Suasana sore di minimarket tempat Nadia bekerja selalu ramai dengan pelanggan. Di balik meja kasir, wanita itu menatap layar komputer dengan fokus, memindai barang-barang belanjaan satu per satu.
Suara mesin kasir yang terus berbunyi menjadi sesuatu yang akrab baginya. Namun, di antara banyaknya wajah-wajah pelanggan yang datang dan pergi, ada satu yang selalu membuat jantung Nadia berdegup lebih kencang.
Surya.
Dia adalah pelanggan setia minimarket ini. Setiap kali datang, ada senyum yang terbit di wajahnya. Sebuah senyum yang tak pernah gagal membuat hati Nadia berdesir.
Surya adalah pemilik sebuah kafe kecil di dekat sana. Hampir setiap hari dia datang membeli bahan-bahan yang dibutuhkan. Namun, seiring waktu, interaksi mereka tak lagi sekadar tentang transaksi kasir.
Sore ini Surya datang dengan senyum hangat yang mengiringi langkahnya. Nadia yang sedang melayani pelanggan lain, menangkap sosoknya dari sudut mata.
"Hai, Nad. Ramai ya sore ini?"
Nadia menoleh dan tersenyum kecil, meskipun merasa gugup.
"Lumayan. Udah selesai nge-serve pelanggan hari ini?" tanya wanita itu basa-basi.
"Baru kelar. Tadi kafe penuh, banyak yang order kopi sore."
Surya menaruh beberapa barang di meja kasir. Kopi bubuk, gula, dan beberapa bahan lain untuk kafenya.
Nadia memindai barang-barang itu dengan cepat, sementara perasaannya bergejolak.
Surya adalah orang yang baik, sabar, dan selalu punya waktu untuk berbincang. Namun Nadia tahu, di balik senyum itu ada harapan yang tak terucap. Harapan yang belum bisa dia berikan.
"Bagus dong kalau ramai. Berarti kafenya makin sukses."
"Alhamdulillah. Tapi aku ke sini bukan cuma buat beli bahan-bahan."
Nadia berhenti sejenak, menatap Surya dengan sedikit penasaran.
"Terus, buat apa lagi?"
Surya tersenyum sedikit lebih lebar, tapi kali ini ada keseriusan di matanya.
"Buat lihat kamu, lah."
Nadia tergelak, merasa wajahnya memanas mendengar kata-kata itu. Untuk menutupi kegugupan, dia berpura-pura sibuk dengan mesin kasir.
"Jangan ngawur," sanggahnya.
"Aku serius, Nad."
Percakapan merekanterganggu sejenak oleh antrean pelanggan lain yang menunggu giliran.
Nadia menyelesaikan transaksi berikutnya. Sebelum menoleh kembali ke Surya yang sabar menunggu di sisi lain meja kasir.
"Banyak cuan dong kalau kafe ramai," ucapnya mengalihkan pembicaraan.
"Ya cukuplah buat ngelamar kamu kalau mau."
"Gombal."
"Yang digombalin single kok. Nggak masalah kan?"
"Yang digombalin janda," ralatnya.
"Janda kembang. Seksi lagi."
Nadia melotot sehingga membuat Surya tergelak. Untungnya teman-teman yang lain sudah terbiasa dengan kedekatan mereka.
Surya selalu datang sejak Nadia bekerja di sini. Padahal lelaki itu punya karyawan yang bisa diminta tolong. Padahal lagi, akan lebih murah jika dia belanja di agen atau pasar.
Belanjaannya banyak sehingga bos mereka senang. Jadi Nadia diizinkan mengobrol asal tak menganggu pekerjaan. Walau mereka masih tahu batas agar tak menganggu pembeli lain.
"Hitungkan punyaku. Nanti pulang kerja aku ke sini lagi ya."
