Segala sesuatu yang dilakukan untuk pertama kalinya biasanya menimbulkan efek getar-getar syahdu di jantung, tangan berkeringat dan terasa dingin, bolak-balik kamar mandi dan menatap pantulan kaca paling tidak lima menit sekali memastikan penampilan rapi. Sejenis inilah gugup yang saat ini di alami oleh Boram.
Wajar kalau dia gugup di hari pertamanya mengajar meskipun Boram bukanlah orang baru di dunia pendidikan. Di kampungnya dulu, dia seorang guru matematika untuk anak unyu-unyu berseragam putih merah tapi yang akan di hadapinya hari ini kan lain karena mereka sudah nggak ada unyu-unyunya sama sekali. Bisa menakutkan dan anarkis di saat bersamaan.
Boram bolak balik mengecek arlojinya sejak satu jam yang lalu, memastikan buku-buku yang akan di bawanya tersusun rapi di atas meja. "Saya lihat dari tadi sepertinya Bu Boram gelisah. Cerita saja sama saya, siapa tahu saya bisa membantu."Boram menoleh, melihat Pak Reihan yang mengampirinya. "Saya hanya sedikit gugup Pak. Tidak apa-apa kok," Boram tersenyum manis untuk Pak Reihan yang duduk di depannya. "Bukannya Bu Boram sudah biasa mengajar ya?""Untuk anak-anak SD Pak. Mereka masih bisa di atur dengan baik dan bisa bersikap manis. Saya belum pernah berpengalaman mengajar anak SMA."Pak Reihan mengangguk, "Tenang saja Bu. Nggak semenakutkan itu kok. Anggap saja mereka masih anak SD tapi dalam tampilan wajah boros yang dewasa sebelum waktunya."Boram tertawa, "Mana bisa begitu Pak." Boram memajukkan kepalanya sedikit dan berbisik, "Mereka tidak pernah membully guru sendiri kan Pak?"Reihan tertawa, Boram nyengir seraya menyeka keringat di dahinya. "Jangan kebanyakan nonton sinetron Bu. Mereka di sini tidak seperti itu. Mengajar saja seperti biasanya. Saya yakin kalau gurunya secantik Ibu, kebanyakan dari mereka malah akan bersemangat belajar sekalian tebar pesona." Reihan tiba-tiba menumpukan satu lengannya di atas meja dan memajukan tubuhnya ke depan. Reflek Boram mundur dengan wajah yang mulai merona. Aroma maskulin lelaki itu semerbak dan menghipnotis. "Malah Ibu yang harus sabar-sabar kalau mereka sudah jahil dan suka goda-goda."Boram tertawa sewajarnya tapi malah terkesan aneh, "Gitu ya Pak." Reihan memundurkan tubuhnya dan mengangguk bersamaan dengan bunyi suara bel yang menandakan jam istirahat sudah selesai. Boram harus segera masuk ke kelas setelah ini."Masuk ke kelas berapa Bu?"Boram mengambil buku absennya di atas meja, "Kelas XII MIPA-2 Pak."Pak Reihan berdiri dan mengangguk, "Ah kelasnya perusuh."Boram jelas langsung ketar-ketir saat mendengar kata "perusuh". Reihan yang melihat ekspresi takut di wajah Boram reflek tertawa, "Nggak apa-apa kok Bu. Aman aja.""Aman gimana Pak?" Boram berdiri, mengambil tumpukan buku yang akan di bawanya ke kelas dan memeluknya. "Gak apa-apa. Bagaimana kalau istirahat kedua nanti saya traktir makan bakso untuk merayakan hari pertama mengajar?""Loh, seharusnya kan saya yang traktir Pak. Kok malah jadi Pak Reihan?""Nggak apa-apa Bu. Sebagai ucapan selamat datang dari saya."Boram mau tidak mau mengangguk setuju. Mubazir kalau diabaikan begitu saja tawaran Pak Seksi di hadapannya ini."Kalau begitu semangat mengajarnya ya Bu. Itu kelasnya Samudra. Aman aja kalau ada dia."Boram terdiam ketika mendengar satu nama itu di sebut dan menatap punggung Pak Reihan yang berlalu keluar dari ruang guru. Yaaahh, ketemuu berandalan itu lagi.***
Kelas XII MIPA-2 benar-benar rusuh saat Boram berdiri di ambang pintu kelas. Matanya memindai keseluruhan ruangan yang nampak belum menyadari kehadirannya. Mereka sibuk mengejek satu temannya yang sudah merengut kesal di pojokan belakang. Tidak nampak sama sekali sosok Samudra di antara mereka.
