Cintia melangkah cepat di koridor rumah sakit. Dia mendengar kabar bahwa suaminya bertengkar, entah dengan siapa. Namun tidak menyangka jika Nadia yang membawa Hendra ke rumah sakit.
Cintia meninggalkan putranya di rumah dan langsung menuju ke rumah sakit. Selama dua tahun pernikahannya, baru kali terjadi masalah.
Untungnya baby sitter yang merawat Arka cukup telaten, sehingga dia tak perlu khawatir. Anak itu juga tak terlalu rewel asal perutnya kenyang.
"Bapak Hendra Widjaja dirawat dimana ya, Sus?"
Cintia bertanya di nurse station dimana kamar suaminya. Wanita itu begitu khawatir dan ingin segera bertemu.
Membayangakan Hendra berdarah dan pingsan membuatnya sedih. Wanita itu bahkan menangis saat menyetir menuju ke sini.
"Bapak Hendra ada di 215 ya, Bu," ucap perawat sembari menunjuk ke arah ujung lorong.
Cintia mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju kamar yang dimaksud. Ketika dia membuka pintu dan melihat Nadia duduk di samping Hendra, hatinya bergejolak.
Cintia menarik napas panjang agar bisa mengendalikan diri. Tanpa melihat Nadia, dia langsung duduk di dekat Hendra.
"Mas, kamu gak apa-apa?" tanya Cintia khawatir. Dia bahkan memeluk Hendra sembari mengusap kepala suaminya.
"Cuma luka dikit," jawab Hendra lemah.
"Kok bisa pingsan?"
"Mas kecapean habis pulang kerja."
Nadia membuang pandangan, merasakan sesak di dada. Apalagi saat Cintia mencium pipi Hendra dengan lembut. Hal yang sama seperti yang dulu dia lakukan.
"Mana yang sakit? Aku pijat ya?" ucap Cintia mesra. Wanita itu bahkan mengabaikan Nadia dengan tak menyapanya.
"Mas gak apa-apa, Sayang," ucap Hendra sembari mengusap rambut Cintia.
Ucapan mesra dan perlakuan itu membuat dada Nadia bergemuruh. Dia tak bisa membayangkan jika Hendra melimpahkan kasih sayang kepada Cintia. Seperti yang lelaki itu berikan kepadanya dulu.
"Itu ada Nadia," bisim Hendra tak enak hati.
Cintia menoleh dan berusaha untuk senyum walau enggan.
"Hai, Nad. Gimana kabar?"
"Alhamdulilah sehat," jawab Nadia sembari tersenyum.
"Kamu sehat tapi suamiku bonyok," sindir Cintia halus. Ucapannya itu membuat Nadia tergugu dan tak tahu harus bicara apa.
"Jangan gitu, Cin. Gak sopan," bisik Hendra.
"Kenapa kamu masih di sini? Aku usah datang, loh."
Nadia menoleh dan mendapati Cintia menatapnya dengan tajam. Nada suaranya terdengar tak suka.
Melihat itu, Nadia berpindah tempat duduk. Dia tak mau menggangu perbincangan Hendra dan Cintia.
Sikap Cintia yang tak menyukai keberadaannya membuat Nadia sadar diri. Sepertinya dia tidak boleh berlama-lama di sini.
"Nadia yang bawa Mas ke sini, Sayang. Kamu harusnya terima kasih."
Sayang? Lagi-lagi hati Nadia terluka. Hendra pernah mengatakan hal yang sama kepada dirinya, dulu.
"Terus kamu senang dijagain mantan istri?"
Cintia merasa marah dan terluka. Dia menatap suaminya dengan tajam untuk memperingatkan. Wanita kalau sedang cemburu benar-benar mirip singa betina.
"Cin, aku cuma nemenin Mas Hendra sampai kamu datang. Soalnya, mama sama yang lain gak respons telepon dari aku," jelas Nadia.
Cintia tidak mau mendengar penjelasan. Hatinya sudah terbakar api cemburu.
