Suasana di minimarket tempat Nadia bekerja tampak tenang malam itu. Hanya beberapa pelanggan yang sedang memilih barang. Sementara Nadia duduk di balik kasir, sibuk dengan ponselnya.
Tiba-tiba, pintu minimarket berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk. Nadia mendongak dan terkejut melihat siapa yang datang.
"Loh, Mas. Kamu di sini?"
Hendra tersenyum tipis. Dia tampak sedikit gugup, seperti ada sesuatu yang membebani pikirannya.
"Iya, Nad. Kebetulan lewat, jadi mampir sebentar."
Nadia mengangguk, mencoba tetap tenang. Sudah cukup lama sejak terakhir kali mereka berbicara dengan santai.
Meski mereka sudah bercerai, hubungan mereka tidak sepenuhnya buruk. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda pada Hendra. Wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya.
Saat mereka berbicara, pintu minimarket kembali berbunyi. Kali ini, masuklah Surya. Lelaki itu melangkah mendekati Nadia dengan senyum lebar dan tampak akrab.
"Hey, Nad. Sudah istirahat? Aku bawain makanan dari kafe. Siapa tahu kamu lapar."
Nadia tersenyum lembut, menerima bungkusan yang diberikan oleh Surya.
"Makasih, Surya. Aku bentar lagi break."
Mereka tertawa kecil bersama. Surya tampak begitu santai di sekitar Nadia.
Hendra yang menyaksikan interaksi itu, mulai merasa tidak nyaman. Ada rasa asing yang mengganjal di hatinya.
"Siapa?" tanya Hendra penasaran. Dia memberi kode kepada Nadia untuk menjawab pertanyaannya.
"Ini Surya, Mas," jelas Nadia.
Surya menoleh dan tersenyum ramah kepada Hendra. Lelaki itu tak tahu jika itu adakah mantan suami Nadia.
"Mas siapa?"
Surya bertanya kebingungan. Melihat gelagat Nadia yang sepertinya kenal dengan lelaki itu, dia menjadi curiga.
Hendra tidak langsung menjawab. Matanya tetap tertuju pada Nadia dan cara Surya memperlakukan mantan istrinya.
Ada keakraban yang membuat Hendra tidak bisa menahan perasaan tak sukanya lebih lama.
"Kamu sering ke sini, Surya?"
Surya tampak sedikit bingung dengan nada suara Hendra yang tiba-tiba menjadi ketus. Tapi dia tetap menjaga senyumnya.
"Iya, cukup sering. Kafe saya dekat sini. Jadi biasanya mampir sekalian beli barang yang dibutuhkan. Kadang ya ngelihat Nadia juga."
Jawaban itu membuat Hendra semakin terganggu. Dia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan di antara mereka. Dan itu membuat darahnya mendidih.
"Ngeliat Nadia? Kamu tahu gak kalau Nadia ini mantan istri saya?"
Surya tertegun lalu tersenyum tipis. Dia masih berusaha bersikap tenang. Meski merasakan ketegangan yang mulai muncul.
"Oh maaf saya gak tau. Saya cuma teman yang peduli sama dia."
Nadia yang merasakan perubahan suasana, segera mencoba melerai. Hendra adalah tipikal orang yang gampang tersulut emosi. Hal itu dia rasakan selama mereka menikah dulu.
"Nggak usah dibesar-besarkan, Mas. Surya memang sering mampir. Aku juga senang kalau ada yang perhatian. Nggak ada yang salah."
Sayangnya kata-kata Nadia tadi hanya membuat Hendra semakin tersinggung. Lelaki itu tidak suka jika mantan istrinya didekati orang lain, meski dia sendiri sudah menikah lagi.
"Aku nggak suka cara kamu bicara soal dia, Nadia. Seolah-olah dia bisa menggantikan aku dalam hidup kamu."
Nadia terdiam sejenak, terkejut dengan reaksi Hendra yang berlebihan.
