Bab 4
"Apa? aku dan Naura? Kenapa harus kami berdua?" Arsyad melotot keheranan. Hatinya bertanya-tanya ada apa lagi kah ini?
Arsyad menerka-nerka bahwa sang Ibu mengajaknya ke rumah Naura, pastilah ada niat tertentu menyangkut perjodohan yang ingin beliau lakukan. Dalam hati Arsyad memohon pada yang kuasa semoga saja Bu Melia terbuka hatinya dan menarik keinginan untuk menyuruh anak lelakinya menikahi Naura.
"Kenapa harus aku sama Naura, Bu?" Ulang Arsyad.
"Tidak usah banyak tanya. Cukup kamu ikuti saja. Kau tahu? ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk kamu. Jadi tidak usah khawatir dan berpikir yang tidak-tidak."
Arsyad sadar betul, setiap Ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Termasuk ibunya. Dia tidak meragukan itu. Demi mencegah agar keadaan tidak semakin keruh, Arsyad diam.
"Arsyad Ibu tahu kamu mencintai Ika. Dan juga Ika istri yang baik. Namun ingatlah, Nak. Seorang laki-laki butuh anak untuk mewarisi garis keturunan. Apalagi kamu anak tunggal. Karena cintamu pada Ika, Ibu tidak menginginkan kamu menceraikannya. Tapi, mintalah ijin padanya untuk menikahi Naura."
Bu Melia berbicara cukup pelan. Dalam keadaan bimbang, sebenarnya Arsyad menyadari masih ada kebenaran dalam ucapan sang ibu. Ia memang membutuhkan anak untuk meneruskan garis keturunannya.
"Ya Bu nanti Arsyad pertimbangkan."
"Berhenti berkata mempertimbangkan. Ibu ingin kamu tidak bersikap bertele-tele seperti seorang pengecut. Kamu laki-laki Arsyad, pasti kamu tahu apa yang harus kamu lakukan ketika istrimu tidak bisa memberimu keturunan."
"Ya Bu aku tahu itu."
"Nanti malam bicarakan lah hal itu pada Ika. Kalau dia benar-benar istri yang baik dia pasti mengizinkanmu menikahi Naura. Kalau dia istri yang berbakti, sudah pasti dia akan menerima Naura sebagai adik madunya dengan lapang dada. Ika seharusnya sadar, bahwa Ibu sudah terlalu baik tidak menyuruhmu untuk menceraikan dia."
"Sudah, tidak usah bicara panjang lebar mengenai Ika, Bu. Semua yang menyangkut soal Ika, biar aku yang mengurusnya." Arsyad bicara sedikit keras.
"Apa maksudmu bicara seperti itu Arsyad? kamu ingin menentang ibumu ini?"
"Aku tidak menentang Ibu. Tapi mohon jangan membicarakan Ika terus menerus. Sakit telinga aku mendengarnya." Arsyad bicara tegas.
Mendengar suara Arsyad yang sedikit meninggi, Bu Melia ragu meneruskan kata-kata. Padahal masih banyak yang ingin Ia ceritakan soal Ika. Dia tahu betul bagaimana sifat Arsyad. Arsyad jarang meninggikan volume suara. Apa lagi di depan ibunya.
Setelah itu, keduanya diam membisu. Sampai akhirnya mereka tiba di rumah kediaman Naura dan orang tuanya. Sebuah rumah yang lumayan besar berdiri kokoh bergaya minimalis modern.
Pintu gerbang terbuka untuk mereka. Pelan-pelan Arsyad mengendalikan mobil masuk ke area pekarangan yang juga cukup luas. Seorang wanita seusia Ibunya datang menghampiri.
"Selamat datang Bu Melia... Sudah ditunggu dari tadi lho, calon besan." Bu Ema, ibunda Naura menyambut senang.
Arsyad semakin tidak enak mendengar sebutan "Besan" dari mulut Bu Ema. Bu Ema mengulurkan tangannya pada Arsyad, mau tidak mau Arsyad menerima uluran tangan tersebut diiringi dengan senyum yang dipaksakan.
"Ayo ayo masuk. Saya akan panggilkan Naura."
Bu Ema mengajak mereka masuk ke ruang tamu.
"Sebentar ya saya panggilkan Naura nya dulu." Pamit Bu Ema.
"Iya dong cepat panggilkan dia bilang Arsyad sudah tiba." Bu Melia pun antusias.