"Oh, mama mertuaku. Mama sudah tidur jam segini. Aku menantu yang tau jadwalnya," sindir Cintia.
Nadia merasa terpojok, tetapi dia berusaha tetap tenang.
"Aku tidak bermaksud ganggu. Hendra terluka dan aku merasa kasihan."
Hendra mencoba menengahi. Jika tadi dia berseteru dengan Surya, kini istri dan mantan istrinya yang berselisih paham.
"Cin, ini bukan salah Nadia. Harusnya kamu fokus ngurusin aku."
Cintia menatap Hendra dengan mata penuh kemarahan.
"Fokus? Sementara dia ada di sini? Dia penyebabnya, kan?"
Nadia merasa hatinya bergetar mendengar tuduhan itu. Dia hendak berpamitan. Namun, ucapan Cintia yang terus memojokkan justru menahannya.
"Itu gak benar. Aku udah berusaha melerai mereka. Tapi Mas Hendra yang emosi." Nadia mencoba menjelaskan agar tak terjadi salah paham.
Cintia melangkah maju, semakin mendekat ke arah Nadia.
"Oh, jadi kamu mau bilang kalau semua ini gak ada hubungannya sama kamu? Padahal kamu biang masalahnya."
Hendra berusaha meredakan situasi yang semakin memanas. Dia bahkan mencoba meraih lengan Cintia untuk mencegah istrinya berbuat lebih.
"Cin, kita gak bisa menyalahkan Nadia. Surya yang mulai."
Cintia menggelengkan kepala, tidak mau menerima penjelasan Hendra.
"Jadi, Mas membela dia sekarang? Apa Mas gak mengerti kalau dia mau menghancurkan rumah tangga kita?"
Nadia merasa sakit hati, tetapi mencoba berbicara dengan tenang. Tuduhan Cintia itu sama sekali tak berdasar.
"Aku gak niat menghancurkan apapun. Aku cuma peduli dan Hendra dan ingin melihatnya baik-baik saja."
Cintia tertawa sinis, tidak percaya dengan apa yang diucapkan Nadia. Dia tahu jika wanita itu masih menyimpan cinta untuk suaminya.
"Peduli? Jadi ini semua tentang kepedulian? Atau kamu berencana kembali ke hidup suamiku?"
Hendra terdiam, merasakan ketegangan yang semakin meningkat.
"Cintia, cukup. Ini bukan saatnya untuk berdebat."
Cintia menatap Hendra dengan penuh kecewa. Dia tak menyangka jika sang suami malah menbela Nadia diabanding dirinya.
"Bukan saatnya? Lalu kapan? Selama ini Mas terus ngasih dia perhatian."
Hendra berusaha menahan emosinya, tetapi dia merasa tertekan.
"Aku melakukan ini untuk kebaikan. Aku gak bisa abaikan Nadia seperti itu."
Nadia melihat keduanya berdebat, merasa bingung dan sakit hati.
"Cintia, aku gak ada niat untuk menjadi masalah."
Cintia melangkah lebih dekat, menatap Nadia dengan marah.
"Kamu gak perlu khawatir tentang suamiku! Kami sudah punya kehidupan sendiri. Berhentilah menganggu kami."
Nadia merasakan kemarahan dalam dirinya, tetapi dia tidak ingin memperburuk keadaan.
"Sudah, Cin. Ini rumah sakit. Jangan bertengkar di sini."
"Kamu gak ngerti, Mas. Ini tentang kamu dan dia. Dan aku merasa seperti orang asing di rumah tangga kita!"
Nadia merasa hancur mendengar itu, dan hatinya bergetar.
"Apa alasan kamu membiarkan dia masuk ke hidup kita, Mas? Apa kamu benar-benar mencintaiku?"
Cintia tidak mau mendengar penjelasan lebih lanjut. Hatinya sudah dipenuhi amarah.
"Maaf--" lirih Nadia.
"Aku gak mau dengar. Pergi dari sini, Nadia. Aku gak mau ngeliat kamu di dekat suamiku."
