Share

Bab 7

Penulis: Silla Defaline
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-07 11:38:07

Bab 7 

 

 

    Menjelang malam, Ika selonjoran di sofa kamar sembari menonton sinetron favoritnya. Meskipun kedua mata itu tertuju ke monitor televisi, namun sesungguhnya pikiran Ika tidaklah fokus ke sana.

 

     Malam ini Arsyad dan Naura kembali tidur bersama di kamar yang telah disulap sedemikian rupa. Dan itu satu atap dengan Ika. Apakah itu pilihan mudah baginya untuk menerima? Sakit, namun cukup rasa sakit  itu ia pendam dihati. Tidak bisa ia uraikan.

 

     Krieet...

 

     Pintu kamarnya terbuka. Ika menoleh.

 

     Arsyad memandangnya tersenyum, lalu pria itu melangkah masuk menghampiri.

 

    "Mii, kenapa kok kelihatannya lesu sekali?"  

 

     Arsyad merengkuh pundak istri tuanya. Ika memaksakan  untuk tersenyum.

 

     "Ah tidak, Bi. Ami tidak apa-apa. Cuma sedang fokus nonton aja. Tuh, lihat sinetron kesukaan Ami lagi tayang tuh."

 

     Ika menunjuk ke layar televisi. 

 

     "Mmm... Mi, Abi kangen." Arsyad mendekat dan mengecup kening Arsyad.

 

    Ika tak bergeming, kecupan Arsyad tidak lagi menimbulkan nuansa hangat seperti dulu. Melainkan hambar dan dingin.

 

     "Mi, maafkan Abi ya, beberapa malam ini Abi belum sempat tidur di kamar kamu. Ami bisa memaklumi sikap Naura yang sedikit manja. Dia belum mengizinkan Abi untuk berbagi malam denganmu."

 

     Ika hanya mengangguk pelan, baru beberapa hari saja menjalani rumah tangga dengan dua istri,  Arsyad sudah tidak mampu memegang kendali keadilan sebagai seorang suami.

 

    Ika masih teringat dengan gamblang bagaimana janji Arsyad sebelum ia menikahi Naura dulu. Bagaimana pria itu berjanji akan berlaku seadil-adilnya terhadap istri tua dan istri muda. 

 

     "Mi, kok ngelamun terus? Ami marah ya?"

 

     Ika hanya tersenyum tipis. Perempuan tersebut berpikir tidak seharusnya Arsyad bertanya seperti itu, tanpa ia menjawab seharusnya Arsyad bisa merasakan apa yang Ika rasakan saat ini.

 

     "Mi? Ami marah?" Ulang Arsyad kembali.

 

     "Marah untuk apa?" Ika balik bertanya.

 

     "Mmm..."

 

     "Kenapa?"

 

     "Tidak, tidak apa-apa. hanya saja Abi bingung dengan sikap Ami yang terasa semakin dingin. Semakin jarang Abi mendengar senda gurau Ami seperti sebelumnya." Arsyad bercerita dengan tatapan kosong.

 

     "Terkadang Abi rindu dengan canda tawa Ami dulu." Masih terdengar kata-kata dari bibir Arsyad. 

 

     Ika menyimak.

 

     "Rindu?"

 

     "Iya, Mi. Abi merindukan kehangatan Ami."

 

      "Bukannya  Ami selalu di sini? Dekat sama Abi.  Lalu buat apa kata-kata rindu? Kecuali apabila aku jauh."

 

      Ucapan itu terdengar begitu ringan namun tidak juga meninggalkan kesan kaku dan dingin.

 

     "Tuh cara ngomongnya juga sudah berubah.  Cobalah tersenyum seperti dulu, Mi. Abi tidak ingin Ami seperti orang stress? Atau apakah Ami merasa tertekan?"

 

     Huuuufh.... Ika menarik nafas panjang.

 

     "Tidak, Ami sama sekali tidak merasa tertekan. Sudahlah tidak usah berbicara soal perasaan ku. Apakah aku tertekan ataupun tidak, aku rasa Abi bisa menebaknya." 