Arsyad hanya bisa diam melihat perilaku dua orang wanita paruh baya di dekatnya. Ada rasa tak suka pada sikap keduanya. Namun apapun keadaannya Bu Melia adalah ibu kandung yang harus dihormati.
Tidak berapa lama kemudian muncullah Naura dengan berurutan gamis yang anggun menyejukkan mata.
Seperti perkataan ibunya, Arsyad mengakui Naura memang cantik. Namun sosok Ika terlanjur menguasai hatinya. Akankah posisi Ika tersingkirkan dan diganti oleh Naura? Entahlah, saat ini Arsyad belum mampu untuk menjawabnya.
"Nah Naura, ini Arsyadnya sudah datang." Bu Ema tidak kalah sumringah.
Naura mengulurkan tangannya. Mau tidak mau Arsyad kembali menerima uluran tangan itu.
"Sebentar ya, Naura buatin minuman."
"Wah Nak Naura tidak usah repot-repot. Tante dan ibumu ingin menyuruh kalian untuk mengambil pesanan kemarin."
Naura menghentikan langkahnya.
"Maksudnya aku dan Bang Arsyad yang mengambilkan?" Tanyanya.
"Iya benar. Kamu dan Arsyad. Tidak keberatan kan?" Bu Ema melirik putrinya.
"Mmm... Boleh juga sih. Tapi nanti dulu, Naura buatkan minuman dulu sebelum pergi. Kan kasihan Bang Arsyad baru sampai juga." Jawab Naura. Bu Melia terlihat senang mendengarnya.
"Lihatlah, Naura memang gadis baik, Arsyad." Bu Melia menoleh ke arah Arsyad.
"Iya, Bu." Jawab Arsyad malas bicara panjang-panjang.
"Bu Mel, undangannya sudah, tinggal kita mempersiapkan acara pestanya." Bu Ema bercerita.
"Seperti rencana kita kemarin kan?" Sambut Bu Melia.
"Iya tidak ada yang berubah. Kecuali untuk gaun itu sesuai selera Naura dan Arsyad."
Arsyad semakin dibuat bingung dengan percakapan mereka.
"Kenapa harus sesuai selera saya, Bu?" Arsyad heran. Ada pikiran lain yang singgah di benaknya. Namun pikiran itu dengan cepat ia tepis jauh-jauh.
"Halah, Nak. Tidak usah bingung. Nanti Naura akan mengajakmu untuk melihat-lihat mana yang kau suka." Timpal Bu Ema.
"Bisa dijelaskan Bu. Arsyad kurang mengerti arah pembicaraan ibu sama Tante Ema."
"Arsyad, nanti juga kamu akan mengerti. Yang penting sekarang senangkanlah hati dengan bepergian bersama calon istrimu. Naura. Dia gadis yang cantik bukan? Pasti mampu membuatmu senang." Bu Melia mengelus pundak putranya.
"Iya nak Arsyad. kalian harus mendekatkan diri terlebih dahulu. Naura sudah lama merindukan Nak Arsyad." Tambah Bu Ema.
Tidak lama berselang muncullah Naura bersama 4 gelas minuman dalam nampan yang ia bawa.
"Nih silakan diminum ya Bang Arsyad, Tante Melia."
"Terima kasih cantiik." Bu Melia meraih minuman tersebut dan menyeruputnya.
"Minuman yang sungguh nikmat. Sepertinya Naura memang calon istri yang luar biasa. Sudah cantik, tahu tugas istri bagaimana, sudah begitu berpendidikan tinggi juga. Wanita luar biasa." Kembali bu Melia melontarkan puji-pujian untuk Naura, membuat perempuan itu tersipu.
Arsyad berpikir, wajar saja ibunya suka dengan Naura. Sepertinya Naura memang baik. Di samping itu, lihatlah kostum yang dikenakannya. Terlihat anggun dan menutupi lekuk tubuh. Tidak salah apabila Bu Melia mengatakan Naura gadis yang alim.
Namun Arsyad juga sadar bahwa sikap asli dari seseorang tidak bisa dinilai begitu saja dari penampilan.
"Ya sudah nak Arsyad tidak usah bingung terus. Tuh Naura sudah selesai bersiap-siap. Kalian pergi sekarang ya." Ujaran Bu Ema mengejutkan Arsyad.
Arsyad melihat Naura sudah rapi dengan gamis panjang lengkap dengan hijabnya.
"Ayo Bang Arsyad, kita pergi sekarang."
Naura memegang kunci mobil dan wanita itu mulai melangkahkan kaki keluar air saat mengikuti dari belakang.
