Segala sesuatu yang dilakukan untuk pertama kalinya biasanya menimbulkan efek getar-getar syahdu di jantung, tangan berkeringat dan terasa dingin, bolak-balik kamar mandi dan menatap pantulan kaca paling tidak lima menit sekali memastikan penampilan rapi. Sejenis inilah gugup yang saat ini di alami oleh Boram.
Wajar kalau dia gugup di hari pertamanya mengajar meskipun Boram bukanlah orang baru di dunia pendidikan. Di kampungnya dulu, dia seorang guru matematika untuk anak unyu-unyu berseragam putih merah tapi yang akan di hadapinya hari ini kan lain karena mereka sudah nggak ada unyu-unyunya sama sekali. Bisa menakutkan dan anarkis di saat bersamaan.
Boram bolak balik mengecek arlojinya sejak satu jam yang lalu, memastikan buku-buku yang akan di bawanya tersusun rapi di atas meja. "Saya lihat dari tadi sepertinya Bu Boram gelisah. Cerita saja sama saya, siapa tahu saya bisa membantu."Boram menoleh, melihat Pak Reihan yang mengampirinya. "Saya hanya sedikit gugup Pak. Tidak apa-apa kok," Boram tersenyum manis untuk Pak Reihan yang duduk di depannya. "Bukannya Bu Boram sudah biasa mengajar ya?""Untuk anak-anak SD Pak. Mereka masih bisa di atur dengan baik dan bisa bersikap manis. Saya belum pernah berpengalaman mengajar anak SMA."Pak Reihan mengangguk, "Tenang saja Bu. Nggak semenakutkan itu kok. Anggap saja mereka masih anak SD tapi dalam tampilan wajah boros yang dewasa sebelum waktunya."Boram tertawa, "Mana bisa begitu Pak." Boram memajukkan kepalanya sedikit dan berbisik, "Mereka tidak pernah membully guru sendiri kan Pak?"Reihan tertawa, Boram nyengir seraya menyeka keringat di dahinya. "Jangan kebanyakan nonton sinetron Bu. Mereka di sini tidak seperti itu. Mengajar saja seperti biasanya. Saya yakin kalau gurunya secantik Ibu, kebanyakan dari mereka malah akan bersemangat belajar sekalian tebar pesona." Reihan tiba-tiba menumpukan satu lengannya di atas meja dan memajukan tubuhnya ke depan. Reflek Boram mundur dengan wajah yang mulai merona. Aroma maskulin lelaki itu semerbak dan menghipnotis. "Malah Ibu yang harus sabar-sabar kalau mereka sudah jahil dan suka goda-goda."Boram tertawa sewajarnya tapi malah terkesan aneh, "Gitu ya Pak." Reihan memundurkan tubuhnya dan mengangguk bersamaan dengan bunyi suara bel yang menandakan jam istirahat sudah selesai. Boram harus segera masuk ke kelas setelah ini."Masuk ke kelas berapa Bu?"Boram mengambil buku absennya di atas meja, "Kelas XII MIPA-2 Pak."Pak Reihan berdiri dan mengangguk, "Ah kelasnya perusuh."Boram jelas langsung ketar-ketir saat mendengar kata "perusuh". Reihan yang melihat ekspresi takut di wajah Boram reflek tertawa, "Nggak apa-apa kok Bu. Aman aja.""Aman gimana Pak?" Boram berdiri, mengambil tumpukan buku yang akan di bawanya ke kelas dan memeluknya. "Gak apa-apa. Bagaimana kalau istirahat kedua nanti saya traktir makan bakso untuk merayakan hari pertama mengajar?""Loh, seharusnya kan saya yang traktir Pak. Kok malah jadi Pak Reihan?""Nggak apa-apa Bu. Sebagai ucapan selamat datang dari saya."Boram mau tidak mau mengangguk setuju. Mubazir kalau diabaikan begitu saja tawaran Pak Seksi di hadapannya ini."Kalau begitu semangat mengajarnya ya Bu. Itu kelasnya Samudra. Aman aja kalau ada dia."Boram terdiam ketika mendengar satu nama itu di sebut dan menatap punggung Pak Reihan yang berlalu keluar dari ruang guru. Yaaahh, ketemuu berandalan itu lagi.***
Kelas XII MIPA-2 benar-benar rusuh saat Boram berdiri di ambang pintu kelas. Matanya memindai keseluruhan ruangan yang nampak belum menyadari kehadirannya. Mereka sibuk mengejek satu temannya yang sudah merengut kesal di pojokan belakang. Tidak nampak sama sekali sosok Samudra di antara mereka.