 

     Ika menahan pilu, Bahkan Arsyad melupakan momen penting yang jatuh pada hari ini. Hari ini adalah ulang tahun Ika yang ke-26, sekaligus hari anniversary pernikahan mereka. Pada tanggal yang sama 5 tahun yang lalu pria itu mempersuntingnya. Namun hari ini sepertinya Arsyad sudah tidak mengingatnya lagi.

 

     Sedari pagi, Ika menunggu-nunggu, jikalau ada sodoran kado dari sang suami sebagaimana sebelum-sebelumnya.

 

     Namun nihil, sampai malam tiba, bahkan hingga kini jarum jam hampir menunjukkan pukul 10 malam. Tidak ada kado ataupun hanya sekedar ucapan selamat. 

 

     "Paaaa?... Paaa? Kok lama sekali, Pa?" Tiba-tiba seorang perempuan memanggil-manggil di luar sana. 

 

     Dengan cepat Arsyad bangkit, terlalu tergesa-gesa melangkahkan kaki.

 

     "Maaf, Mi. Naura memanggil. Abi tinggal dulu ya. Emmmuach..." Sebelum pergi Arsyad menyempatkan diri kembali mengecup kening  istri tuanya.

 

     Ika memandang punggung Arsyad yang dengan cepat menghilang seiring pintu kamar yang Arsyad tutup.

 

     "Ya Allah... Mengapa begitu sulit mengikhlaskan hati ini. Apakah aku ini memang wanita egois? Mengapa kurasa berbagi ini teramat sakit. Ya Tuhan beri aku kesabaran dan ketabahan. Anugerahkanlah rasa ikhlas dan lapang padaku."

 

     "Lembutkanlah hati hamba untuk menerima  situasi ini. Hamba hanya mencoba untuk belajar ikhlas dengan berbagi seseorang yang aku cintai.  Berilah hamba kekuatan untuk tetap bertahan. Tolong jangan biarkan aku menjadi wanita egois. Semoga dengan keikhlasan itu, hamba bisa menjadikan rumah tangga kami , sebagai ladang pahala bagi hamba."

 

     "Semua ini hamba terima karena mengharap surga-mu ya Allah."

 

     Ika mengusap kedua telapak tangannya pada wajah.

 

      Di balik prahara cinta segitiga yang menghampiri rumah tangganya yang bisa disebut datang secara tiba-tiba, sungguh sulit rasanya mendengar nyinyiran orang-orang di sekeliling. Yang mengatakan mengapa tidak minta cerai saja.

 

     Tetapi bagi Ika meminta cerai tidak semudah membalikkan telapak tangan. Artinya itu adalah keputusan yang sulit. Mengapa? karena ia sadar poligami diperbolehkan dengan alasan-alasan tertentu. Keinginan akan seorang anak sebagai generasi penerus adalah salah satu alasan yang bisa diterima.

 

     Namun sekarang Ika menyadari, seorang lelaki jarang yang mampu bersikap adil. Setidaknya itulah yang ia rasakan saat ini. Arsyad seakan-akan mulai melupakannya seiring dengan kehadiran sang istri baru.

 

 

 ***

 

 

 "Mbak Ika, saya bantu masaknya ya." Naura menghampiri Ika yang sedang sibuk menyiapkan masakan.

 

     "Silahkan."

 

     Naura mengambil bawang lalu mengiris-irisnya tipis. Belum terlalu lama,

 

      "Aduh kenapa tangan Naura jadi pegal ya Mbak, kayaknya Naura tidak bisa nerusin deh. Karena biasanya Naura selalu olahraga di pagi hari. Bukan belepotantan di dapur. Maaf ya Mbak."

 

     Naura menyodorkan sedikit irisan bawang. Namun hanya sedikit saja, sebagian besar belum ia selesaikan.

 

     "Naura tidak bisa mengiris semuanya Mbak. Mata Naura pedih. Lihat nih. Aduuuh kok jadi begini ya."

 

     "Kalau begitu biar mbak saja yang menyelesaikannya, Naura." Ika mengambil alih bawang-bawang tersebut.

 

     "Maaf ya Mbak Ika, Naura harus mempersiapkan diri ini untuk siap-siap pergi kerja." Naura bangkit dari duduknya.

