Malam itu suasana di rumah tampak tenang. Hendra duduk di ruang tamu dengan laptop di pangkuan dan menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor.
Cintia, yang biasanya sibuk sendiri, malam itu tampak gelisah. Dia duduk di samping Hendra dan memandangi layar ponsel. Namun, pikirannya melayang. Akhirnya wanita itu tak bisa menahan diri lagi.
"Mas, aku mau tanya sesuatu. Tapi aku harap kamu jujur ya."
Hendra menoleh dari laptopnya, sedikit bingung dengan nada serius istrinya.
"Tanya apa, Sayang? Kok tiba-tiba serius gini?"
Cintia mengambil napas panjang, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati. Selama beberapa waktu terakhir, dia merasa ada yang tidak beres.
Hendra masih menjaga hubungan baik dengan mantan istrinya, Nadia. Meskipun Cintia awalnya mencoba memahami, lama-lama hal itu membuatnya tidak nyaman.
"Aku tahu kamu masih sering bantuin Nadia. Aku nggak pernah masalah dengan itu. Tapi aku merasa akhir-akhir ini kamu lebih sering kirim uang ke dia. Dan aku nggak ngerti kenapa."
Hendra terdiam sesaat, lalu meletakkan laptop di meja. Dia menghela napas, tahu bahwa percakapan ini pasti akan datang suatu hari.
"Aku memang masih kirim uang ke Nadia. Itu cuma bantuan buat dia. Apalagi waktu itu ibunya sakit."
Hendra menjelaskan dengan perlahan. Agar istrinya tidak salah paham.
"Tapi Mas, ini bukan cuma sekali dua kali. Aku nggak buta. Aku lihat sendiri di mutasi rekening kamu. Hampir tiap bulan ada transfer buat Nadia. Aku cuma pengen tahu, apa alasan sebenarnya?"
Nada suara Cintia masih lembut, tetapi ada ketegangan yang mulai muncul. Hendra menyadari bahwa dia harus menjelaskan dengan jujur. Namun, dia juga tahu bahwa ini topik cukup sensitif.
"Nadia sekarang hidupnya susah, Cin. Setelah kami cerai, dia nggak ada yang bantu. Aku nggak bisa ninggalin dia gitu aja. Aku kasihan sama dia."
Cintia menatap Hendra dengan tajam, mencoba menahan perasaan cemburu yang mulai tumbuh di hatinya.
"Aku ngerti kamu kasihan sama dia, Mas. Tapi dia cuma mantan. Aku yang sekarang istri kamu."
Hendra menghela napas mendengar ucapan istrinya. Dia seperti terdakwa yang sedang di sidang. Lelaki itu tak bisa menyangkal apa pun. Bahkan jujurpun salah.
"Aku ngerasa nggak nyaman kamu masih kirim uang ke dia tanpa tau alasannya. Aku merasa ada sesuatu yang Mas sembunyikan."
Hendra menggelengkan kepalanya dengan cepat. Lelaki itu tak habis pikir dengan pikiran negatif istrinya.
"Nggak ada yang aku sembunyikan, Cin. Aku cuma nggak mau bikin kamu khawatir soal hal-hal kecil kayak gini."
"Tapi aku gak percaya, Mas."
"Uang yang aku kirim itu nggak seberapa. Cuma buat bantu kebutuhan sehari-hari atau kalau ada kondisi darurat."
Cintia merasa perasaan kesalnya semakin sulit ditahan. Baginya, ini bukan soal uang, tapi soal prinsip dan kepercayaan dalam hubungan mereka.
"Ini bukan soal jumlah uangnya, Mas. Ini soal kamu masih berhubungan sama mantan istri kamu. Aku nggak tahu apakah aku terlalu sensitif. Aku merasa nggak dihargai kalau kamu masih terus begini."
Hendra menundukkan kepala, menyadari bahwa perasaan Cintia benar adanya. Dia paham bahwa situasinya rumit. Namun lelaki itu merasa terjebak antara rasa tanggung jawab pada masa lalunya.
"Aku minta maaf kalau aku bikin kamu merasa begitu. Tapi kamu harus tahu, hubungan aku sama Nadia udah selesai."
