Share

Bab 8

last update Last Updated: 2021-08-07 11:40:39

Bab 8 Belang wanita kedua

 

 

     "Pa, Mbak Ika telah selesai memasakkan masakan yang istimewa untuk sarapan kita. Kelihatannya sedap sekali, Pa." Naura menghampiri suami barunya.

 

     "Ya memang setiap masakan Ika pasti menggugah selera." 

 

     "Kalau begitu Bagus lah, Pa. Artinya kita tidak perlu mencari asisten sebagai tukang masak." Lanjut Naura.

 

     "Maksudmu?"

 

     "Maksudku, kita bisa bekerja sama. Aku dan kamu mencari uang. Sedangkan Mbak Ika bertugas di rumah. beres-beres memasak mencuci mengepel dan sebagainya. Adil kan?"

 

     Arsyad memandang bibir sensual Naura yang menggoda.

 

     "Mmm, sayang. Pendapatmu tidak salah sih. Tapi... Bagaimana kalau kalian mengerjakannya bersama-sama." Arsyad memberi usulan dengan suara lembut.

 

      Mendadak kedua bola mata Naura melotot.

 

     "Maksud papa? Aku harus terjun mengurus dapur juga? Apa papa tidak salah bicara?"

 

     "Bukan begitu sayang, sabar dulu dong. Kalau kamunya suka marah nanti cantiknya berkurang lho." Goda Arsyad sembari mengelus-elus kepala Naura.

 

     "Lalu apa maksud papa bicara begitu?"

 

     "Maksud papa, sesekali kamu bisa bantu-bantu Ika. Seperti membereskan rumah, memasak atau menata sarapan di meja makan. Tidak perlu yang berat-berat, misalnya menyapu. Kan tidak berat tuh mengerjakannya."

 

     Naura duduk di sisi tempat tidur. 

 

     "Pa, mana katanya papa ingin cepat punya keturunan."

 

     "Tentu saja, kamu juga kepingin kan? Kita akan langsung merencanakan program kehamilan dalam waktu dekat."

 

     "Ya Pa. Tapi kalau ingin program kehamilan kita berhasil dengan cepat, Papa harus mengerti keadaan Naura. Naura tidak seharusnya melakukan pekerjaan rumah dalam bentuk apapun yang tidak Naura sukai. Karena mood yang baik juga akan mempengaruhi kesehatan dan kesehatan rahim. Makanya papa jangan maksa-maksa aku buat jadi kaya asisten. Naura bela-belain bekerja buat bantu cari nafkah, kok malah mau dibebankan lagi dengan pekerjaan rumah yang seyogyanya bisa dikerjakan oleh Mbak Ika."

 

     Perlahan mata Naura mulai berembun. Membasahi pipi mulusnya yang sudah di polesi make up. Melihatnya, Arsyad mulai Iba. Ia merengkuh pundak sang istri baru,

 

     "Sudah, sudah sayang, tidak usah menangis. Papa tidak maksa.  Maafkan papa ya sayang. Maksud papa kalau Mama mau dan punya waktu luang saja. Kalau mama merasa repot, tidak usah. Nanti kecapean. Oh ya kalau kira-kira pekerjaan akan membuat program kehamilan kita terhambat, apa tidak lebih baik Mama juga berhenti kerja untuk sementara?" Usul Arsyad lebih berhati-hati takut jika membuat Naura tersinggung kembali.

 

     "Untuk sementara ini biarkan Mama untuk tetap bekerja. Pekerjaan adalah prioritas utama bagi Mama."

 

     "Mama memang seorang perempuan pekerja keras dan pantang menyerah, di tambah cantik pula. Sempurna." Arsyad memuji-muji. Membuat Naura tersipu.  

 

     "Terima kasih, Pa."

 

     "Sekarang yuk kita sarapan dulu. Nanti papa yang akan nganterin Mama ke tempat kerja."

 

 

***

 

 

     Di meja makan ketiganya menikmati sarapan.

 

     "Masakan mbak Ika enak. Mbak pintar masak. Kalau begini, kita tidak perlu bersusah payah memesan makanan di luar, Pa. Dan juga tidak butuh asisten rumah tangga. Karena di rumah kita punya koki yang luar biasa. Bener lho, Mbak Ika, saya tidak bohong. Masakan Mbak benar-benar amazing."

