"Mas, maaf. Boleh pinjam uang, nggak? Aku janji bakal balikin secepatnya."
Nadia menekan tombol "kirim" dan menarik napas dalam-dalam. Rasa malu dan cemas bercampur jadi satu.
Berbagai pikiran berkecamuk di benak Nadia. Mulai dari rasa bersalah, hingga khawatir jika istri baru Hendra mengetahui hal ini.
Ini bukan kali pertama Nadia menerima pemberian Hendra. Lelaki itu bahkan setiap bulan mengirimkan uang walau jumlahnya tak seberapa. Entah Cintia tahu atau tidak. Selama dua tahun ini semua aman dan tak ada komplain.
Nadia masih menunggu balasan. Biasanya Hendra akan cepat merespons. Mungkin lelaki itu masih ada pekerjaan. Sebagai seorang manager di perusahaan keluarga, mantan suaminya itu pasti sibuk.
"Berapa yang kamu butuhin?"
Nadia terkejut dan menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Seperti biasa, respons Hendra selalu begitu.
Nadia menimbang-nimbang sejenak, lalu mengetik balasan dengan hati-hati. Dia takut jika dituduh memanfaatkan kebaikan mantan suami, padahal mungkin memang iya.
"Kalau bisa, aku butuh 2 juta untuk biaya dokter dan obat ibu. Maaf banget, aku tahu ini merepotkan."
Nadia mengusap kedua tangannya berulang kali. Menunggu dengan sabar sembari berdoa. Dia bahkan membuang gengsi demi kesembuhan ibu.
"Aku langsung transfer ya. Jangan khawatir soal balikin. Yang penting ibumu bisa cepat sembuh."
Benar saja, dalam beberapa detik, notifikasi dari aplikasi bank muncul di layar. Nadia melihat ada transfer masuk dari Hendra.
Mata Nadia mulai berkaca-kaca, antara lega dan perasaan bersalah. Tanpa berpikir panjang, dia langsung mengirim balasan.
"Makasih banyak, Mas. Aku nggak tahu harus bilang apa lagi. Aku benar-benar terbantu," ucapnya tulus.
"Gak usah mikirin itu, Nad. Aku ngerti kamu lagi butuh. Aku juga nggak mau ibumu sakit terlalu lama. Kalau ada apa-apa lagi, kabarin ya."
Hati Nadia terasa berat membaca pesan itu. Hendra selalu menjadi sosok yang pengertian walau mereka sudah berpisah.
Meski sudah punya kehidupan baru dengan Cintia, Hendra tetap peduli pada Nadia. Lelaki itu merasa kasihan karena mantan istrinya hanya bekerja di mini market yang gajinya tak seberapa.
Dulu saat menjadi istri Hendra, hidup Nadia begitu sejahtera. Namun, saat kata talak diucapkan wanita itu harus mencari pekerjaan.
Nadia sempat menyesal karena memutuskan resign setelah menjadi istri. Dia tak menyangka jika pernikahan mereka hanya seumur jagung.
Walaupun Hendra memberikan rumah lama, lelaki itu tahu kalau penghasilan Nadia tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apalagi sejak dia membawa ibu yang sakit-sakitan.
Nadia tak memiliki keturunan. Sehingga saudara-saudara yang lain menyerahkan pengurusan ibu kepadanya. Mereka bilang wanita itu cukup santai karena tak ada anak yang merecoki.
"Nad, Kamu mau nggak kerja aja di kantorku? Aku lagi butuh orang. Aku bisa kasih posisi yang cocok buat kamu. Setidaknya, kamu nggak usah terlalu khawatir soal uang lagi."
Nadia terdiam membaca pesan itu. Hatinya bergemuruh. Dia tahu kalau tawaran itu tulus. Namun, ada sesuatu yang menahan hati
Sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar hubungan pekerjaan. Perasaan tidak enak terhadap Cintia yang membuatnya ragu.
Nadia menimbang-nimbang sesaat, lalu mengetik balasan.
"Makasih banget, Mas. Tapi, aku nggak bisa. Aku nggak enak sama Cintia. Aku nggak mau ngerepotin kalian lagi. Biar aku coba cari cara lain."
Balasannya kali ini lebih lama datang, seolah-olah Hendra sedang memikirkan apa yang akan dikatakannya.