 

     Memang Naura bekerja sebagai seorang karyawan di sebuah bank swasta. 

 

    Dengan segera Naura bergegas melangkah meninggalkan area dapur.

 

      Tanpa peduli dengan sikap Naura, Ika melanjutkan pekerjaannya. Istri pertama Arsyad itu tidak merasa kesulitan ataupun keterpaksaan, karena begitulah rutinitasnya selama ini. Di sela-sela kesibukannya dalam mengurus usaha online, Ika tetap menyelesaikan tugasnya sebagai seorang istri.

 

     Biasanya, setelah semuanya selesai, maka Ika akan kembali bergelut dengan dunia maya, membaca pesan-pesan dari pelanggan dan para reseller. Ya , Ika mempunyai beberapa reseller-reseller aktif di berbagai daerah. Para reseller itulah yang mendukung kemajuan dan perkembangan usaha online yang ia rintis mulai dari nol.

 

     Setelah semua urusan daur selesai, Ika melangkah kedepan bermaksud ingin memanggil Arsyad untuk sarapan.

 

      "Udah selesai, Mbak?" Tanya Naura yang baru saja muncul. Semerbak wangi parfum mengiringi langkahnya. Pakaian seragam yang ia pakai nampak begitu rapi. Dengan dandanan yang natural, namun sama sekali tidak mengurangi kecantikannya, membuat penampilan Naura begitu anggun. 

 

     Satu kalimat yang muncul di kepala Ika,    

 

     "Wajar saja jika perhatian Arsyad lebih besar tercurahkan untuk wanita ini, dia memang wanita yang patut untuk dikagumi"

 

     "Ya, semuanya sudah selesai. Sekarang sudah waktunya untuk sarapan." Jawab Ika.

 

     "Baiklah saya akan panggilkan Arsyad, terlebih dahulu."

 

      Tanpa menunggu jawaban dari Ika, Naura melangkah menuju ke kamar, di mana suaminya berada.

 

      Sedari pagi, sejak Ika terbangun dari tidurnya hingga makanan siap terhidang, Ika belum juga melihat Arsyad keluar dari kamar yang dikhususkan untuk Naura. Memang kamar Naura dan juga kamar Ika dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dan toilet. sehingga tidak mengharuskan para penghuninya untuk keluar masuk kamar hanya untuk membersihkan tubuh.

 

     Sementara itu di kamar Naura, 

 

     "Pa, Mbak Ika telah selesai memasakkan masakan yang istimewa untuk sarapan kita. Kelihatannya sedap sekali, Pa." Naura menghampiri suami barunya.

 

     "Ya memang setiap masakan Ika pasti menggugah selera." 

 

     "Kalau begitu Bagus lah, Pa. Artinya kita tidak perlu mencari asisten sebagai tukang masak." Lanjut Naura.

 

     "Maksudmu?"

 

     "Maksudku, kita bisa bekerja sama. Aku dan kamu mencari uang. Sedangkan Mbak Ika bertugas di rumah. beres-beres memasak mencuci mengepel dan sebagainya. Adil kan?

 

 

 

 

Bersambung...

 

   

     

     

 

    

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Gusty Ibunda Alwufi
ya qllah kasian ika.mendingan cerai malah bakal jd pembantu bukan jd istri tua.
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
buntut2nya jadi pembantu istri kedua dech.
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
arsyad ini bego ya, pertanyaannya kok nggak mutu amat, ya sedihlah ami.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 8

    Bab 8 Belang wanita kedua "Pa, Mbak Ika telah selesai memasakkan masakan yang istimewa untuk sarapan kita. Kelihatannya sedap sekali, Pa." Naura menghampiri suami barunya. "Ya memang setiap masakan Ika pasti menggugah selera." "Kalau begitu Bagus lah, Pa. Artinya kita tidak perlu mencari asisten sebagai tukang masak." Lanjut Naura. "Maksudmu?" "Maksudku, kita bisa bekerja sama. Aku dan kamu mencari uang. Sedangkan Mbak Ika bertugas di rumah. beres-beres memasak mencuci mengepel dan sebagainya. Adil kan?" Arsyad memandang bibir sensual Naura yang menggoda. "Mmm, sayang. Pendapatmu tidak salah sih. Tapi... Bagaimana kalau