"Aku pamit, Mas. Assalamualaikum."
Nadia menahan napas, berusaha untuk tetap tenang. Dia berbalik, melangkah pergi dengan hati yang berat.
Nadia tidak ingin menjadi penyebab pertengkaran mereka. Namun di dalam hatinya, cinta untuk Hendra masih ada.
***
Cintia memandang Hendra dengan kemarahan dan kekecewaan.
"Kamu masih peduli sama Nadia, Mas? Kenapa kamu gak bisa lihat betapa sakitnya aku?"
Hendra merasa bingung, tidak tahu harus berkata apa. Istrinya sedang emosi. Jika dia menajwab, maka pertengkaran akan semakin panjang.
"Aku cuma ingin kita baik-baik saja. Aku mencintaimu, dan aku ingin menyelesaikan ini bersama."
Cintia menatap Hendra, tetapi hatinya masih penuh amarah dan kekecewaan.
"Aku butuh waktu untuk merenung. Kita perlu membicarakan semua. Nanti setelah kamu sembuh."
Cintia berbalik, meninggalkan suaminya dalam keheningan. Niat untuk mengurus Hendra pupus seketika. Sepertinya dia harus menenangkan diri dulu.
Hendra merasa hancur, menyadari bahwa masalah ini baru saja dimulai. Dan dia harus berjuang untuk memperbaikinya.
"Nadia, kita perlu bicara. Ini sudah terlalu jauh."Nadia terkejut saat menerima pesan dari Cintia. Wanita itu baru saja sampai di rumah dan membawa makanan untuk ibunya. Setelah kejadian di rumah sakit, Hendra tak pernah lagi menghubunginya. Namun, selalu ada uang masuk setiap bulan dari rekening yang berbeda.Nadia mencoba menghubungi Hendra untuk mengucapkan terima kasih. Tapi pesannya tak pernah terkirim. Mungkin lelaki itu sudah mengganti nomor ponsel. "Kapan?" tanya Nadia saat mengetikkan pesan balasan."Nanti sore. Di kafe dekat tempat kerja kamu."Nadia tersentak, lalu menyari kalau kafe yang dimaksud adalah milik Surya. Sepertinya Cintia tak tahu jika itu milik temannya. "Oke.""Ini cuma antara kita berdua. Gak boleh ada orang lain yang tau."***Mereka bertemu di kafe mik Surya. Nadia meminta lelaki itu agar berpura-pura tak kenal saat dia datang. Nadia juga datang duluan dan memilih kursi di pojok agar tak terlalu menarik perhatian. Para karyawan Surya semua mengenaliny
Malam itu di depan kafe, suasana terasa begitu sunyi. Nadia berdiri di samping Surya, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak.Angin malam seolah ikut merasakan kesedihan yang melingkupi mereka berdua. Nadia tahu, saatnya tiba untuk berpamitan. Namun kata-katanya terasa begitu berat untuk diucapkan.“Nad--”Surya memecah keheningan dengan suara serak, matanya menatap lurus ke depan.“Apa kamu benar-benar yakin dengan keputusan ini?”Nadia menghela napas panjang. Pandangannya mengabur karena menahan air mata. “Aku yakin, Surya. Aku butuh tempat untuk menyembuhkan diri. Di sini, aku terlalu banyak terjebak dengan masa lalu.”Surya menoleh, menatap wajah Nadia yang terlihat lelah tetapi tetap cantik. “Tapi kamu gak perlu pergi. Kita bisa cari jalan lain. Kamu tau aku selalu ada? Aku bisa membantu. Kalau masalah kerja, aku bisa carikan sesuatu di sini. Kamu nggak harus ninggalin semua ... apalagi aku.”Nadia tersenyum pahit, hatinya teriris mendengar ketulusan Surya.“Aku tahu kamu