 

    Sambil makan Naura bercerita mengomentari masakan Ika, sambil mengacungkan jempolnya.

 

     Resep melirik istri tuanya, takut apabila wanita itu tersinggung dengan ucapan Naura. 

 

     Namun tidak, wanita itu masih terlihat kuat. 

 

     "Dari dulu juga kami tidak menyewa asisten. Karena dulu aku berusaha untuk menjadi bagaimana semestinya menjadi seorang istri yang seharusnya. Nun belum tentu untuk waktu kedepan." Jelas ika. Dalam hati Ika melanjutkan kata-katanya tersebut.

 

     Ucapan Ika membuat Arsyad merasa heran. Namun keheranan itu untuk sementara ia simpan.

 

     "Dalam waktu kedepan pun saya rasa kita tidak memerlukannya. Masakan Mbak sangat sedap."

 

     "Terima kasih." Ika menanggapi pujian Naura.

 

     Tapi bukan berarti Ika senang mendengar komentar tadi. Karena dia merasa bukan seorang koki yang harus melayani Naura. 

 

     "Sama-sama."

 

     Sembari memasukkan sarapan ke mulut, Naura bertanya,

 

     "kenapa Mbak Ika tidak membuka restoran saja kalau begini pasti banyak pengunjungnya?"

 

     "Ah, nanti terlalu repot, Naura. Mbak sekarang sedang fokus dengan usaha online Mbak." Jawab Ika.

 

     "Usaha online? Mbak punya usaha online? Memangnya apa saja yang Mbak jual?" Naura mengernyitkankan dahi.

 

     "Ya aneka pakaian wanita mulai dari daster, gamis, dan kerudung."

 

     "Wah, banyak juga ya mbak. Omong-omong dimana Mbak menaruh barang-barangnya nih? Mana? kok saya enggak lihat tuh ada barang-barang jualan Mbak di rumah ini?"

 

     "Ada di toko depan." Ika menjawab singkat.

 

     "Toko? Di mana tokonya?"

 

     "Tuh di depan gang anggrek sana. Dekat kok. Jadi Mbak bisa mengolah usaha kecil-kecilan Mbak itu sambil mengurus rumah. Memang usaha Mbak lebih aktif secara online daripada offline. Secara kalau online, lebih banyak mendapat penghasilan dari para reseller-reseller aktif di berbagai kota."

 

     Naura terdiam. Karena selama ini ia hanya menganggap Ika sebagai perempuan rumahan, yang hanya bergantung pada suami, dan tidak mengerti bisnis. 

 

     "Oh bisnis kecil-kecilan begitu ya mbak?" Naura menduga-duga.

 

     "Iya bisnis kecil-kecilan, hanya sampingan saja sebagai ibu rumah tangga." Jawab Ika.

 

     Naura merasa lega, setidaknya dugaannya benar. Kakak madunya itu hanya mempunyai bisnis skala rendahan. 

 

     "Yah dari tampangnya saja kan, aku sudah bisa menebak. Kira-kira bisnis seperti apa yang mampu di lakukan boleh kakak maduku ini. Wanita malang." Pikir Naura dalam hati.

 

     "Kira-kira berapa rata-rata kisaran harga gamis yang Mbak Ika jual? Mmm... apa hanya gamis yang seharga seratusan ribu saja?" Tanya Naura kepo.

 

     "Ya segitu juga ada?" 

 

     "Yang lebih mahal lagi ada nggak? Soalnya kalau ada yang cocok aku juga pengen beli. Asalkan brand-nya bagus dan tidak kaleng kaleng, saya rela untuk membayar lebih mahal. Tapi sepertinya hanya ada model seperti gamis yang biasa Mbak pakai itu ya?"

 

     Ika tersenyum kecut, apa pula maksud perempuan kedua suaminya itu bertanya demikian? Terkesan terlalu ingin tahu soal pekerjaan yang Ika lakoni.

 

     "Tergantung pilihan, Naura. Kalau selera Naura bisa beli, kalau tidak ya tidak apa-apa."