Ke mana cowok itu? Apa dia KO adu kemachoan dengan musuh-musuhnya itu?"Selamat siang semuanya." Boram berteriak lantang seraya memukulkan spidol di tangannya ke pintu sebanyak tiga kali membuat para siswanya langsung menoleh dan terbengong ria. Hentakan sepatu hak tinggi Boram menggema di lantai marmer seirama dengan langkahnya yang anggun dan pandangan yang menatap satu-persatu muridnya."Duduk kembali ke bangku kalian masing-masing. Jika dalam hitungan ketiga masih ada yang berdiri, saya akan kasih kuis dadakan bagi murid yang beruntung itu."Sontak semuanya langsung sigap berlari ke bangku masing-masing bahkan sampai ada yang nyaris terbang karena dia berlari menaiki beberapa bangku kosong untuk sampai di tempat duduknya sendiri. Boram menghela napas melihatnya. Setelah semuanya duduk diam memperhatikan, senyuman Boram perlahan mengembang. Dia berdiri di tengah-tengah."Good. Kalian nggak suka pelajaran Matematika ya sampai takut sekali dapat kuis?" tanyanya."Saya bisa tambah sakit perut Bu kalau dapat kuis dadakan begitu," cowok yang rambutnya sedikit gondrong dan diikat sedikit bagian belakangnya seperti buntut itu menjawab dengan cengiran."Lagi males ah Bu. Saya lagi bahagia habis di tembak gebetan.""HUUUUU...sok-sokan banget lo. Padahal kan lo yang nembak Arjuna sampai dia terpaksa nerima. Sok ngaku lagi!" Setelah sorakan itu semuanya kembali rusuh. Ada yang melempari kertas dan penghapus ke arah gadis cantik berambut pendek sebahu yang langsung meringis mendapat ejekan semua temannya. Boram berdecak dan mengetukkan spidolnya di meja depannya yang kosong dengan kuat."Kalian hentikan sekarang juga!!" Teriakan Boram terabaikan. Setelah menghela napas, Boram berniat untuk kembali menarik perhatian saat pukulan keras di pintu mengagetkan semuanya, termasuk Boram."Samudra, njirr!!" pekik semua siswa yang ada di sana saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. Boram terdiam memperhatikan seksama penampilan cowok itu. Sama berantakannya seperti kemarin dan wajahnya nampak memar di beberapa tempat. Namun secara keseluruhan, dia masih tetap tampan.Boram mengerjapkan matanya. Samudra melangkah masuk tanpa senyuman diiringi dengan kelasnya yang seketika hening. "Kalau kalian mau ribut di luar aja. Gue mau belajar!" Kata-katanya terdengar sarat akan ancaman. Semua temannya hanya tersenyum dan mengangguk tidak berani buka suara. Boram tidak bergerak di tempatnya melihat Samudra yang semakin mendekat ke arahnya dengan senyuman manis dan melangkah pelan di sampingnya lalu berdiri menjulang di hadapannya. Boram sampai harus menaikkan sedikit wajahnya."Hati-hati Bu, dia preman. Jangan tergoda," seloroh salah satu muridnya. Boram langsung mundur ke belakang.Samudra duduk manis di meja paling depan sendirian, membuka tasnya dan mengambil beberapa buku paket dan buku tulisnya sendiri lalu kembali menatap Boram yang diam terkesima."Oke, Kita sudah kehilangan banyak waktu yang seharusnya bisa kita gunakan untuk melatih soal. Sebelumnya perkenalkan saya selaku guru pengganti Ibu Sisca selama beliau cuti melahirkan. Panggil saja Bu Boram. Kalian mengerti?" "Mengerti Bu." Mereka serempak berseru bersamaan."Kalau panggil sayang boleh nggak?" Samudra yang duduk dalam posisi siap belajar dengan kedua lengan terlipat di atas meja nyeletuk. Semua temannya terkekeh.Boram berusaha menahan