Pameran kuliner terbesar di kota itu diadakan dengan meriah. Booth-booth kuliner dari berbagai daerah dipenuhi dengan makanan-makanan lezat yang menarik perhatian para pengunjung. Suasana ramai dengan suara tawa dan canda pengunjung yang tengah menikmati hidangan-hidangan khas dari berbagai penjuru kota."Mau yang mana?"Di salah satu booth, Nadia terlihat sibuk melayani pembeli. Toko kue miliknya, telah berkembang pesat dalam satu tahun terakhir. Usahanya yang dimulai dari nol kini telah menarik perhatian banyak orang, terutama setelah dia sering mengikuti acara-acara besar seperti pameran ini. Dengan senyum ramah, Nadia melayani pembeli yang terus berdatangan."Terima kasih, Mbak. Selamat menikmati," ucap Nadia sambil memberikan sekotak kue pada pelanggan terakhir yang baru saja membeli.Saat Nadia menyeka keringat di dahi, tanpa sengaja dia melihat sekilas seorang pria yang sangat familiar di antara kerumunan pengunjung. Hatinya seakan terhenti sejenak ketika menyadari bahwa itu
Dua tahun berlalu sejak pertemuan terakhir di pameran kuliner, Hendra benar-benar menghilang. Walaupun terasa hampa, tetapi Nadia justru tenang karena tak ada lagi tuduhan karena mengganggu rumah tangga orang. Nadia sibuk dengan bisnis kue yang ia bangun dari nol. Usahanya semakin berkembang, terutama setelah beberapa kali mendapatkan pesanan besar dari berbagai perusahaan dan event.Nadia juga masih berkomunikasi dengan Surya lewat chat atau telepon. Sehingga hari-harinya tak terlalu sepi. Canda lelaki itu bisa membuatnya tertawa lepas sehingga semua kelelahan hilang begitu saja. "Gimana kabar kue-mu hari ini, Nad?" tanya Surya iseng."Kok nanyain kue?" tanya Nadia bingung."Kalau nanyain owner-nya nanti dikira aku naksir," jawab Surya."Padahal kan emang iya."Nadia tergelak mendengar lelucon itu. Sejak dulu Surya masih saja gombal dan merayunya. Usia lelaki itu yang lebih muda membuat lebih luwes dalam berbicara."Kue baik-baik aja. Laris manis seperti biasa. Kadang ada sisa, tap
"Selamat datang."Tepat ketika Nadia selesai menyusun kue-kue di rak, seorang kurir masuk dengan membawa sebuah karangan bunga besar. Bunga itu dihiasi pita merah muda yang cantik, menonjolkan keindahannya.“Selamat siang, Mbak. Karangan bunga ini untuk Nadia. Apakah benar ini alamatnya?” tanya kurir itu.Nadia menatap heran. Siapa yang mengirim bunga untuknya? "Ya benar. Itu saya."Nadia mengangguk dan segera menerima karangan bunga itu. Di antara rangkaian bunga mawar putih dan merah yang harum, ada sebuah kartu kecil terselip.Nadia menarik kartu itu dengan hati-hati, membacanya pelan."Untuk Nadia, wanita yang selalu ada di pikiran dan hati. Dari Surya."Jantung Nadia berdebar sejenak. Surya, nama itu tak pernah hilang dari hidupnya. Meski sudah lama tak berkomunikasi secara langsung, Surya selalu punya cara untuk mendekati Nadia. Seolah-olah menunggu waktu yang tepat untuk datang lagi ke dalam hidupnya. Nadia tak pernah benar-benar mendorongnya pergi, tapi juga tak pernah bena