 

     "Maaf Mbak, aku sudah bisa tebak kualitas produk yang Mbak Ika jual. Maaf saran saya, lebih baik mbak mencari brand-brand yang sudah terkenal kualitasnya dan sudah tidak diragukan lagi. Daripada Mbak menjual gamis-gamis yang kurang berkualitas seperti itu. Ya lebih baik mencari yang pasti-pasti aja lah merk-nya. Supaya orang-orang tidak ragu untuk membeli." Kembali Naura memberi masukan. 

 

     Namun masukan yang dia ucapkan lebih terdengar seperti menyepelekan usaha Ika.

 

      "Saranmu memang bagus, Naura. Tapi semua tergantung selera. Dan rezeki kembali kepada yang kuasa." Jawab Ika santai.

 

     "Iya, siih. Tapi semua itu kan butuh usaha."

 

     "Benar sekali."

 

     "Mmm, kalau mbak mau menjual brand-brand terkenal, saya punya temen kok yang bisa membantu. Kalau di banding-bandingin soal harga dan kualitas, produk yang ia jual sangat fantastis, satu gamis berharga jutaan. Bukan ratusan ribu Mbak. Dia terbilang sukses sekarang. Tapi sebelumnya, memang modalnya gede sih, mbak. Mungkin Mbak akan mempunyai kendala masalah modal ini. Pertama-tama buka aja udah ratusan juta belum lagi kalau udah gede begitu." Naura bercerita dengan semangat.

 

     "Wah keren dong. Tapi kalau saya mainnya nggak tinggi-tinggi amat Naura. Target yang saya incar juga bukan orang-orang kaya. seperti yang Naura bilang tadi saya tidak mempunyai begitu banyak modal. Nanti kalau misalnya sudah berkembang, baru deh merencanakan menjual yang branded. Eh sebelumnya terima kasih sarannya Naura."

 

     "Iya sama-sama Mbak Ika."

 

      Semakin lama, Ika semakin bisa menebak sifat asli dari perempuan cantik di depannya tersebut. setiap berbicara wanita itu terkesan merendahkan. Padahal dia belum tahu bagaimana bisnis usaha Ika yang sesungguhnya. 

 

     Sedangkan Arsyad cuma manggut-manggut saja mendengar percakapan kedua istrinya.

 

      Naura melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan,

 

     "Astaga Pa. Tidak lama lagi saya harus tiba di kantor. Bisa papa antar Mama sekarang?" Ujar Naura tiba-tiba.

 

     "Ya boleh boleh. Sebentar ya, Ma."

 

     "Ayo cepetan dong nanti keburu telat nih."

 

     "Iya iya mari."

 

     "Maaf ya Mbak Ika. Saya tidak sempat membantu mbak untuk membereskan meja."

 

     Naura keluar begitu saja meninggalkan bekas sarapannya barusan.

 

     Ika berdecak kesal.

 

     "Huuuuuh... Aku apain ya perempuan seperti ini? Sebelumnya aku kira dia wanita baik. Taunya begini."

 

 

Bersambung...

 

 

 

     

     

 

     

     

     

 

 

 

     

 

 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Aslinya iblis bgt si naura kampret emank berharap kakak madunya jd pembantu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 9

    Bab 9 "Mbak, tolong ambilkan aku minum? Aku haus nih baru pulang kerja." Terdengar suara permintaan dari Naura. Ika yang sedang membalas pesan-pesan pelanggan yang masuk di ponselnya, merasa risih dengan permintaan Naura. "Apa kau tidak bisa mengambilnya sendiri ke dapur Naura?" Sahut Ika. Naura tidak suka mendengar jawaban kakak madunya. "Masa cuma ambilkan aku minum saja susah? Apa gunanya Mbak di rumah kalau cuma diam nongkrong. Padahal aku baru pulang dari banting tulang cari uang untuk makan kita. Supaya mulut mbak bisa makan. Ini aku cuma minta ambilkan minum saja mbak keberatan." Suara Naura kian keras. Ika bangkit dari duduknya, terus terang Ika tak suka dibilang demikian oleh Naura.