kesabaran, "Untuk kamu nanti akan khusus saya kasih kuis."Samudra mendengus dan membuka buku paketnya. Boram kembali menatap seluruh muridnya yang sejak Samudra masuk begitu tenang dan damai meskipun ada yang nampak bosan, berbisik-bisik dan mencoret-coret sesuatu di bukunya. Baginya itu sudah lebih dari cukup dari pada harus berteriak-teriak menyuruh mereka diam."Buka buku kalian. Ada bab yang sedang menunggu kalian di sana. Saya tidak akan mengulang pelajaran yang di ajarkan Ibu Sisca. Kita akan melanjutkan bab selanjutnya.""YAAAHHHH," suara mereka menggema. Boram tersenyum. Mereka mulai memperhatikan dan Boram jadi memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Dia mengajar seperti biasanya dan aktif mengajak para muridnya menjawab berbagai soal di papan tulis. Sebenarnya semua muridnya pintar hanya saja mereka terlalu banyak gaya, omong dan tidak bisa diam. Dari semua hal itu tidak ada yang membuat Boram terkesima selain dari sosok cowok yang duduk di barisan paling depan memakai kacamata belajarnya dan diam memeperhatikan semua rumus dan bahasan soal yang dijabarkan. Benar-benar memperhatikan. Sesekali kerutan samar di dahi cowok itu muncul, mengacak rambutnya ketika dia kesulitan memecahkan satu soal dan mengetukkan jarinya mencoba untuk memahami soalnya.Samudra benar-benar menjadi sosok yang berbeda. Berbanding terbalik dengan kesan bengal, berandalan karena penampilannya yang lebih banyak bekas pukulan akibat berkelahi dan baju yang mencuat keluar tidak rapi. Lima soal di papan tulis dan semua muridnya tenang mengerjakan. Boram berkeliling mencoba melirik setiap anak yang mencoba mencari rumusnya. Boram melihat tampang-tampang lucu dan bosan mereka saat tidak menemukan jawaban yang sesuai."Matematika itu ilmu pasti. Kalian hanya tinggal mempelajari rumus yang tersedia dan belajar memahaminya dengan mengganti angka-angkanya saja. Lebih mudah dibandingkan memecahkan kode perempuan yang kadang tidak jelas. Meskipun yang dibutuhkan hanya kepekaan.""Ibu mah gampang bilang begitu. Kami kan memang di lahirkan untuk tidak selalu peka apalagi dengan kode-kode para perempuan. Sama aja kayak matematika bikin pusing."Boram terkekeh mendengarnya, berhenti di belakang Samudra yang tertunduk menghadap ke bukunya. Iseng Boram mengintip ingin melihat bagaimana cowok itu memecahkan soal yang ada di papan tulis. Namun apa yang dilihatnya di sana adalah sesuatu yang lain.Samudra memang mencoba memecahkan soal itu tapi dengan cara yang berbeda. Boram mengerutkan dahinya mencoba untuk menebak tapi dia akhirnya menyerah. "Kenapa caranya seperti ini?" Boram menunjuk sederet angka yang ditulis Samudra di buku tulisnya. Cowok itu mengangkat kepalanya dengan senyuman samar di wajahnya dan tatapan sendu, "Seperti inilah saya mengerjakannya Bu. Sejak awal saya sama sekali tidak paham."Boram sempurna terdiam. Ada yang tidak beres tentang cowok ini."Kalau begitu khusus untuk kamu, menghadap ke saya setelah pulang sekolah."Samudra langsung menundukkan wajahnya dan Boram dihinggapi rasa penasaran tentang sosok Samudra.***