Di dekat mobil, Naura menunggu Arsyad.
"Bang, Abang yang bawain mobilnya ya. Nih Kuncinya." Naura menyerahkan kunci mobil.
"Kenapa nggak pakai mobil Abang saja."
"Katanya nanti ibu ibu kita akan pergi bareng pakai mobil Bang Arsyad. Makanya sekarang kita pakai mobil aku aja deh."
Tidak mau berdebat Arsyad menuruti keinginan Naura.
***
"Bang, Abang suka gaun pengantin yang warna apa?" Di dalam perjalanan Naura membuka percakapan.
"Entahlah, semuanya sesuai selera masing-masing." Arsyad menjawab tanpa menoleh.
"Iya Abang benar semuanya sesuai selera. Tapi sepertinya kita harus belajar mempunyai selera yang sama."
"Oh ya? Kenapa?"
"Abang pura-pura nggak tahu atau gimana sih? Ya sudah kita belok ke sana. Berhenti di sana." Naura menunjuk sebuah gedung besar.
Arsyad menurut. Dengan segera ia membelokkan mobilnya ke arah yang ditunjuk Naura.
"Ayo Bang kita masuk ke dalam."
Arsyad masuk mengikuti langkah kaki Naura. Baru saja masuk, Arsyad dibuat terheran-heran. Rupanya itu sebuah toko yang menjual aneka gaun pengantin mahal.
"Kok ke sini, Naura? Untuk siapa kita membeli gaun pengantin?" Arsyad yang sedang kebingungan bertanya.
"Untuk Kita." Jawab Naura tanpa rasa bersalah.
Bersambung...
Bab 5 Menjelang sore barulahBu Melia mengajak Arsyad pulang. sebenarnya dari tadi Arsyad mengisyaratkan kepada ibunya agar segera pulang tapi perempuan itu itu tidak menggubris. "Bagaimana sosok Naura menurutmu? Apa dia cukup cantik untukmu?" "Entahlah, Bu. Iya, aku akui dia cantik." "Lalu apakah kamu masih ragu untuk menikahinya?" "Sekarang belum saatnya berbicara begitu. Bahkan aku belum bicarakan ini sama Ika. Oh iya Ika, dia pasti sudah lama menunggu." Arsyad melirik jam tangannya menjelang pukul 16.00. hatinya mulai gelisah. "Tadi pagi kita bilang sama Ika pergi tidak akan lama. Tapi tahu-tahu pulangnya sudah sore begini. Pasti ia merasa dibohongi."
Bab 6 Jantung Arsyad berdegup. Apakah mungkin sang istri sudah menebak maksud kali ini? Entah mengapa lidah itu terasa kelu. Ada rasa gugup dan ragu untuk menyampaikan maksud yang sebenarnya. "Apakah Ami sudah tahu semuanya?" Arsyad ingin memastikan. "Bicaralah dulu. Jangan ragu dan jangan kaku. Insya Allah Ami akan menerima dengan lapang dada apapun yang akan Abi bicarakan." Mendengarnya Arsyad merunduk. Sebenarnya matanya mulai merah. Ada bulir-bulir yang tertahan di sana. saat ini adalah perjuangan bagaimana ia akan menyampaikan sebuah berita yang tentu saja akan menghujam hati Ika. Namun Arsyad menahan diri. Seperti kata ibunya, dia adalah laki-laki. Tidak boleh menangis di depan perempuan. Begitupun Ika, ia su
Bab 7 Menjelang malam, Ika selonjoran di sofa kamar sembari menonton sinetron favoritnya. Meskipun kedua mata itu tertuju ke monitor televisi, namun sesungguhnya pikiran Ika tidaklah fokus ke sana. Malam ini Arsyad dan Naura kembali tidur bersama di kamar yang telah disulap sedemikian rupa. Dan itu satu atap dengan Ika. Apakah itu pilihan mudah baginya untuk menerima? Sakit, namun cukup rasa sakit itu ia pendam dihati. Tidak bisa ia uraikan. Krieet... Pintu kamarnya terbuka. Ika menoleh. Arsyad memandangnya tersenyum, lalu pria itu melangkah masuk menghampiri. "Mii, kenapa kok kelihatannya lesu sekali?" Arsyad mere
