Share

Bab 2

Penulis: Silla Defaline
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-07 11:28:43

Bab 2 

 

 

      Ada rasa getir menusuk jantung, ketika Ika mendengar ucapan pedas dari bibir mertuanya.

 

     "Sekali lagi ibu tegaskan, nikahilah Naura."

 

     Arsyad terdiam cukup lama.

 

     "Baiklah, Bu. Sepertinya ucapan ibu perlu di pertimbangkan. Dan juga aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Aku harus meminta pendapat Ika."

 

     Akhirnya terdengar juga lelaki itu bicara.

 

     "Pertimbangkan dengan baik, Arsyad. Jika kamu menikahi Naura,  maka secara tidak langsung kamu memperbaiki perekonomian keluarga. Dengan gelar pendidikannya, tidaklah sulit bagi Naura untuk menemukan pekerjaan yang layak. Tidak seperti Ika yang bergantung sepenuhnya pada gajimu."

 

     Dug... Kembali jantung Ika seperti tertusuk duri. Nyeri teramat nyeri. Berbagai pertanyaan silih berganti datang di pikiran. Apakah mungkin ia seburuk itu di mata sang mertua?  serendah itukah sosok Ika di mata Bu Melia? Apa perempuan itu tidak mengetahui usaha Ika selama ini? Entahlah...

 

     Padahal Bu Melia tahu bahwa Ika bukan sekedar seorang ibu rumah tangga yang hanya berdiam diri dirumah. Ika juga mempunyai usaha kecil-kecilan. Ia mempunyai toko online yang mulai berkembang. 

 

     Meski tidak menghasilkan uang dengan jumlah yang cukup banyak, namun penghasilannya bisa untuk mencukupi kebutuhan pribadinya sendiri dan membantu kebutuhan rumah tangga.

 

     Dengan begitu uang enam juta yang diberikan oleh Arsyad padanya setiap bulan selama ini, lebih dari cukup untuk membayar cicilan mobil dan rumah. Di luar itu, karena hanya hidup berdua, Ika masih bisa menyisihkan sebagian uang sebagai tabungan.  

 

     "Ibu tidak mau tahu, dua hari lagi kamu harus memberikan keputusan yang pasti." Kembali Bu Melia menegaskan.

 

    "Bu, apa Ibu tidak memikirkan perasaan Ika? dia pasti terluka apabila Arsyad menceritakan masalah ini. Apalagi sampai menyampaikan niat untuk menikahi Naura." Arsyad masih berusaha untuk mengurungkan niat ibunya.

 

     "Kamu ini bagaimana sih, Arsyad? Tadi kamu bilang kamu setuju dan ingin membicarakannya terlebih dahulu sama si Ika. Kok sekarang ngomongnya begitu. Kamu lebih peduli perasaan Ika, apa perasaan ibu? Ibu ini sudah lama menunggu kehadiran cucu. Tapi istrimu itu tidak bisa memberikan keturunan. Kalau dia sungguh-sungguh mandul kamu mau bilang apa? Apa kamu ingin selamanya Ibu tidak mempunyai cucu? Dan kamu ingin selamanya tidak mempunyai anak? Berpikirlah yang luas, Arsyad. Wanita bukan cuma Ika. Jangan berpikir hanya dari satu sisi saja. Kau hanya memikirkan perasaan Ika, tapi tidak memikirkan yang lain. Kamu ingin membuat Ibu kecewa?"

 

     "Bukan seperti itu yang Arsyad maksudkan, Bu. Tapi..."

 

     "Tidak ada tapi-tapian. Sekali ini ibu mohon kamu menuruti permintaan ibu. Sekali ini saja. Tolong jangan membantah."

 

     "Bu... Baiklah nanti malam akan kucoba membicarakannya baik-baik sama Ika."

 

     "Pokoknya Ibu tidak mau kamu hanya coba-coba. Kau adalah laki-laki,  lelaki berhak menentukan keputusannya sendiri. Jangan terlalu mengikat keputusanmu pada Ika, Arsyad. Aku tak suka kau menjadi lelaki pengecut. Jangan pernah jadi suami takut Istri. Kalau kamu mau  berpikir jernih, pasti kau sadar bahwa tidak ada yang bisa kamu banggakan dari istri semacam Ika."