Dari pada menatap semangkok bakso yang masih mengepul panas di depannya, Boram lebih memilih memandangi sang guru olahragawan seksi – Reihan – yang sibuk memotong pentolan bakso menjadi beberapa bagian. Menatap otot tangannya yang menonjol kekar bergerak-gerak seirama dengan kegiatannya memotong. Menatap betapa seriusnya si seksi sibuk dengan baksonya. Menatap bagaimana wajah tampan itu menampilkan ekspresi menggemaskan. Saat Pak Reihan mengangkat sendok berisi mie dan pentolannya yang sudah berbentuk kecil itu mendekat ke mulutnya, Boram menatapnya tanpa kedip. Dilahapnya dalam sekali bukaan mulut, mengunyahnya nikmat lalu manik mata itu menemukan keterkesimaan Boram. Seulas senyum macho nampak di sudut bibir yang masih sibuk mengunyah itu.O EM GI. "Dimakan baksonya Bu. Jangan melamun. Nanti kalau baksonya dingin, rasanya jadi nggak enak."Boram gelagapan, reflek mengangguk dan dengan grogi mengambil sebotol kecap di dekat tangan Pak Reihan. Sangking deg-degannya, botol itu sampa
Reihan menghentikan motor besarnya di parkiran cafe yang sedang ramai. Boram turun dan melepas helm yang tadi baru saja di belinya bersama Reihan. Boram melangkah mundur dan mengangkat kepalanya untuk melihat nama cafe yang terpampang jelas di depan bangunan minimalis dua lantai itu seraya memeluk helm pinknya.Black n White Cafe."Cafe ini yang mengelola sahabat saya,Bu. Bukan pemiliknya sih tapi dia yang bertanggung jawab penuh," kata Reihan yang sudah berdiri di samping Boram ketika melihat arah pandangannya lalu mengambil helm pink miliknya dan meletakkannya di atas jok motor."Oh, saya kira mau di ajak nongkrong gitu Pak," kekehnya. Reihan menatap Boram yang langsung panik dan menggeleng, "Saya bercanda kok, Pak. Hehe." Reihan tertawa melihat tingkah kikuknya. Mereka berjalan bersisian masuk ke dalam cafe yang memang nuansanya serba hitam dan putih. Cafe nyaman dan tenang dengan lantunan musik Jazz menggema di seluruh ruangan. Ornamen pendukung cafe yang pas tata letak dan ju
Boram duduk di halte dekat pasar sambil memijit pangkal kakinya yang terasa pegal. Tadi dia sudah bertemu dengan pengelola cafe dan mendapatkan pekerjaan sebagai seorang kasir part time di sana dan bisa mulai bekerja mulai besok setelah pulang mengajar. Boram senang banget karena dengan bantuan Reihan dia bisa cepat mendapat pekerjaan. Setelah dari Cafe, Boram memilih minta di turunkan di pasar tidak jauh dari komplek perumahannya untuk membeli beberapa bahan masakan untuk nanti malam sedangkan Reihan langsung berbalik arah dan pulang. Sekarang Boram merasa lelah setelah memutari pasar membeli banyak bahan masakan. Dua kresek putih besar dan helm pinknya tergeletak di samping tubuhnya.Sialnya, hujan tiba-tiba saja turun dan semakin deras memaksa Boram yang lupa membawa payung harus berteduh di halte. Langit semakin menggelap membuat malam terlihat datang lebih cepat dari seharusnya. Padahal masih jam lima sore.Boram memilih menunggu karena kalau dia nekat sudah bisa dipastikan samp
Samudra menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan menerawang. Seluruh tubuhnya tertutup selimut yang tebal untuk menghalau dingin akibat dari kegiatan hujan-hujanannya tadi. Hanya ada satu nama di dalam kepalanya. Sosok guru matematika yang menarik hatinya sejak pertama kali mereka bertemu.Sebelum ini Samudra masa bodoh dengan yang namanya perempuan. Entah kenapa Bu Boram berbeda. Dia juga tidak mengerti dengan sikapnya jika sudah berhadapan dengan wanita itu. Yang menarik sejak pertemuan pertama mereka yang membuat Samudra tidak bisa berhenti membayangkannya adalah tatapan matanya.Bulat, hitam, memperdaya tapi terkesan kesepian.Kenapa Samudra bisa tahu karena selam ini dia hidup dengan seseorang yang juga memiliki tatapan mata seperti itu. "Sam, kamu sudah tidur?" Suara di luar kamarnya mengagetkannya."Belum,Mam," suaranya yang serak terasa tidak sampai ke pintu. Namun pintu itu tetap terbuka menampilkan Mama cantiknya yang membawa teh hangat dan obat. "Mama heran..." Ma