Surya yang melihat situasi ini, mencoba tetap tenang tapi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Mas Hendra, dengan segala hormat, saya nggak pernah berniat menggantikan posisi siapa pun. Saya cuma orang yang peduli sama Nadia. Itu aja."
Hendra berdiri lebih tegak, matanya menatap tajam ke arah Surya.
"Kalau kamu benar-benar peduli, kamu harus tahu batas. Nadia bukan seseorang yang bisa kamu dekati begitu saja. Dia punya masa lalu. Dan masa lalu itu termasuk saya."
"Astagfirullah."
Nadia akhirnya angkat bicara, merasa perlu untuk menghentikan ini sebelum semakin buruk.
"Udah. Mas. Ini di tempat umum. Malu dilihatin yang lain."
Nadia menarik lengan Hendra dan menyuruh Surya untuk keluar. Lebih baik masalah ini segera diselesaikan agar tak mengganggu pembeli lain.
Nadia juga meminta tolong seorang teman untuk menggantikan posisinya sebentar. Untung saja bos mereka sedang keluar. Namun, kejadian bisa terlihat di CCTV toko. Dan dia harus mempertanggung jawabkannya nanti.
"Tolong jangan berantem di sini. Aku lagi kerja."
"Aku memang sudah nikah lagi. Tapi bukan berarti aku nggak peduli sama kamu. Aku nggak bisa diam saja ngelihat kamu terlalu dekat sama cowok gak jelas."
Surya mengucap istigfar dalam hati saat dirinya disebut tak jelas oleh Hendra. Padahal tadi dia sudah memperkenalkan diri.
Sementara itu, Nadia menghela napas panjang. Merasa lelah dengan sikap posesif Hendra yang tiba-tiba muncul.
"Ini bukan urusan kamu lagi, Mas. Kamu sudah memilih jalan hidup dengan Cintia. Biarkan aku juga menjalani hidupku."
Surya yang sejak tadi lebih banyak diam, akhirnya membuka suara lagi. Kali ini dia lebih tegas.
"Mas Hendra, saya rasa kita semua harus sadar posisi masing-masing. Nadia sudah bukan tanggung jawab Anda lagi."
Hendra menatap Surya dengan tajam. Dia merasa tertantang.
"Kamu bisa bilang begitu sekarang. Tapi aku bisa lihat dari cara kamu bersikap, kamu punya maksud lain."
"Kalaupun ada maksud lain memangnya kenapa?" balas Surya.
Rahang Hendra mengeras. Lelaki itu bahkan siap beradu otot jika Surya menantang.
"Ya Allah, cukup!"
Nadia benar-benar frustrasi melihat kelakuan dua lelaki ini. Dia mencoba mengakhiri perdebatan yang semakin panas.
"Diam kamu Nadia. Cowok gak sopan kayak dia harus dikasih pengertian," ucap Hendra geram.
"Udah, Mas. Aku nggak mau kamu bicara kayak itu ke Surya. Dia nggak ngelakuin apa-apa yang salah. Kamu harus berhenti mengatur hidupku. Kita sudah berakhir."
Hendra terdiam, tersentak oleh kata-kata Nadia.
"Nadia, aku-"
Surya yang menyaksikan ketegangan ini, merasa perlu untuk menengahi.
"Mas Hendra, mari kita tenangkan diri. Saya menghormati masa lalu Anda dengan Nadia. Tetapi saya rasa penting bagi kita untuk saling menghargai keadaan yang sekarang."
Hendra menatap Surya, merasakan ketidaknyamanan yang semakin dalam. Ia tidak bisa memungkiri, ada kebenaran dalam kata-kata itu. Sayangnya rasa cemburu mengalahkan logika.
"Aku cuma mau melindungi Nadia. Aku gak bisa ngeliat dia dekat sembarangan orang, terutama sama kamu!"
"Aku bukan siapa-siapa kamu, Mas."
Hendra merasa terpojok. Dia tahu kata-katanya mungkin terdengar egois, tetapi rasa peduli kepada Nadia sulit dipisahkan dari perasaannya.