Nadia mengangguk sembari memasukkan barang-barangnya ke dalam kresek. Seperti biasa, sisa uang kembalian dari Surya tak pernah diambil. Dan itu masuk ke kantong pribadinya.
***
"Aku nggak tahu harus bilang apa, Surya. Kamu baik banget."
Mereka duduk di teras depan mini market sembari mengobrol. Nadia menyeduh dua gelas kopi sachet dan mengambil roti bantal dengan isian selai cokelat.
"Kamu tau perasaanku. Aku udah lama nunggu. Aku cuma pengen kamu tahu kalau aku ada di sini buat kamu, kapan pun kamu siap."
Nadia merasakan tekanan di dada. Dia tahu perasaan Surya tulus. Namun, bayang-bayang masa lalu dengan Hendra masih menghantui.
Meski Hendra bukan lagi bagian dari hidupnya, kenangan itu masih membekas. Hati wanita itu belum sepenuhnya terbuka.
Hingga Nadia merasa bersalah karena belum bisa memberikan jawaban yang pasti untuk Surya.
"Aku hargai kamu. Cuma aku nggak yakin bakal siap buat hubungan baru. Kamu tahu, aku masih belum bisa move on dari masa lalu."
Surya mengangguk pelan, senyumnya masih tak luntur.
"Aku ngerti. Aku nggak mau maksa kamu untuk cepet-cepet. Aku cuma pengen ada di samping kamu, walau cuma jadi teman."
Nadia terdiam, tersentuh oleh kesabaran Surya. Tidak banyak pria yang akan menunggu dengan tulus seperti itu.
Sayangnya, ada ketakutan dalam diri Nadia. Dia tidak mau melukai perasaan Surya, kalau pada akhirnya tetap tidak bisa membuka hati.
"Surya, aku takut kalau kamu nanti kecewa."
Tatapan Surya begitu lembut, seolah-olah memahami ketakutan Nadia.
"Aku lebih baik di sini nungguin kamu. Daripada nggak pernah coba sama sekali. Aku nggak takut kecewa. Aku takut kalau nggak pernah bilang perasaanku."
Nadia menghela napas panjang.
"Aku cuma nggak mau kamu terluka, Surya. Aku belum bisa janji apa-apa."
"Aku nggak minta janji apa-apa. Aku cuma pengen kamu tahu."
Nadia meneguk kopi dan menggigit roti untuk mengganjal perut. Sebenarnya dia sudah ingin pulang. Namun, Surya meminta untuk menemaninya sebentar.
Tadi Surya mengajak Nadia untuk mampir ke kafe-nya. Namun, wanita itu menolak halus. Lebih baik duduk di teras mini market sembari melihat pembeli datang.
Lagipula jam kerja Nadia sudah selesai. Jadi dia bisa bersantai sejenak walau mata sudah mengantuk.
"Nad--"
"Apa?"
Mereka saling bertatapan sehingga degup di dada semakin kencang. Mata Surya memancarkan ketulusan yang sama seperti sejak awal mereka berkenalan.
"Aku nggak akan jadi pengganti Hendra. Aku cuma mau jadi aku. Jadi seseorang yang bisa membuat kamu merasa nyaman dan aman. Aku tahu masa lalu kamu berat, tapi aku ada buat masa depan."
Kata-kata itu membuat Nadia terdiam. Surya dengan segala kelembutan dan ketulusan, tidak pernah memaksa masuk ke dalam hidupnya.
Surya hanya menunggu dengan sabar, dan menawarkan apa yang benar-benar Nadia butuhkan. Yaitu waktu dan ruang.
"Kamu selalu ngerti. Dan itu yang bikin aku takut. Aku takut terlalu bergantung sama kebaikan kamu."
Surya menghabiskan kopi dan langsung berdiri ketika gelasnya kosong. Nadia tahu kalau lelaki itu harus kembali ke kafe dan memantau pekerjaan karyawannya.
"Kalau ada apa-apa, kabarin aku ya. Jangan sungkan. Aku bakal selalu siap dengerin kamu."
