Malam itu suasana di rumah tampak tenang. Hendra duduk di ruang tamu dengan laptop di pangkuan dan menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor.
Cintia, yang biasanya sibuk sendiri, malam itu tampak gelisah. Dia duduk di samping Hendra dan memandangi layar ponsel. Namun, pikirannya melayang. Akhirnya wanita itu tak bisa menahan diri lagi.
"Mas, aku mau tanya sesuatu. Tapi aku harap kamu jujur ya."
Hendra menoleh dari laptopnya, sedikit bingung dengan nada serius istrinya.
"Tanya apa, Sayang? Kok tiba-tiba serius gini?"
Cintia mengambil napas panjang, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati. Selama beberapa waktu terakhir, dia merasa ada yang tidak beres.
Hendra masih menjaga hubungan baik dengan mantan istrinya, Nadia. Meskipun Cintia awalnya mencoba memahami, lama-lama hal itu membuatnya tidak nyaman.
"Aku tahu kamu masih sering bantuin Nadia. Aku nggak pernah masalah dengan itu. Tapi aku merasa akhir-akhir ini kamu lebih sering kirim uang ke dia. Dan aku nggak ngerti kenapa."
Hendra terdiam sesaat, lalu meletakkan laptop di meja. Dia menghela napas, tahu bahwa percakapan ini pasti akan datang suatu hari.
"Aku memang masih kirim uang ke Nadia. Itu cuma bantuan buat dia. Apalagi waktu itu ibunya sakit."
Hendra menjelaskan dengan perlahan. Agar istrinya tidak salah paham.
"Tapi Mas, ini bukan cuma sekali dua kali. Aku nggak buta. Aku lihat sendiri di mutasi rekening kamu. Hampir tiap bulan ada transfer buat Nadia. Aku cuma pengen tahu, apa alasan sebenarnya?"
Nada suara Cintia masih lembut, tetapi ada ketegangan yang mulai muncul. Hendra menyadari bahwa dia harus menjelaskan dengan jujur. Namun, dia juga tahu bahwa ini topik cukup sensitif.
"Nadia sekarang hidupnya susah, Cin. Setelah kami cerai, dia nggak ada yang bantu. Aku nggak bisa ninggalin dia gitu aja. Aku kasihan sama dia."
Cintia menatap Hendra dengan tajam, mencoba menahan perasaan cemburu yang mulai tumbuh di hatinya.
"Aku ngerti kamu kasihan sama dia, Mas. Tapi dia cuma mantan. Aku yang sekarang istri kamu."
Hendra menghela napas mendengar ucapan istrinya. Dia seperti terdakwa yang sedang di sidang. Lelaki itu tak bisa menyangkal apa pun. Bahkan jujurpun salah.
"Aku ngerasa nggak nyaman kamu masih kirim uang ke dia tanpa tau alasannya. Aku merasa ada sesuatu yang Mas sembunyikan."
Hendra menggelengkan kepalanya dengan cepat. Lelaki itu tak habis pikir dengan pikiran negatif istrinya.
"Nggak ada yang aku sembunyikan, Cin. Aku cuma nggak mau bikin kamu khawatir soal hal-hal kecil kayak gini."
"Tapi aku gak percaya, Mas."
"Uang yang aku kirim itu nggak seberapa. Cuma buat bantu kebutuhan sehari-hari atau kalau ada kondisi darurat."
Cintia merasa perasaan kesalnya semakin sulit ditahan. Baginya, ini bukan soal uang, tapi soal prinsip dan kepercayaan dalam hubungan mereka.
"Ini bukan soal jumlah uangnya, Mas. Ini soal kamu masih berhubungan sama mantan istri kamu. Aku nggak tahu apakah aku terlalu sensitif. Aku merasa nggak dihargai kalau kamu masih terus begini."
Hendra menundukkan kepala, menyadari bahwa perasaan Cintia benar adanya. Dia paham bahwa situasinya rumit. Namun lelaki itu merasa terjebak antara rasa tanggung jawab pada masa lalunya.