Bab 8 Belang wanita kedua "Pa, Mbak Ika telah selesai memasakkan masakan yang istimewa untuk sarapan kita. Kelihatannya sedap sekali, Pa." Naura menghampiri suami barunya. "Ya memang setiap masakan Ika pasti menggugah selera." "Kalau begitu Bagus lah, Pa. Artinya kita tidak perlu mencari asisten sebagai tukang masak." Lanjut Naura. "Maksudmu?" "Maksudku, kita bisa bekerja sama. Aku dan kamu mencari uang. Sedangkan Mbak Ika bertugas di rumah. beres-beres memasak mencuci mengepel dan sebagainya. Adil kan?" Arsyad memandang bibir sensual Naura yang menggoda. "Mmm, sayang. Pendapatmu tidak salah sih. Tapi... Bagaimana kalau
Bab 9 "Mbak, tolong ambilkan aku minum? Aku haus nih baru pulang kerja." Terdengar suara permintaan dari Naura. Ika yang sedang membalas pesan-pesan pelanggan yang masuk di ponselnya, merasa risih dengan permintaan Naura. "Apa kau tidak bisa mengambilnya sendiri ke dapur Naura?" Sahut Ika. Naura tidak suka mendengar jawaban kakak madunya. "Masa cuma ambilkan aku minum saja susah? Apa gunanya Mbak di rumah kalau cuma diam nongkrong. Padahal aku baru pulang dari banting tulang cari uang untuk makan kita. Supaya mulut mbak bisa makan. Ini aku cuma minta ambilkan minum saja mbak keberatan." Suara Naura kian keras. Ika bangkit dari duduknya, terus terang Ika tak suka dibilang demikian oleh Naura.
Bab 10 Arsyad memandang wajah Naura wajah itu masih tersedu dengan buliran air jatuh dari sudut matanya. Arsyad yang mulai merasa jatuh cinta pada istri keduanya itu, merasa iba. "Mi mengambil air itu bukan pekerjaan susah, apa salahnya Ami mengambilkannya. tidak perlu juga menjadi masalah besar apalagi sampai bertengkar. Lihat Naura menangis. Bersikaplah lebih dewasa, Mi. Kelakuanmu tidak seperti yang Abi lihat selama ini." Istri mana yang tidak sakit apabila suaminya membela sang istri kedua secara blak-blakan di depan mata. Tanpa mau menelisik duduk permasalahan yang sebenarnya. "Bi, kalau sekiranya Naura sakit atau tidak bisa berjalan, tentu saja aku ingin memenuhi permintaannya apalagi cuma sekedar mengambilkannya air minum. Tapi kalau kakinya masih kuat untuk berjalan. Tangannya juga masih kuat untuk menuangkan air putih ke gelas, maaf bi aku bukan orang suruhan. S
Bab 11 "Segitukah teganya Ami mengusirku? Apakah Ami ingin Abi tidur menemani Ami malam ini?" Cih, Ika berdecih halus. "Aku ingin istirahat. Keluarlah." Dengan terpaksa, Arsyad melangkahkan kaki keluar dari ruangan yang telah banyak menyimpan kisah tersebut. Namun sekarang terasa kamar itu tidak sehangat dahulu. Yang ada hanya sikap dingin dari sang istri tuanya. *** Pagi hari telah tiba, pagi ini sengaja Ika tidak keluar kamar seperti biasanya. Ika hanya menghabiskan waktu di kamarnya, dengan menelisik pesan-pesan dari para pelanggan usaha online nya. Ika tersenyum melihat perkembangan usaha online nya cukup maju dibanding dengan toko pakaian yang ia jual secara offline. "Alhamdulillah, Tuhan memang mengerti akan perasaan hamba-hambanya. Dia pa
Bab 12 "Dan juga untukmu Arsyad, sekalipun kamu tidak pernah membelikan aku barang-barang mewah. Aku tidak masalah, lagi pula aku tidak pernah memintanya padamu. Tapi kau pikir aku tidak tahu kamu membelikan sebuah kalung mahal untuk Naura? Aku menyaksikan engkau memasangkan kalung itu di leher istri mudamu ini. Sedangkan aku, tidak pernah kau hadiahi barang-barang seperti itu. Tapi aku tidak mempermasalahkannya. jadi sebaiknya mulai sekarang, kalian berdua tidak usah pusing dan tidak usah ikut campur dengan semua yang ku pakai dan apapun yang aku lakukan." Tegas Ika kembali. Gejolak amarahnyalah yang membuat ia mampu meluncurkan kata-kata seperti itu. "Hei Mbak Ika, Mbak mau tahu alasannya mengapa Arsyad memberikan aku hadiah? Sedangkan Mbak sendiri tidak pernah diberikan apapun. Itu artinya Arsyad lebih mencintai aku daripada Mbak. Mbak seharusnya introspeksi diri. Tidak usah salah menyalahkan. Perba