"Kita semua ingin yang terbaik untuk Nadia. Tapi kalau Mas terus-menerus hadir di hidupnya dengan cara seperti ini, itu justru akan menyakiti dia," ucap Surya bijak.
Hendra mengalihkan pandangannya ke Nadia, berharap melihat sedikit pengertian di wajah mantan istrinya. Namun, yang dia lihat justru ketegasan.
"Nadia, aku minta kamu untuk hati-hati. Aku tahu aku gak bisa ngatur hidup kamu lagi. Tapi aku peduli. Jangan terlalu dekat dengan orang ini."
"Surya cuma mau bersahabat denganku. Dan aku berhak memiliki teman."
Hendra mengerutkan kening, bingung antara mempertahankan posisi atau menerima kenyataan.
"Jadi kamu lebih memilih dia dibandingkan aku? Ingat Nadia, aku masih menafkahimu setiap bulan."
"Jadi Mas gak ikhlas?"
"Aku cuma mengingatkan," jawab Hendra tegas.
Nadia merasakan sakit di hatinya mendengar itu. Di saat seperti ini Hendra malah mengungkit pemberiannya.
"Baiknya Mas pulang sekarang juga."
Hendra menatap Nadia dengan tajam karena merasa diusir. Lelaki itu menarik napas dan mencoba menenangkan diri.
"Mas Hendra, saya menghargai perasaan Anda. Tapi baiknya Mas bisa memahami bahwa hubungan Nadia dan saya adalah pilihan kami berdua."
Hendra merasa dikhianati. Ia tidak ingin merasa seperti ini, tetapi tidak bisa mengontrol perasaannya.
"Mas sudah menikah. Jangan terus mengingat masa lalu kita. Itu gak adil untuk Cintia."
Saat nama istrinya disebut, seketika Hendra terdiam. Lelaki itu menyadari bahwa semua ini hanya perasaannya yang egois. Dia tidak ingin mengacaukan hidup Nadia lebih jauh.
"Kalau Mas peduli sama Nadia, berikan dia kebebasan. Biarkan dia memilih jalan hidupnya sendiri."
Surya mengatakan itu dengan sungguh-sungguh. Memberikan pengertian kepada lelaki berhati keras seperti Hendra ternyata cukup sulit.
"Pulang, Mas. Jangan bikin keributan di sini," pinta Nadia memohon. Dia bahkan memegang lengan Hendra untuk membujuk lelaki itu.
"Oke Mas pulang. Tapi kalau ada apa-apa cepat kabari. Mas pasti bantu kamu."
Nadia mengangguk, merasakan campuran lega dan kesedihan.
Hendra berbalik dan pergi. Saat ia meninggalkan tempat itu, ada perasaan kehilangan yang mendalam. Dia masih tak rela jika mantan istrinya didekati lelaki lain.
"Ah, syukurlah."
Setelah Hendra pergi, Nadia merasa begitu lega. Dia langsung duduk di kursi dan mengusap wajah berulang kali.
"Sorry, Nad. Aku emosi, soalnya dia mulai duluan," ucap Surya kesal.
"Gak apa-apa. Untung kamu gak kepancing tadi."
"Aneh, dia yang ceraikan kamu. Tapi dia juga cemburu ngeliat kamu sama aku."
Nadia mengulum senyum mendengar Surya menggerutu. Baru kali ini dia melihat wajah tampan itu kesal. Biasanya selalu tersenyum dan penuh kesabaran.
"Udah jangan dibahas lagi. Aku mau lanjut kerja. Kalau kamu mau belanja, ayo aja."
Surya mengangguk lalu menggandeng tangan Nadia masuk ke toko. Kali ini dia lebih berani karena mendapat lampu hijau dari kejadian tadi.