Cintia membuang pandangan karena kesal. Dia bahkan meragukan ucapan Hendra. Lelaki bisa saja berbohong untuk menutupi aibnya.
"Aku nggak ada perasaan apa-apa lagi sama dia. Aku cuma merasa bertanggung jawab karena pernah jadi bagian dari hidupnya."
Cintia terdiam sejenak. Matanya mulai berkaca-kaca. Ini bukan hanya soal rasa cemburu, tapi juga soal ketakutannya kehilangan Hendra.
"Kalau hubungan kalian udah selesai, kenapa kamu masih merasa tanggung jawab sama dia, Mas? Dia udah bukan istri kamu lagi. Harusnya aku yang jadi prioritas."
Hendra meraih tangan Cintia, mencoba menenangkan istrinya. Wanita kalau sudah mengamuk ternyata benar-benar berbahaya.
"Kamu memang prioritas aku, Cintia. Kamu selalu jadi yang paling penting buat aku. Aku nggak pernah ada niat bikin kamu merasa diabaikan."
Sayangnya bagi Cintia, kata-kata itu tidak cukup. Rasa cemburu telah tumbuh lebih besar dari yang ia sadari. Wanita itu menarik tangan dari genggaman Hendra dan berdiri, lalu berjalan mondar-mandir.
"Aku cuma nggak ngerti kenapa kamu nggak bisa lepas dari dia. Apa kamu masih punya perasaan sama dia, Mas?"
"Astagfirullah."
Hendra terkejut dengan pertanyaan itu. Dia tidak pernah berpikir bahwa Cintia akan meragukan perasaannya. Lelaki itu segera bangkit berdiri, mendekati istrinya dengan ekspresi serius.
"Cintia, dengar. Aku nggak ada perasaan apa-apa lagi sama Nadia. Itu semua udah berlalu. Yang aku rasain sekarang cuma rasa tanggung jawab. Tapi itu bukan berarti aku masih cinta sama dia."
Cintia berhenti sejenak, menatap Hendra dengan air mata yang mulai mengalir.
"Tapi aku yang sekarang ada di samping kamu, Mas. Aku yang harusnya kamu perhatikan, bukan dia. Aku istri kamu. Kenapa aku yang merasa nggak aman dalam hubungan ini?"
"Ya Allah."
Hendra terdiam karena merasa bersalah. Meskipun niat hanya ingin membantu Nadia, dia mungkin telah melupakan perasaan Cintia.
Dalam keinginan untuk tetap menjadi lelaki yang bertanggung jawab, Hendra mungkin telah mengabaikan perasaan istri barunya.
"Kamu benar, Cin. Aku yang salah. Aku harusnya lebih peka sama perasaan kamu. Mulai sekarang, aku nggak akan kirim uang ke Nadia lagi tanpa kamu tahu. Semua akan transparan. Kamu punya hak buat tahu segalanya."
Cintia menatap Hendra dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia lega mendengar janji itu. Namun di sisi lain, rasa curiga dan cemburu masih ada.
Cintia hanya ingin merasa aman dan yakin bahwa dia adalah satu-satunya yang penting bagi Hendra.
"Aku cuma mau kamu benar-benar lepas dari masa lalu. Bahwa kamu benar-benar sepenuhnya milik aku sekarang."
Hendra mengangguk pelan, meraih tangan Cintia kembali.
"Aku milik kamu. Aku janji akan lebih fokus ke hubungan kita. Aku nggak akan biarin masa lalu merusak apa yang kita punya sekarang."
Cintia menatap Hendra, mencoba mencari kebenaran dalam mata suaminya. Setelah beberapa detik, wanita itu akhirnya mengangguk pelan. Meskipun hatinya masih sedikit tersisa rasa cemburu.
"Aku harap kamu menepati janji kamu, Mas. Karena kalau sampai ini terulang lagi, aku nggak tahu apa yang akan terjadi sama kita."
Hendra menarik Cintia ke dalam pelukannya, berharap bisa menenangkan perasaan istrinya yang terluka.