"Cintia nggak masalah kok, Nad. Dia ngerti kita punya hubungan yang baik. Aku cuma pengen bantu. Tapi kalau kamu ngerasa nggak enak, aku paham."
Nadia menarik napas panjang, mencoba meredakan perasaan. Hatinya memang masih belum siap jika terlibat lagi dalam kehidupan Hendra. Meski hanya sebagai karyawan. Dia menghargai tawaran itu, tetapi tak bisa menerimanya.
"Makasih, Mas. Kamu sudah bantu banyak. Mungkin lain kali kalau aku udah siap."
Setelah pesan terkirim, Nadia merasa lega, tetapi juga sedih. Dia tahu kalau Hendra hanya ingin membantu. Namun, baginya menjaga jarak lebih baik.
"Oke, Nad. Tapi kamu harus tahu, pintu selalu terbuka. Kalau kamu butuh kerjaan atau apapun, aku selalu ada. Jaga diri. Jangan lupa kasih kabar soal ibu."
Nadia tersenyum kecil membaca pesan itu. Begitu banyak kenangan yang datang, tapi semua sudah berlalu. Dengan tangan gemetaran, dia menulis balasan terakhir.
"Aku akan kasih kabar. Makasih sekali lagi, Mas. Semoga Tuhan balas kebaikanmu."
Setelah percakapan itu selesai, Nadia menatap ponsel cukup lama. Dia merasa ada beban yang sedikit terangkat, tapi juga ada kesedihan yang tak terucapkan.
Bukan hanya karena permintaan bantuan. Namun juga karena hubungan yang dulu pernah ada di antara mereka, yang kini sudah berubah bentuk.
***
"Apa kita benar-benar harus ngebahas ini, Mas? Aku masih mencintaimu. Kita bisa mencari jalan lain."
Hendra menunduk dan tak mau membalas tatapan Nadia. Sehingga wanita itu tak tahu apa yang sedang berperang di dalam hati suaminya.
"Aku sudah pikirkan ini sejak lama. Mama gak setuju kalau kita mengadopsi anak. Mereka mau keturunan dari aku."
Nadia menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang ingin mengalir.
"Tapi kita bisa cari cara lain. Kita bisa mencoba konseling atau bayi tabung."
Gelengan Hendra membuat hati Nadia remuk. Lelaki yang selama ini selalu memperjuangkan cinta mereka, kini sudah tak dapat melakukannya lagi.
"Aku gak mau hidup dengan harapan semu. Kita sudah berusaha, tetapi belum ada perubahan. Aku gak mau kamu tersakiti."
Nadia melangkah maju, mendekati Hendra dan berusaha memegang tangannya. Namun sepertinya lelaki itu enggan disentuh. Sehingga membuat hatinya kecewa.
"Mas, kita bisa berjuang bersama. Menjadi orang tua yang bahagia. Meskipun bukan dengan cara yang biasa."
Nadia menarik tangan Hendra dengan lembut, walau tak ada balasan. Sikap suaminya yang dingin membuat air mata wanita itu mulai menggenang.
"Aku tahu, tetapi ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang masa depan, tentang harapan yang sudah hancur. Aku gak mau kamu menunggu sesuatu yang gak pasti."
Nadia menunduk, merasakan hati yang hancur.
"Jadi, semua yang kita lalui akan berakhir di sini?"
Hendra terdiam, mungkin tertegun oleh kata-kata istrinya tadi. Nadia merasakan ketegangan di antara mereka. Namun, sepertinya keputusan itu terasa semakin dekat.
"Aku akan mengucapkan talak. Mungkin ini adalah jalan terbaik untuk kita berdua."
Nadia terdiam dan menyerah, membiarkan air matanya luruh membasahi pipi. Tak ada lagi kata yang harus diucapkan. Suaminya sudah yakin dengan keputusannya.
"Nadia, aku gak mau ngeliat kamu menderita. Ini adalah keputusan yang paling sulit dalam hidupku."
Nadia mendekat, memegang wajah Hendra dengan kedua tangannya.
"Aku mencintaimu, Mas. Kamu boleh menikah lagi. Tapi tolong jangan ceraikan aku."
Mereka saling bertatapan erat. Nadia bahkan memeluk tubuh Hendra erat. Bahkan jika lelaki itu menginginkan, dia akan bersujud agar jangan ada perpisahan.