Boram keluar dari ruang guru mengarah ke toilet khusus staf sebelum memulai sesi mengajar pelajaran pertama dengan langkah pelan. Bel masuk belum berbunyi, jadi koridor kelas masih ramai dengan para siswa dan siswi yang berdatangan dan mengobrol heboh. Boram tersenyum merasakan semua atmosfir masa muda di sekelilingnya. Betapa menyenangkannya masa-masa SMA yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Semua momen yang lambat laun membentuk pengalaman hidup yang bisa menentukan masa depan dan kedewasaan. Momen kebahagiaan sekaligus kesakitan.Kita berhak menentukan ingin memiliki momen yang seperti apa.Boram berbelok masuk ke dalam toilet yang kosong, melihat sekilas penampilannya yang rapi seperti biasanya di kaca. Kerutan nampak di dahinya, dia mendekat sedikit dan menekan-nekan sembab di area matanya lalu menghela napas. Semalam dia menangis. Rindu dengan Kang Mas Kelana. Ekspresi wajahnya membuatnya terpaku. Terlihat jelas perubahan yang terjadi semenjak Mas Kelana pergi. Boram merasa
Bel istirahat berbunyi nyaring. Bersamaan dengan Boram yang selesai menutup sesi mengajarnya, merapikan tumpukan soal dan jawaban para muridnya yang sudah berhamburan keluar di atas tumpukan buku-buku mengajarnya. "Sam, aku mau ke kantin sama Risa. Kamu titip kerupuk koin seperti biasanya kan?""Hmm." Samudra bergumam. Boram masih sibuk membereskan bawaannya membelakangi kasak kusuk mereka berdua. "Ini duitnya. Tapi ingat, ke sana nggak pake lari ya. Pegangan sama Risa. Awas kedorong-dorong. Suruh aja si Risa yang ngantri. Jangan kamu."Uhh, protective banget sih terus ngomongnya pake aku-kamu lagi, desah Boram."Ishh, Sam bawel. Aku sudah tahu. Ya udah mana sini uangnya. Kamu tunggu ya. Jangan kemana-mana.""Iya."Boram berbalik dengan membawa tumpukan bukunya saat Ratu melintas di depannya seraya tersenyum, "Permisi ya Bu." Boram mengangguk, "Iya."Setelah Ratu berlalu, Boram berusaha untuk tidak mempedulikan tatapan Samudra yang ternyata sudah berpindah duduk di atas mejanya."Mb
Samudra menggendongnya erat dan meletakkannya di sandaran jok yang sedikit dia landaikan agar Ratu yang merintih merasa nyaman. "Kamu baru ditinggal sebentar kenapa bisa jatuh sih?" Gerutunya.Samudra mundur dan menoleh ke Risa, "Ris, lo bawa tasnya Ratu ya. Nanti gue ambil."Risa mengangguk. Samudra segera menutup pintu mobil dan berlari ke kursi kemudi. Tangannya bergetar karena panik menghidupkan mesin mobil. Di lihatnya sekilas Ratu yang mengeluarkan darah dari hidungnya. Samudra mengambil tisu dan menekan, membersihkan noda merah itu. Ratu mengambil alih tisu itu untuk menahan darahnya yang keluar.Samudra memegang kemudi dan menjalankan mobil canggih itu keluar dari area parkir. Sekilas, dari kaca spion luar, Samudra melihat sosok pujaan hatinya berdiri memandangi ke arahnya dengan ekspresi aneh. Samudra menghela napas dan berbelok, keluar dari sekolah.Prioritasnya saat ini hanya Ratu. Sam berkonsentrasi pada jalanan dengan tangan kiri yang mengotak atik sesuatu di perangkat el