 

     Sungguh, Ika yang mendengar percakapan mereka, dibuat tidak percaya dengan kata-kata yang dikeluarkan oleh Bu Melia. 

 

     Ika merasa pilu, setelah kedua orang tuanya tewas beberapa tahun yang lalu karena kecelakaan, maka Bu Melia lah yang ia anggap sebagai orang tua satu-satunya. Namun sekarang, orang yang ia hormati itu mengambil tindakan yang sangat menyakiti hatinya.

 

     Sebelum suami dan mertua menyadari kehadirannya, Ika segera mengambil dompet yang tadi tertinggal di atas meja, dan diam-diam meninggalkan rumah. 

 

    Dengan muka sayu, Ika kembali ke pasar. Tidak ada yang tahu akan kehadirannya di rumah tadi,   tidak ada juga yang tahu jika ia telah mendengar percakapan rahasia antara ibu mertua dan suaminya.

 

     Entah bagaimana menggambarkan suasana hati Ika saat itu. Sungguh sulit untuk diuraikan. Perkataan Ibu mertuanya tadi tidak bisa dianggap sebagai sebuah lelucon. 

 

     Dulu memang pernah Bu Melia bercerita tentang sosok Naura pada Ika. Bahkan dulu ibu mertua pernah membawa perempuan itu datang ke rumah tanpa sepengetahuan Arsyad.

 

     Bu Melia membangga-banggakan Naura adalah seorang sarjana ekonomi. Karena itu wajar saja jika saja Ika yang hanya lulusan SMA, dipandang sebelah mata oleh ibu mertua.

 

     Bertemu sekali dengan Naura, membuat Ika menyadari, dari segi wajah, putri dari sahabat bu Melia itu memang memiliki wajah yang cukup cantik. Dengan tubuh yang tinggi semampai, dan bentuk tubuhnya yang sintal dan berisi. sungguh dia adalah wanita idaman bagi sebagian pria yang melihatnya.

 

     Ika menyeka air mata yang mulai kembali bercucuran.

 

     "Wajar Ibu ingin menggantikan aku dengan menantu yang lebih baik. Hiks... Naura memang memiliki banyak kelebihan dibanding aku."

 

     Sebetulnya Ika tidaklah jelek, hanya saja ia lebih suka berpenampilan sederhana. Tidak terlalu sederhana, namun tidak berlebihan. 

 

     "Mungkin Ibu benar, tidak ada yang bisa dibanggakan dariku. Mungkin ini memang salahku tidak bisa memberikan keturunan. Hiks... Hiks... Maafkan Ami, Bi. Ami belum bisa melahirkan anak untukmu. Dan juga cucu buat ibu."

 

     Ika kembali menitikkan tetesan air mata.

 

     "Sudahlah, Ika. Ini adalah jalan hidup yang harus kamu lalui, bersabarlah." 

 

     Ika mengelus dada, berusaha menguatkan hati.

      

 

 

***

 

 

     Sebelum memasuki rumah, Ika memastikan tidak ada sisa-sisa kesedihan dan kepiluan di wajahnya. Melalui kaca spion sepeda motor, Ika bercermin, dan menekan-nekankan tisu di sekitaran matanya yang masih terlihat memerah. 

 

     "Sepertinya aku sudah terlihat baik-baik saja."

 

     Ika perlahan melangkah masuk, 

 

     "Ika? kamu sudah pulang? Kok lama sekali ya? Ibu nunggu-nunggu dari tadi lo. Ya sudah tidak apa-apa, bawa langsung ke dapur dan taruh di tempat semestinya. Kamu tahu kan di mana harus meletakkan bahan makanan dan sayuran?" 

 

     Ika yang baru saja datang disambut dengan celotehan mertuanya yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

 

     "Sudah tentu Ika tahu, Bu." Jawab Ika tanpa menoleh, karena takut jika mertua melihat matanya yang kemungkinan masih kemerahan.

 

     Dengan cepat ia melangkah ke dapur membuka kulkas dan menyusun bahan makanan yang baru saja ia bawa. Menghadap ke kulkas, Ika tidak bisa menahan air mata. Dalam hati Ika mengumpat-umpat, menyesali diri mengapa ia tercipta sebagai makhluk yang begitu cengeng. Mengapa bendungan air mata tidak mampu untuk menahan diri untuk keluar dari peraduan. 