    Last Updated : 2021-08-07
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 10

    Bab 10 Arsyad memandang wajah Naura wajah itu masih tersedu dengan buliran air jatuh dari sudut matanya. Arsyad yang mulai merasa jatuh cinta pada istri keduanya itu, merasa iba. "Mi mengambil air itu bukan pekerjaan susah, apa salahnya Ami mengambilkannya. tidak perlu juga menjadi masalah besar apalagi sampai bertengkar. Lihat Naura menangis. Bersikaplah lebih dewasa, Mi. Kelakuanmu tidak seperti yang Abi lihat selama ini." Istri mana yang tidak sakit apabila suaminya membela sang istri kedua secara blak-blakan di depan mata. Tanpa mau menelisik duduk permasalahan yang sebenarnya. "Bi, kalau sekiranya Naura sakit atau tidak bisa berjalan, tentu saja aku ingin memenuhi permintaannya apalagi cuma sekedar mengambilkannya air minum. Tapi kalau kakinya masih kuat untuk berjalan. Tangannya juga masih kuat untuk menuangkan air putih ke gelas, maaf bi aku bukan orang suruhan. S

    Last Updated : 2021-08-16
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 11

    Bab 11 "Segitukah teganya Ami mengusirku? Apakah Ami ingin Abi tidur menemani Ami malam ini?" Cih, Ika berdecih halus. "Aku ingin istirahat. Keluarlah." Dengan terpaksa, Arsyad melangkahkan kaki keluar dari ruangan yang telah banyak menyimpan kisah tersebut. Namun sekarang terasa kamar itu tidak sehangat dahulu. Yang ada hanya sikap dingin dari sang istri tuanya. *** Pagi hari telah tiba, pagi ini sengaja Ika tidak keluar kamar seperti biasanya. Ika hanya menghabiskan waktu di kamarnya, dengan menelisik pesan-pesan dari para pelanggan usaha online nya. Ika tersenyum melihat perkembangan usaha online nya cukup maju dibanding dengan toko pakaian yang ia jual secara offline. "Alhamdulillah, Tuhan memang mengerti akan perasaan hamba-hambanya. Dia pa

    Last Updated : 2021-08-16
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 12

    Bab 12 "Dan juga untukmu Arsyad, sekalipun kamu tidak pernah membelikan aku barang-barang mewah. Aku tidak masalah, lagi pula aku tidak pernah memintanya padamu. Tapi kau pikir aku tidak tahu kamu membelikan sebuah kalung mahal untuk Naura? Aku menyaksikan engkau memasangkan kalung itu di leher istri mudamu ini. Sedangkan aku, tidak pernah kau hadiahi barang-barang seperti itu. Tapi aku tidak mempermasalahkannya. jadi sebaiknya mulai sekarang, kalian berdua tidak usah pusing dan tidak usah ikut campur dengan semua yang ku pakai dan apapun yang aku lakukan." Tegas Ika kembali. Gejolak amarahnyalah yang membuat ia mampu meluncurkan kata-kata seperti itu. "Hei Mbak Ika, Mbak mau tahu alasannya mengapa Arsyad memberikan aku hadiah? Sedangkan Mbak sendiri tidak pernah diberikan apapun. Itu artinya Arsyad lebih mencintai aku daripada Mbak. Mbak seharusnya introspeksi diri. Tidak usah salah menyalahkan. Perba

    Last Updated : 2021-08-16
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 13

    Bab 13 Dalam perjalanan menuju kantor, Naura terus saja bicara penuh penekanan pada Arsyad. "Pa, siapa membelikan sepatu dan tas mahal untuk Ika? Papa, kan?" "Tidak, bukan Papa yang membelikan. Papa saja tidak tahu dari mana Ika mendapatkan uangnya." Jawab Arsyad. "Memangnya berapa sih gaji Mbak Ika sebulan dari mengurus usaha online kecilnya itu?" Tanya Karin ingin memastikan. "Halah... Penghasilan kakak madumu tidak sampai tiga juta sebulan." Arsyad menjawab asal. Pada dasarnya memang Arsyad tidak tahu berapa nominal gaji Ika yang sebenarnya. Selama ini Arsyad mengakui ia tidak ambil pusing dengan penghasilan yang didapatkan Ika. Yang ia tahu apabila ada keperluan dan kebutuhan rumah tangga yang kurang, Ika bersedia menutupi. "Lalu bagaimana caranya dia bisa membeli sesuatu