"Aku minta maaf kalau aku bikin kamu merasa begitu. Tapi kamu harus tahu, hubungan aku sama Nadia udah selesai."
Cintia membuang pandangan karena kesal. Dia bahkan meragukan ucapan Hendra. Lelaki bisa saja berbohong untuk menutupi aibnya.
"Aku nggak ada perasaan apa-apa lagi sama dia. Aku cuma merasa bertanggung jawab karena pernah jadi bagian dari hidupnya."
Cintia terdiam sejenak. Matanya mulai berkaca-kaca. Ini bukan hanya soal rasa cemburu, tapi juga soal ketakutannya kehilangan Hendra.
"Kalau hubungan kalian udah selesai, kenapa kamu masih merasa tanggung jawab sama dia, Mas? Dia udah bukan istri kamu lagi. Harusnya aku yang jadi prioritas."
Hendra meraih tangan Cintia, mencoba menenangkan istrinya. Wanita kalau sudah mengamuk ternyata benar-benar berbahaya.
"Kamu memang prioritas aku, Cintia. Kamu selalu jadi yang paling penting buat aku. Aku nggak pernah ada niat bikin kamu merasa diabaikan."
Sayangnya bagi Cintia, kata-kata itu tidak cukup. Rasa cemburu telah tumbuh lebih besar dari yang ia sadari. Wanita itu menarik tangan dari genggaman Hendra dan berdiri, lalu berjalan mondar-mandir.
"Aku cuma nggak ngerti kenapa kamu nggak bisa lepas dari dia. Apa kamu masih punya perasaan sama dia, Mas?"
"Astagfirullah."
Hendra terkejut dengan pertanyaan itu. Dia tidak pernah berpikir bahwa Cintia akan meragukan perasaannya. Lelaki itu segera bangkit berdiri, mendekati istrinya dengan ekspresi serius.
"Cintia, dengar. Aku nggak ada perasaan apa-apa lagi sama Nadia. Itu semua udah berlalu. Yang aku rasain sekarang cuma rasa tanggung jawab. Tapi itu bukan berarti aku masih cinta sama dia."
Cintia berhenti sejenak, menatap Hendra dengan air mata yang mulai mengalir.
"Tapi aku yang sekarang ada di samping kamu, Mas. Aku yang harusnya kamu perhatikan, bukan dia. Aku istri kamu. Kenapa aku yang merasa nggak aman dalam hubungan ini?"
"Ya Allah."
Hendra terdiam karena merasa bersalah. Meskipun niat hanya ingin membantu Nadia, dia mungkin telah melupakan perasaan Cintia.
Dalam keinginan untuk tetap menjadi lelaki yang bertanggung jawab, Hendra mungkin telah mengabaikan perasaan istri barunya.
"Kamu benar, Cin. Aku yang salah. Aku harusnya lebih peka sama perasaan kamu. Mulai sekarang, aku nggak akan kirim uang ke Nadia lagi tanpa kamu tahu. Semua akan transparan. Kamu punya hak buat tahu segalanya."
Cintia menatap Hendra dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia lega mendengar janji itu. Namun di sisi lain, rasa curiga dan cemburu masih ada.
Cintia hanya ingin merasa aman dan yakin bahwa dia adalah satu-satunya yang penting bagi Hendra.
"Aku cuma mau kamu benar-benar lepas dari masa lalu. Bahwa kamu benar-benar sepenuhnya milik aku sekarang."
Hendra mengangguk pelan, meraih tangan Cintia kembali.
"Aku milik kamu. Aku janji akan lebih fokus ke hubungan kita. Aku nggak akan biarin masa lalu merusak apa yang kita punya sekarang."
Cintia menatap Hendra, mencoba mencari kebenaran dalam mata suaminya. Setelah beberapa detik, wanita itu akhirnya mengangguk pelan. Meskipun hatinya masih sedikit tersisa rasa cemburu.