 

     Ika membayangkan apa yang akan dikatakan oleh Arsyad nanti malam. apakah pria itu benar-benar akan menceraikannya atau meminta izin untuk menikahi Naura? Lalu apa jawaban yang akan Ika berikan? Gejolak pikiran membuat wanita berkulit bening tersebut seperti tidak mempunyai semangat hidup.

 

     "Ami, kenapa menangis? Apa yang sedang Ami pikirkan? Ayo ceritakan sama Abi."

 

     Sentuhan tangan Arsyad di pundaknya dari belakang, sontak membuat Ika terkejut. Dia merasa lalai, mengapa tangisannya sampai bisa menarik perhatian sang suami.

 

     Apa yang harus ia katakan?

 

 

Bersambung...

 

      

 

 

     

 

 

 

 

    

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rani Hermansyah
yang berkenan ya dikarya recehku istri yang tak dirindukan
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
Ngeri ah perasaan Istri Bila pihak ketiga ikut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 3

    Bab 3 "Ami, kenapa menangis? Apa yang sedang Ami pikirkan? Ayo ceritakan sama Abi." Sentuhan tangan Arsyad di pundaknya dari belakang, sontak membuat Ika terkejut. Dia merasa lalai, mengapa tangisannya sampai bisa menarik perhatian sang suami. Apa yang harus ia katakan? Ika bingung, haruskah ia menyampaikan keluh kesahnya? Tapi tidak, wanita itu masih bisa mengontrol hatinya. Walaupun beban batin yang ia pikul begitu berat, tapi setidaknya sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan itu. "Tidak, Bi. Ami tidak apa-apa?" "Tapi Ami menangis? Jangan bohong, Mi." "Tidak, Ami baik-baik saja. Ini tadi mata Ami kelilipan. Makanya terasa sedikit perih." 

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-07
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 4

    Bab 4 "Apa? aku dan Naura? Kenapaharuskami berdua?" Arsyad melotot keheranan. Hatinya bertanya-tanya ada apa lagi kah ini? Arsyad menerka-nerka bahwa sang Ibu mengajaknya ke rumah Naura, pastilah ada niat tertentu menyangkut perjodohan yang ingin beliau lakukan. Dalam hati Arsyad memohon pada yang kuasa semoga saja Bu Melia terbuka hatinya dan menarik keinginan untuk menyuruh anak lelakinya menikahi Naura. "Kenapa harus aku sama Naura, Bu?" Ulang Arsyad. "Tidak usah banyak tanya. Cukup kamu ikuti saja. Kau tahu? ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk kamu. Jadi tidak usah khawatir dan berpikir yang tidak-tidak." Arsyad sadar betul, setiap Ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Termasuk ibunya. Dia tidak meragukan itu. Demi men

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-07
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 5

    Bab 5 Menjelang sore barulahBu Melia mengajak Arsyad pulang. sebenarnya dari tadi Arsyad mengisyaratkan kepada ibunya agar segera pulang tapi perempuan itu itu tidak menggubris. "Bagaimana sosok Naura menurutmu? Apa dia cukup cantik untukmu?" "Entahlah, Bu. Iya, aku akui dia cantik." "Lalu apakah kamu masih ragu untuk menikahinya?" "Sekarang belum saatnya berbicara begitu. Bahkan aku belum bicarakan ini sama Ika. Oh iya Ika, dia pasti sudah lama menunggu." Arsyad melirik jam tangannya menjelang pukul 16.00. hatinya mulai gelisah. "Tadi pagi kita bilang sama Ika pergi tidak akan lama. Tapi tahu-tahu pulangnya sudah sore begini. Pasti ia merasa dibohongi."

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-07
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 6

    Bab 6 Jantung Arsyad berdegup. Apakah mungkin sang istri sudah menebak maksud kali ini? Entah mengapa lidah itu terasa kelu. Ada rasa gugup dan ragu untuk menyampaikan maksud yang sebenarnya. "Apakah Ami sudah tahu semuanya?" Arsyad ingin memastikan. "Bicaralah dulu. Jangan ragu dan jangan kaku. Insya Allah Ami akan menerima dengan lapang dada apapun yang akan Abi bicarakan." Mendengarnya Arsyad merunduk. Sebenarnya matanya mulai merah. Ada bulir-bulir yang tertahan di sana. saat ini adalah perjuangan bagaimana ia akan menyampaikan sebuah berita yang tentu saja akan menghujam hati Ika. Namun Arsyad menahan diri. Seperti kata ibunya, dia adalah laki-laki. Tidak boleh menangis di depan perempuan. Begitupun Ika, ia su