Ke mana cowok itu? Apa dia KO adu kemachoan dengan musuh-musuhnya itu?"Selamat siang semuanya." Boram berteriak lantang seraya memukulkan spidol di tangannya ke pintu sebanyak tiga kali membuat para siswanya langsung menoleh dan terbengong ria. Hentakan sepatu hak tinggi Boram menggema di lantai marmer seirama dengan langkahnya yang anggun dan pandangan yang menatap satu-persatu muridnya."Duduk kembali ke bangku kalian masing-masing. Jika dalam hitungan ketiga masih ada yang berdiri, saya akan kasih kuis dadakan bagi murid yang beruntung itu."Sontak semuanya langsung sigap berlari ke bangku masing-masing bahkan sampai ada yang nyaris terbang karena dia berlari menaiki beberapa bangku kosong untuk sampai di tempat duduknya sendiri. Boram menghela napas melihatnya. Setelah semuanya duduk diam memperhatikan, senyuman Boram perlahan mengembang. Dia berdiri di tengah-tengah."Good. Kalian nggak suka pelajaran Matematika ya sampai takut sekali dapat kuis?" tanyanya."Saya bisa tambah sakit perut Bu kalau dapat kuis dadakan begitu," cowok yang rambutnya sedikit gondrong dan diikat sedikit bagian belakangnya seperti buntut itu menjawab dengan cengiran."Lagi males ah Bu. Saya lagi bahagia habis di tembak gebetan.""HUUUUU...sok-sokan banget lo. Padahal kan lo yang nembak Arjuna sampai dia terpaksa nerima. Sok ngaku lagi!" Setelah sorakan itu semuanya kembali rusuh. Ada yang melempari kertas dan penghapus ke arah gadis cantik berambut pendek sebahu yang langsung meringis mendapat ejekan semua temannya. Boram berdecak dan mengetukkan spidolnya di meja depannya yang kosong dengan kuat."Kalian hentikan sekarang juga!!" Teriakan Boram terabaikan. Setelah menghela napas, Boram berniat untuk kembali menarik perhatian saat pukulan keras di pintu mengagetkan semuanya, termasuk Boram."Samudra, njirr!!" pekik semua siswa yang ada di sana saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. Boram terdiam memperhatikan seksama penampilan cowok itu. Sama berantakannya seperti kemarin dan wajahnya nampak memar di beberapa tempat. Namun secara keseluruhan, dia masih tetap tampan.Boram mengerjapkan matanya. Samudra melangkah masuk tanpa senyuman diiringi dengan kelasnya yang seketika hening. "Kalau kalian mau ribut di luar aja. Gue mau belajar!" Kata-katanya terdengar sarat akan ancaman. Semua temannya hanya tersenyum dan mengangguk tidak berani buka suara. Boram tidak bergerak di tempatnya melihat Samudra yang semakin mendekat ke arahnya dengan senyuman manis dan melangkah pelan di sampingnya lalu berdiri menjulang di hadapannya. Boram sampai harus menaikkan sedikit wajahnya."Hati-hati Bu, dia preman. Jangan tergoda," seloroh salah satu muridnya. Boram langsung mundur ke belakang.Samudra duduk manis di meja paling depan sendirian, membuka tasnya dan mengambil beberapa buku paket dan buku tulisnya sendiri lalu kembali menatap Boram yang diam terkesima."Oke, Kita sudah kehilangan banyak waktu yang seharusnya bisa kita gunakan untuk melatih soal. Sebelumnya perkenalkan saya selaku guru pengganti Ibu Sisca selama beliau cuti melahirkan. Panggil saja Bu Boram. Kalian mengerti?" "Mengerti Bu." Mereka serempak berseru bersamaan."Kalau panggil sayang boleh nggak?" Samudra yang duduk dalam posisi siap belajar dengan kedua lengan terlipat di atas meja nyeletuk. Semua temannya terkekeh.Boram berusaha menahan kesabaran, "Untuk kamu nanti akan khusus saya kasih kuis."Samudra mendengus dan membuka buku paketnya. Boram kembali menatap seluruh muridnya yang sejak Samudra masuk begitu tenang dan damai meskipun ada yang nampak bosan, berbisik-bisik dan mencoret-coret sesuatu di bukunya. Baginya itu sudah lebih dari cukup dari pada harus berteriak-teriak menyuruh mereka diam."Buka buku kalian. Ada bab yang