"Aku janji, Sayang. Aku nggak akan biarin itu terjadi lagi."
Dalam pelukan itu, Cintia merasa sedikit lebih tenang, meskipun perasaan was-was masih ada di hatinya. Namun, untuk malam ini, dia memutuskan untuk percaya pada Hendra.
Cintia berharap bahwa suaminya benar-benar bisa melepaskan masa lalunya dan sepenuhnya hadir untuk dirinya.
Suasana di minimarket tempat Nadia bekerja tampak tenang malam itu. Hanya beberapa pelanggan yang sedang memilih barang. Sementara Nadia duduk di balik kasir, sibuk dengan ponselnya. Tiba-tiba, pintu minimarket berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk. Nadia mendongak dan terkejut melihat siapa yang datang."Loh, Mas. Kamu di sini?"Hendra tersenyum tipis. Dia tampak sedikit gugup, seperti ada sesuatu yang membebani pikirannya."Iya, Nad. Kebetulan lewat, jadi mampir sebentar."Nadia mengangguk, mencoba tetap tenang. Sudah cukup lama sejak terakhir kali mereka berbicara dengan santai. Meski mereka sudah bercerai, hubungan mereka tidak sepenuhnya buruk. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda pada Hendra. Wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya.Saat mereka berbicara, pintu minimarket kembali berbunyi. Kali ini, masuklah Surya. Lelaki itu melangkah mendekati Nadia dengan senyum lebar dan tampak akrab."Hey, Nad. Sudah istirahat? Aku bawain makanan dari kafe. Siapa tahu kamu
Malam itu, Hendra yang merasa cemas saat mengemudikan mobil menuju rumah Nadia. Sejak pertemuan dengan Surya hatinya menjadi tak tenang. Hendra tahu bahwa ibunya Nadia sedang sakit. Jadi dia akan menjadikan alasan itu untuk bertemu dengan Nadia dan menanyakan semua. Ketika tiba di rumah mereka dulu, Hendra melihat ada mobil lain terparkir disana. Pagar terbuka hingga dia memutuskan masuk dan menunggu di luar. Ada sendal lelaki yang membuat hatinya sedikit terusik. "Apa Nak Surya serius?"Hendra menajamkan telinga. Rumah ini tak terlalu besar sehingga suara dari dalam terdengar sampai ke luar. Dulu karena tak direstui menikah dengan Nadia, Hendra tak mendapatkam apa-apa dari keluarga. Sehingga dia hanya mampu membeli rumah kecil. Setelah menikah dengan Cintia, keluarganya kembali baik. Bahkan papanya menyerahkan perusahaan kepada Hendra.Apalagi setelah bayi mereka lahir. Ibunya sangat senang dan membelikan rumah baru untuk Cintia. Beserta perabotannya. "Saya sangat serius denga
Cintia melangkah cepat di koridor rumah sakit. Dia mendengar kabar bahwa suaminya bertengkar, entah dengan siapa. Namun tidak menyangka jika Nadia yang membawa Hendra ke rumah sakit. Cintia meninggalkan putranya di rumah dan langsung menuju ke rumah sakit. Selama dua tahun pernikahannya, baru kali terjadi masalah. Untungnya baby sitter yang merawat Arka cukup telaten, sehingga dia tak perlu khawatir. Anak itu juga tak terlalu rewel asal perutnya kenyang. "Bapak Hendra Widjaja dirawat dimana ya, Sus?"Cintia bertanya di nurse station dimana kamar suaminya. Wanita itu begitu khawatir dan ingin segera bertemu.Membayangakan Hendra berdarah dan pingsan membuatnya sedih. Wanita itu bahkan menangis saat menyetir menuju ke sini. "Bapak Hendra ada di 215 ya, Bu," ucap perawat sembari menunjuk ke arah ujung lorong. Cintia mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju kamar yang dimaksud. Ketika dia membuka pintu dan melihat Nadia duduk di samping Hendra, hatinya bergejolak.Cintia menarik