"Aku gak bisa punya dua istri, Nad. Aku gak mau nyakitin hati Cintia."
"Tapi kamu menyakiti hatiku, Mas."
"Kamu masih muda. Aku juga gak akan lepas tanggung jawab. Aku bakal bantu kamu sampai kapanpun."
Nadia melepaskan pelukan itu, lalu luruh ke lantai. Terdengar isak yang sama dari Hendra. Ternyata lelaki itu juga menangisi perpisahan mereka.
Sejak awal, keluarga Hendra memang tak setuju dengan Nadia. Mereka orang berada, sedangkan wanita itu hanya orang biasa. Mereka dianggap tak setara dalam banyak hal.
"Nadia Nur Azizah, aku berikan kamu talak. Mulai sekarang kamu bukan istriku lagi. Aku menceraikanmu."
Nadia merasakan dunia seolah runtuh. Hatinya hancur berkeping-keping. Air mata wanita itu mengalir deras dan sudah tak dapat dibendung lagi.
"Maafkan aku, Nadia. Selamat tinggal."
Langkah kaki Hendra begitu yakin meninggalkan ruang tamu yang dulunya penuh dengan cinta mereka. Ruang tamu yang kini menjadi saksi atas perpisahan yang menyakitkan.
Suasana sore di minimarket tempat Nadia bekerja selalu ramai dengan pelanggan. Di balik meja kasir, wanita itu menatap layar komputer dengan fokus, memindai barang-barang belanjaan satu per satu. Suara mesin kasir yang terus berbunyi menjadi sesuatu yang akrab baginya. Namun, di antara banyaknya wajah-wajah pelanggan yang datang dan pergi, ada satu yang selalu membuat jantung Nadia berdegup lebih kencang.Surya.Dia adalah pelanggan setia minimarket ini. Setiap kali datang, ada senyum yang terbit di wajahnya. Sebuah senyum yang tak pernah gagal membuat hati Nadia berdesir.Surya adalah pemilik sebuah kafe kecil di dekat sana. Hampir setiap hari dia datang membeli bahan-bahan yang dibutuhkan. Namun, seiring waktu, interaksi mereka tak lagi sekadar tentang transaksi kasir.Sore ini Surya datang dengan senyum hangat yang mengiringi langkahnya. Nadia yang sedang melayani pelanggan lain, menangkap sosoknya dari sudut mata."Hai, Nad. Ramai ya sore ini?"Nadia menoleh dan tersenyum kecil,
Malam itu suasana di rumah tampak tenang. Hendra duduk di ruang tamu dengan laptop di pangkuan dan menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor. Cintia, yang biasanya sibuk sendiri, malam itu tampak gelisah. Dia duduk di samping Hendra dan memandangi layar ponsel. Namun, pikirannya melayang. Akhirnya wanita itu tak bisa menahan diri lagi."Mas, aku mau tanya sesuatu. Tapi aku harap kamu jujur ya."Hendra menoleh dari laptopnya, sedikit bingung dengan nada serius istrinya."Tanya apa, Sayang? Kok tiba-tiba serius gini?"Cintia mengambil napas panjang, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati. Selama beberapa waktu terakhir, dia merasa ada yang tidak beres. Hendra masih menjaga hubungan baik dengan mantan istrinya, Nadia. Meskipun Cintia awalnya mencoba memahami, lama-lama hal itu membuatnya tidak nyaman."Aku tahu kamu masih sering bantuin Nadia. Aku nggak pernah masalah dengan itu. Tapi aku merasa akhir-akhir ini kamu lebih sering kirim uang ke dia. Dan aku nggak ngerti kenapa."Hendr
Suasana di minimarket tempat Nadia bekerja tampak tenang malam itu. Hanya beberapa pelanggan yang sedang memilih barang. Sementara Nadia duduk di balik kasir, sibuk dengan ponselnya. Tiba-tiba, pintu minimarket berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk. Nadia mendongak dan terkejut melihat siapa yang datang."Loh, Mas. Kamu di sini?"Hendra tersenyum tipis. Dia tampak sedikit gugup, seperti ada sesuatu yang membebani pikirannya."Iya, Nad. Kebetulan lewat, jadi mampir sebentar."Nadia mengangguk, mencoba tetap tenang. Sudah cukup lama sejak terakhir kali mereka berbicara dengan santai. Meski mereka sudah bercerai, hubungan mereka tidak sepenuhnya buruk. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda pada Hendra. Wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya.Saat mereka berbicara, pintu minimarket kembali berbunyi. Kali ini, masuklah Surya. Lelaki itu melangkah mendekati Nadia dengan senyum lebar dan tampak akrab."Hey, Nad. Sudah istirahat? Aku bawain makanan dari kafe. Siapa tahu kamu