"Iya, aku bakal ingat itu. Makasih."
"Hati-hati pulangnya. Jangan ngebut bawa motor."
Dengan senyum terakhir yang lembut, Surya melangkah keluar dari minimarket, meninggalkan Nadia yang masih duduk termenung seorang diri.
Nadia menatap punggung Surya hingga menghilang dari pandangan. Meski hati belum sepenuhnya siap, dia tahu bahwa Surya adalah seseorang yang tidak akan pergi.
Nadia mulai berpikir, mungkin ada harapan baru yang perlahan tumbuh. Di tengah rasa ragu yang belum sepenuhnya hilang.
Malam itu suasana di rumah tampak tenang. Hendra duduk di ruang tamu dengan laptop di pangkuan dan menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor. Cintia, yang biasanya sibuk sendiri, malam itu tampak gelisah. Dia duduk di samping Hendra dan memandangi layar ponsel. Namun, pikirannya melayang. Akhirnya wanita itu tak bisa menahan diri lagi."Mas, aku mau tanya sesuatu. Tapi aku harap kamu jujur ya."Hendra menoleh dari laptopnya, sedikit bingung dengan nada serius istrinya."Tanya apa, Sayang? Kok tiba-tiba serius gini?"Cintia mengambil napas panjang, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati. Selama beberapa waktu terakhir, dia merasa ada yang tidak beres. Hendra masih menjaga hubungan baik dengan mantan istrinya, Nadia. Meskipun Cintia awalnya mencoba memahami, lama-lama hal itu membuatnya tidak nyaman."Aku tahu kamu masih sering bantuin Nadia. Aku nggak pernah masalah dengan itu. Tapi aku merasa akhir-akhir ini kamu lebih sering kirim uang ke dia. Dan aku nggak ngerti kenapa."Hendr
Suasana di minimarket tempat Nadia bekerja tampak tenang malam itu. Hanya beberapa pelanggan yang sedang memilih barang. Sementara Nadia duduk di balik kasir, sibuk dengan ponselnya. Tiba-tiba, pintu minimarket berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk. Nadia mendongak dan terkejut melihat siapa yang datang."Loh, Mas. Kamu di sini?"Hendra tersenyum tipis. Dia tampak sedikit gugup, seperti ada sesuatu yang membebani pikirannya."Iya, Nad. Kebetulan lewat, jadi mampir sebentar."Nadia mengangguk, mencoba tetap tenang. Sudah cukup lama sejak terakhir kali mereka berbicara dengan santai. Meski mereka sudah bercerai, hubungan mereka tidak sepenuhnya buruk. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda pada Hendra. Wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya.Saat mereka berbicara, pintu minimarket kembali berbunyi. Kali ini, masuklah Surya. Lelaki itu melangkah mendekati Nadia dengan senyum lebar dan tampak akrab."Hey, Nad. Sudah istirahat? Aku bawain makanan dari kafe. Siapa tahu kamu
Malam itu, Hendra yang merasa cemas saat mengemudikan mobil menuju rumah Nadia. Sejak pertemuan dengan Surya hatinya menjadi tak tenang. Hendra tahu bahwa ibunya Nadia sedang sakit. Jadi dia akan menjadikan alasan itu untuk bertemu dengan Nadia dan menanyakan semua. Ketika tiba di rumah mereka dulu, Hendra melihat ada mobil lain terparkir disana. Pagar terbuka hingga dia memutuskan masuk dan menunggu di luar. Ada sendal lelaki yang membuat hatinya sedikit terusik. "Apa Nak Surya serius?"Hendra menajamkan telinga. Rumah ini tak terlalu besar sehingga suara dari dalam terdengar sampai ke luar. Dulu karena tak direstui menikah dengan Nadia, Hendra tak mendapatkam apa-apa dari keluarga. Sehingga dia hanya mampu membeli rumah kecil. Setelah menikah dengan Cintia, keluarganya kembali baik. Bahkan papanya menyerahkan perusahaan kepada Hendra.Apalagi setelah bayi mereka lahir. Ibunya sangat senang dan membelikan rumah baru untuk Cintia. Beserta perabotannya. "Saya sangat serius denga