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-07
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 9

    Bab 9 "Mbak, tolong ambilkan aku minum? Aku haus nih baru pulang kerja." Terdengar suara permintaan dari Naura. Ika yang sedang membalas pesan-pesan pelanggan yang masuk di ponselnya, merasa risih dengan permintaan Naura. "Apa kau tidak bisa mengambilnya sendiri ke dapur Naura?" Sahut Ika. Naura tidak suka mendengar jawaban kakak madunya. "Masa cuma ambilkan aku minum saja susah? Apa gunanya Mbak di rumah kalau cuma diam nongkrong. Padahal aku baru pulang dari banting tulang cari uang untuk makan kita. Supaya mulut mbak bisa makan. Ini aku cuma minta ambilkan minum saja mbak keberatan." Suara Naura kian keras. Ika bangkit dari duduknya, terus terang Ika tak suka dibilang demikian oleh Naura.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-07
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 10

    Bab 10 Arsyad memandang wajah Naura wajah itu masih tersedu dengan buliran air jatuh dari sudut matanya. Arsyad yang mulai merasa jatuh cinta pada istri keduanya itu, merasa iba. "Mi mengambil air itu bukan pekerjaan susah, apa salahnya Ami mengambilkannya. tidak perlu juga menjadi masalah besar apalagi sampai bertengkar. Lihat Naura menangis. Bersikaplah lebih dewasa, Mi. Kelakuanmu tidak seperti yang Abi lihat selama ini." Istri mana yang tidak sakit apabila suaminya membela sang istri kedua secara blak-blakan di depan mata. Tanpa mau menelisik duduk permasalahan yang sebenarnya. "Bi, kalau sekiranya Naura sakit atau tidak bisa berjalan, tentu saja aku ingin memenuhi permintaannya apalagi cuma sekedar mengambilkannya air minum. Tapi kalau kakinya masih kuat untuk berjalan. Tangannya juga masih kuat untuk menuangkan air putih ke gelas, maaf bi aku bukan orang suruhan. S

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-16
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 11

    Bab 11 "Segitukah teganya Ami mengusirku? Apakah Ami ingin Abi tidur menemani Ami malam ini?" Cih, Ika berdecih halus. "Aku ingin istirahat. Keluarlah." Dengan terpaksa, Arsyad melangkahkan kaki keluar dari ruangan yang telah banyak menyimpan kisah tersebut. Namun sekarang terasa kamar itu tidak sehangat dahulu. Yang ada hanya sikap dingin dari sang istri tuanya. *** Pagi hari telah tiba, pagi ini sengaja Ika tidak keluar kamar seperti biasanya. Ika hanya menghabiskan waktu di kamarnya, dengan menelisik pesan-pesan dari para pelanggan usaha online nya. Ika tersenyum melihat perkembangan usaha online nya cukup maju dibanding dengan toko pakaian yang ia jual secara offline. "Alhamdulillah, Tuhan memang mengerti akan perasaan hamba-hambanya. Dia pa

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-16
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 12

    Bab 12 "Dan juga untukmu Arsyad, sekalipun kamu tidak pernah membelikan aku barang-barang mewah. Aku tidak masalah, lagi pula aku tidak pernah memintanya padamu. Tapi kau pikir aku tidak tahu kamu membelikan sebuah kalung mahal untuk Naura? Aku menyaksikan engkau memasangkan kalung itu di leher istri mudamu ini. Sedangkan aku, tidak pernah kau hadiahi barang-barang seperti itu. Tapi aku tidak mempermasalahkannya. jadi sebaiknya mulai sekarang, kalian berdua tidak usah pusing dan tidak usah ikut campur dengan semua yang ku pakai dan apapun yang aku lakukan." Tegas Ika kembali. Gejolak amarahnyalah yang membuat ia mampu meluncurkan kata-kata seperti itu. "Hei Mbak Ika, Mbak mau tahu alasannya mengapa Arsyad memberikan aku hadiah? Sedangkan Mbak sendiri tidak pernah diberikan apapun. Itu artinya Arsyad lebih mencintai aku daripada Mbak. Mbak seharusnya introspeksi diri. Tidak usah salah menyalahkan. Perba