Boram sudah memutuskan kalau Black n White Cafe ini menjadi cafe favoritnya. Desain interior dan suasananya membuat pangunjung merasa nyaman duduk berjam-jam sambil mengobrol atau sekedar mengerjakan tugas di depan laptop. Harga makanan yang ada bisa dibilang masih dalam standar. Murah dan enak. Dengan aneka menu hidangan dari makanan ringan sampai yang berat. Semuanya recomended.Boram sudah berada di balik meja kasir selama tiga jam. Langit di luar sudah menggelap dan bagian dalam cafe berubah menjadi lebih romantis lagi. Cantik dengan hiasan lampion dan lilin hias. Hanya di bagian indoor karena untuk outdoor tetap dibiarkan terang. Seakan-akan ada dua dimensi di cafe ini.Yang lebih keren lagi, setiap malam akan ada penampilan live music. Entah itu band indie atau penyanyi cafe yang memang sering tampil di sini. Boram sudah tidak sabar untuk melihatnya. Fix, Boram suka banget cafe keren ini dan dia yakin akan betah bekerja sesuai dengan yang dikatakan oleh Pak Rei. Bosnya juga ba
Sebulan kemudian,Area keberangkatan International Soekarno Hatta.“Tolong, berjanjilah pada kami untuk merawatnya dengan baik.”Boram menahan tangisannya saat meminta dengan sungguh-sungguh pada Nindy yang menggendong Mutia.Nindy tersenyum. “Aku berjanji,Boram. Aku akan membesarkannya dengan baik. Kalian bisa mengunjungi kami kapanpun ke Rusia. Kami akan selalu menerima kalian dengan baik.”“Iya.”Boram mengamgguk. Nina dan suaminya yang seorang warga Rusia akhirnya mengajukan diri menjadi wali sah Mutia dan akan membesarkannya di tempat tinggal mereka seperti pesan yang ditinggalkan Nina. Boram yang sudah menganggap Mutia seperti anak kandungnya itu begitu berat melepas Mutia.“Mama..” Mutia mengulurkan tangan ingin di gendong Boram yang langsung mengambil alih. Boram memeluknya dengan erat dan menciumi wajahnya dengan sayang. Sebentar lagi mereka akan berpisah dan Boram merasa sangat sedih, Setelah Boram gantian Sam yang memberikan pelukan terakhir untuk Mutia dan kemudian mengem
Sam dan Boram saling berangkulan di depan makan Nina yang satu jam lalu baru saja dikuburkan. Boram masih tidak percaya bahwa takdir Nina akan jadi seperti ini padahal dia adalah orang yang baik. Tadi pagi mereka mendapatkan telepon dari pihak rumah sakit yang mengabarkan kalau Nina kembali kritis dan Sam langsung buru-buru ke sana sementara Boram harus menunggu Mbak Ina dulu. Sampai sana ternyata Sam sudah terkulai sedih dan mengatakan kalau Nina tidak bisa diselamatkan lagi karena pendarahan di otaknya. Boram langsung menangis histeris karena dia teringat dengan Mutia yang dia tinggalkan dengan buru-buru tadi.Meskipun dia masih memiliki ayah, tapi Reno tidak bisa menjaga anaknya sendiri karena saat ini berada di penjara."Sayang..."Sam menarik lamunan Boram membuatnya menoleh. "Ayo,kita pulang dan lihat keadaan Mutia."Boram mengangguk, teringat lagi dengan tangisan Mutia saat memeluk Ibunya untuk terakhir kalinya tadi sebelum dikuburkan. Kakak kandung Nina juga belum bisa ditemuk