Cintia melangkah cepat di koridor rumah sakit. Dia mendengar kabar bahwa suaminya bertengkar, entah dengan siapa. Namun tidak menyangka jika Nadia yang membawa Hendra ke rumah sakit. Cintia meninggalkan putranya di rumah dan langsung menuju ke rumah sakit. Selama dua tahun pernikahannya, baru kali terjadi masalah. Untungnya baby sitter yang merawat Arka cukup telaten, sehingga dia tak perlu khawatir. Anak itu juga tak terlalu rewel asal perutnya kenyang. "Bapak Hendra Widjaja dirawat dimana ya, Sus?"Cintia bertanya di nurse station dimana kamar suaminya. Wanita itu begitu khawatir dan ingin segera bertemu.Membayangakan Hendra berdarah dan pingsan membuatnya sedih. Wanita itu bahkan menangis saat menyetir menuju ke sini. "Bapak Hendra ada di 215 ya, Bu," ucap perawat sembari menunjuk ke arah ujung lorong. Cintia mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju kamar yang dimaksud. Ketika dia membuka pintu dan melihat Nadia duduk di samping Hendra, hatinya bergejolak.Cintia menarik
"Nadia, kita perlu bicara. Ini sudah terlalu jauh."Nadia terkejut saat menerima pesan dari Cintia. Wanita itu baru saja sampai di rumah dan membawa makanan untuk ibunya. Setelah kejadian di rumah sakit, Hendra tak pernah lagi menghubunginya. Namun, selalu ada uang masuk setiap bulan dari rekening yang berbeda.Nadia mencoba menghubungi Hendra untuk mengucapkan terima kasih. Tapi pesannya tak pernah terkirim. Mungkin lelaki itu sudah mengganti nomor ponsel. "Kapan?" tanya Nadia saat mengetikkan pesan balasan."Nanti sore. Di kafe dekat tempat kerja kamu."Nadia tersentak, lalu menyari kalau kafe yang dimaksud adalah milik Surya. Sepertinya Cintia tak tahu jika itu milik temannya. "Oke.""Ini cuma antara kita berdua. Gak boleh ada orang lain yang tau."***Mereka bertemu di kafe mik Surya. Nadia meminta lelaki itu agar berpura-pura tak kenal saat dia datang. Nadia juga datang duluan dan memilih kursi di pojok agar tak terlalu menarik perhatian. Para karyawan Surya semua mengenaliny
Malam itu di depan kafe, suasana terasa begitu sunyi. Nadia berdiri di samping Surya, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak.Angin malam seolah ikut merasakan kesedihan yang melingkupi mereka berdua. Nadia tahu, saatnya tiba untuk berpamitan. Namun kata-katanya terasa begitu berat untuk diucapkan.“Nad--”Surya memecah keheningan dengan suara serak, matanya menatap lurus ke depan.“Apa kamu benar-benar yakin dengan keputusan ini?”Nadia menghela napas panjang. Pandangannya mengabur karena menahan air mata. “Aku yakin, Surya. Aku butuh tempat untuk menyembuhkan diri. Di sini, aku terlalu banyak terjebak dengan masa lalu.”Surya menoleh, menatap wajah Nadia yang terlihat lelah tetapi tetap cantik. “Tapi kamu gak perlu pergi. Kita bisa cari jalan lain. Kamu tau aku selalu ada? Aku bisa membantu. Kalau masalah kerja, aku bisa carikan sesuatu di sini. Kamu nggak harus ninggalin semua ... apalagi aku.”Nadia tersenyum pahit, hatinya teriris mendengar ketulusan Surya.“Aku tahu kamu