"Nadia, kita perlu bicara. Ini sudah terlalu jauh."Nadia terkejut saat menerima pesan dari Cintia. Wanita itu baru saja sampai di rumah dan membawa makanan untuk ibunya. Setelah kejadian di rumah sakit, Hendra tak pernah lagi menghubunginya. Namun, selalu ada uang masuk setiap bulan dari rekening yang berbeda.Nadia mencoba menghubungi Hendra untuk mengucapkan terima kasih. Tapi pesannya tak pernah terkirim. Mungkin lelaki itu sudah mengganti nomor ponsel. "Kapan?" tanya Nadia saat mengetikkan pesan balasan."Nanti sore. Di kafe dekat tempat kerja kamu."Nadia tersentak, lalu menyari kalau kafe yang dimaksud adalah milik Surya. Sepertinya Cintia tak tahu jika itu milik temannya. "Oke.""Ini cuma antara kita berdua. Gak boleh ada orang lain yang tau."***Mereka bertemu di kafe mik Surya. Nadia meminta lelaki itu agar berpura-pura tak kenal saat dia datang. Nadia juga datang duluan dan memilih kursi di pojok agar tak terlalu menarik perhatian. Para karyawan Surya semua mengenaliny
Malam itu di depan kafe, suasana terasa begitu sunyi. Nadia berdiri di samping Surya, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak.Angin malam seolah ikut merasakan kesedihan yang melingkupi mereka berdua. Nadia tahu, saatnya tiba untuk berpamitan. Namun kata-katanya terasa begitu berat untuk diucapkan.“Nad--”Surya memecah keheningan dengan suara serak, matanya menatap lurus ke depan.“Apa kamu benar-benar yakin dengan keputusan ini?”Nadia menghela napas panjang. Pandangannya mengabur karena menahan air mata. “Aku yakin, Surya. Aku butuh tempat untuk menyembuhkan diri. Di sini, aku terlalu banyak terjebak dengan masa lalu.”Surya menoleh, menatap wajah Nadia yang terlihat lelah tetapi tetap cantik. “Tapi kamu gak perlu pergi. Kita bisa cari jalan lain. Kamu tau aku selalu ada? Aku bisa membantu. Kalau masalah kerja, aku bisa carikan sesuatu di sini. Kamu nggak harus ninggalin semua ... apalagi aku.”Nadia tersenyum pahit, hatinya teriris mendengar ketulusan Surya.“Aku tahu kamu
Pameran kuliner terbesar di kota itu diadakan dengan meriah. Booth-booth kuliner dari berbagai daerah dipenuhi dengan makanan-makanan lezat yang menarik perhatian para pengunjung. Suasana ramai dengan suara tawa dan canda pengunjung yang tengah menikmati hidangan-hidangan khas dari berbagai penjuru kota."Mau yang mana?"Di salah satu booth, Nadia terlihat sibuk melayani pembeli. Toko kue miliknya, telah berkembang pesat dalam satu tahun terakhir. Usahanya yang dimulai dari nol kini telah menarik perhatian banyak orang, terutama setelah dia sering mengikuti acara-acara besar seperti pameran ini. Dengan senyum ramah, Nadia melayani pembeli yang terus berdatangan."Terima kasih, Mbak. Selamat menikmati," ucap Nadia sambil memberikan sekotak kue pada pelanggan terakhir yang baru saja membeli.Saat Nadia menyeka keringat di dahi, tanpa sengaja dia melihat sekilas seorang pria yang sangat familiar di antara kerumunan pengunjung. Hatinya seakan terhenti sejenak ketika menyadari bahwa itu