Bab 54 "Ma, sini Papa yang jemur pakaiannya ya," ujar Erland sembari menarik keranjang yang berisi pakaian-pakaian yang baru saja dikeringkan dari dalam mesin cuci. "Aduh, Pa. Ntar nggak enak kalo di liat orang. Kok Papa yang jemur pakaian?" "Ah nggak apa-apa. Namanya rumah tangga itu harus sama-sama. Apalagi Bik Inah dan Bik Inun sedang tidak ada. Bisa-bisa Mama sakit bila harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, udah deh, Mama istirahat saja dulu sana. Ntar sakit kalo kecapean. Papa lihat saudari bangun pagi tadi Mama beristirahat. Sambil liat-liat si kembar" ujar Erland dengan senyuman. Erland keluar menuju ke jemuran disamping rumah. Ika mengucap syukur kehadirat Tuhan yang telah menganugerahinya sesosok lelaki yang sudah dianggapnya seperti malaikat Sedangkan Erland mulai sibuk dengan pak
Bab 53 Beberapa tahun kemudian, Arsyad membanting begitu saja sebuah tas hitam yang berisi segenap berkas di tangannya. "Ada apa, Arsyad?" Bu Melia mendelik heran. "Tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerima aku lagi, Bu. Terpaksa Arsyad tetap bekerja di pencucian mobil yang menyebalkan itu. Dengan hasil yang jauh dari standar hidup. Selamanya kita akan terus terpuruk dalam kehidupan yang tidak menyenangkan ini," ucap Arsyad. "Sabar dulu, nanti pasti ada-ada saja perusahaan yang mau menerima kamu. Kerja di perkantoran lebih baik daripada bekerja di tempat cucian mobil." Bu Melia menenangkan. "Perusahaan mana lagi Bu, yang mau menerima seorang pria yang baru keluar dari penjara seperti aku? Bahkan perusahaan kecil pun menolak dengan kasar. Masih untung aku dapat pekerjaan di steam pencucian mobil. Kalau ti
Bab 52 "Pak Erland, bisakah aku meminta izin untuk pulang lebih cepat?" Suara Ika terdengar serak. Erlan melihat ada yang mengkhawatirkan dari wajah perempuan itu. "Ika, kau terlihat begitu pucat. Apa kau sakit?" Tanya Erland. "Tidak, aku baik-baik saja hanya sedikit pusing, Pak." Jawab Ika. "Baik kalau begitu, biar aku antarkan kamu pulang," Erland bangkit dari duduknya. "Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pulang pekerjaan Bapak belum selesai," "Tidak! Pekerjaanku bisa diselesaikan nanti. Aku khawatir jika kau harus pulang sendiri," ujar Erland. "Terserah Bapak saja kalau begitu. Tapi aku tidak enak terlalu banyak merepotkan Anda, Pak Erland." Ujar Ika sambil terhuyung. Tangannya berpegangan pada dinding. "Ika, kau tidak apa-apa?"
Bab 51 Hari demi hari, bulan demi bulan, tidak terasa usia Nada, Putri yang telah Naura lahirkan kian bertambah. Tentu saja kebutuhan yang harus dipenuhi juga bertambah banyak "Bu, Pampers Nada udah habis. Bagaimana ini? Pinjam duit Ibu dulu boleh ya?" Naura mendekati Bu Ema. "Kamu ini bagaimana, Naura? Kamu pikir ibu ini gudang duit apa? Darimana lagi ibu mendapatkan uang. Ibu sudah menghitung-hitung, setiap bulan kita harus mengeluarkan uang berapa, untuk jatah Nada juga berapa." Jawab Bu Ema. "Tapi uang yang ibu serahkan untuk Nada udah habis, Bu." Ujar Naura. "Naura, kondisi keuangan kita sedang sempit. Seharusnya kau tahu cara untuk berhemat, lihatlah rencana ibu untuk membuka usaha baru belum terwujud. Uang hasil gadai rumah kita pun hampir habis, nanti kalau kita tidak bisa menebus rumah ini, bahaimana? Mau kamu rumah in