Pameran kuliner terbesar di kota itu diadakan dengan meriah. Booth-booth kuliner dari berbagai daerah dipenuhi dengan makanan-makanan lezat yang menarik perhatian para pengunjung. Suasana ramai dengan suara tawa dan canda pengunjung yang tengah menikmati hidangan-hidangan khas dari berbagai penjuru kota."Mau yang mana?"Di salah satu booth, Nadia terlihat sibuk melayani pembeli. Toko kue miliknya, telah berkembang pesat dalam satu tahun terakhir. Usahanya yang dimulai dari nol kini telah menarik perhatian banyak orang, terutama setelah dia sering mengikuti acara-acara besar seperti pameran ini. Dengan senyum ramah, Nadia melayani pembeli yang terus berdatangan."Terima kasih, Mbak. Selamat menikmati," ucap Nadia sambil memberikan sekotak kue pada pelanggan terakhir yang baru saja membeli.Saat Nadia menyeka keringat di dahi, tanpa sengaja dia melihat sekilas seorang pria yang sangat familiar di antara kerumunan pengunjung. Hatinya seakan terhenti sejenak ketika menyadari bahwa itu
Dua tahun berlalu sejak pertemuan terakhir di pameran kuliner, Hendra benar-benar menghilang. Walaupun terasa hampa, tetapi Nadia justru tenang karena tak ada lagi tuduhan karena mengganggu rumah tangga orang. Nadia sibuk dengan bisnis kue yang ia bangun dari nol. Usahanya semakin berkembang, terutama setelah beberapa kali mendapatkan pesanan besar dari berbagai perusahaan dan event.Nadia juga masih berkomunikasi dengan Surya lewat chat atau telepon. Sehingga hari-harinya tak terlalu sepi. Canda lelaki itu bisa membuatnya tertawa lepas sehingga semua kelelahan hilang begitu saja. "Gimana kabar kue-mu hari ini, Nad?" tanya Surya iseng."Kok nanyain kue?" tanya Nadia bingung."Kalau nanyain owner-nya nanti dikira aku naksir," jawab Surya."Padahal kan emang iya."Nadia tergelak mendengar lelucon itu. Sejak dulu Surya masih saja gombal dan merayunya. Usia lelaki itu yang lebih muda membuat lebih luwes dalam berbicara."Kue baik-baik aja. Laris manis seperti biasa. Kadang ada sisa, tap
Rasa sakit yang tak tertahankan mulai menyelimuti tubuh Nadia. Napasnya tersengal dengan keringat dingin yang membanjiri pelipis.Nadia menggenggam erat lengan Surya yang duduk di samping ranjang rumah sakit. Wanita itu mencoba menarik napas dalam-dalam. Namun setiap tarikan terasa seperti menggores paru-parunya.Kontraksi datang semakin sering dan wajah Nadia memucat.“Sayang, kamu kuat, ya? Sebentar lagi ketemu bayi kita."Surya mencoba menenangkan Nadia. Meski raut cemas tak dapat disembunyikan dari wajahnya. Lelaki itu berusaha menyeka keringat yang terus membasahi wajah istrinya.“Aku mau lahiran normal, please."Nadia berkata dengan suara lemah. Wanita itu terisak menahan rasa sakit yang berdenyut-denyut di perutnya."Tapi kamu gak kuat, Sayang. Jangan dipaksakan," bujuk Surya."Baiknya jangan