"Makan, Nak. Nanti kamu makin lemas," ucap Rahma lembut, sembari menaruh mangkuk bubur di meja samping tempat tidur.Sudah dua hari toko tutup. Plang "Libur Sementara" tergantung di pintu kaca dengan tulisan tangan yang rapi, tetapi kosong tanpa kue-kue lezat yang biasanya mengisi etalase. Hawa dingin menyelimuti rumah Nadia. Di dalam kamar, wanita itu terbaring lemah di atas ranjang. Tubuhnya terasa panas dengan kepala yang pusing. Juga rasa hampa di dada yang tak juga hilang sejak kepergian Surya."Aku gak lapar, Bu."Nadia hanya menggeleng, tidak punya tenaga untuk banyak bicara, apalagi makan. Matanya menatap lurus, seolah semua semangat hidup telah hilang bersama kepergian Surya."Sayang, Ibu tahu kamu lagi sedih. Tapi kamu gak bisa seperti ini terus. Kamu harus kuat, Nak," ujar Rahma dengan nada lembut. Wanita paruh itu uduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan putrinya."Ibu..." Suara Nadia terdengar lemah."Kenapa aku harus kehilangan lagi?"Pelupuk mata Nadia mulai menggen
Hendra baru saja turun dari pesawat dengan masih mengenakan kemeja rapi yang terlihat elegan. Langkah kakinya terdengar mantap ketika berjalan cepat melewati kerumunan orang di bandara.Sesekali Hendra meraih telepon genggamnya untuk mengecek jadwal presentasi yang akan dihadirinya siang ini. Dengan cepat, lelaki itu memesan taksi untuk langsung menuju kantornya.Perjalanan dari bandara ke kantor tidak memakan waktu lama. Di sepanjang jalan, pikiran Hendra dipenuhi dengan ide-ide tentang bagaimana ia akan mempresentasikan rencana pengembangan perusahaannya.Meskipun kantor ini masih terbilang kecil, ia merasa bahwa pertumbuhan bisnisnya sudah mulai terlihat. Ada sesuatu yang besar menunggunya di masa depan, dan mereka siap untuk meraihnya.Setibanya di kantor, Hendra disambut oleh Bianca, asistennya, dengan senyum ramah.“Selamat datang, Pak Hendra. Gimana perjalanann
Kamar rumah sakit yang seharusnya tenang malam itu dipenuhi oleh aura kecemasan. Hendra duduk di kursi di sebelah ranjang, menatap istrinya yang sedang terbaring lemah.Cintia, yang tengah hamil besar, sudah beberapa hari dirawat karena kondisinya yang semakin memburuk. Wajahnya pucat dengan kaki yang bengkak, juga perutnya terasa semakin berat.Walaupun begitu, Cintia tetap tersenyum tipis. Dia ingin menunjukkan kekuatan yang masih tersisa."Apanya yang aakit, Sayang?" tanya Hendra lembut. Lelaki itu mencoba menenangkan istrinya, juga diri sendiri.Cintia menarik napas pelan. "Aku baik-baik saja, Mas. Aku cuma mau melahirkan anak ini secara normal, seperti anak pertama kita dulu.""Tapi, kondisi kamu nggak memungkinkan, Cintia. Dokter bilang, ada risiko besar kalau kamu memaksakan lahiran normal."Suara Hendra terdengar berat. Matanya mempe
Rasa sakit yang tak tertahankan mulai menyelimuti tubuh Nadia. Napasnya tersengal dengan keringat dingin yang membanjiri pelipis.Nadia menggenggam erat lengan Surya yang duduk di samping ranjang rumah sakit. Wanita itu mencoba menarik napas dalam-dalam. Namun setiap tarikan terasa seperti menggores paru-parunya.Kontraksi datang semakin sering dan wajah Nadia memucat.“Sayang, kamu kuat, ya? Sebentar lagi ketemu bayi kita."Surya mencoba menenangkan Nadia. Meski raut cemas tak dapat disembunyikan dari wajahnya. Lelaki itu berusaha menyeka keringat yang terus membasahi wajah istrinya.“Aku mau lahiran normal, please."Nadia berkata dengan suara lemah. Wanita itu terisak menahan rasa sakit yang berdenyut-denyut di perutnya."Tapi kamu gak kuat, Sayang. Jangan dipaksakan," bujuk Surya."Baiknya jangan
