Share

Bab 12

Author: Silla Defaline
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Bab 12

  "Dan juga untukmu Arsyad, sekalipun kamu tidak pernah membelikan aku barang-barang mewah. Aku tidak masalah, lagi pula aku tidak pernah memintanya padamu. Tapi kau pikir aku tidak tahu kamu membelikan sebuah kalung mahal untuk Naura? Aku menyaksikan engkau memasangkan kalung itu di leher istri mudamu ini. Sedangkan aku, tidak pernah kau hadiahi barang-barang seperti itu. Tapi aku tidak mempermasalahkannya. jadi sebaiknya mulai sekarang, kalian berdua tidak usah pusing dan tidak usah ikut campur dengan semua yang ku pakai dan apapun yang aku lakukan." Tegas Ika kembali.

     Gejolak amarahnyalah yang membuat ia mampu meluncurkan kata-kata seperti itu.

    "Hei Mbak Ika, Mbak mau tahu alasannya mengapa Arsyad memberikan aku hadiah? Sedangkan Mbak sendiri tidak pernah diberikan apapun. Itu artinya Arsyad lebih mencintai aku daripada Mbak. Mbak seharusnya  introspeksi diri. Tidak usah salah menyalahkan. Perba

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Ambar Ekoningsih
ika good luck ... ...
goodnovel comment avatar
Kaka Naila
alur mundur ya Thor, disini aku suka gaya Ika pas masih tinggal seatap tapi kenapa pas baca bab awal si Ika lembek lagi
goodnovel comment avatar
Arie Ndri Novani
kata ny kaya, duh matre
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 13

    Bab 13 Dalam perjalanan menuju kantor, Naura terus saja bicara penuh penekanan pada Arsyad. "Pa, siapa membelikan sepatu dan tas mahal untuk Ika? Papa, kan?" "Tidak, bukan Papa yang membelikan. Papa saja tidak tahu dari mana Ika mendapatkan uangnya." Jawab Arsyad. "Memangnya berapa sih gaji Mbak Ika sebulan dari mengurus usaha online kecilnya itu?" Tanya Karin ingin memastikan. "Halah... Penghasilan kakak madumu tidak sampai tiga juta sebulan." Arsyad menjawab asal. Pada dasarnya memang Arsyad tidak tahu berapa nominal gaji Ika yang sebenarnya. Selama ini Arsyad mengakui ia tidak ambil pusing dengan penghasilan yang didapatkan Ika. Yang ia tahu apabila ada keperluan dan kebutuhan rumah tangga yang kurang, Ika bersedia menutupi. "Lalu bagaimana caranya dia bisa membeli sesuatu

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 14

    Bab 14 "Terus mobil siapa yang mbak pakai? Minjam? Demi terlihat elegan, mbak rela minjam begitu?" Celetuk Naura. Ika terkekeh ringan. "Minjam? Tentu saja tidak. Mobil itu ku beli dengan uangku sendiri. Mengapa memangnya? Kalian kaget?..." Karin berkata sambil menatap Naura. "Tidak, juga siapa yang kaget memangnya? Cuma mobil begitu saja kok. kami juga bisa kok, membeli mobil baru yang lebih bagus dari mobil itu. Ngomong-ngomong nggak usah sombong deh, bilang aja kalau mobil kreditan." Ucap Naura sembari mencibirkan bibir. Kesannya meremehkan sekali. "Aku tidak sombong. Kan tadi kalian bertanya, aku menjawab. Wajar kan? Lagipula kalau misalkan itu mobil kreditan, apa itu jadi masalah buat kalian? Punyamu mana Naura? Meskipun cuma mobil kreditan, kamu punya nggak?" Jawab Ika. &nb

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 15

    Bab 15 "Silakan, silakan. Bawalah Naura keluar dari rumah ini. Bila perlu sebagai tambahan, ceraikan aku. Itu akan membuatku lebih senang, ketimbang hidup bersama kalian." "Jadi kau ingin aku menceraikanmu? Oke. Tunggu saja." "Ya aku menunggu. Jika tidak, aku yang akan menggugat cerai kamu." Ika menjawab dengan santainya. Tidak ada nada keberatan pada suaranya. Membuat Arsyad semakin kesal. "Kurang ajar kau, Ika. Aku benar-benar akan pergi membawa Naura menyingkir dari rumah ini." Kembali ancaman Arsyad menggema. Disertai dengan suara tendangan kaki Arsyad yang mendarat di daun pintu. Ika sama sekali tidak peduli dengan omongan Arsyad. "Tendanglah pintu kamarku, kalau sampai pintu kamarku rusak, maka kau akan tahu akibatnya, Arsyad." Ika berkata lantang dari dalam kamarnya. "Ber