Setelah menempuh perjalanan panjang, mereka akhirnya tiba kembali di Indonesia. Program bayi tabung di luar negeri yang selama ini mereka jalani membawa hasil yang tak ternilai harganya. Ketika pesawat mendarat, Surya meraih tangan Nadia dan menggenggamnya erat.“Sudah sampai, sayang,” bisiknya lembut. “Akhirnya kita pulang.”Nadia tersenyum samar. Namun di balik senyum itu jelas tampak kelelahan yang mendalam. Sejak kehamilannya memasuki minggu keenam, kondisinya semakin melemah.Rasa mual yang datang sepanjang hari, bukan hanya di pagi hari seperti yang sering ia baca di buku-buku kehamilan. Setiap kali mencoba makan, perutnya langsung menolak. Surya terus mengamati wajah istrinya yang tampak semakin pucat.“Apa kamu mau istirahat begitu sampai rumah?” tanya Surya, menatap wajah Nadia dengan cemas.“Ya… mungkin. Aku cuma ma
Nadia dan Surya duduk bersebelahan di ruang tunggu bandara Changi. Mereka menanti penerbangan ke Singapura untuk menjalani program bayi tabung yang telah lama di diskusikan.Suasana hening menyelimuti mereka berdua. Hanya suara pengumuman penerbangan dan derap langkah orang-orang yang terdengar di sekitar.Nadia menatap ke depan, matanya menerawang jauh. Surya merasakan kegelisahan istrinya dan menggenggam tangannya lembut.“Kamu tegang?” Surya membuka percakapan dengan nada lembut.Nadia tersenyum samar. “Nggak juga, cuma... ya, mungkin agak cemas. Kita beneran mau program, ya?”Nadia menoleh menatap suaminya, mencoba mencari kepastian.“Iya, Sayang. Tapi kita lakukan ini karena sama-sama mau, bukan karena tekanan atau paksaan,” Surya menenangkan.“Kita sudah sepakat, apa pun hasilnya nanti, kita tetap akan bersama.”Nadia terdiam, lalu mengangguk.&ldquo
Setelah resepsi pernikahan yang berlangsung sederhana dan penuh kehangatan, Surya dan Nadia memasuki suite hotel mereka."Ini kamar kita," ucap Surya di depan pintu."Aku udah gak sabar lihat isi dalamnya," bisik Nadia."Mau aku gendong?" goda Surya."Gak usahlah. Memangnya di film-film."Gelak tawa keduanya menghema di lorong hotel. Surya mengambil kunci yang diberikan oleh resepsionis di saku celananya.Keduanya sudah berganti pakaian. Surya bahkan memakai kaus longgar dan celana jeans. Nadia bahkan sudah menghapus make up. Wanita itu memakai gaun selutut dengan penghiasan lengkap di leher dan jarinya.Mereka berjalan berdampingan, diiringi tatapan penuh cinta dan sedikit rasa canggung."Silakan masuk, Tuan Putri."Ketika pintu suite mereka tertutup dengan lembut di belak
Langit cerah membentang di atas taman yang dipenuhi dengan hamparan bunga-bunga cantik. Pohon-pohon besar menaungi tempat itu dengan teduh. Suara aliran air dari kolam kecil di sudut taman menambah suasana tenang yang romantis.Pernikahan Surya dan Nadia diadakan dengan sederhana tetapi penuh kehangatan. Hanya keluarga dan sahabat dekat yang hadir, membuat suasana lebih intim dan bermakna.Nadia dan Surya duduk di kursi yang dihias bunga mawar putih dan eucalyptus. Wanita itu mengenakan gaun putih sederhana tanpa banyak aksen tetapi tetap elegan.Rambut Nadia disanggul rapi. Senyum hangatnya memancarkan kebahagiaan yang nyata. Surya terlihat gagah dengan setelan jas hitam yang pas di tubuh. Wajah lelaki itu cerah. Matanya berbinar-binar menatap wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya."Ananda Muhammad Surya Perdana, saya nikahkan engaku dengan Nadia Nur Azizah binti almarhum