"Aku harap kamu menepati janji kamu, Mas. Karena kalau sampai ini terulang lagi, aku nggak tahu apa yang akan terjadi sama kita."
Hendra menarik Cintia ke dalam pelukannya, berharap bisa menenangkan perasaan istrinya yang terluka.
"Aku janji, Sayang. Aku nggak akan biarin itu terjadi lagi."
Dalam pelukan itu, Cintia merasa sedikit lebih tenang, meskipun perasaan was-was masih ada di hatinya. Namun, untuk malam ini, dia memutuskan untuk percaya pada Hendra.
Cintia berharap bahwa suaminya benar-benar bisa melepaskan masa lalunya dan sepenuhnya hadir untuk dirinya.
Suasana di minimarket tempat Nadia bekerja tampak tenang malam itu. Hanya beberapa pelanggan yang sedang memilih barang. Sementara Nadia duduk di balik kasir, sibuk dengan ponselnya. Tiba-tiba, pintu minimarket berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk. Nadia mendongak dan terkejut melihat siapa yang datang."Loh, Mas. Kamu di sini?"Hendra tersenyum tipis. Dia tampak sedikit gugup, seperti ada sesuatu yang membebani pikirannya."Iya, Nad. Kebetulan lewat, jadi mampir sebentar."Nadia mengangguk, mencoba tetap tenang. Sudah cukup lama sejak terakhir kali mereka berbicara dengan santai. Meski mereka sudah bercerai, hubungan mereka tidak sepenuhnya buruk. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda pada Hendra. Wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya.Saat mereka berbicara, pintu minimarket kembali berbunyi. Kali ini, masuklah Surya. Lelaki itu melangkah mendekati Nadia dengan senyum lebar dan tampak akrab."Hey, Nad. Sudah istirahat? Aku bawain makanan dari kafe. Siapa tahu kamu
Malam itu, Hendra yang merasa cemas saat mengemudikan mobil menuju rumah Nadia. Sejak pertemuan dengan Surya hatinya menjadi tak tenang. Hendra tahu bahwa ibunya Nadia sedang sakit. Jadi dia akan menjadikan alasan itu untuk bertemu dengan Nadia dan menanyakan semua. Ketika tiba di rumah mereka dulu, Hendra melihat ada mobil lain terparkir disana. Pagar terbuka hingga dia memutuskan masuk dan menunggu di luar. Ada sendal lelaki yang membuat hatinya sedikit terusik. "Apa Nak Surya serius?"Hendra menajamkan telinga. Rumah ini tak terlalu besar sehingga suara dari dalam terdengar sampai ke luar. Dulu karena tak direstui menikah dengan Nadia, Hendra tak mendapatkam apa-apa dari keluarga. Sehingga dia hanya mampu membeli rumah kecil. Setelah menikah dengan Cintia, keluarganya kembali baik. Bahkan papanya menyerahkan perusahaan kepada Hendra.Apalagi setelah bayi mereka lahir. Ibunya sangat senang dan membelikan rumah baru untuk Cintia. Beserta perabotannya. "Saya sangat serius denga
Cintia melangkah cepat di koridor rumah sakit. Dia mendengar kabar bahwa suaminya bertengkar, entah dengan siapa. Namun tidak menyangka jika Nadia yang membawa Hendra ke rumah sakit. Cintia meninggalkan putranya di rumah dan langsung menuju ke rumah sakit. Selama dua tahun pernikahannya, baru kali terjadi masalah. Untungnya baby sitter yang merawat Arka cukup telaten, sehingga dia tak perlu khawatir. Anak itu juga tak terlalu rewel asal perutnya kenyang. "Bapak Hendra Widjaja dirawat dimana ya, Sus?"Cintia bertanya di nurse station dimana kamar suaminya. Wanita itu begitu khawatir dan ingin segera bertemu.Membayangakan Hendra berdarah dan pingsan membuatnya sedih. Wanita itu bahkan menangis saat menyetir menuju ke sini. "Bapak Hendra ada di 215 ya, Bu," ucap perawat sembari menunjuk ke arah ujung lorong. Cintia mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju kamar yang dimaksud. Ketika dia membuka pintu dan melihat Nadia duduk di samping Hendra, hatinya bergejolak.Cintia menarik