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-07
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 7

    Bab 7 Menjelang malam, Ika selonjoran di sofa kamar sembari menonton sinetron favoritnya. Meskipun kedua mata itu tertuju ke monitor televisi, namun sesungguhnya pikiran Ika tidaklah fokus ke sana. Malam ini Arsyad dan Naura kembali tidur bersama di kamar yang telah disulap sedemikian rupa. Dan itu satu atap dengan Ika. Apakah itu pilihan mudah baginya untuk menerima? Sakit, namun cukup rasa sakit itu ia pendam dihati. Tidak bisa ia uraikan. Krieet... Pintu kamarnya terbuka. Ika menoleh. Arsyad memandangnya tersenyum, lalu pria itu melangkah masuk menghampiri. "Mii, kenapa kok kelihatannya lesu sekali?" Arsyad mere

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-07
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 8

    Bab 8 Belang wanita kedua "Pa, Mbak Ika telah selesai memasakkan masakan yang istimewa untuk sarapan kita. Kelihatannya sedap sekali, Pa." Naura menghampiri suami barunya. "Ya memang setiap masakan Ika pasti menggugah selera." "Kalau begitu Bagus lah, Pa. Artinya kita tidak perlu mencari asisten sebagai tukang masak." Lanjut Naura. "Maksudmu?" "Maksudku, kita bisa bekerja sama. Aku dan kamu mencari uang. Sedangkan Mbak Ika bertugas di rumah. beres-beres memasak mencuci mengepel dan sebagainya. Adil kan?" Arsyad memandang bibir sensual Naura yang menggoda. "Mmm, sayang. Pendapatmu tidak salah sih. Tapi... Bagaimana kalau

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-07
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 9

    Bab 9 "Mbak, tolong ambilkan aku minum? Aku haus nih baru pulang kerja." Terdengar suara permintaan dari Naura. Ika yang sedang membalas pesan-pesan pelanggan yang masuk di ponselnya, merasa risih dengan permintaan Naura. "Apa kau tidak bisa mengambilnya sendiri ke dapur Naura?" Sahut Ika. Naura tidak suka mendengar jawaban kakak madunya. "Masa cuma ambilkan aku minum saja susah? Apa gunanya Mbak di rumah kalau cuma diam nongkrong. Padahal aku baru pulang dari banting tulang cari uang untuk makan kita. Supaya mulut mbak bisa makan. Ini aku cuma minta ambilkan minum saja mbak keberatan." Suara Naura kian keras. Ika bangkit dari duduknya, terus terang Ika tak suka dibilang demikian oleh Naura.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-07
  • Nafkah Istri Pertama   Bab 10

    Bab 10 Arsyad memandang wajah Naura wajah itu masih tersedu dengan buliran air jatuh dari sudut matanya. Arsyad yang mulai merasa jatuh cinta pada istri keduanya itu, merasa iba. "Mi mengambil air itu bukan pekerjaan susah, apa salahnya Ami mengambilkannya. tidak perlu juga menjadi masalah besar apalagi sampai bertengkar. Lihat Naura menangis. Bersikaplah lebih dewasa, Mi. Kelakuanmu tidak seperti yang Abi lihat selama ini." Istri mana yang tidak sakit apabila suaminya membela sang istri kedua secara blak-blakan di depan mata. Tanpa mau menelisik duduk permasalahan yang sebenarnya. "Bi, kalau sekiranya Naura sakit atau tidak bisa berjalan, tentu saja aku ingin memenuhi permintaannya apalagi cuma sekedar mengambilkannya air minum. Tapi kalau kakinya masih kuat untuk berjalan. Tangannya juga masih kuat untuk menuangkan air putih ke gelas, maaf bi aku bukan orang suruhan. S