Malam itu, Hendra yang merasa cemas saat mengemudikan mobil menuju rumah Nadia. Sejak pertemuan dengan Surya hatinya menjadi tak tenang. Hendra tahu bahwa ibunya Nadia sedang sakit. Jadi dia akan menjadikan alasan itu untuk bertemu dengan Nadia dan menanyakan semua. Ketika tiba di rumah mereka dulu, Hendra melihat ada mobil lain terparkir disana. Pagar terbuka hingga dia memutuskan masuk dan menunggu di luar. Ada sendal lelaki yang membuat hatinya sedikit terusik. "Apa Nak Surya serius?"Hendra menajamkan telinga. Rumah ini tak terlalu besar sehingga suara dari dalam terdengar sampai ke luar. Dulu karena tak direstui menikah dengan Nadia, Hendra tak mendapatkam apa-apa dari keluarga. Sehingga dia hanya mampu membeli rumah kecil. Setelah menikah dengan Cintia, keluarganya kembali baik. Bahkan papanya menyerahkan perusahaan kepada Hendra.Apalagi setelah bayi mereka lahir. Ibunya sangat senang dan membelikan rumah baru untuk Cintia. Beserta perabotannya. "Saya sangat serius denga
Cintia melangkah cepat di koridor rumah sakit. Dia mendengar kabar bahwa suaminya bertengkar, entah dengan siapa. Namun tidak menyangka jika Nadia yang membawa Hendra ke rumah sakit. Cintia meninggalkan putranya di rumah dan langsung menuju ke rumah sakit. Selama dua tahun pernikahannya, baru kali terjadi masalah. Untungnya baby sitter yang merawat Arka cukup telaten, sehingga dia tak perlu khawatir. Anak itu juga tak terlalu rewel asal perutnya kenyang. "Bapak Hendra Widjaja dirawat dimana ya, Sus?"Cintia bertanya di nurse station dimana kamar suaminya. Wanita itu begitu khawatir dan ingin segera bertemu.Membayangakan Hendra berdarah dan pingsan membuatnya sedih. Wanita itu bahkan menangis saat menyetir menuju ke sini. "Bapak Hendra ada di 215 ya, Bu," ucap perawat sembari menunjuk ke arah ujung lorong. Cintia mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju kamar yang dimaksud. Ketika dia membuka pintu dan melihat Nadia duduk di samping Hendra, hatinya bergejolak.Cintia menarik
"Nadia, kita perlu bicara. Ini sudah terlalu jauh."Nadia terkejut saat menerima pesan dari Cintia. Wanita itu baru saja sampai di rumah dan membawa makanan untuk ibunya. Setelah kejadian di rumah sakit, Hendra tak pernah lagi menghubunginya. Namun, selalu ada uang masuk setiap bulan dari rekening yang berbeda.Nadia mencoba menghubungi Hendra untuk mengucapkan terima kasih. Tapi pesannya tak pernah terkirim. Mungkin lelaki itu sudah mengganti nomor ponsel. "Kapan?" tanya Nadia saat mengetikkan pesan balasan."Nanti sore. Di kafe dekat tempat kerja kamu."Nadia tersentak, lalu menyari kalau kafe yang dimaksud adalah milik Surya. Sepertinya Cintia tak tahu jika itu milik temannya. "Oke.""Ini cuma antara kita berdua. Gak boleh ada orang lain yang tau."***Mereka bertemu di kafe mik Surya. Nadia meminta lelaki itu agar berpura-pura tak kenal saat dia datang. Nadia juga datang duluan dan memilih kursi di pojok agar tak terlalu menarik perhatian. Para karyawan Surya semua mengenaliny