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 16

    Bab 16 Ika berpikir dalam hati, sesungguhnya Ika telah memiliki banyak cadangan tabungan untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan seperti ini terjadi. "Ika, kau seharusnya bisa belajar dari Naura, baru saja satu bulan, Naura sudah mampu memberikan keturunan. Lhaa... Kamu sudah lima tahun ,rahimmu masih saja kosong. Apalagi namanya kalau tidak mandul?" Selalu saja Bu Melia memandang Naura lebih dari segalanya. Sampai-sampai memerintahkan Ika untuk belajar dengan perempuan itu. "Menurut ibu apa yang harus aku pelajari dari Naura?" Tanya Ika. Ika melihat kedua mata mertuanya. Kedua mata itu nampak menebar kebencian untuk Ika. "Kau seperti tidak punya otak. Buka matamu, buka pikiranmu. Naura jelas-jelas lebih beruntung daripada kamu." Ika tersenyum pahit. Kalau di pikir-pikir jernih, beruntung dar

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 17

    Bab 17 "Kamu mengusirku?" Teriak Bu Melia. "Ya aku mengusirmu?" "Ini rumah anakku?" "Tapi aku lebih berhak dibanding ibu. Aku ingin ibu pulang sekarang. Pulaang... Tidak usah koar-koar disini. Bikin malu sama tetangga saja. Orang tua yang tidak patut untuk dijadikan teladan." Amarah Ika benar-benar dibuat meledak. "Berani kamu memperlakukan aku seperti ini, Ika?" Bu Melia memelototi menantunya. "Ya, aku berani. Mengapa memangnya?" "Akan ku adukan kau pada Arsyad. Biar dia tahu bagaimana belangmu yang sesungguhnya. Aku yakin Arsyad akan memarahimu habis-habisan. Kau tahu kan bagaimana Arsyad menghormati ibunya ini. Sekarang malah kau berani melawan dan mengusirku. Akan ku suruh Arsyad untuk menampar dan membungkam mulut busukmu itu dengan tangannya. Biar kamu tahu rasa akibatnya. Arsy

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 18

    Bab 18 "Assalamualaikum..." Seseorang mengetuk pintu. Ika bergegas menarik daun pintu. berdirilah seorang laki-laki yang tidak lagi menjadi sosok yang dihormati. "Untuk apalagi kamu kemari Arsyad." Tanya Ika pendek. "Ika, aku ingin tanya sama kamu mengapa kamu memperlakukan ibu dengan tidak baik." "Oh berarti ibumu sudah mengadukan semuanya." Tanggap Ika "Iya benar kamu keterlaluan, Ika. Tega-teganya kamu membenturkan tangan ibu ke dinding hingga membuat tangan ibu Memar seperti itu." Ika menghela nafas panjang. "Ibu yang bilang aku membenturkan tangannya ke dinding?" Tanya Ika kemudian. "Tepat sekali. Sampai-sampai kau mengusirnya seperti seorang pengemis. Padahal ibu datang kemari dengan maksud yang baik. Mengapa

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 19

    Bab 19 Ika mencoba untuk bangkit sendiri. Dia sadar tidak ada yang bisa untuk membuatnya maju selain dia sendiri. Oleh karena itu bangkit dari keterpurukan adalah tujuan utama. Di telinga Ika, selalu terngiang-ngiang ucapan Bu Melia dan Arsyad selama ini yang selalu menganggapnya tidak bisa apa-apa seorang diri. "Aku berjanji akan membuktikan bahwa aku bisa bangkit tanpa mereka. Meski tanpa orang tua dan tanpa saudara." Ika meraih ponselnya dari dalam tas. Menelpon seseorang. "Halo selamat siang bapak pengacara Edwar Galih," "Ya selamat siang," "Seperti kata saya kemarin, saya minta tolong sama bapak untuk mengurus perceraian saya dan Arsyad. Datu lagi, saya juga minta di bantu untuk mengurus over kredit rumah kami. kedua masalah itu saya serahkan kepada bapak secara utuh. Moho

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 20

    Bab 20 "Pa, tolong fotoin Naura dulu dong!" Seru Naura sambil bersandar di mobil yang baru saja mereka dapatkan dari kredit. Arsyad meraih ponsel yang disodorkan oleh Naura lalu menghidupkan mode kamera. "Oke, Ma. Pose yang cantik ya, Sayang!" Arsyad membidikan ponsel ke arah sasaran. Ceklek! Beberapa jepretan berhasil Arsyad ambil. Tentu saja Naura berpose dengan berbagai gaya. "Gimana, Pa? Cantik nggak?" Tanya Naura sembari mendekat. "Sudah tentu cantik. Tapi aslinya lebih cantik." Arsyad memberikan pujian. "Ah, Papa bisa aja." Ujar Naura kemudian. "Papa nggak sedang bercanda, Sayang. Tapi serius, Mama memang cantik. Bangga deh, akhirnya papa punya istri yang bisa dibanggakan, dipuji-puji sama teman-tem