"Nadia, kita perlu bicara. Ini sudah terlalu jauh."Nadia terkejut saat menerima pesan dari Cintia. Wanita itu baru saja sampai di rumah dan membawa makanan untuk ibunya. Setelah kejadian di rumah sakit, Hendra tak pernah lagi menghubunginya. Namun, selalu ada uang masuk setiap bulan dari rekening yang berbeda.Nadia mencoba menghubungi Hendra untuk mengucapkan terima kasih. Tapi pesannya tak pernah terkirim. Mungkin lelaki itu sudah mengganti nomor ponsel. "Kapan?" tanya Nadia saat mengetikkan pesan balasan."Nanti sore. Di kafe dekat tempat kerja kamu."Nadia tersentak, lalu menyari kalau kafe yang dimaksud adalah milik Surya. Sepertinya Cintia tak tahu jika itu milik temannya. "Oke.""Ini cuma antara kita berdua. Gak boleh ada orang lain yang tau."***Mereka bertemu di kafe mik Surya. Nadia meminta lelaki itu agar berpura-pura tak kenal saat dia datang. Nadia juga datang duluan dan memilih kursi di pojok agar tak terlalu menarik perhatian. Para karyawan Surya semua mengenaliny
Malam itu di depan kafe, suasana terasa begitu sunyi. Nadia berdiri di samping Surya, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak.Angin malam seolah ikut merasakan kesedihan yang melingkupi mereka berdua. Nadia tahu, saatnya tiba untuk berpamitan. Namun kata-katanya terasa begitu berat untuk diucapkan.“Nad--”Surya memecah keheningan dengan suara serak, matanya menatap lurus ke depan.“Apa kamu benar-benar yakin dengan keputusan ini?”Nadia menghela napas panjang. Pandangannya mengabur karena menahan air mata. “Aku yakin, Surya. Aku butuh tempat untuk menyembuhkan diri. Di sini, aku terlalu banyak terjebak dengan masa lalu.”Surya menoleh, menatap wajah Nadia yang terlihat lelah tetapi tetap cantik. “Tapi kamu gak perlu pergi. Kita bisa cari jalan lain. Kamu tau aku selalu ada? Aku bisa membantu. Kalau masalah kerja, aku bisa carikan sesuatu di sini. Kamu nggak harus ninggalin semua ... apalagi aku.”Nadia tersenyum pahit, hatinya teriris mendengar ketulusan Surya.“Aku tahu kamu
Pameran kuliner terbesar di kota itu diadakan dengan meriah. Booth-booth kuliner dari berbagai daerah dipenuhi dengan makanan-makanan lezat yang menarik perhatian para pengunjung. Suasana ramai dengan suara tawa dan canda pengunjung yang tengah menikmati hidangan-hidangan khas dari berbagai penjuru kota."Mau yang mana?"Di salah satu booth, Nadia terlihat sibuk melayani pembeli. Toko kue miliknya, telah berkembang pesat dalam satu tahun terakhir. Usahanya yang dimulai dari nol kini telah menarik perhatian banyak orang, terutama setelah dia sering mengikuti acara-acara besar seperti pameran ini. Dengan senyum ramah, Nadia melayani pembeli yang terus berdatangan."Terima kasih, Mbak. Selamat menikmati," ucap Nadia sambil memberikan sekotak kue pada pelanggan terakhir yang baru saja membeli.Saat Nadia menyeka keringat di dahi, tanpa sengaja dia melihat sekilas seorang pria yang sangat familiar di antara kerumunan pengunjung. Hatinya seakan terhenti sejenak ketika menyadari bahwa itu