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-16

Bab terbaru

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 54 Extra Part

    Bab 54 "Ma, sini Papa yang jemur pakaiannya ya," ujar Erland sembari menarik keranjang yang berisi pakaian-pakaian yang baru saja dikeringkan dari dalam mesin cuci. "Aduh, Pa. Ntar nggak enak kalo di liat orang. Kok Papa yang jemur pakaian?" "Ah nggak apa-apa. Namanya rumah tangga itu harus sama-sama. Apalagi Bik Inah dan Bik Inun sedang tidak ada. Bisa-bisa Mama sakit bila harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, udah deh, Mama istirahat saja dulu sana. Ntar sakit kalo kecapean. Papa lihat saudari bangun pagi tadi Mama beristirahat. Sambil liat-liat si kembar" ujar Erland dengan senyuman. Erland keluar menuju ke jemuran disamping rumah. Ika mengucap syukur kehadirat Tuhan yang telah menganugerahinya sesosok lelaki yang sudah dianggapnya seperti malaikat Sedangkan Erland mulai sibuk dengan pak

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 53 ENDING

    Bab 53 Beberapa tahun kemudian, Arsyad membanting begitu saja sebuah tas hitam yang berisi segenap berkas di tangannya. "Ada apa, Arsyad?" Bu Melia mendelik heran. "Tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerima aku lagi, Bu. Terpaksa Arsyad tetap bekerja di pencucian mobil yang menyebalkan itu. Dengan hasil yang jauh dari standar hidup. Selamanya kita akan terus terpuruk dalam kehidupan yang tidak menyenangkan ini," ucap Arsyad. "Sabar dulu, nanti pasti ada-ada saja perusahaan yang mau menerima kamu. Kerja di perkantoran lebih baik daripada bekerja di tempat cucian mobil." Bu Melia menenangkan. "Perusahaan mana lagi Bu, yang mau menerima seorang pria yang baru keluar dari penjara seperti aku? Bahkan perusahaan kecil pun menolak dengan kasar. Masih untung aku dapat pekerjaan di steam pencucian mobil. Kalau ti

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 52

    Bab 52 "Pak Erland, bisakah aku meminta izin untuk pulang lebih cepat?" Suara Ika terdengar serak. Erlan melihat ada yang mengkhawatirkan dari wajah perempuan itu. "Ika, kau terlihat begitu pucat. Apa kau sakit?" Tanya Erland. "Tidak, aku baik-baik saja hanya sedikit pusing, Pak." Jawab Ika. "Baik kalau begitu, biar aku antarkan kamu pulang," Erland bangkit dari duduknya. "Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pulang pekerjaan Bapak belum selesai," "Tidak! Pekerjaanku bisa diselesaikan nanti. Aku khawatir jika kau harus pulang sendiri," ujar Erland. "Terserah Bapak saja kalau begitu. Tapi aku tidak enak terlalu banyak merepotkan Anda, Pak Erland." Ujar Ika sambil terhuyung. Tangannya berpegangan pada dinding. "Ika, kau tidak apa-apa?"

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 51

    Bab 51 Hari demi hari, bulan demi bulan, tidak terasa usia Nada, Putri yang telah Naura lahirkan kian bertambah. Tentu saja kebutuhan yang harus dipenuhi juga bertambah banyak "Bu, Pampers Nada udah habis. Bagaimana ini? Pinjam duit Ibu dulu boleh ya?" Naura mendekati Bu Ema. "Kamu ini bagaimana, Naura? Kamu pikir ibu ini gudang duit apa? Darimana lagi ibu mendapatkan uang. Ibu sudah menghitung-hitung, setiap bulan kita harus mengeluarkan uang berapa, untuk jatah Nada juga berapa." Jawab Bu Ema. "Tapi uang yang ibu serahkan untuk Nada udah habis, Bu." Ujar Naura. "Naura, kondisi keuangan kita sedang sempit. Seharusnya kau tahu cara untuk berhemat, lihatlah rencana ibu untuk membuka usaha baru belum terwujud. Uang hasil gadai rumah kita pun hampir habis, nanti kalau kita tidak bisa menebus rumah ini, bahaimana? Mau kamu rumah in

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 50

    Bab 50"Haaaa ...?" Naura tersentak. "Mahendra menyebut anak kecil itu sebagai anaknya? Apakah selama ini Mahendra sudah menikah?" Naura melongo dengan kedua tangan menutup mulut. "Kurang aj*r...!" Seru Naura seraya berjalan dengan amarah yang naik ke ubun-ubun. Langkah kakinya menuju ke arah di mana Mahendra dan wanita itu berada. "Mahendra...!" Teriak Naura. "Lhoo? Naura...? Kok kamu ada di sini?" Mahendra amat kaget melihat Naura berdiri tepat di hadapannya. "Pa, siapa wanita ini?" Istri Mahendra tidak kalah kaget. "Mmm ... ia bukan siapa-siapa, Sayang." Jawab Mahendra. Mendengar jawaban lelaki yang sejak lama ia kenali tersebut, Naura naik pitam. Hatinya sakit dengan pengakuan palsu Mahendra. "Apa kau bilang? Kau tak katakan jika aku ini