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-16
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 13

    Bab 13 Dalam perjalanan menuju kantor, Naura terus saja bicara penuh penekanan pada Arsyad. "Pa, siapa membelikan sepatu dan tas mahal untuk Ika? Papa, kan?" "Tidak, bukan Papa yang membelikan. Papa saja tidak tahu dari mana Ika mendapatkan uangnya." Jawab Arsyad. "Memangnya berapa sih gaji Mbak Ika sebulan dari mengurus usaha online kecilnya itu?" Tanya Karin ingin memastikan. "Halah... Penghasilan kakak madumu tidak sampai tiga juta sebulan." Arsyad menjawab asal. Pada dasarnya memang Arsyad tidak tahu berapa nominal gaji Ika yang sebenarnya. Selama ini Arsyad mengakui ia tidak ambil pusing dengan penghasilan yang didapatkan Ika. Yang ia tahu apabila ada keperluan dan kebutuhan rumah tangga yang kurang, Ika bersedia menutupi. "Lalu bagaimana caranya dia bisa membeli sesuatu

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-16
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 14

    Bab 14 "Terus mobil siapa yang mbak pakai? Minjam? Demi terlihat elegan, mbak rela minjam begitu?" Celetuk Naura. Ika terkekeh ringan. "Minjam? Tentu saja tidak. Mobil itu ku beli dengan uangku sendiri. Mengapa memangnya? Kalian kaget?..." Karin berkata sambil menatap Naura. "Tidak, juga siapa yang kaget memangnya? Cuma mobil begitu saja kok. kami juga bisa kok, membeli mobil baru yang lebih bagus dari mobil itu. Ngomong-ngomong nggak usah sombong deh, bilang aja kalau mobil kreditan." Ucap Naura sembari mencibirkan bibir. Kesannya meremehkan sekali. "Aku tidak sombong. Kan tadi kalian bertanya, aku menjawab. Wajar kan? Lagipula kalau misalkan itu mobil kreditan, apa itu jadi masalah buat kalian? Punyamu mana Naura? Meskipun cuma mobil kreditan, kamu punya nggak?" Jawab Ika. &nb

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-16
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 15

    Bab 15 "Silakan, silakan. Bawalah Naura keluar dari rumah ini. Bila perlu sebagai tambahan, ceraikan aku. Itu akan membuatku lebih senang, ketimbang hidup bersama kalian." "Jadi kau ingin aku menceraikanmu? Oke. Tunggu saja." "Ya aku menunggu. Jika tidak, aku yang akan menggugat cerai kamu." Ika menjawab dengan santainya. Tidak ada nada keberatan pada suaranya. Membuat Arsyad semakin kesal. "Kurang ajar kau, Ika. Aku benar-benar akan pergi membawa Naura menyingkir dari rumah ini." Kembali ancaman Arsyad menggema. Disertai dengan suara tendangan kaki Arsyad yang mendarat di daun pintu. Ika sama sekali tidak peduli dengan omongan Arsyad. "Tendanglah pintu kamarku, kalau sampai pintu kamarku rusak, maka kau akan tahu akibatnya, Arsyad." Ika berkata lantang dari dalam kamarnya. "Ber

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-16

Bab terbaru

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 54 Extra Part

    Bab 54 "Ma, sini Papa yang jemur pakaiannya ya," ujar Erland sembari menarik keranjang yang berisi pakaian-pakaian yang baru saja dikeringkan dari dalam mesin cuci. "Aduh, Pa. Ntar nggak enak kalo di liat orang. Kok Papa yang jemur pakaian?" "Ah nggak apa-apa. Namanya rumah tangga itu harus sama-sama. Apalagi Bik Inah dan Bik Inun sedang tidak ada. Bisa-bisa Mama sakit bila harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, udah deh, Mama istirahat saja dulu sana. Ntar sakit kalo kecapean. Papa lihat saudari bangun pagi tadi Mama beristirahat. Sambil liat-liat si kembar" ujar Erland dengan senyuman. Erland keluar menuju ke jemuran disamping rumah. Ika mengucap syukur kehadirat Tuhan yang telah menganugerahinya sesosok lelaki yang sudah dianggapnya seperti malaikat Sedangkan Erland mulai sibuk dengan pak