Dua tahun berlalu sejak pertemuan terakhir di pameran kuliner, Hendra benar-benar menghilang. Walaupun terasa hampa, tetapi Nadia justru tenang karena tak ada lagi tuduhan karena mengganggu rumah tangga orang. Nadia sibuk dengan bisnis kue yang ia bangun dari nol. Usahanya semakin berkembang, terutama setelah beberapa kali mendapatkan pesanan besar dari berbagai perusahaan dan event.Nadia juga masih berkomunikasi dengan Surya lewat chat atau telepon. Sehingga hari-harinya tak terlalu sepi. Canda lelaki itu bisa membuatnya tertawa lepas sehingga semua kelelahan hilang begitu saja. "Gimana kabar kue-mu hari ini, Nad?" tanya Surya iseng."Kok nanyain kue?" tanya Nadia bingung."Kalau nanyain owner-nya nanti dikira aku naksir," jawab Surya."Padahal kan emang iya."Nadia tergelak mendengar lelucon itu. Sejak dulu Surya masih saja gombal dan merayunya. Usia lelaki itu yang lebih muda membuat lebih luwes dalam berbicara."Kue baik-baik aja. Laris manis seperti biasa. Kadang ada sisa, tap
"Selamat datang."Tepat ketika Nadia selesai menyusun kue-kue di rak, seorang kurir masuk dengan membawa sebuah karangan bunga besar. Bunga itu dihiasi pita merah muda yang cantik, menonjolkan keindahannya.“Selamat siang, Mbak. Karangan bunga ini untuk Nadia. Apakah benar ini alamatnya?” tanya kurir itu.Nadia menatap heran. Siapa yang mengirim bunga untuknya? "Ya benar. Itu saya."Nadia mengangguk dan segera menerima karangan bunga itu. Di antara rangkaian bunga mawar putih dan merah yang harum, ada sebuah kartu kecil terselip.Nadia menarik kartu itu dengan hati-hati, membacanya pelan."Untuk Nadia, wanita yang selalu ada di pikiran dan hati. Dari Surya."Jantung Nadia berdebar sejenak. Surya, nama itu tak pernah hilang dari hidupnya. Meski sudah lama tak berkomunikasi secara langsung, Surya selalu punya cara untuk mendekati Nadia. Seolah-olah menunggu waktu yang tepat untuk datang lagi ke dalam hidupnya. Nadia tak pernah benar-benar mendorongnya pergi, tapi juga tak pernah bena
Rasa sakit yang tak tertahankan mulai menyelimuti tubuh Nadia. Napasnya tersengal dengan keringat dingin yang membanjiri pelipis.Nadia menggenggam erat lengan Surya yang duduk di samping ranjang rumah sakit. Wanita itu mencoba menarik napas dalam-dalam. Namun setiap tarikan terasa seperti menggores paru-parunya.Kontraksi datang semakin sering dan wajah Nadia memucat.“Sayang, kamu kuat, ya? Sebentar lagi ketemu bayi kita."Surya mencoba menenangkan Nadia. Meski raut cemas tak dapat disembunyikan dari wajahnya. Lelaki itu berusaha menyeka keringat yang terus membasahi wajah istrinya.“Aku mau lahiran normal, please."Nadia berkata dengan suara lemah. Wanita itu terisak menahan rasa sakit yang berdenyut-denyut di perutnya."Tapi kamu gak kuat, Sayang. Jangan dipaksakan," bujuk Surya."Baiknya jangan