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 49

    Bab 49 Karena tindakan yang mereka lakukan, Bu Melia dan Arsyad tidak mampu mengelak dari kenyataan bahwa mereka harus mendekam dalam jeruji besi. Bahkan jasa seorang pengacara yang mereka sewa pun tidak mampu untuk melepaskan mereka dari jeratan hukum. "Mengapa nasibku begini apes? Apa salahku? Huuuh...! Ika...semuanya gara-gara dia...!" Bu Melia terus sesenggukan meratapi nasib. "Bagaimana bisa dia menjadi marketing manager di perusahaan itu, jabatan yang bahkan melebihi jabatan anakku dulu. Apakah selama ini Ika membohongi kami?" dalam isak tangisnya Bu Melia masih sempat untuk mengumpat. Kembali ia teringat penampilan Ika yang ia lihat kemarin, "Sungguh sulit dipercaya, dari mana Ika mendapatkan uang banyak yang bisa merubah penampilannya hingga sedrastis itu? Hu

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 48

    Bab 48 Bu Melia tersenyum sumringah dengan mengibas-ngibaskan lembaran-lembaran uang di tangannya. "Tidak apalah aku kehilangan rumah, yang penting anakku bisa bebas. Toh aku masih punya usaha mebel yang bisa kukembangkan," "Cicilan Bank tidak akan mengurangi hasil yang akan kudapatkan," gumam Bu Melia. "Sebaiknya aku harus mengabari Arsyad dulu soal ini,"*** Setelah melewati beberapa prosedur, Bu Melia akhirnya bertatap muka dengan Arsyad. "Arsyad, ibu punya cerita bagus untukmu," "Berita soal apa, Bu?" "Ibu akan membebaskanmu dari sini,"ujar Bu Melia tersenyum senang. "Oh ya? Tapi tidak sedikit uangnya yang diperlukan untuk membebaskan aku dari sini Bu, dari mana ibu mendapatkan uang?" Tanya Arsyad.

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 47

    Bab 47 "Sekarang aku tanya Pak, apakah dia sering kemari hanya untuk melamar pekerjaan? saya hanya memberikan masukan jangan pernah menerima karyawan wanita janda seperti dia. Meskipun hanya untuk menjadi cleaning service sekali pun. Dia hanya akan mengusik para lelaki yang telah beristri. Karena apalah martabatnya sebagai janda mandul, seorang diri pula. Secara dari mana dia bisa hidup nyaman kalau tidak dari uang laki-laki hidung belang," ujar Bu Melia tanpa rasa bersalah. "Hentikan Bu Melia, aku tidak seperti yang ibu ucapkan," Ika menyela. Terlalu lama Ika membiarkan Bu Melia berkata sesuka hati. "Aku memang janda, tapi aku bukan janda gelenjotan. Aku bukan penikmat duit orang. Bahkan dengan tanganku ini, aku mampu mencari uang sendiri bahkan melebihi yang mampu Arsyad dapatkan," balas Ika. "Nah Pak Erland, Anda bisa lihat sendiri kesombongan wanita ini." Bu

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 46

    Bab 46 "Mmm,kalau aku masih mencintainya, aku tidak akan meminta cerai." Jawab Ika. "Syukurlah kalau begitu," sahut Erland. "Kamu kok bersyukur?"Ika heran. "Tidak apa-apa. Artinya ada peluang." Sahut Erland. "Peluang? Peluang apa?" Tanya Ika bingung. "Ah tidak. Tidak ada maksud apa-apa," *** "Selamat siang, Pak Erland!" Seseorang menyapa. "Siang ada apa?" Erland bertanya. "Ada seseorang di luar sana yang ingin bertemu sama bapak," "Oh ya siapa?" "Saya tidak kenal, Pak," "Mmm, apakah dia mencurigakan?" "Tidak juga, dia seorang perempuan paruh baya. Tapi sepertinya kedatangannya tidak d

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status