sedang menunggu kalian di sana. Saya tidak akan mengulang pelajaran yang di ajarkan Ibu Sisca. Kita akan melanjutkan bab selanjutnya.""YAAAHHHH," suara mereka menggema. Boram tersenyum. Mereka mulai memperhatikan dan Boram jadi memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Dia mengajar seperti biasanya dan aktif mengajak para muridnya menjawab berbagai soal di papan tulis. Sebenarnya semua muridnya pintar hanya saja mereka terlalu banyak gaya, omong dan tidak bisa diam. Dari semua hal itu tidak ada yang membuat Boram terkesima selain dari sosok cowok yang duduk di barisan paling depan memakai kacamata belajarnya dan diam memeperhatikan semua rumus dan bahasan soal yang dijabarkan. Benar-benar memperhatikan. Sesekali kerutan samar di dahi cowok itu muncul, mengacak rambutnya ketika dia kesulitan memecahkan satu soal dan mengetukkan jarinya mencoba untuk memahami soalnya.Samudra benar-benar menjadi sosok yang berbeda. Berbanding terbalik dengan kesan bengal, berandalan karena penampilannya yang lebih banyak bekas pukulan akibat berkelahi dan baju yang mencuat keluar tidak rapi. Lima soal di papan tulis dan semua muridnya tenang mengerjakan. Boram berkeliling mencoba melirik setiap anak yang mencoba mencari rumusnya. Boram melihat tampang-tampang lucu dan bosan mereka saat tidak menemukan jawaban yang sesuai."Matematika itu ilmu pasti. Kalian hanya tinggal mempelajari rumus yang tersedia dan belajar memahaminya dengan mengganti angka-angkanya saja. Lebih mudah dibandingkan memecahkan kode perempuan yang kadang tidak jelas. Meskipun yang dibutuhkan hanya kepekaan.""Ibu mah gampang bilang begitu. Kami kan memang di lahirkan untuk tidak selalu peka apalagi dengan kode-kode para perempuan. Sama aja kayak matematika bikin pusing."Boram terkekeh mendengarnya, berhenti di belakang Samudra yang tertunduk menghadap ke bukunya. Iseng Boram mengintip ingin melihat bagaimana cowok itu memecahkan soal yang ada di papan tulis. Namun apa yang dilihatnya di sana adalah sesuatu yang lain.Samudra memang mencoba memecahkan soal itu tapi dengan cara yang berbeda. Boram mengerutkan dahinya mencoba untuk menebak tapi dia akhirnya menyerah. "Kenapa caranya seperti ini?" Boram menunjuk sederet angka yang ditulis Samudra di buku tulisnya. Cowok itu mengangkat kepalanya dengan senyuman samar di wajahnya dan tatapan sendu, "Seperti inilah saya mengerjakannya Bu. Sejak awal saya sama sekali tidak paham."Boram sempurna terdiam. Ada yang tidak beres tentang cowok ini."Kalau begitu khusus untuk kamu, menghadap ke saya setelah pulang sekolah."Samudra langsung menundukkan wajahnya dan Boram dihinggapi rasa penasaran tentang sosok Samudra.***
Dari pada menatap semangkok bakso yang masih mengepul panas di depannya, Boram lebih memilih memandangi sang guru olahragawan seksi – Reihan – yang sibuk memotong pentolan bakso menjadi beberapa bagian. Menatap otot tangannya yang menonjol kekar bergerak-gerak seirama dengan kegiatannya memotong. Menatap betapa seriusnya si seksi sibuk dengan baksonya. Menatap bagaimana wajah tampan itu menampilkan ekspresi menggemaskan. Saat Pak Reihan mengangkat sendok berisi mie dan pentolannya yang sudah berbentuk kecil itu mendekat ke mulutnya, Boram menatapnya tanpa kedip. Dilahapnya dalam sekali bukaan mulut, mengunyahnya nikmat lalu manik mata itu menemukan keterkesimaan Boram. Seulas senyum macho nampak di sudut bibir yang masih sibuk mengunyah itu.O EM GI. "Dimakan baksonya Bu. Jangan melamun. Nanti kalau baksonya dingin, rasanya jadi nggak enak."Boram gelagapan, reflek mengangguk dan dengan grogi mengambil sebotol kecap di dekat tangan Pak Reihan. Sangking deg-degannya, botol itu sampa