Setelah menempuh perjalanan panjang, mereka akhirnya tiba kembali di Indonesia. Program bayi tabung di luar negeri yang selama ini mereka jalani membawa hasil yang tak ternilai harganya. Ketika pesawat mendarat, Surya meraih tangan Nadia dan menggenggamnya erat.“Sudah sampai, sayang,” bisiknya lembut. “Akhirnya kita pulang.”Nadia tersenyum samar. Namun di balik senyum itu jelas tampak kelelahan yang mendalam. Sejak kehamilannya memasuki minggu keenam, kondisinya semakin melemah.Rasa mual yang datang sepanjang hari, bukan hanya di pagi hari seperti yang sering ia baca di buku-buku kehamilan. Setiap kali mencoba makan, perutnya langsung menolak. Surya terus mengamati wajah istrinya yang tampak semakin pucat.“Apa kamu mau istirahat begitu sampai rumah?” tanya Surya, menatap wajah Nadia dengan cemas.“Ya… mungkin. Aku cuma ma
Nadia dan Surya duduk bersebelahan di ruang tunggu bandara Changi. Mereka menanti penerbangan ke Singapura untuk menjalani program bayi tabung yang telah lama di diskusikan.Suasana hening menyelimuti mereka berdua. Hanya suara pengumuman penerbangan dan derap langkah orang-orang yang terdengar di sekitar.Nadia menatap ke depan, matanya menerawang jauh. Surya merasakan kegelisahan istrinya dan menggenggam tangannya lembut.“Kamu tegang?” Surya membuka percakapan dengan nada lembut.Nadia tersenyum samar. “Nggak juga, cuma... ya, mungkin agak cemas. Kita beneran mau program, ya?”Nadia menoleh menatap suaminya, mencoba mencari kepastian.“Iya, Sayang. Tapi kita lakukan ini karena sama-sama mau, bukan karena tekanan atau paksaan,” Surya menenangkan.“Kita sudah sepakat, apa pun hasilnya nanti, kita tetap akan bersama.”Nadia terdiam, lalu mengangguk.&ldquo
Setelah resepsi pernikahan yang berlangsung sederhana dan penuh kehangatan, Surya dan Nadia memasuki suite hotel mereka."Ini kamar kita," ucap Surya di depan pintu."Aku udah gak sabar lihat isi dalamnya," bisik Nadia."Mau aku gendong?" goda Surya."Gak usahlah. Memangnya di film-film."Gelak tawa keduanya menghema di lorong hotel. Surya mengambil kunci yang diberikan oleh resepsionis di saku celananya.Keduanya sudah berganti pakaian. Surya bahkan memakai kaus longgar dan celana jeans. Nadia bahkan sudah menghapus make up. Wanita itu memakai gaun selutut dengan penghiasan lengkap di leher dan jarinya.Mereka berjalan berdampingan, diiringi tatapan penuh cinta dan sedikit rasa canggung."Silakan masuk, Tuan Putri."Ketika pintu suite mereka tertutup dengan lembut di belak
Langit cerah membentang di atas taman yang dipenuhi dengan hamparan bunga-bunga cantik. Pohon-pohon besar menaungi tempat itu dengan teduh. Suara aliran air dari kolam kecil di sudut taman menambah suasana tenang yang romantis.Pernikahan Surya dan Nadia diadakan dengan sederhana tetapi penuh kehangatan. Hanya keluarga dan sahabat dekat yang hadir, membuat suasana lebih intim dan bermakna.Nadia dan Surya duduk di kursi yang dihias bunga mawar putih dan eucalyptus. Wanita itu mengenakan gaun putih sederhana tanpa banyak aksen tetapi tetap elegan.Rambut Nadia disanggul rapi. Senyum hangatnya memancarkan kebahagiaan yang nyata. Surya terlihat gagah dengan setelan jas hitam yang pas di tubuh. Wajah lelaki itu cerah. Matanya berbinar-binar menatap wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya."Ananda Muhammad Surya Perdana, saya nikahkan engaku dengan Nadia Nur Azizah binti almarhum