Setelah menempuh perjalanan panjang, mereka akhirnya tiba kembali di Indonesia. Program bayi tabung di luar negeri yang selama ini mereka jalani membawa hasil yang tak ternilai harganya. Ketika pesawat mendarat, Surya meraih tangan Nadia dan menggenggamnya erat.“Sudah sampai, sayang,” bisiknya lembut. “Akhirnya kita pulang.”Nadia tersenyum samar. Namun di balik senyum itu jelas tampak kelelahan yang mendalam. Sejak kehamilannya memasuki minggu keenam, kondisinya semakin melemah.Rasa mual yang datang sepanjang hari, bukan hanya di pagi hari seperti yang sering ia baca di buku-buku kehamilan. Setiap kali mencoba makan, perutnya langsung menolak. Surya terus mengamati wajah istrinya yang tampak semakin pucat.“Apa kamu mau istirahat begitu sampai rumah?” tanya Surya, menatap wajah Nadia dengan cemas.“Ya… mungkin. Aku cuma ma
Nadia dan Surya duduk bersebelahan di ruang tunggu bandara Changi. Mereka menanti penerbangan ke Singapura untuk menjalani program bayi tabung yang telah lama di diskusikan.Suasana hening menyelimuti mereka berdua. Hanya suara pengumuman penerbangan dan derap langkah orang-orang yang terdengar di sekitar.Nadia menatap ke depan, matanya menerawang jauh. Surya merasakan kegelisahan istrinya dan menggenggam tangannya lembut.“Kamu tegang?” Surya membuka percakapan dengan nada lembut.Nadia tersenyum samar. “Nggak juga, cuma... ya, mungkin agak cemas. Kita beneran mau program, ya?”Nadia menoleh menatap suaminya, mencoba mencari kepastian.“Iya, Sayang. Tapi kita lakukan ini karena sama-sama mau, bukan karena tekanan atau paksaan,” Surya menenangkan.“Kita sudah sepakat, apa pun hasilnya nanti, kita tetap akan bersama.”Nadia terdiam, lalu mengangguk.&ldquo
Setelah resepsi pernikahan yang berlangsung sederhana dan penuh kehangatan, Surya dan Nadia memasuki suite hotel mereka."Ini kamar kita," ucap Surya di depan pintu."Aku udah gak sabar lihat isi dalamnya," bisik Nadia."Mau aku gendong?" goda Surya."Gak usahlah. Memangnya di film-film."Gelak tawa keduanya menghema di lorong hotel. Surya mengambil kunci yang diberikan oleh resepsionis di saku celananya.Keduanya sudah berganti pakaian. Surya bahkan memakai kaus longgar dan celana jeans. Nadia bahkan sudah menghapus make up. Wanita itu memakai gaun selutut dengan penghiasan lengkap di leher dan jarinya.Mereka berjalan berdampingan, diiringi tatapan penuh cinta dan sedikit rasa canggung."Silakan masuk, Tuan Putri."Ketika pintu suite mereka tertutup dengan lembut di belak
Langit cerah membentang di atas taman yang dipenuhi dengan hamparan bunga-bunga cantik. Pohon-pohon besar menaungi tempat itu dengan teduh. Suara aliran air dari kolam kecil di sudut taman menambah suasana tenang yang romantis.Pernikahan Surya dan Nadia diadakan dengan sederhana tetapi penuh kehangatan. Hanya keluarga dan sahabat dekat yang hadir, membuat suasana lebih intim dan bermakna.Nadia dan Surya duduk di kursi yang dihias bunga mawar putih dan eucalyptus. Wanita itu mengenakan gaun putih sederhana tanpa banyak aksen tetapi tetap elegan.Rambut Nadia disanggul rapi. Senyum hangatnya memancarkan kebahagiaan yang nyata. Surya terlihat gagah dengan setelan jas hitam yang pas di tubuh. Wajah lelaki itu cerah. Matanya berbinar-binar menatap wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya."Ananda Muhammad Surya Perdana, saya nikahkan engaku dengan Nadia Nur Azizah binti almarhum