Bab 50"Haaaa ...?" Naura tersentak. "Mahendra menyebut anak kecil itu sebagai anaknya? Apakah selama ini Mahendra sudah menikah?" Naura melongo dengan kedua tangan menutup mulut. "Kurang aj*r...!" Seru Naura seraya berjalan dengan amarah yang naik ke ubun-ubun. Langkah kakinya menuju ke arah di mana Mahendra dan wanita itu berada. "Mahendra...!" Teriak Naura. "Lhoo? Naura...? Kok kamu ada di sini?" Mahendra amat kaget melihat Naura berdiri tepat di hadapannya. "Pa, siapa wanita ini?" Istri Mahendra tidak kalah kaget. "Mmm ... ia bukan siapa-siapa, Sayang." Jawab Mahendra. Mendengar jawaban lelaki yang sejak lama ia kenali tersebut, Naura naik pitam. Hatinya sakit dengan pengakuan palsu Mahendra. "Apa kau bilang? Kau tak katakan jika aku ini
Bab 49 Karena tindakan yang mereka lakukan, Bu Melia dan Arsyad tidak mampu mengelak dari kenyataan bahwa mereka harus mendekam dalam jeruji besi. Bahkan jasa seorang pengacara yang mereka sewa pun tidak mampu untuk melepaskan mereka dari jeratan hukum. "Mengapa nasibku begini apes? Apa salahku? Huuuh...! Ika...semuanya gara-gara dia...!" Bu Melia terus sesenggukan meratapi nasib. "Bagaimana bisa dia menjadi marketing manager di perusahaan itu, jabatan yang bahkan melebihi jabatan anakku dulu. Apakah selama ini Ika membohongi kami?" dalam isak tangisnya Bu Melia masih sempat untuk mengumpat. Kembali ia teringat penampilan Ika yang ia lihat kemarin, "Sungguh sulit dipercaya, dari mana Ika mendapatkan uang banyak yang bisa merubah penampilannya hingga sedrastis itu? Hu
Bab 48 Bu Melia tersenyum sumringah dengan mengibas-ngibaskan lembaran-lembaran uang di tangannya. "Tidak apalah aku kehilangan rumah, yang penting anakku bisa bebas. Toh aku masih punya usaha mebel yang bisa kukembangkan," "Cicilan Bank tidak akan mengurangi hasil yang akan kudapatkan," gumam Bu Melia. "Sebaiknya aku harus mengabari Arsyad dulu soal ini,"*** Setelah melewati beberapa prosedur, Bu Melia akhirnya bertatap muka dengan Arsyad. "Arsyad, ibu punya cerita bagus untukmu," "Berita soal apa, Bu?" "Ibu akan membebaskanmu dari sini,"ujar Bu Melia tersenyum senang. "Oh ya? Tapi tidak sedikit uangnya yang diperlukan untuk membebaskan aku dari sini Bu, dari mana ibu mendapatkan uang?" Tanya Arsyad.
Bab 47 "Sekarang aku tanya Pak, apakah dia sering kemari hanya untuk melamar pekerjaan? saya hanya memberikan masukan jangan pernah menerima karyawan wanita janda seperti dia. Meskipun hanya untuk menjadi cleaning service sekali pun. Dia hanya akan mengusik para lelaki yang telah beristri. Karena apalah martabatnya sebagai janda mandul, seorang diri pula. Secara dari mana dia bisa hidup nyaman kalau tidak dari uang laki-laki hidung belang," ujar Bu Melia tanpa rasa bersalah. "Hentikan Bu Melia, aku tidak seperti yang ibu ucapkan," Ika menyela. Terlalu lama Ika membiarkan Bu Melia berkata sesuka hati. "Aku memang janda, tapi aku bukan janda gelenjotan. Aku bukan penikmat duit orang. Bahkan dengan tanganku ini, aku mampu mencari uang sendiri bahkan melebihi yang mampu Arsyad dapatkan," balas Ika. "Nah Pak Erland, Anda bisa lihat sendiri kesombongan wanita ini." Bu
Bab 46 "Mmm,kalau aku masih mencintainya, aku tidak akan meminta cerai." Jawab Ika. "Syukurlah kalau begitu," sahut Erland. "Kamu kok bersyukur?"Ika heran. "Tidak apa-apa. Artinya ada peluang." Sahut Erland. "Peluang? Peluang apa?" Tanya Ika bingung. "Ah tidak. Tidak ada maksud apa-apa," *** "Selamat siang, Pak Erland!" Seseorang menyapa. "Siang ada apa?" Erland bertanya. "Ada seseorang di luar sana yang ingin bertemu sama bapak," "Oh ya siapa?" "Saya tidak kenal, Pak," "Mmm, apakah dia mencurigakan?" "Tidak juga, dia seorang perempuan paruh baya. Tapi sepertinya kedatangannya tidak d