Nadia menghembuskan napas panjang sebelum menekan tombol hijau di layar ponsel. Nama Surya tertera jelas.Kali ini Nadia merasa perlu membicarakan sesuatu yang sudah lama mengganjal di pikirannya. Setelah beberapa kali nada sambung, suara hangat Surya terdengar dari seberang.“Halo, Sayang?” Surya menyapa dengan ceria seperti biasanya. Lelaki itu sedang berada di ruangannya di kafe. Namun, dia mengerjakan proyek render gambar sebuah bangunan.“Halo, Sur,” balas Nadia dengan nada lembut. Ada sedikit kegugupan yang terselip di suaranya.“Kenapa? Suara kamu kayaknya aneh," tanya Surya lembut."Nggak apa-apa," lirih Nadia serak."Kamu habis nangis?" tanya Surya lagi."Enggak. Aku cuma lagi kangen aja.""Ada yang mau kamu bicarain?” tanya Surya seperti bisa merasakan ada yang berbe
Sepuluh hari Raya dirawat dan selama itulah Nadia setiap hari datang menjenguk. Sehingga dia dan sukma menjadi akrab.Nadia tak canggung bersenda gurau bersama mereka layaknya keluarga. Namun, sikapnya menjadi canggung jika ada Hendra.Tatapan dan perhatian Hendra yang berbeda memabuat Nadia risih. Wanita itu merasa semua orang telah bersekongkol untuk mendekatkan mereka, termasuk ibunya sendiri."Kamu mau ikut ke rumah?" tanya Hendra ketika mereka bersiap-siap hendak pulang.Raya sudah sehat dan pulih seperti sedia kala. Sehingga hari ini anak itu sudah boleh pulang."Tapi sebentar aja ya, Mas. Aku kan harus jaga toko.""Toko terus yang ada dipikiran kamu. Anak-anak juga, Nad.""Anak-anak kamu, Mas.""Yaaa kan anakmu juga, Nad."Nadia membuang pandangan mendengar itu. Sementara Hendra
Hari kedua Nadia datang ke rumah sakit terasa lebih tenang. Pagi itu, setelah memastikan tokonya berjalan dengan baik, wanita itu memutuskan untuk mampir melihat kondisi Raya.Nadia mengenakan blus sederhana dan celana panjang yang nyaman. Dia menenteng paper bag berisi camilan kesukaan Hana dan boneka kelinci mungil untuk Raya.Saat memasuki ruang rawat, Nadia melihat Sukma, mantan mertuanya, sedang duduk di sisi tempat tidur Raya yang masih terbaring.Wajah Sukma berubah cerah begitu melihat kehadiran Nadia di pintu. Tanpa ragu, Sukma berdiri dan menyambut Nadia dengan senyum lebar."Assalamualaikum, Ma," sapa Nadia lembut."Waalaikumsalam."Sukma menyambut Nadia yang mencium tangannya. Walaupun pernah menyakiti, dia tetap berlaku santun.Tidak ada dendam di hati Nadia karena dia sudah berdamai dengan masa lalu. Apalagi saat
Hari itu terasa panjang bagi Nadia. Sejak pagi, semua berjalan lancar di tokonya. Namun, pesan singkat dari Hendra yang tiba-tiba masuk ke ponselnya membuat dunia Nadia seolah berhenti seketika."Nadia, maaf ganggu. Raya dirawat di rumah sakit. Dokter bilang dia kena demam berdarah. Tolong doakan dia, ya."Nadia merasa dadanya sesak saat membaca pesan itu. Jari-jarinya gemetar dan ponsel hampir terlepas dari genggaman.Raya yang manis, begitu lincah dan ceria, kini terbaring lemah di rumah sakit? Nadia langsung merasakan kekhawatiran yang luar biasa.Dengan cepat, Nadia memberi tahu karyawan untuk menutup toko lebih awal. Beberapa pelanggan yang baru saja datang memandangnya dengan heran.Nadia hanya tersenyum minta maaf dan memberikan penjelasan singkat bahwa ada keadaan darurat keluarga. Begitu selesai, wanita itu segera menjemput ibunya yang sedang berada di rumah.