Malam itu, Hendra yang merasa cemas saat mengemudikan mobil menuju rumah Nadia. Sejak pertemuan dengan Surya hatinya menjadi tak tenang. Hendra tahu bahwa ibunya Nadia sedang sakit. Jadi dia akan menjadikan alasan itu untuk bertemu dengan Nadia dan menanyakan semua. Ketika tiba di rumah mereka dulu, Hendra melihat ada mobil lain terparkir disana. Pagar terbuka hingga dia memutuskan masuk dan menunggu di luar. Ada sendal lelaki yang membuat hatinya sedikit terusik. "Apa Nak Surya serius?"Hendra menajamkan telinga. Rumah ini tak terlalu besar sehingga suara dari dalam terdengar sampai ke luar. Dulu karena tak direstui menikah dengan Nadia, Hendra tak mendapatkam apa-apa dari keluarga. Sehingga dia hanya mampu membeli rumah kecil. Setelah menikah dengan Cintia, keluarganya kembali baik. Bahkan papanya menyerahkan perusahaan kepada Hendra.Apalagi setelah bayi mereka lahir. Ibunya sangat senang dan membelikan rumah baru untuk Cintia. Beserta perabotannya. "Saya sangat serius denga
Cintia melangkah cepat di koridor rumah sakit. Dia mendengar kabar bahwa suaminya bertengkar, entah dengan siapa. Namun tidak menyangka jika Nadia yang membawa Hendra ke rumah sakit. Cintia meninggalkan putranya di rumah dan langsung menuju ke rumah sakit. Selama dua tahun pernikahannya, baru kali terjadi masalah. Untungnya baby sitter yang merawat Arka cukup telaten, sehingga dia tak perlu khawatir. Anak itu juga tak terlalu rewel asal perutnya kenyang. "Bapak Hendra Widjaja dirawat dimana ya, Sus?"Cintia bertanya di nurse station dimana kamar suaminya. Wanita itu begitu khawatir dan ingin segera bertemu.Membayangakan Hendra berdarah dan pingsan membuatnya sedih. Wanita itu bahkan menangis saat menyetir menuju ke sini. "Bapak Hendra ada di 215 ya, Bu," ucap perawat sembari menunjuk ke arah ujung lorong. Cintia mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju kamar yang dimaksud. Ketika dia membuka pintu dan melihat Nadia duduk di samping Hendra, hatinya bergejolak.Cintia menarik
"Nadia, kita perlu bicara. Ini sudah terlalu jauh."Nadia terkejut saat menerima pesan dari Cintia. Wanita itu baru saja sampai di rumah dan membawa makanan untuk ibunya. Setelah kejadian di rumah sakit, Hendra tak pernah lagi menghubunginya. Namun, selalu ada uang masuk setiap bulan dari rekening yang berbeda.Nadia mencoba menghubungi Hendra untuk mengucapkan terima kasih. Tapi pesannya tak pernah terkirim. Mungkin lelaki itu sudah mengganti nomor ponsel. "Kapan?" tanya Nadia saat mengetikkan pesan balasan."Nanti sore. Di kafe dekat tempat kerja kamu."Nadia tersentak, lalu menyari kalau kafe yang dimaksud adalah milik Surya. Sepertinya Cintia tak tahu jika itu milik temannya. "Oke.""Ini cuma antara kita berdua. Gak boleh ada orang lain yang tau."***Mereka bertemu di kafe mik Surya. Nadia meminta lelaki itu agar berpura-pura tak kenal saat dia datang. Nadia juga datang duluan dan memilih kursi di pojok agar tak terlalu menarik perhatian. Para karyawan Surya semua mengenaliny