Malam itu di depan kafe, suasana terasa begitu sunyi. Nadia berdiri di samping Surya, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak.Angin malam seolah ikut merasakan kesedihan yang melingkupi mereka berdua. Nadia tahu, saatnya tiba untuk berpamitan. Namun kata-katanya terasa begitu berat untuk diucapkan.“Nad--”Surya memecah keheningan dengan suara serak, matanya menatap lurus ke depan.“Apa kamu benar-benar yakin dengan keputusan ini?”Nadia menghela napas panjang. Pandangannya mengabur karena menahan air mata. “Aku yakin, Surya. Aku butuh tempat untuk menyembuhkan diri. Di sini, aku terlalu banyak terjebak dengan masa lalu.”Surya menoleh, menatap wajah Nadia yang terlihat lelah tetapi tetap cantik. “Tapi kamu gak perlu pergi. Kita bisa cari jalan lain. Kamu tau aku selalu ada? Aku bisa membantu. Kalau masalah kerja, aku bisa carikan sesuatu di sini. Kamu nggak harus ninggalin semua ... apalagi aku.”Nadia tersenyum pahit, hatinya teriris mendengar ketulusan Surya.“Aku tahu kamu
Pameran kuliner terbesar di kota itu diadakan dengan meriah. Booth-booth kuliner dari berbagai daerah dipenuhi dengan makanan-makanan lezat yang menarik perhatian para pengunjung. Suasana ramai dengan suara tawa dan canda pengunjung yang tengah menikmati hidangan-hidangan khas dari berbagai penjuru kota."Mau yang mana?"Di salah satu booth, Nadia terlihat sibuk melayani pembeli. Toko kue miliknya, telah berkembang pesat dalam satu tahun terakhir. Usahanya yang dimulai dari nol kini telah menarik perhatian banyak orang, terutama setelah dia sering mengikuti acara-acara besar seperti pameran ini. Dengan senyum ramah, Nadia melayani pembeli yang terus berdatangan."Terima kasih, Mbak. Selamat menikmati," ucap Nadia sambil memberikan sekotak kue pada pelanggan terakhir yang baru saja membeli.Saat Nadia menyeka keringat di dahi, tanpa sengaja dia melihat sekilas seorang pria yang sangat familiar di antara kerumunan pengunjung. Hatinya seakan terhenti sejenak ketika menyadari bahwa itu
Dua tahun berlalu sejak pertemuan terakhir di pameran kuliner, Hendra benar-benar menghilang. Walaupun terasa hampa, tetapi Nadia justru tenang karena tak ada lagi tuduhan karena mengganggu rumah tangga orang. Nadia sibuk dengan bisnis kue yang ia bangun dari nol. Usahanya semakin berkembang, terutama setelah beberapa kali mendapatkan pesanan besar dari berbagai perusahaan dan event.Nadia juga masih berkomunikasi dengan Surya lewat chat atau telepon. Sehingga hari-harinya tak terlalu sepi. Canda lelaki itu bisa membuatnya tertawa lepas sehingga semua kelelahan hilang begitu saja. "Gimana kabar kue-mu hari ini, Nad?" tanya Surya iseng."Kok nanyain kue?" tanya Nadia bingung."Kalau nanyain owner-nya nanti dikira aku naksir," jawab Surya."Padahal kan emang iya."Nadia tergelak mendengar lelucon itu. Sejak dulu Surya masih saja gombal dan merayunya. Usia lelaki itu yang lebih muda membuat lebih luwes dalam berbicara."Kue baik-baik aja. Laris manis seperti biasa. Kadang ada sisa, tap
"Selamat datang."Tepat ketika Nadia selesai menyusun kue-kue di rak, seorang kurir masuk dengan membawa sebuah karangan bunga besar. Bunga itu dihiasi pita merah muda yang cantik, menonjolkan keindahannya.“Selamat siang, Mbak. Karangan bunga ini untuk Nadia. Apakah benar ini alamatnya?” tanya kurir itu.Nadia menatap heran. Siapa yang mengirim bunga untuknya? "Ya benar. Itu saya."Nadia mengangguk dan segera menerima karangan bunga itu. Di antara rangkaian bunga mawar putih dan merah yang harum, ada sebuah kartu kecil terselip.Nadia menarik kartu itu dengan hati-hati, membacanya pelan."Untuk Nadia, wanita yang selalu ada di pikiran dan hati. Dari Surya."Jantung Nadia berdebar sejenak. Surya, nama itu tak pernah hilang dari hidupnya. Meski sudah lama tak berkomunikasi secara langsung, Surya selalu punya cara untuk mendekati Nadia. Seolah-olah menunggu waktu yang tepat untuk datang lagi ke dalam hidupnya. Nadia tak pernah benar-benar mendorongnya pergi, tapi juga tak pernah bena