"Sam..." Sam menoleh saat mendengar panggilan dari balik punggungnya dan menemukan Boram menghampirinya dengan wajah panik dan khawatir. "Apa yang terjadi sebenarnya?""Rumit,sayang." Sam memeluk Boram dengan erat, berdiri berdua tidak jauh dari ruang operasi."Kita fikir keadaan sudah menjadi lebih baik tapi ternyata masih ada yang mencoba untuk membahayakan Nina.""Apa maksudmu?"Sam menghela napas panjang, membawa Boram duduk di kursi tunggu dan mulai memberikan penjelasan."Istri kedua Reno sengaja menabrak mobil Nina hingga terpelanting dan terbalik menghantam pembatas jalan." Boram kaget seraya menutup mulutnya. "Anita, wanita itu sudah diamankan dan sekarang kita hanya bisa menunggu sambil berdoa. Bagaimana dengan Mutia?""Saat aku tinggalkan tadi dia sedang tidur dan dijaga sama Mbak Ina."Sam mengangguk, kembali menatap pintu ruang operasi karena luka yang di dapat Nina di kepala cukup serius. Sam berharap Nina bisa sembuh karena Mutia masih membutuhkannya."Semoga saja dia
Sidang kedua Nina selesai dengan lancar. Seminggu setelahnya Sam mengajak Boram untuk menunaikan ibadah Umrah dan akan dilanjutkan dengan jalan-jalan ke beberapa negara Timur Tengah selama tiga minggu. Setelah menempuh perjalanan panjang dan sampai di kota Madinah, semua rasa lelahnya terbayarkan saat melihat istrinya yang cantik menggunakan hijab. Mereka khusyuk beribadah dan Sam menumpahkan semua doa dan harapannya selama ini di depan Ka’bah untuk keberkahan hidupnya ke depan dan kebahagiaan dunia akhirat. Sam juga meminta skenario terbaik untuk rumah tangga mereka yang belum dikaruniai seorang anak. Berharap, doa-doa dan harapannya agar dikabulkan Tuhan. “Kenapa tidak dari dulu saja kita ke sini ya, sayang?” Sam menoleh, menatap wajah sendu istrinya yang menatap lurus ke depan di mana Ka’bah berada. Saat ini mereka sedang duduk santai tidak jauh dari Ka’bah hanya untuk sekedar duduk sembari berdoa dan membaca Al Qur’an. “Semua sudah ditakdirkan, sayang. Sekaranglah momen kita ja
Setelah masa pemulihan selama seminggu dan keadaannya sudah membaik, Boram menjalani hari-harinya seperti biasa. Dia sadar tidak bisa terus terlarut dalam kehilangan hingga membuatnya terus merasa sedih. Waktu terus bergulir dan Boram akan menjadikan yang dia lewati itu sebagai sebuah pembelajaran. Kedepannya dia bertekad untuk mulai hidup sehat begitu juga dengan Sam, menghabiskan waktu berdua entah di rumah atau jalan-jalan dan lebih hati-hati lagi dalam bertindak.Sudah berlalu dua minggu sejak sidang pertama Nina di gelar yang hasilnya cukup baik dan memiliki harapan ke depannya, Boram mengajak Nina membawa Mutia untuk jalan-jalan ke mall.Saat ini mereka sedang berada di salah satu restoran steak di dalam mall untuk makan siang.“Kita harus lebih sering jalan-jalan deh ke depannya,” ujar Boram, menyuapi Mutia kentang halus yang dimakan gadis kecil itu dengan bersemangat. “Sepertinya Mutia senang sekali bisa melihat-lihat ke ramaian.”Nina mengangguk. “Kita bisa atur jadwal kapanp
Rasanya ada yang terasa kosong di hati Boram. Setelah sadar dari pengaruh bius pasca operasi kuret, Boram lebih banyak melamun sembari mengelus perutnya. Masih belum menyangka dengan apa yang telah dia alami saat ini. Bagaimana bisa, dia tidak menyadari sama sekali kehadiran calon bayi yang sudah ada di dalam perutnya sementara dia tidak henti-hentinya berharap keajaiban itu ada. Dia merasa sedang menyesali sesuatu tapi tidak ada yang bisa dia lakukan lagi. Tuhan sudah mengambil kembali sesuatu yang sejak awal memang bukan miliknya. “Boram, makan dulu yuk.” Boram tersenyum lemah sembari menggeleng pada Jenna di sampingnya yang baru saja mengambil alih makan siang yang di antarkan pegawai rumah sakit. “Jangan seperti itu. Kamu tetap butuh makan.” “Rasanya aku malas sekali melakukan apa-pun.” Jenna menghela napas, merapikan rambut Boram dengan senyuman hangat. “Kamu tidak kasihan dengan Samudra?” Boram terdiam, Suaminya tadi pulang sebentar ke rumah saat Jenna datang untuk membant
