewati beberapa prosedur, Bu Melia akhirnya bertatap muka dengan Arsyad. "Arsyad, ibu punya cerita bagus untukmu," "Berita soal apa, Bu?" "Ibu akan membebaskanmu dari sini,"ujar Bu Melia tersenyum senang. "Oh ya? Tapi tidak sedikit uangnya yang diperlukan untuk membebaskan aku dari sini Bu, dari mana ibu mendapatkan uang?" Tanya Arsyad.

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 47

    Bab 47 "Sekarang aku tanya Pak, apakah dia sering kemari hanya untuk melamar pekerjaan? saya hanya memberikan masukan jangan pernah menerima karyawan wanita janda seperti dia. Meskipun hanya untuk menjadi cleaning service sekali pun. Dia hanya akan mengusik para lelaki yang telah beristri. Karena apalah martabatnya sebagai janda mandul, seorang diri pula. Secara dari mana dia bisa hidup nyaman kalau tidak dari uang laki-laki hidung belang," ujar Bu Melia tanpa rasa bersalah. "Hentikan Bu Melia, aku tidak seperti yang ibu ucapkan," Ika menyela. Terlalu lama Ika membiarkan Bu Melia berkata sesuka hati. "Aku memang janda, tapi aku bukan janda gelenjotan. Aku bukan penikmat duit orang. Bahkan dengan tanganku ini, aku mampu mencari uang sendiri bahkan melebihi yang mampu Arsyad dapatkan," balas Ika. "Nah Pak Erland, Anda bisa lihat sendiri kesombongan wanita ini." Bu

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 46

    Bab 46 "Mmm,kalau aku masih mencintainya, aku tidak akan meminta cerai." Jawab Ika. "Syukurlah kalau begitu," sahut Erland. "Kamu kok bersyukur?"Ika heran. "Tidak apa-apa. Artinya ada peluang." Sahut Erland. "Peluang? Peluang apa?" Tanya Ika bingung. "Ah tidak. Tidak ada maksud apa-apa," *** "Selamat siang, Pak Erland!" Seseorang menyapa. "Siang ada apa?" Erland bertanya. "Ada seseorang di luar sana yang ingin bertemu sama bapak," "Oh ya siapa?" "Saya tidak kenal, Pak," "Mmm, apakah dia mencurigakan?" "Tidak juga, dia seorang perempuan paruh baya. Tapi sepertinya kedatangannya tidak d

DMCA.com Protection Status