"Makan, Nak. Nanti kamu makin lemas," ucap Rahma lembut, sembari menaruh mangkuk bubur di meja samping tempat tidur.Sudah dua hari toko tutup. Plang "Libur Sementara" tergantung di pintu kaca dengan tulisan tangan yang rapi, tetapi kosong tanpa kue-kue lezat yang biasanya mengisi etalase. Hawa dingin menyelimuti rumah Nadia. Di dalam kamar, wanita itu terbaring lemah di atas ranjang. Tubuhnya terasa panas dengan kepala yang pusing. Juga rasa hampa di dada yang tak juga hilang sejak kepergian Surya."Aku gak lapar, Bu."Nadia hanya menggeleng, tidak punya tenaga untuk banyak bicara, apalagi makan. Matanya menatap lurus, seolah semua semangat hidup telah hilang bersama kepergian Surya."Sayang, Ibu tahu kamu lagi sedih. Tapi kamu gak bisa seperti ini terus. Kamu harus kuat, Nak," ujar Rahma dengan nada lembut. Wanita paruh itu uduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan putrinya."Ibu..." Suara Nadia terdengar lemah."Kenapa aku harus kehilangan lagi?"Pelupuk mata Nadia mulai menggen
Kamar rumah sakit yang seharusnya tenang malam itu dipenuhi oleh aura kecemasan. Hendra duduk di kursi di sebelah ranjang, menatap istrinya yang sedang terbaring lemah.Cintia, yang tengah hamil besar, sudah beberapa hari dirawat karena kondisinya yang semakin memburuk. Wajahnya pucat dengan kaki yang bengkak, juga perutnya terasa semakin berat.Walaupun begitu, Cintia tetap tersenyum tipis. Dia ingin menunjukkan kekuatan yang masih tersisa."Apanya yang aakit, Sayang?" tanya Hendra lembut. Lelaki itu mencoba menenangkan istrinya, juga diri sendiri.Cintia menarik napas pelan. "Aku baik-baik saja, Mas. Aku cuma mau melahirkan anak ini secara normal, seperti anak pertama kita dulu.""Tapi, kondisi kamu nggak memungkinkan, Cintia. Dokter bilang, ada risiko besar kalau kamu memaksakan lahiran normal."Suara Hendra terdengar berat. Matanya mempe
Hendra baru saja turun dari pesawat dengan masih mengenakan kemeja rapi yang terlihat elegan. Langkah kakinya terdengar mantap ketika berjalan cepat melewati kerumunan orang di bandara.Sesekali Hendra meraih telepon genggamnya untuk mengecek jadwal presentasi yang akan dihadirinya siang ini. Dengan cepat, lelaki itu memesan taksi untuk langsung menuju kantornya.Perjalanan dari bandara ke kantor tidak memakan waktu lama. Di sepanjang jalan, pikiran Hendra dipenuhi dengan ide-ide tentang bagaimana ia akan mempresentasikan rencana pengembangan perusahaannya.Meskipun kantor ini masih terbilang kecil, ia merasa bahwa pertumbuhan bisnisnya sudah mulai terlihat. Ada sesuatu yang besar menunggunya di masa depan, dan mereka siap untuk meraihnya.Setibanya di kantor, Hendra disambut oleh Bianca, asistennya, dengan senyum ramah.“Selamat datang, Pak Hendra. Gimana perjalanann