“Mutia, kamu ngegemesin banget sih.”Boram nampak senang setelah memakaikan gaun pink berenda untuk Mutia selepas mandi sore karena niatnya setelah ini adalah mengajak Mutia jalan-jalan ke taman dekat komplek.“SiniTante cium dulu. Pasti harum banget.”Mutia tertawa di dalam pelukan Boram hingga membuatnya geli dan ingin melepaskan diri. Boram semakin lama semakin sayang dengan Mutia dan mulai memperlakukannya seperti anak sendiri meskipun kenyataannya begitu pahit. Namun, untuk dirinya sendiri, kehadiran Mutia membawa kegembiraan tersendiri untuknya.“Bu Boram, cemilan sama strollernya sudah siap di bawah.”Boram menoleh dan tersenyum pada Bik Umang, tukang masak di rumah Nina yang usianya sudah lanjut tapi masih giat bekerja. “Oke, Bik. Sebentar lagi kami turun ke bawah.”Boram memakaikan pita di rambut Mutia yang sudah diikat dua kanan dan kiri dengan senyuman puas lalu menggendongnya untuk turun. Sampai di bawah bik Umang menungggu sembari memegang stroller Mutia dan membantu Bor
Sam yang sedang sibuk dengan pekerjaannya di depan laptop yang menyala,melirik sekilas seseorang yang masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk terlebih dahulu dan mendengkus setelahnya.“Harap ketok pintu dulu sebelum masuk.”Laki-laki yang sudah masuk ke dalam ruangannya itu berhenti melangkah, mundur beberapa jengkal untuk kembali mengetuk pintu sembari tertawa dan masuk ke dalam.“Serius banget.” Sam menyandarkan punggungnya, meladeni laki-laki di depannya itu. “Ngopi yuk.”“Bukannya kamu lagi honeymoon ya? Kok cepat banget pulangnya.”Akmal, salah satu sahabatnya di sekolah dulu selain Alka tersenyum sumringah membuat Sam menaikkan alisnya heran.“Buat apa lagi honeymoon kalau istriku ternyata sudah positif hamil.”“Hah?” Sam cengok, menghitung dalam hati usia pernikahan Akmal dan Lili yang baru berlangsung hampir dua bulan itu. “Seriusan? Cepat banget. Lili enggak kamu buntingin duluan kan?”Akmal yang seorang anggota polisi itu mengepalkan tangannya. “Enak saja!” Akmal duduk di
Sehari setelah insiden, Nina diperbolehkan pulang. Keadaannya sudah baik-baik saja dan ada beberapa polisi yang berjaga di sekitar rumah Nina agar kejadian sebelumnya tidak terulang lagi. Sam masih melakukan penyelidikan dan pengawasan terhadap kasus Nina di mana Reno, suaminya itu masih dalam status buron. Sementara Boram setiap pulang sekolah punya kegiatan baru jika sedang tidak ada jadwal mengajar les yaitu mampir ke rumah Nina untuk bermain dengan Mutia. “Mbak, saya tidak mau merepotkan sampai harus datang jauh-jauh ke sini,” ujar Nina suatu hari.“Tidak. Aku ini setelah pulang ke rumah kalau tidak ada jadwal les ya pengangguran. Terlebih jika Sam sedang menangani suatu kasus di mana dia lebih banyak lembur. Aku kadang suka main di tempat sahabatku dan bermain bersama anaknya. Jadi, kamu tidak usah khawatir.” Boram mencoba menjelaskan. “Atau kamu merasa kurang nyaman kalau aku datang terus?”Nina reflek langsung membantah. “Tentu saja tidak. Aku sangat berterima kasih tapi taku