Dua tahun berlalu sejak pertemuan terakhir di pameran kuliner, Hendra benar-benar menghilang. Walaupun terasa hampa, tetapi Nadia justru tenang karena tak ada lagi tuduhan karena mengganggu rumah tangga orang. Nadia sibuk dengan bisnis kue yang ia bangun dari nol. Usahanya semakin berkembang, terutama setelah beberapa kali mendapatkan pesanan besar dari berbagai perusahaan dan event.Nadia juga masih berkomunikasi dengan Surya lewat chat atau telepon. Sehingga hari-harinya tak terlalu sepi. Canda lelaki itu bisa membuatnya tertawa lepas sehingga semua kelelahan hilang begitu saja. "Gimana kabar kue-mu hari ini, Nad?" tanya Surya iseng."Kok nanyain kue?" tanya Nadia bingung."Kalau nanyain owner-nya nanti dikira aku naksir," jawab Surya."Padahal kan emang iya."Nadia tergelak mendengar lelucon itu. Sejak dulu Surya masih saja gombal dan merayunya. Usia lelaki itu yang lebih muda membuat lebih luwes dalam berbicara."Kue baik-baik aja. Laris manis seperti biasa. Kadang ada sisa, tap
"Selamat datang."Tepat ketika Nadia selesai menyusun kue-kue di rak, seorang kurir masuk dengan membawa sebuah karangan bunga besar. Bunga itu dihiasi pita merah muda yang cantik, menonjolkan keindahannya.“Selamat siang, Mbak. Karangan bunga ini untuk Nadia. Apakah benar ini alamatnya?” tanya kurir itu.Nadia menatap heran. Siapa yang mengirim bunga untuknya? "Ya benar. Itu saya."Nadia mengangguk dan segera menerima karangan bunga itu. Di antara rangkaian bunga mawar putih dan merah yang harum, ada sebuah kartu kecil terselip.Nadia menarik kartu itu dengan hati-hati, membacanya pelan."Untuk Nadia, wanita yang selalu ada di pikiran dan hati. Dari Surya."Jantung Nadia berdebar sejenak. Surya, nama itu tak pernah hilang dari hidupnya. Meski sudah lama tak berkomunikasi secara langsung, Surya selalu punya cara untuk mendekati Nadia. Seolah-olah menunggu waktu yang tepat untuk datang lagi ke dalam hidupnya. Nadia tak pernah benar-benar mendorongnya pergi, tapi juga tak pernah bena
Kamar rumah sakit yang seharusnya tenang malam itu dipenuhi oleh aura kecemasan. Hendra duduk di kursi di sebelah ranjang, menatap istrinya yang sedang terbaring lemah.Cintia, yang tengah hamil besar, sudah beberapa hari dirawat karena kondisinya yang semakin memburuk. Wajahnya pucat dengan kaki yang bengkak, juga perutnya terasa semakin berat.Walaupun begitu, Cintia tetap tersenyum tipis. Dia ingin menunjukkan kekuatan yang masih tersisa."Apanya yang aakit, Sayang?" tanya Hendra lembut. Lelaki itu mencoba menenangkan istrinya, juga diri sendiri.Cintia menarik napas pelan. "Aku baik-baik saja, Mas. Aku cuma mau melahirkan anak ini secara normal, seperti anak pertama kita dulu.""Tapi, kondisi kamu nggak memungkinkan, Cintia. Dokter bilang, ada risiko besar kalau kamu memaksakan lahiran normal."Suara Hendra terdengar berat. Matanya mempe
Hendra baru saja turun dari pesawat dengan masih mengenakan kemeja rapi yang terlihat elegan. Langkah kakinya terdengar mantap ketika berjalan cepat melewati kerumunan orang di bandara.Sesekali Hendra meraih telepon genggamnya untuk mengecek jadwal presentasi yang akan dihadirinya siang ini. Dengan cepat, lelaki itu memesan taksi untuk langsung menuju kantornya.Perjalanan dari bandara ke kantor tidak memakan waktu lama. Di sepanjang jalan, pikiran Hendra dipenuhi dengan ide-ide tentang bagaimana ia akan mempresentasikan rencana pengembangan perusahaannya.Meskipun kantor ini masih terbilang kecil, ia merasa bahwa pertumbuhan bisnisnya sudah mulai terlihat. Ada sesuatu yang besar menunggunya di masa depan, dan mereka siap untuk meraihnya.Setibanya di kantor, Hendra disambut oleh Bianca, asistennya, dengan senyum ramah.“Selamat datang, Pak Hendra. Gimana perjalanann