Nadia menghembuskan napas panjang sebelum menekan tombol hijau di layar ponsel. Nama Surya tertera jelas.Kali ini Nadia merasa perlu membicarakan sesuatu yang sudah lama mengganjal di pikirannya. Setelah beberapa kali nada sambung, suara hangat Surya terdengar dari seberang.“Halo, Sayang?” Surya menyapa dengan ceria seperti biasanya. Lelaki itu sedang berada di ruangannya di kafe. Namun, dia mengerjakan proyek render gambar sebuah bangunan.“Halo, Sur,” balas Nadia dengan nada lembut. Ada sedikit kegugupan yang terselip di suaranya.“Kenapa? Suara kamu kayaknya aneh," tanya Surya lembut."Nggak apa-apa," lirih Nadia serak."Kamu habis nangis?" tanya Surya lagi."Enggak. Aku cuma lagi kangen aja.""Ada yang mau kamu bicarain?” tanya Surya seperti bisa merasakan ada yang berbe
Sepuluh hari Raya dirawat dan selama itulah Nadia setiap hari datang menjenguk. Sehingga dia dan sukma menjadi akrab.Nadia tak canggung bersenda gurau bersama mereka layaknya keluarga. Namun, sikapnya menjadi canggung jika ada Hendra.Tatapan dan perhatian Hendra yang berbeda memabuat Nadia risih. Wanita itu merasa semua orang telah bersekongkol untuk mendekatkan mereka, termasuk ibunya sendiri."Kamu mau ikut ke rumah?" tanya Hendra ketika mereka bersiap-siap hendak pulang.Raya sudah sehat dan pulih seperti sedia kala. Sehingga hari ini anak itu sudah boleh pulang."Tapi sebentar aja ya, Mas. Aku kan harus jaga toko.""Toko terus yang ada dipikiran kamu. Anak-anak juga, Nad.""Anak-anak kamu, Mas.""Yaaa kan anakmu juga, Nad."Nadia membuang pandangan mendengar itu. Sementara Hendra
Hari kedua Nadia datang ke rumah sakit terasa lebih tenang. Pagi itu, setelah memastikan tokonya berjalan dengan baik, wanita itu memutuskan untuk mampir melihat kondisi Raya.Nadia mengenakan blus sederhana dan celana panjang yang nyaman. Dia menenteng paper bag berisi camilan kesukaan Hana dan boneka kelinci mungil untuk Raya.Saat memasuki ruang rawat, Nadia melihat Sukma, mantan mertuanya, sedang duduk di sisi tempat tidur Raya yang masih terbaring.Wajah Sukma berubah cerah begitu melihat kehadiran Nadia di pintu. Tanpa ragu, Sukma berdiri dan menyambut Nadia dengan senyum lebar."Assalamualaikum, Ma," sapa Nadia lembut."Waalaikumsalam."Sukma menyambut Nadia yang mencium tangannya. Walaupun pernah menyakiti, dia tetap berlaku santun.Tidak ada dendam di hati Nadia karena dia sudah berdamai dengan masa lalu. Apalagi saat
Hari itu terasa panjang bagi Nadia. Sejak pagi, semua berjalan lancar di tokonya. Namun, pesan singkat dari Hendra yang tiba-tiba masuk ke ponselnya membuat dunia Nadia seolah berhenti seketika."Nadia, maaf ganggu. Raya dirawat di rumah sakit. Dokter bilang dia kena demam berdarah. Tolong doakan dia, ya."Nadia merasa dadanya sesak saat membaca pesan itu. Jari-jarinya gemetar dan ponsel hampir terlepas dari genggaman.Raya yang manis, begitu lincah dan ceria, kini terbaring lemah di rumah sakit? Nadia langsung merasakan kekhawatiran yang luar biasa.Dengan cepat, Nadia memberi tahu karyawan untuk menutup toko lebih awal. Beberapa pelanggan yang baru saja datang memandangnya dengan heran.Nadia hanya tersenyum minta maaf dan memberikan penjelasan singkat bahwa ada keadaan darurat keluarga. Begitu selesai, wanita itu segera menjemput ibunya yang sedang berada di rumah.