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 53 ENDING

    Bab 53 Beberapa tahun kemudian, Arsyad membanting begitu saja sebuah tas hitam yang berisi segenap berkas di tangannya. "Ada apa, Arsyad?" Bu Melia mendelik heran. "Tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerima aku lagi, Bu. Terpaksa Arsyad tetap bekerja di pencucian mobil yang menyebalkan itu. Dengan hasil yang jauh dari standar hidup. Selamanya kita akan terus terpuruk dalam kehidupan yang tidak menyenangkan ini," ucap Arsyad. "Sabar dulu, nanti pasti ada-ada saja perusahaan yang mau menerima kamu. Kerja di perkantoran lebih baik daripada bekerja di tempat cucian mobil." Bu Melia menenangkan. "Perusahaan mana lagi Bu, yang mau menerima seorang pria yang baru keluar dari penjara seperti aku? Bahkan perusahaan kecil pun menolak dengan kasar. Masih untung aku dapat pekerjaan di steam pencucian mobil. Kalau ti

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 52

    Bab 52 "Pak Erland, bisakah aku meminta izin untuk pulang lebih cepat?" Suara Ika terdengar serak. Erlan melihat ada yang mengkhawatirkan dari wajah perempuan itu. "Ika, kau terlihat begitu pucat. Apa kau sakit?" Tanya Erland. "Tidak, aku baik-baik saja hanya sedikit pusing, Pak." Jawab Ika. "Baik kalau begitu, biar aku antarkan kamu pulang," Erland bangkit dari duduknya. "Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pulang pekerjaan Bapak belum selesai," "Tidak! Pekerjaanku bisa diselesaikan nanti. Aku khawatir jika kau harus pulang sendiri," ujar Erland. "Terserah Bapak saja kalau begitu. Tapi aku tidak enak terlalu banyak merepotkan Anda, Pak Erland." Ujar Ika sambil terhuyung. Tangannya berpegangan pada dinding. "Ika, kau tidak apa-apa?"

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 51

    Bab 51 Hari demi hari, bulan demi bulan, tidak terasa usia Nada, Putri yang telah Naura lahirkan kian bertambah. Tentu saja kebutuhan yang harus dipenuhi juga bertambah banyak "Bu, Pampers Nada udah habis. Bagaimana ini? Pinjam duit Ibu dulu boleh ya?" Naura mendekati Bu Ema. "Kamu ini bagaimana, Naura? Kamu pikir ibu ini gudang duit apa? Darimana lagi ibu mendapatkan uang. Ibu sudah menghitung-hitung, setiap bulan kita harus mengeluarkan uang berapa, untuk jatah Nada juga berapa." Jawab Bu Ema. "Tapi uang yang ibu serahkan untuk Nada udah habis, Bu." Ujar Naura. "Naura, kondisi keuangan kita sedang sempit. Seharusnya kau tahu cara untuk berhemat, lihatlah rencana ibu untuk membuka usaha baru belum terwujud. Uang hasil gadai rumah kita pun hampir habis, nanti kalau kita tidak bisa menebus rumah ini, bahaimana? Mau kamu rumah in

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 50

    Bab 50"Haaaa ...?" Naura tersentak. "Mahendra menyebut anak kecil itu sebagai anaknya? Apakah selama ini Mahendra sudah menikah?" Naura melongo dengan kedua tangan menutup mulut. "Kurang aj*r...!" Seru Naura seraya berjalan dengan amarah yang naik ke ubun-ubun. Langkah kakinya menuju ke arah di mana Mahendra dan wanita itu berada. "Mahendra...!" Teriak Naura. "Lhoo? Naura...? Kok kamu ada di sini?" Mahendra amat kaget melihat Naura berdiri tepat di hadapannya. "Pa, siapa wanita ini?" Istri Mahendra tidak kalah kaget. "Mmm ... ia bukan siapa-siapa, Sayang." Jawab Mahendra. Mendengar jawaban lelaki yang sejak lama ia kenali tersebut, Naura naik pitam. Hatinya sakit dengan pengakuan palsu Mahendra. "Apa kau bilang? Kau tak katakan jika aku ini