"Makan, Nak. Nanti kamu makin lemas," ucap Rahma lembut, sembari menaruh mangkuk bubur di meja samping tempat tidur.Sudah dua hari toko tutup. Plang "Libur Sementara" tergantung di pintu kaca dengan tulisan tangan yang rapi, tetapi kosong tanpa kue-kue lezat yang biasanya mengisi etalase. Hawa dingin menyelimuti rumah Nadia. Di dalam kamar, wanita itu terbaring lemah di atas ranjang. Tubuhnya terasa panas dengan kepala yang pusing. Juga rasa hampa di dada yang tak juga hilang sejak kepergian Surya."Aku gak lapar, Bu."Nadia hanya menggeleng, tidak punya tenaga untuk banyak bicara, apalagi makan. Matanya menatap lurus, seolah semua semangat hidup telah hilang bersama kepergian Surya."Sayang, Ibu tahu kamu lagi sedih. Tapi kamu gak bisa seperti ini terus. Kamu harus kuat, Nak," ujar Rahma dengan nada lembut. Wanita paruh itu uduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan putrinya."Ibu..." Suara Nadia terdengar lemah."Kenapa aku harus kehilangan lagi?"Pelupuk mata Nadia mulai menggen
"Selamat datang."Tepat ketika Nadia selesai menyusun kue-kue di rak, seorang kurir masuk dengan membawa sebuah karangan bunga besar. Bunga itu dihiasi pita merah muda yang cantik, menonjolkan keindahannya.“Selamat siang, Mbak. Karangan bunga ini untuk Nadia. Apakah benar ini alamatnya?” tanya kurir itu.Nadia menatap heran. Siapa yang mengirim bunga untuknya? "Ya benar. Itu saya."Nadia mengangguk dan segera menerima karangan bunga itu. Di antara rangkaian bunga mawar putih dan merah yang harum, ada sebuah kartu kecil terselip.Nadia menarik kartu itu dengan hati-hati, membacanya pelan."Untuk Nadia, wanita yang selalu ada di pikiran dan hati. Dari Surya."Jantung Nadia berdebar sejenak. Surya, nama itu tak pernah hilang dari hidupnya. Meski sudah lama tak berkomunikasi secara langsung, Surya selalu punya cara untuk mendekati Nadia. Seolah-olah menunggu waktu yang tepat untuk datang lagi ke dalam hidupnya. Nadia tak pernah benar-benar mendorongnya pergi, tapi juga tak pernah bena
Dua tahun berlalu sejak pertemuan terakhir di pameran kuliner, Hendra benar-benar menghilang. Walaupun terasa hampa, tetapi Nadia justru tenang karena tak ada lagi tuduhan karena mengganggu rumah tangga orang. Nadia sibuk dengan bisnis kue yang ia bangun dari nol. Usahanya semakin berkembang, terutama setelah beberapa kali mendapatkan pesanan besar dari berbagai perusahaan dan event.Nadia juga masih berkomunikasi dengan Surya lewat chat atau telepon. Sehingga hari-harinya tak terlalu sepi. Canda lelaki itu bisa membuatnya tertawa lepas sehingga semua kelelahan hilang begitu saja. "Gimana kabar kue-mu hari ini, Nad?" tanya Surya iseng."Kok nanyain kue?" tanya Nadia bingung."Kalau nanyain owner-nya nanti dikira aku naksir," jawab Surya."Padahal kan emang iya."Nadia tergelak mendengar lelucon itu. Sejak dulu Surya masih saja gombal dan merayunya. Usia lelaki itu yang lebih muda membuat lebih luwes dalam berbicara."Kue baik-baik aja. Laris manis seperti biasa. Kadang ada sisa, tap
Pameran kuliner terbesar di kota itu diadakan dengan meriah. Booth-booth kuliner dari berbagai daerah dipenuhi dengan makanan-makanan lezat yang menarik perhatian para pengunjung. Suasana ramai dengan suara tawa dan canda pengunjung yang tengah menikmati hidangan-hidangan khas dari berbagai penjuru kota."Mau yang mana?"Di salah satu booth, Nadia terlihat sibuk melayani pembeli. Toko kue miliknya, telah berkembang pesat dalam satu tahun terakhir. Usahanya yang dimulai dari nol kini telah menarik perhatian banyak orang, terutama setelah dia sering mengikuti acara-acara besar seperti pameran ini. Dengan senyum ramah, Nadia melayani pembeli yang terus berdatangan."Terima kasih, Mbak. Selamat menikmati," ucap Nadia sambil memberikan sekotak kue pada pelanggan terakhir yang baru saja membeli.Saat Nadia menyeka keringat di dahi, tanpa sengaja dia melihat sekilas seorang pria yang sangat familiar di antara kerumunan pengunjung. Hatinya seakan terhenti sejenak ketika menyadari bahwa itu