Latest chapter

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 54 Extra Part

    Bab 54 "Ma, sini Papa yang jemur pakaiannya ya," ujar Erland sembari menarik keranjang yang berisi pakaian-pakaian yang baru saja dikeringkan dari dalam mesin cuci. "Aduh, Pa. Ntar nggak enak kalo di liat orang. Kok Papa yang jemur pakaian?" "Ah nggak apa-apa. Namanya rumah tangga itu harus sama-sama. Apalagi Bik Inah dan Bik Inun sedang tidak ada. Bisa-bisa Mama sakit bila harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, udah deh, Mama istirahat saja dulu sana. Ntar sakit kalo kecapean. Papa lihat saudari bangun pagi tadi Mama beristirahat. Sambil liat-liat si kembar" ujar Erland dengan senyuman. Erland keluar menuju ke jemuran disamping rumah. Ika mengucap syukur kehadirat Tuhan yang telah menganugerahinya sesosok lelaki yang sudah dianggapnya seperti malaikat Sedangkan Erland mulai sibuk dengan pak

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 53 ENDING

    Bab 53 Beberapa tahun kemudian, Arsyad membanting begitu saja sebuah tas hitam yang berisi segenap berkas di tangannya. "Ada apa, Arsyad?" Bu Melia mendelik heran. "Tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerima aku lagi, Bu. Terpaksa Arsyad tetap bekerja di pencucian mobil yang menyebalkan itu. Dengan hasil yang jauh dari standar hidup. Selamanya kita akan terus terpuruk dalam kehidupan yang tidak menyenangkan ini," ucap Arsyad. "Sabar dulu, nanti pasti ada-ada saja perusahaan yang mau menerima kamu. Kerja di perkantoran lebih baik daripada bekerja di tempat cucian mobil." Bu Melia menenangkan. "Perusahaan mana lagi Bu, yang mau menerima seorang pria yang baru keluar dari penjara seperti aku? Bahkan perusahaan kecil pun menolak dengan kasar. Masih untung aku dapat pekerjaan di steam pencucian mobil. Kalau ti

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 52

    Bab 52 "Pak Erland, bisakah aku meminta izin untuk pulang lebih cepat?" Suara Ika terdengar serak. Erlan melihat ada yang mengkhawatirkan dari wajah perempuan itu. "Ika, kau terlihat begitu pucat. Apa kau sakit?" Tanya Erland. "Tidak, aku baik-baik saja hanya sedikit pusing, Pak." Jawab Ika. "Baik kalau begitu, biar aku antarkan kamu pulang," Erland bangkit dari duduknya. "Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pulang pekerjaan Bapak belum selesai," "Tidak! Pekerjaanku bisa diselesaikan nanti. Aku khawatir jika kau harus pulang sendiri," ujar Erland. "Terserah Bapak saja kalau begitu. Tapi aku tidak enak terlalu banyak merepotkan Anda, Pak Erland." Ujar Ika sambil terhuyung. Tangannya berpegangan pada dinding. "Ika, kau tidak apa-apa?"

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 51

    Bab 51 Hari demi hari, bulan demi bulan, tidak terasa usia Nada, Putri yang telah Naura lahirkan kian bertambah. Tentu saja kebutuhan yang harus dipenuhi juga bertambah banyak "Bu, Pampers Nada udah habis. Bagaimana ini? Pinjam duit Ibu dulu boleh ya?" Naura mendekati Bu Ema. "Kamu ini bagaimana, Naura? Kamu pikir ibu ini gudang duit apa? Darimana lagi ibu mendapatkan uang. Ibu sudah menghitung-hitung, setiap bulan kita harus mengeluarkan uang berapa, untuk jatah Nada juga berapa." Jawab Bu Ema. "Tapi uang yang ibu serahkan untuk Nada udah habis, Bu." Ujar Naura. "Naura, kondisi keuangan kita sedang sempit. Seharusnya kau tahu cara untuk berhemat, lihatlah rencana ibu untuk membuka usaha baru belum terwujud. Uang hasil gadai rumah kita pun hampir habis, nanti kalau kita tidak bisa menebus rumah ini, bahaimana? Mau kamu rumah in