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 49

    Bab 49 Karena tindakan yang mereka lakukan, Bu Melia dan Arsyad tidak mampu mengelak dari kenyataan bahwa mereka harus mendekam dalam jeruji besi. Bahkan jasa seorang pengacara yang mereka sewa pun tidak mampu untuk melepaskan mereka dari jeratan hukum. "Mengapa nasibku begini apes? Apa salahku? Huuuh...! Ika...semuanya gara-gara dia...!" Bu Melia terus sesenggukan meratapi nasib. "Bagaimana bisa dia menjadi marketing manager di perusahaan itu, jabatan yang bahkan melebihi jabatan anakku dulu. Apakah selama ini Ika membohongi kami?" dalam isak tangisnya Bu Melia masih sempat untuk mengumpat. Kembali ia teringat penampilan Ika yang ia lihat kemarin, "Sungguh sulit dipercaya, dari mana Ika mendapatkan uang banyak yang bisa merubah penampilannya hingga sedrastis itu? Hu

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 48

    Bab 48 Bu Melia tersenyum sumringah dengan mengibas-ngibaskan lembaran-lembaran uang di tangannya. "Tidak apalah aku kehilangan rumah, yang penting anakku bisa bebas. Toh aku masih punya usaha mebel yang bisa kukembangkan," "Cicilan Bank tidak akan mengurangi hasil yang akan kudapatkan," gumam Bu Melia. "Sebaiknya aku harus mengabari Arsyad dulu soal ini,"*** Setelah melewati beberapa prosedur, Bu Melia akhirnya bertatap muka dengan Arsyad. "Arsyad, ibu punya cerita bagus untukmu," "Berita soal apa, Bu?" "Ibu akan membebaskanmu dari sini,"ujar Bu Melia tersenyum senang. "Oh ya? Tapi tidak sedikit uangnya yang diperlukan untuk membebaskan aku dari sini Bu, dari mana ibu mendapatkan uang?" Tanya Arsyad.

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 47

    Bab 47 "Sekarang aku tanya Pak, apakah dia sering kemari hanya untuk melamar pekerjaan? saya hanya memberikan masukan jangan pernah menerima karyawan wanita janda seperti dia. Meskipun hanya untuk menjadi cleaning service sekali pun. Dia hanya akan mengusik para lelaki yang telah beristri. Karena apalah martabatnya sebagai janda mandul, seorang diri pula. Secara dari mana dia bisa hidup nyaman kalau tidak dari uang laki-laki hidung belang," ujar Bu Melia tanpa rasa bersalah. "Hentikan Bu Melia, aku tidak seperti yang ibu ucapkan," Ika menyela. Terlalu lama Ika membiarkan Bu Melia berkata sesuka hati. "Aku memang janda, tapi aku bukan janda gelenjotan. Aku bukan penikmat duit orang. Bahkan dengan tanganku ini, aku mampu mencari uang sendiri bahkan melebihi yang mampu Arsyad dapatkan," balas Ika. "Nah Pak Erland, Anda bisa lihat sendiri kesombongan wanita ini." Bu

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 46

    Bab 46 "Mmm,kalau aku masih mencintainya, aku tidak akan meminta cerai." Jawab Ika. "Syukurlah kalau begitu," sahut Erland. "Kamu kok bersyukur?"Ika heran. "Tidak apa-apa. Artinya ada peluang." Sahut Erland. "Peluang? Peluang apa?" Tanya Ika bingung. "Ah tidak. Tidak ada maksud apa-apa," *** "Selamat siang, Pak Erland!" Seseorang menyapa. "Siang ada apa?" Erland bertanya. "Ada seseorang di luar sana yang ingin bertemu sama bapak," "Oh ya siapa?" "Saya tidak kenal, Pak," "Mmm, apakah dia mencurigakan?" "Tidak juga, dia seorang perempuan paruh baya. Tapi sepertinya kedatangannya tidak d

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status