    Last Updated : 2021-08-16
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 14

    Bab 14 "Terus mobil siapa yang mbak pakai? Minjam? Demi terlihat elegan, mbak rela minjam begitu?" Celetuk Naura. Ika terkekeh ringan. "Minjam? Tentu saja tidak. Mobil itu ku beli dengan uangku sendiri. Mengapa memangnya? Kalian kaget?..." Karin berkata sambil menatap Naura. "Tidak, juga siapa yang kaget memangnya? Cuma mobil begitu saja kok. kami juga bisa kok, membeli mobil baru yang lebih bagus dari mobil itu. Ngomong-ngomong nggak usah sombong deh, bilang aja kalau mobil kreditan." Ucap Naura sembari mencibirkan bibir. Kesannya meremehkan sekali. "Aku tidak sombong. Kan tadi kalian bertanya, aku menjawab. Wajar kan? Lagipula kalau misalkan itu mobil kreditan, apa itu jadi masalah buat kalian? Punyamu mana Naura? Meskipun cuma mobil kreditan, kamu punya nggak?" Jawab Ika. &nb

    Last Updated : 2021-08-16
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 15

    Bab 15 "Silakan, silakan. Bawalah Naura keluar dari rumah ini. Bila perlu sebagai tambahan, ceraikan aku. Itu akan membuatku lebih senang, ketimbang hidup bersama kalian." "Jadi kau ingin aku menceraikanmu? Oke. Tunggu saja." "Ya aku menunggu. Jika tidak, aku yang akan menggugat cerai kamu." Ika menjawab dengan santainya. Tidak ada nada keberatan pada suaranya. Membuat Arsyad semakin kesal. "Kurang ajar kau, Ika. Aku benar-benar akan pergi membawa Naura menyingkir dari rumah ini." Kembali ancaman Arsyad menggema. Disertai dengan suara tendangan kaki Arsyad yang mendarat di daun pintu. Ika sama sekali tidak peduli dengan omongan Arsyad. "Tendanglah pintu kamarku, kalau sampai pintu kamarku rusak, maka kau akan tahu akibatnya, Arsyad." Ika berkata lantang dari dalam kamarnya. "Ber

    Last Updated : 2021-08-16
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 16

    Bab 16 Ika berpikir dalam hati, sesungguhnya Ika telah memiliki banyak cadangan tabungan untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan seperti ini terjadi. "Ika, kau seharusnya bisa belajar dari Naura, baru saja satu bulan, Naura sudah mampu memberikan keturunan. Lhaa... Kamu sudah lima tahun ,rahimmu masih saja kosong. Apalagi namanya kalau tidak mandul?" Selalu saja Bu Melia memandang Naura lebih dari segalanya. Sampai-sampai memerintahkan Ika untuk belajar dengan perempuan itu. "Menurut ibu apa yang harus aku pelajari dari Naura?" Tanya Ika. Ika melihat kedua mata mertuanya. Kedua mata itu nampak menebar kebencian untuk Ika. "Kau seperti tidak punya otak. Buka matamu, buka pikiranmu. Naura jelas-jelas lebih beruntung daripada kamu." Ika tersenyum pahit. Kalau di pikir-pikir jernih, beruntung dar

    Last Updated : 2021-08-16

Latest chapter

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 54 Extra Part

    Bab 54 "Ma, sini Papa yang jemur pakaiannya ya," ujar Erland sembari menarik keranjang yang berisi pakaian-pakaian yang baru saja dikeringkan dari dalam mesin cuci. "Aduh, Pa. Ntar nggak enak kalo di liat orang. Kok Papa yang jemur pakaian?" "Ah nggak apa-apa. Namanya rumah tangga itu harus sama-sama. Apalagi Bik Inah dan Bik Inun sedang tidak ada. Bisa-bisa Mama sakit bila harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, udah deh, Mama istirahat saja dulu sana. Ntar sakit kalo kecapean. Papa lihat saudari bangun pagi tadi Mama beristirahat. Sambil liat-liat si kembar" ujar Erland dengan senyuman. Erland keluar menuju ke jemuran disamping rumah. Ika mengucap syukur kehadirat Tuhan yang telah menganugerahinya sesosok lelaki yang sudah dianggapnya seperti malaikat Sedangkan Erland mulai sibuk dengan pak