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 50

    Bab 50"Haaaa ...?" Naura tersentak. "Mahendra menyebut anak kecil itu sebagai anaknya? Apakah selama ini Mahendra sudah menikah?" Naura melongo dengan kedua tangan menutup mulut. "Kurang aj*r...!" Seru Naura seraya berjalan dengan amarah yang naik ke ubun-ubun. Langkah kakinya menuju ke arah di mana Mahendra dan wanita itu berada. "Mahendra...!" Teriak Naura. "Lhoo? Naura...? Kok kamu ada di sini?" Mahendra amat kaget melihat Naura berdiri tepat di hadapannya. "Pa, siapa wanita ini?" Istri Mahendra tidak kalah kaget. "Mmm ... ia bukan siapa-siapa, Sayang." Jawab Mahendra. Mendengar jawaban lelaki yang sejak lama ia kenali tersebut, Naura naik pitam. Hatinya sakit dengan pengakuan palsu Mahendra. "Apa kau bilang? Kau tak katakan jika aku ini

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 49

    Bab 49 Karena tindakan yang mereka lakukan, Bu Melia dan Arsyad tidak mampu mengelak dari kenyataan bahwa mereka harus mendekam dalam jeruji besi. Bahkan jasa seorang pengacara yang mereka sewa pun tidak mampu untuk melepaskan mereka dari jeratan hukum. "Mengapa nasibku begini apes? Apa salahku? Huuuh...! Ika...semuanya gara-gara dia...!" Bu Melia terus sesenggukan meratapi nasib. "Bagaimana bisa dia menjadi marketing manager di perusahaan itu, jabatan yang bahkan melebihi jabatan anakku dulu. Apakah selama ini Ika membohongi kami?" dalam isak tangisnya Bu Melia masih sempat untuk mengumpat. Kembali ia teringat penampilan Ika yang ia lihat kemarin, "Sungguh sulit dipercaya, dari mana Ika mendapatkan uang banyak yang bisa merubah penampilannya hingga sedrastis itu? Hu

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 48

    Bab 48 Bu Melia tersenyum sumringah dengan mengibas-ngibaskan lembaran-lembaran uang di tangannya. "Tidak apalah aku kehilangan rumah, yang penting anakku bisa bebas. Toh aku masih punya usaha mebel yang bisa kukembangkan," "Cicilan Bank tidak akan mengurangi hasil yang akan kudapatkan," gumam Bu Melia. "Sebaiknya aku harus mengabari Arsyad dulu soal ini,"*** Setelah melewati beberapa prosedur, Bu Melia akhirnya bertatap muka dengan Arsyad. "Arsyad, ibu punya cerita bagus untukmu," "Berita soal apa, Bu?" "Ibu akan membebaskanmu dari sini,"ujar Bu Melia tersenyum senang. "Oh ya? Tapi tidak sedikit uangnya yang diperlukan untuk membebaskan aku dari sini Bu, dari mana ibu mendapatkan uang?" Tanya Arsyad.

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 47

    Bab 47 "Sekarang aku tanya Pak, apakah dia sering kemari hanya untuk melamar pekerjaan? saya hanya memberikan masukan jangan pernah menerima karyawan wanita janda seperti dia. Meskipun hanya untuk menjadi cleaning service sekali pun. Dia hanya akan mengusik para lelaki yang telah beristri. Karena apalah martabatnya sebagai janda mandul, seorang diri pula. Secara dari mana dia bisa hidup nyaman kalau tidak dari uang laki-laki hidung belang," ujar Bu Melia tanpa rasa bersalah. "Hentikan Bu Melia, aku tidak seperti yang ibu ucapkan," Ika menyela. Terlalu lama Ika membiarkan Bu Melia berkata sesuka hati. "Aku memang janda, tapi aku bukan janda gelenjotan. Aku bukan penikmat duit orang. Bahkan dengan tanganku ini, aku mampu mencari uang sendiri bahkan melebihi yang mampu Arsyad dapatkan," balas Ika. "Nah Pak Erland, Anda bisa lihat sendiri kesombongan wanita ini." Bu

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 46

    Bab 46 "Mmm,kalau aku masih mencintainya, aku tidak akan meminta cerai." Jawab Ika. "Syukurlah kalau begitu," sahut Erland. "Kamu kok bersyukur?"Ika heran. "Tidak apa-apa. Artinya ada peluang." Sahut Erland. "Peluang? Peluang apa?" Tanya Ika bingung. "Ah tidak. Tidak ada maksud apa-apa," *** "Selamat siang, Pak Erland!" Seseorang menyapa. "Siang ada apa?" Erland bertanya. "Ada seseorang di luar sana yang ingin bertemu sama bapak," "Oh ya siapa?" "Saya tidak kenal, Pak," "Mmm, apakah dia mencurigakan?" "Tidak juga, dia seorang perempuan paruh baya. Tapi sepertinya kedatangannya tidak d

DMCA.com Protection Status