"Makan, Nak. Nanti kamu makin lemas," ucap Rahma lembut, sembari menaruh mangkuk bubur di meja samping tempat tidur.Sudah dua hari toko tutup. Plang "Libur Sementara" tergantung di pintu kaca dengan tulisan tangan yang rapi, tetapi kosong tanpa kue-kue lezat yang biasanya mengisi etalase. Hawa dingin menyelimuti rumah Nadia. Di dalam kamar, wanita itu terbaring lemah di atas ranjang. Tubuhnya terasa panas dengan kepala yang pusing. Juga rasa hampa di dada yang tak juga hilang sejak kepergian Surya."Aku gak lapar, Bu."Nadia hanya menggeleng, tidak punya tenaga untuk banyak bicara, apalagi makan. Matanya menatap lurus, seolah semua semangat hidup telah hilang bersama kepergian Surya."Sayang, Ibu tahu kamu lagi sedih. Tapi kamu gak bisa seperti ini terus. Kamu harus kuat, Nak," ujar Rahma dengan nada lembut. Wanita paruh itu uduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan putrinya."Ibu..." Suara Nadia terdengar lemah."Kenapa aku harus kehilangan lagi?"Pelupuk mata Nadia mulai menggen
"Selamat datang."Tepat ketika Nadia selesai menyusun kue-kue di rak, seorang kurir masuk dengan membawa sebuah karangan bunga besar. Bunga itu dihiasi pita merah muda yang cantik, menonjolkan keindahannya.“Selamat siang, Mbak. Karangan bunga ini untuk Nadia. Apakah benar ini alamatnya?” tanya kurir itu.Nadia menatap heran. Siapa yang mengirim bunga untuknya? "Ya benar. Itu saya."Nadia mengangguk dan segera menerima karangan bunga itu. Di antara rangkaian bunga mawar putih dan merah yang harum, ada sebuah kartu kecil terselip.Nadia menarik kartu itu dengan hati-hati, membacanya pelan."Untuk Nadia, wanita yang selalu ada di pikiran dan hati. Dari Surya."Jantung Nadia berdebar sejenak. Surya, nama itu tak pernah hilang dari hidupnya. Meski sudah lama tak berkomunikasi secara langsung, Surya selalu punya cara untuk mendekati Nadia. Seolah-olah menunggu waktu yang tepat untuk datang lagi ke dalam hidupnya. Nadia tak pernah benar-benar mendorongnya pergi, tapi juga tak pernah bena
Dua tahun berlalu sejak pertemuan terakhir di pameran kuliner, Hendra benar-benar menghilang. Walaupun terasa hampa, tetapi Nadia justru tenang karena tak ada lagi tuduhan karena mengganggu rumah tangga orang. Nadia sibuk dengan bisnis kue yang ia bangun dari nol. Usahanya semakin berkembang, terutama setelah beberapa kali mendapatkan pesanan besar dari berbagai perusahaan dan event.Nadia juga masih berkomunikasi dengan Surya lewat chat atau telepon. Sehingga hari-harinya tak terlalu sepi. Canda lelaki itu bisa membuatnya tertawa lepas sehingga semua kelelahan hilang begitu saja. "Gimana kabar kue-mu hari ini, Nad?" tanya Surya iseng."Kok nanyain kue?" tanya Nadia bingung."Kalau nanyain owner-nya nanti dikira aku naksir," jawab Surya."Padahal kan emang iya."Nadia tergelak mendengar lelucon itu. Sejak dulu Surya masih saja gombal dan merayunya. Usia lelaki itu yang lebih muda membuat lebih luwes dalam berbicara."Kue baik-baik aja. Laris manis seperti biasa. Kadang ada sisa, tap
Pameran kuliner terbesar di kota itu diadakan dengan meriah. Booth-booth kuliner dari berbagai daerah dipenuhi dengan makanan-makanan lezat yang menarik perhatian para pengunjung. Suasana ramai dengan suara tawa dan canda pengunjung yang tengah menikmati hidangan-hidangan khas dari berbagai penjuru kota."Mau yang mana?"Di salah satu booth, Nadia terlihat sibuk melayani pembeli. Toko kue miliknya, telah berkembang pesat dalam satu tahun terakhir. Usahanya yang dimulai dari nol kini telah menarik perhatian banyak orang, terutama setelah dia sering mengikuti acara-acara besar seperti pameran ini. Dengan senyum ramah, Nadia melayani pembeli yang terus berdatangan."Terima kasih, Mbak. Selamat menikmati," ucap Nadia sambil memberikan sekotak kue pada pelanggan terakhir yang baru saja membeli.Saat Nadia menyeka keringat di dahi, tanpa sengaja dia melihat sekilas seorang pria yang sangat familiar di antara kerumunan pengunjung. Hatinya seakan terhenti sejenak ketika menyadari bahwa itu