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 53 ENDING

    Bab 53 Beberapa tahun kemudian, Arsyad membanting begitu saja sebuah tas hitam yang berisi segenap berkas di tangannya. "Ada apa, Arsyad?" Bu Melia mendelik heran. "Tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerima aku lagi, Bu. Terpaksa Arsyad tetap bekerja di pencucian mobil yang menyebalkan itu. Dengan hasil yang jauh dari standar hidup. Selamanya kita akan terus terpuruk dalam kehidupan yang tidak menyenangkan ini," ucap Arsyad. "Sabar dulu, nanti pasti ada-ada saja perusahaan yang mau menerima kamu. Kerja di perkantoran lebih baik daripada bekerja di tempat cucian mobil." Bu Melia menenangkan. "Perusahaan mana lagi Bu, yang mau menerima seorang pria yang baru keluar dari penjara seperti aku? Bahkan perusahaan kecil pun menolak dengan kasar. Masih untung aku dapat pekerjaan di steam pencucian mobil. Kalau ti

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 52

    Bab 52 "Pak Erland, bisakah aku meminta izin untuk pulang lebih cepat?" Suara Ika terdengar serak. Erlan melihat ada yang mengkhawatirkan dari wajah perempuan itu. "Ika, kau terlihat begitu pucat. Apa kau sakit?" Tanya Erland. "Tidak, aku baik-baik saja hanya sedikit pusing, Pak." Jawab Ika. "Baik kalau begitu, biar aku antarkan kamu pulang," Erland bangkit dari duduknya. "Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pulang pekerjaan Bapak belum selesai," "Tidak! Pekerjaanku bisa diselesaikan nanti. Aku khawatir jika kau harus pulang sendiri," ujar Erland. "Terserah Bapak saja kalau begitu. Tapi aku tidak enak terlalu banyak merepotkan Anda, Pak Erland." Ujar Ika sambil terhuyung. Tangannya berpegangan pada dinding. "Ika, kau tidak apa-apa?"

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 51

    Bab 51 Hari demi hari, bulan demi bulan, tidak terasa usia Nada, Putri yang telah Naura lahirkan kian bertambah. Tentu saja kebutuhan yang harus dipenuhi juga bertambah banyak "Bu, Pampers Nada udah habis. Bagaimana ini? Pinjam duit Ibu dulu boleh ya?" Naura mendekati Bu Ema. "Kamu ini bagaimana, Naura? Kamu pikir ibu ini gudang duit apa? Darimana lagi ibu mendapatkan uang. Ibu sudah menghitung-hitung, setiap bulan kita harus mengeluarkan uang berapa, untuk jatah Nada juga berapa." Jawab Bu Ema. "Tapi uang yang ibu serahkan untuk Nada udah habis, Bu." Ujar Naura. "Naura, kondisi keuangan kita sedang sempit. Seharusnya kau tahu cara untuk berhemat, lihatlah rencana ibu untuk membuka usaha baru belum terwujud. Uang hasil gadai rumah kita pun hampir habis, nanti kalau kita tidak bisa menebus rumah ini, bahaimana? Mau kamu rumah in

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 50

    Bab 50"Haaaa ...?" Naura tersentak. "Mahendra menyebut anak kecil itu sebagai anaknya? Apakah selama ini Mahendra sudah menikah?" Naura melongo dengan kedua tangan menutup mulut. "Kurang aj*r...!" Seru Naura seraya berjalan dengan amarah yang naik ke ubun-ubun. Langkah kakinya menuju ke arah di mana Mahendra dan wanita itu berada. "Mahendra...!" Teriak Naura. "Lhoo? Naura...? Kok kamu ada di sini?" Mahendra amat kaget melihat Naura berdiri tepat di hadapannya. "Pa, siapa wanita ini?" Istri Mahendra tidak kalah kaget. "Mmm ... ia bukan siapa-siapa, Sayang." Jawab Mahendra. Mendengar jawaban lelaki yang sejak lama ia kenali tersebut, Naura naik pitam. Hatinya sakit dengan pengakuan palsu Mahendra. "Apa kau bilang? Kau tak katakan jika aku ini