Nadia menghembuskan napas panjang sebelum menekan tombol hijau di layar ponsel. Nama Surya tertera jelas.Kali ini Nadia merasa perlu membicarakan sesuatu yang sudah lama mengganjal di pikirannya. Setelah beberapa kali nada sambung, suara hangat Surya terdengar dari seberang.“Halo, Sayang?” Surya menyapa dengan ceria seperti biasanya. Lelaki itu sedang berada di ruangannya di kafe. Namun, dia mengerjakan proyek render gambar sebuah bangunan.“Halo, Sur,” balas Nadia dengan nada lembut. Ada sedikit kegugupan yang terselip di suaranya.“Kenapa? Suara kamu kayaknya aneh," tanya Surya lembut."Nggak apa-apa," lirih Nadia serak."Kamu habis nangis?" tanya Surya lagi."Enggak. Aku cuma lagi kangen aja.""Ada yang mau kamu bicarain?” tanya Surya seperti bisa merasakan ada yang berbe
Sepuluh hari Raya dirawat dan selama itulah Nadia setiap hari datang menjenguk. Sehingga dia dan sukma menjadi akrab.Nadia tak canggung bersenda gurau bersama mereka layaknya keluarga. Namun, sikapnya menjadi canggung jika ada Hendra.Tatapan dan perhatian Hendra yang berbeda memabuat Nadia risih. Wanita itu merasa semua orang telah bersekongkol untuk mendekatkan mereka, termasuk ibunya sendiri."Kamu mau ikut ke rumah?" tanya Hendra ketika mereka bersiap-siap hendak pulang.Raya sudah sehat dan pulih seperti sedia kala. Sehingga hari ini anak itu sudah boleh pulang."Tapi sebentar aja ya, Mas. Aku kan harus jaga toko.""Toko terus yang ada dipikiran kamu. Anak-anak juga, Nad.""Anak-anak kamu, Mas.""Yaaa kan anakmu juga, Nad."Nadia membuang pandangan mendengar itu. Sementara Hendra
Hari kedua Nadia datang ke rumah sakit terasa lebih tenang. Pagi itu, setelah memastikan tokonya berjalan dengan baik, wanita itu memutuskan untuk mampir melihat kondisi Raya.Nadia mengenakan blus sederhana dan celana panjang yang nyaman. Dia menenteng paper bag berisi camilan kesukaan Hana dan boneka kelinci mungil untuk Raya.Saat memasuki ruang rawat, Nadia melihat Sukma, mantan mertuanya, sedang duduk di sisi tempat tidur Raya yang masih terbaring.Wajah Sukma berubah cerah begitu melihat kehadiran Nadia di pintu. Tanpa ragu, Sukma berdiri dan menyambut Nadia dengan senyum lebar."Assalamualaikum, Ma," sapa Nadia lembut."Waalaikumsalam."Sukma menyambut Nadia yang mencium tangannya. Walaupun pernah menyakiti, dia tetap berlaku santun.Tidak ada dendam di hati Nadia karena dia sudah berdamai dengan masa lalu. Apalagi saat
Hari itu terasa panjang bagi Nadia. Sejak pagi, semua berjalan lancar di tokonya. Namun, pesan singkat dari Hendra yang tiba-tiba masuk ke ponselnya membuat dunia Nadia seolah berhenti seketika."Nadia, maaf ganggu. Raya dirawat di rumah sakit. Dokter bilang dia kena demam berdarah. Tolong doakan dia, ya."Nadia merasa dadanya sesak saat membaca pesan itu. Jari-jarinya gemetar dan ponsel hampir terlepas dari genggaman.Raya yang manis, begitu lincah dan ceria, kini terbaring lemah di rumah sakit? Nadia langsung merasakan kekhawatiran yang luar biasa.Dengan cepat, Nadia memberi tahu karyawan untuk menutup toko lebih awal. Beberapa pelanggan yang baru saja datang memandangnya dengan heran.Nadia hanya tersenyum minta maaf dan memberikan penjelasan singkat bahwa ada keadaan darurat keluarga. Begitu selesai, wanita itu segera menjemput ibunya yang sedang berada di rumah.