Malam itu di depan kafe, suasana terasa begitu sunyi. Nadia berdiri di samping Surya, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak.Angin malam seolah ikut merasakan kesedihan yang melingkupi mereka berdua. Nadia tahu, saatnya tiba untuk berpamitan. Namun kata-katanya terasa begitu berat untuk diucapkan.“Nad--”Surya memecah keheningan dengan suara serak, matanya menatap lurus ke depan.“Apa kamu benar-benar yakin dengan keputusan ini?”Nadia menghela napas panjang. Pandangannya mengabur karena menahan air mata. “Aku yakin, Surya. Aku butuh tempat untuk menyembuhkan diri. Di sini, aku terlalu banyak terjebak dengan masa lalu.”Surya menoleh, menatap wajah Nadia yang terlihat lelah tetapi tetap cantik. “Tapi kamu gak perlu pergi. Kita bisa cari jalan lain. Kamu tau aku selalu ada? Aku bisa membantu. Kalau masalah kerja, aku bisa carikan sesuatu di sini. Kamu nggak harus ninggalin semua ... apalagi aku.”Nadia tersenyum pahit, hatinya teriris mendengar ketulusan Surya.“Aku tahu kamu
"Nadia, kita perlu bicara. Ini sudah terlalu jauh."Nadia terkejut saat menerima pesan dari Cintia. Wanita itu baru saja sampai di rumah dan membawa makanan untuk ibunya. Setelah kejadian di rumah sakit, Hendra tak pernah lagi menghubunginya. Namun, selalu ada uang masuk setiap bulan dari rekening yang berbeda.Nadia mencoba menghubungi Hendra untuk mengucapkan terima kasih. Tapi pesannya tak pernah terkirim. Mungkin lelaki itu sudah mengganti nomor ponsel. "Kapan?" tanya Nadia saat mengetikkan pesan balasan."Nanti sore. Di kafe dekat tempat kerja kamu."Nadia tersentak, lalu menyari kalau kafe yang dimaksud adalah milik Surya. Sepertinya Cintia tak tahu jika itu milik temannya. "Oke.""Ini cuma antara kita berdua. Gak boleh ada orang lain yang tau."***Mereka bertemu di kafe mik Surya. Nadia meminta lelaki itu agar berpura-pura tak kenal saat dia datang. Nadia juga datang duluan dan memilih kursi di pojok agar tak terlalu menarik perhatian. Para karyawan Surya semua mengenaliny
Cintia melangkah cepat di koridor rumah sakit. Dia mendengar kabar bahwa suaminya bertengkar, entah dengan siapa. Namun tidak menyangka jika Nadia yang membawa Hendra ke rumah sakit. Cintia meninggalkan putranya di rumah dan langsung menuju ke rumah sakit. Selama dua tahun pernikahannya, baru kali terjadi masalah. Untungnya baby sitter yang merawat Arka cukup telaten, sehingga dia tak perlu khawatir. Anak itu juga tak terlalu rewel asal perutnya kenyang. "Bapak Hendra Widjaja dirawat dimana ya, Sus?"Cintia bertanya di nurse station dimana kamar suaminya. Wanita itu begitu khawatir dan ingin segera bertemu.Membayangakan Hendra berdarah dan pingsan membuatnya sedih. Wanita itu bahkan menangis saat menyetir menuju ke sini. "Bapak Hendra ada di 215 ya, Bu," ucap perawat sembari menunjuk ke arah ujung lorong. Cintia mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju kamar yang dimaksud. Ketika dia membuka pintu dan melihat Nadia duduk di samping Hendra, hatinya bergejolak.Cintia menarik