Malam itu di depan kafe, suasana terasa begitu sunyi. Nadia berdiri di samping Surya, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak.Angin malam seolah ikut merasakan kesedihan yang melingkupi mereka berdua. Nadia tahu, saatnya tiba untuk berpamitan. Namun kata-katanya terasa begitu berat untuk diucapkan.“Nad--”Surya memecah keheningan dengan suara serak, matanya menatap lurus ke depan.“Apa kamu benar-benar yakin dengan keputusan ini?”Nadia menghela napas panjang. Pandangannya mengabur karena menahan air mata. “Aku yakin, Surya. Aku butuh tempat untuk menyembuhkan diri. Di sini, aku terlalu banyak terjebak dengan masa lalu.”Surya menoleh, menatap wajah Nadia yang terlihat lelah tetapi tetap cantik. “Tapi kamu gak perlu pergi. Kita bisa cari jalan lain. Kamu tau aku selalu ada? Aku bisa membantu. Kalau masalah kerja, aku bisa carikan sesuatu di sini. Kamu nggak harus ninggalin semua ... apalagi aku.”Nadia tersenyum pahit, hatinya teriris mendengar ketulusan Surya.“Aku tahu kamu
Pameran kuliner terbesar di kota itu diadakan dengan meriah. Booth-booth kuliner dari berbagai daerah dipenuhi dengan makanan-makanan lezat yang menarik perhatian para pengunjung. Suasana ramai dengan suara tawa dan canda pengunjung yang tengah menikmati hidangan-hidangan khas dari berbagai penjuru kota."Mau yang mana?"Di salah satu booth, Nadia terlihat sibuk melayani pembeli. Toko kue miliknya, telah berkembang pesat dalam satu tahun terakhir. Usahanya yang dimulai dari nol kini telah menarik perhatian banyak orang, terutama setelah dia sering mengikuti acara-acara besar seperti pameran ini. Dengan senyum ramah, Nadia melayani pembeli yang terus berdatangan."Terima kasih, Mbak. Selamat menikmati," ucap Nadia sambil memberikan sekotak kue pada pelanggan terakhir yang baru saja membeli.Saat Nadia menyeka keringat di dahi, tanpa sengaja dia melihat sekilas seorang pria yang sangat familiar di antara kerumunan pengunjung. Hatinya seakan terhenti sejenak ketika menyadari bahwa itu
Kamar rumah sakit yang seharusnya tenang malam itu dipenuhi oleh aura kecemasan. Hendra duduk di kursi di sebelah ranjang, menatap istrinya yang sedang terbaring lemah.Cintia, yang tengah hamil besar, sudah beberapa hari dirawat karena kondisinya yang semakin memburuk. Wajahnya pucat dengan kaki yang bengkak, juga perutnya terasa semakin berat.Walaupun begitu, Cintia tetap tersenyum tipis. Dia ingin menunjukkan kekuatan yang masih tersisa."Apanya yang aakit, Sayang?" tanya Hendra lembut. Lelaki itu mencoba menenangkan istrinya, juga diri sendiri.Cintia menarik napas pelan. "Aku baik-baik saja, Mas. Aku cuma mau melahirkan anak ini secara normal, seperti anak pertama kita dulu.""Tapi, kondisi kamu nggak memungkinkan, Cintia. Dokter bilang, ada risiko besar kalau kamu memaksakan lahiran normal."Suara Hendra terdengar berat. Matanya mempe
Hendra baru saja turun dari pesawat dengan masih mengenakan kemeja rapi yang terlihat elegan. Langkah kakinya terdengar mantap ketika berjalan cepat melewati kerumunan orang di bandara.Sesekali Hendra meraih telepon genggamnya untuk mengecek jadwal presentasi yang akan dihadirinya siang ini. Dengan cepat, lelaki itu memesan taksi untuk langsung menuju kantornya.Perjalanan dari bandara ke kantor tidak memakan waktu lama. Di sepanjang jalan, pikiran Hendra dipenuhi dengan ide-ide tentang bagaimana ia akan mempresentasikan rencana pengembangan perusahaannya.Meskipun kantor ini masih terbilang kecil, ia merasa bahwa pertumbuhan bisnisnya sudah mulai terlihat. Ada sesuatu yang besar menunggunya di masa depan, dan mereka siap untuk meraihnya.Setibanya di kantor, Hendra disambut oleh Bianca, asistennya, dengan senyum ramah.“Selamat datang, Pak Hendra. Gimana perjalanann