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 49

    Bab 49 Karena tindakan yang mereka lakukan, Bu Melia dan Arsyad tidak mampu mengelak dari kenyataan bahwa mereka harus mendekam dalam jeruji besi. Bahkan jasa seorang pengacara yang mereka sewa pun tidak mampu untuk melepaskan mereka dari jeratan hukum. "Mengapa nasibku begini apes? Apa salahku? Huuuh...! Ika...semuanya gara-gara dia...!" Bu Melia terus sesenggukan meratapi nasib. "Bagaimana bisa dia menjadi marketing manager di perusahaan itu, jabatan yang bahkan melebihi jabatan anakku dulu. Apakah selama ini Ika membohongi kami?" dalam isak tangisnya Bu Melia masih sempat untuk mengumpat. Kembali ia teringat penampilan Ika yang ia lihat kemarin, "Sungguh sulit dipercaya, dari mana Ika mendapatkan uang banyak yang bisa merubah penampilannya hingga sedrastis itu? Hu

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 48

    Bab 48 Bu Melia tersenyum sumringah dengan mengibas-ngibaskan lembaran-lembaran uang di tangannya. "Tidak apalah aku kehilangan rumah, yang penting anakku bisa bebas. Toh aku masih punya usaha mebel yang bisa kukembangkan," "Cicilan Bank tidak akan mengurangi hasil yang akan kudapatkan," gumam Bu Melia. "Sebaiknya aku harus mengabari Arsyad dulu soal ini,"*** Setelah melewati beberapa prosedur, Bu Melia akhirnya bertatap muka dengan Arsyad. "Arsyad, ibu punya cerita bagus untukmu," "Berita soal apa, Bu?" "Ibu akan membebaskanmu dari sini,"ujar Bu Melia tersenyum senang. "Oh ya? Tapi tidak sedikit uangnya yang diperlukan untuk membebaskan aku dari sini Bu, dari mana ibu mendapatkan uang?" Tanya Arsyad.

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 47

    Bab 47 "Sekarang aku tanya Pak, apakah dia sering kemari hanya untuk melamar pekerjaan? saya hanya memberikan masukan jangan pernah menerima karyawan wanita janda seperti dia. Meskipun hanya untuk menjadi cleaning service sekali pun. Dia hanya akan mengusik para lelaki yang telah beristri. Karena apalah martabatnya sebagai janda mandul, seorang diri pula. Secara dari mana dia bisa hidup nyaman kalau tidak dari uang laki-laki hidung belang," ujar Bu Melia tanpa rasa bersalah. "Hentikan Bu Melia, aku tidak seperti yang ibu ucapkan," Ika menyela. Terlalu lama Ika membiarkan Bu Melia berkata sesuka hati. "Aku memang janda, tapi aku bukan janda gelenjotan. Aku bukan penikmat duit orang. Bahkan dengan tanganku ini, aku mampu mencari uang sendiri bahkan melebihi yang mampu Arsyad dapatkan," balas Ika. "Nah Pak Erland, Anda bisa lihat sendiri kesombongan wanita ini." Bu

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 46

    Bab 46 "Mmm,kalau aku masih mencintainya, aku tidak akan meminta cerai." Jawab Ika. "Syukurlah kalau begitu," sahut Erland. "Kamu kok bersyukur?"Ika heran. "Tidak apa-apa. Artinya ada peluang." Sahut Erland. "Peluang? Peluang apa?" Tanya Ika bingung. "Ah tidak. Tidak ada maksud apa-apa," *** "Selamat siang, Pak Erland!" Seseorang menyapa. "Siang ada apa?" Erland bertanya. "Ada seseorang di luar sana yang ingin bertemu sama bapak," "Oh ya siapa?" "Saya tidak kenal, Pak," "Mmm, apakah dia mencurigakan?" "Tidak juga, dia seorang perempuan paruh baya. Tapi sepertinya kedatangannya tidak d

DMCA.com Protection Status