Malam itu di depan kafe, suasana terasa begitu sunyi. Nadia berdiri di samping Surya, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak.Angin malam seolah ikut merasakan kesedihan yang melingkupi mereka berdua. Nadia tahu, saatnya tiba untuk berpamitan. Namun kata-katanya terasa begitu berat untuk diucapkan.“Nad--”Surya memecah keheningan dengan suara serak, matanya menatap lurus ke depan.“Apa kamu benar-benar yakin dengan keputusan ini?”Nadia menghela napas panjang. Pandangannya mengabur karena menahan air mata. “Aku yakin, Surya. Aku butuh tempat untuk menyembuhkan diri. Di sini, aku terlalu banyak terjebak dengan masa lalu.”Surya menoleh, menatap wajah Nadia yang terlihat lelah tetapi tetap cantik. “Tapi kamu gak perlu pergi. Kita bisa cari jalan lain. Kamu tau aku selalu ada? Aku bisa membantu. Kalau masalah kerja, aku bisa carikan sesuatu di sini. Kamu nggak harus ninggalin semua ... apalagi aku.”Nadia tersenyum pahit, hatinya teriris mendengar ketulusan Surya.“Aku tahu kamu
"Nadia, kita perlu bicara. Ini sudah terlalu jauh."Nadia terkejut saat menerima pesan dari Cintia. Wanita itu baru saja sampai di rumah dan membawa makanan untuk ibunya. Setelah kejadian di rumah sakit, Hendra tak pernah lagi menghubunginya. Namun, selalu ada uang masuk setiap bulan dari rekening yang berbeda.Nadia mencoba menghubungi Hendra untuk mengucapkan terima kasih. Tapi pesannya tak pernah terkirim. Mungkin lelaki itu sudah mengganti nomor ponsel. "Kapan?" tanya Nadia saat mengetikkan pesan balasan."Nanti sore. Di kafe dekat tempat kerja kamu."Nadia tersentak, lalu menyari kalau kafe yang dimaksud adalah milik Surya. Sepertinya Cintia tak tahu jika itu milik temannya. "Oke.""Ini cuma antara kita berdua. Gak boleh ada orang lain yang tau."***Mereka bertemu di kafe mik Surya. Nadia meminta lelaki itu agar berpura-pura tak kenal saat dia datang. Nadia juga datang duluan dan memilih kursi di pojok agar tak terlalu menarik perhatian. Para karyawan Surya semua mengenaliny
Cintia melangkah cepat di koridor rumah sakit. Dia mendengar kabar bahwa suaminya bertengkar, entah dengan siapa. Namun tidak menyangka jika Nadia yang membawa Hendra ke rumah sakit. Cintia meninggalkan putranya di rumah dan langsung menuju ke rumah sakit. Selama dua tahun pernikahannya, baru kali terjadi masalah. Untungnya baby sitter yang merawat Arka cukup telaten, sehingga dia tak perlu khawatir. Anak itu juga tak terlalu rewel asal perutnya kenyang. "Bapak Hendra Widjaja dirawat dimana ya, Sus?"Cintia bertanya di nurse station dimana kamar suaminya. Wanita itu begitu khawatir dan ingin segera bertemu.Membayangakan Hendra berdarah dan pingsan membuatnya sedih. Wanita itu bahkan menangis saat menyetir menuju ke sini. "Bapak Hendra ada di 215 ya, Bu," ucap perawat sembari menunjuk ke arah ujung lorong. Cintia mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju kamar yang dimaksud. Ketika dia membuka pintu dan melihat Nadia duduk di samping Hendra, hatinya bergejolak.Cintia menarik