"Makan, Nak. Nanti kamu makin lemas," ucap Rahma lembut, sembari menaruh mangkuk bubur di meja samping tempat tidur.Sudah dua hari toko tutup. Plang "Libur Sementara" tergantung di pintu kaca dengan tulisan tangan yang rapi, tetapi kosong tanpa kue-kue lezat yang biasanya mengisi etalase. Hawa dingin menyelimuti rumah Nadia. Di dalam kamar, wanita itu terbaring lemah di atas ranjang. Tubuhnya terasa panas dengan kepala yang pusing. Juga rasa hampa di dada yang tak juga hilang sejak kepergian Surya."Aku gak lapar, Bu."Nadia hanya menggeleng, tidak punya tenaga untuk banyak bicara, apalagi makan. Matanya menatap lurus, seolah semua semangat hidup telah hilang bersama kepergian Surya."Sayang, Ibu tahu kamu lagi sedih. Tapi kamu gak bisa seperti ini terus. Kamu harus kuat, Nak," ujar Rahma dengan nada lembut. Wanita paruh itu uduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan putrinya."Ibu..." Suara Nadia terdengar lemah."Kenapa aku harus kehilangan lagi?"Pelupuk mata Nadia mulai menggen
"Selamat datang."Tepat ketika Nadia selesai menyusun kue-kue di rak, seorang kurir masuk dengan membawa sebuah karangan bunga besar. Bunga itu dihiasi pita merah muda yang cantik, menonjolkan keindahannya.“Selamat siang, Mbak. Karangan bunga ini untuk Nadia. Apakah benar ini alamatnya?” tanya kurir itu.Nadia menatap heran. Siapa yang mengirim bunga untuknya? "Ya benar. Itu saya."Nadia mengangguk dan segera menerima karangan bunga itu. Di antara rangkaian bunga mawar putih dan merah yang harum, ada sebuah kartu kecil terselip.Nadia menarik kartu itu dengan hati-hati, membacanya pelan."Untuk Nadia, wanita yang selalu ada di pikiran dan hati. Dari Surya."Jantung Nadia berdebar sejenak. Surya, nama itu tak pernah hilang dari hidupnya. Meski sudah lama tak berkomunikasi secara langsung, Surya selalu punya cara untuk mendekati Nadia. Seolah-olah menunggu waktu yang tepat untuk datang lagi ke dalam hidupnya. Nadia tak pernah benar-benar mendorongnya pergi, tapi juga tak pernah bena
Dua tahun berlalu sejak pertemuan terakhir di pameran kuliner, Hendra benar-benar menghilang. Walaupun terasa hampa, tetapi Nadia justru tenang karena tak ada lagi tuduhan karena mengganggu rumah tangga orang. Nadia sibuk dengan bisnis kue yang ia bangun dari nol. Usahanya semakin berkembang, terutama setelah beberapa kali mendapatkan pesanan besar dari berbagai perusahaan dan event.Nadia juga masih berkomunikasi dengan Surya lewat chat atau telepon. Sehingga hari-harinya tak terlalu sepi. Canda lelaki itu bisa membuatnya tertawa lepas sehingga semua kelelahan hilang begitu saja. "Gimana kabar kue-mu hari ini, Nad?" tanya Surya iseng."Kok nanyain kue?" tanya Nadia bingung."Kalau nanyain owner-nya nanti dikira aku naksir," jawab Surya."Padahal kan emang iya."Nadia tergelak mendengar lelucon itu. Sejak dulu Surya masih saja gombal dan merayunya. Usia lelaki itu yang lebih muda membuat lebih luwes dalam berbicara."Kue baik-baik aja. Laris manis seperti biasa. Kadang ada sisa, tap
Pameran kuliner terbesar di kota itu diadakan dengan meriah. Booth-booth kuliner dari berbagai daerah dipenuhi dengan makanan-makanan lezat yang menarik perhatian para pengunjung. Suasana ramai dengan suara tawa dan canda pengunjung yang tengah menikmati hidangan-hidangan khas dari berbagai penjuru kota."Mau yang mana?"Di salah satu booth, Nadia terlihat sibuk melayani pembeli. Toko kue miliknya, telah berkembang pesat dalam satu tahun terakhir. Usahanya yang dimulai dari nol kini telah menarik perhatian banyak orang, terutama setelah dia sering mengikuti acara-acara besar seperti pameran ini. Dengan senyum ramah, Nadia melayani pembeli yang terus berdatangan."Terima kasih, Mbak. Selamat menikmati," ucap Nadia sambil memberikan sekotak kue pada pelanggan terakhir yang baru saja membeli.Saat Nadia menyeka keringat di dahi, tanpa sengaja dia melihat sekilas seorang pria yang sangat familiar di antara kerumunan pengunjung. Hatinya seakan terhenti sejenak ketika menyadari bahwa itu
Malam itu di depan kafe, suasana terasa begitu sunyi. Nadia berdiri di samping Surya, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak.Angin malam seolah ikut merasakan kesedihan yang melingkupi mereka berdua. Nadia tahu, saatnya tiba untuk berpamitan. Namun kata-katanya terasa begitu berat untuk diucapkan.“Nad--”Surya memecah keheningan dengan suara serak, matanya menatap lurus ke depan.“Apa kamu benar-benar yakin dengan keputusan ini?”Nadia menghela napas panjang. Pandangannya mengabur karena menahan air mata. “Aku yakin, Surya. Aku butuh tempat untuk menyembuhkan diri. Di sini, aku terlalu banyak terjebak dengan masa lalu.”Surya menoleh, menatap wajah Nadia yang terlihat lelah tetapi tetap cantik. “Tapi kamu gak perlu pergi. Kita bisa cari jalan lain. Kamu tau aku selalu ada? Aku bisa membantu. Kalau masalah kerja, aku bisa carikan sesuatu di sini. Kamu nggak harus ninggalin semua ... apalagi aku.”Nadia tersenyum pahit, hatinya teriris mendengar ketulusan Surya.“Aku tahu kamu
"Nadia, kita perlu bicara. Ini sudah terlalu jauh."Nadia terkejut saat menerima pesan dari Cintia. Wanita itu baru saja sampai di rumah dan membawa makanan untuk ibunya. Setelah kejadian di rumah sakit, Hendra tak pernah lagi menghubunginya. Namun, selalu ada uang masuk setiap bulan dari rekening yang berbeda.Nadia mencoba menghubungi Hendra untuk mengucapkan terima kasih. Tapi pesannya tak pernah terkirim. Mungkin lelaki itu sudah mengganti nomor ponsel. "Kapan?" tanya Nadia saat mengetikkan pesan balasan."Nanti sore. Di kafe dekat tempat kerja kamu."Nadia tersentak, lalu menyari kalau kafe yang dimaksud adalah milik Surya. Sepertinya Cintia tak tahu jika itu milik temannya. "Oke.""Ini cuma antara kita berdua. Gak boleh ada orang lain yang tau."***Mereka bertemu di kafe mik Surya. Nadia meminta lelaki itu agar berpura-pura tak kenal saat dia datang. Nadia juga datang duluan dan memilih kursi di pojok agar tak terlalu menarik perhatian. Para karyawan Surya semua mengenaliny
Cintia melangkah cepat di koridor rumah sakit. Dia mendengar kabar bahwa suaminya bertengkar, entah dengan siapa. Namun tidak menyangka jika Nadia yang membawa Hendra ke rumah sakit. Cintia meninggalkan putranya di rumah dan langsung menuju ke rumah sakit. Selama dua tahun pernikahannya, baru kali terjadi masalah. Untungnya baby sitter yang merawat Arka cukup telaten, sehingga dia tak perlu khawatir. Anak itu juga tak terlalu rewel asal perutnya kenyang. "Bapak Hendra Widjaja dirawat dimana ya, Sus?"Cintia bertanya di nurse station dimana kamar suaminya. Wanita itu begitu khawatir dan ingin segera bertemu.Membayangakan Hendra berdarah dan pingsan membuatnya sedih. Wanita itu bahkan menangis saat menyetir menuju ke sini. "Bapak Hendra ada di 215 ya, Bu," ucap perawat sembari menunjuk ke arah ujung lorong. Cintia mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju kamar yang dimaksud. Ketika dia membuka pintu dan melihat Nadia duduk di samping Hendra, hatinya bergejolak.Cintia menarik