Reihan menghentikan motor besarnya di parkiran cafe yang sedang ramai. Boram turun dan melepas helm yang tadi baru saja di belinya bersama Reihan. Boram melangkah mundur dan mengangkat kepalanya untuk melihat nama cafe yang terpampang jelas di depan bangunan minimalis dua lantai itu seraya memeluk helm pinknya.Black n White Cafe."Cafe ini yang mengelola sahabat saya,Bu. Bukan pemiliknya sih tapi dia yang bertanggung jawab penuh," kata Reihan yang sudah berdiri di samping Boram ketika melihat arah pandangannya lalu mengambil helm pink miliknya dan meletakkannya di atas jok motor."Oh, saya kira mau di ajak nongkrong gitu Pak," kekehnya. Reihan menatap Boram yang langsung panik dan menggeleng, "Saya bercanda kok, Pak. Hehe." Reihan tertawa melihat tingkah kikuknya. Mereka berjalan bersisian masuk ke dalam cafe yang memang nuansanya serba hitam dan putih. Cafe nyaman dan tenang dengan lantunan musik Jazz menggema di seluruh ruangan. Ornamen pendukung cafe yang pas tata letak dan ju
Boram duduk di halte dekat pasar sambil memijit pangkal kakinya yang terasa pegal. Tadi dia sudah bertemu dengan pengelola cafe dan mendapatkan pekerjaan sebagai seorang kasir part time di sana dan bisa mulai bekerja mulai besok setelah pulang mengajar. Boram senang banget karena dengan bantuan Reihan dia bisa cepat mendapat pekerjaan. Setelah dari Cafe, Boram memilih minta di turunkan di pasar tidak jauh dari komplek perumahannya untuk membeli beberapa bahan masakan untuk nanti malam sedangkan Reihan langsung berbalik arah dan pulang. Sekarang Boram merasa lelah setelah memutari pasar membeli banyak bahan masakan. Dua kresek putih besar dan helm pinknya tergeletak di samping tubuhnya.Sialnya, hujan tiba-tiba saja turun dan semakin deras memaksa Boram yang lupa membawa payung harus berteduh di halte. Langit semakin menggelap membuat malam terlihat datang lebih cepat dari seharusnya. Padahal masih jam lima sore.Boram memilih menunggu karena kalau dia nekat sudah bisa dipastikan samp
Samudra menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan menerawang. Seluruh tubuhnya tertutup selimut yang tebal untuk menghalau dingin akibat dari kegiatan hujan-hujanannya tadi. Hanya ada satu nama di dalam kepalanya. Sosok guru matematika yang menarik hatinya sejak pertama kali mereka bertemu.Sebelum ini Samudra masa bodoh dengan yang namanya perempuan. Entah kenapa Bu Boram berbeda. Dia juga tidak mengerti dengan sikapnya jika sudah berhadapan dengan wanita itu. Yang menarik sejak pertemuan pertama mereka yang membuat Samudra tidak bisa berhenti membayangkannya adalah tatapan matanya.Bulat, hitam, memperdaya tapi terkesan kesepian.Kenapa Samudra bisa tahu karena selam ini dia hidup dengan seseorang yang juga memiliki tatapan mata seperti itu. "Sam, kamu sudah tidur?" Suara di luar kamarnya mengagetkannya."Belum,Mam," suaranya yang serak terasa tidak sampai ke pintu. Namun pintu itu tetap terbuka menampilkan Mama cantiknya yang membawa teh hangat dan obat. "Mama heran..." Ma
Boram keluar dari ruang guru mengarah ke toilet khusus staf sebelum memulai sesi mengajar pelajaran pertama dengan langkah pelan. Bel masuk belum berbunyi, jadi koridor kelas masih ramai dengan para siswa dan siswi yang berdatangan dan mengobrol heboh. Boram tersenyum merasakan semua atmosfir masa muda di sekelilingnya. Betapa menyenangkannya masa-masa SMA yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Semua momen yang lambat laun membentuk pengalaman hidup yang bisa menentukan masa depan dan kedewasaan. Momen kebahagiaan sekaligus kesakitan.Kita berhak menentukan ingin memiliki momen yang seperti apa.Boram berbelok masuk ke dalam toilet yang kosong, melihat sekilas penampilannya yang rapi seperti biasanya di kaca. Kerutan nampak di dahinya, dia mendekat sedikit dan menekan-nekan sembab di area matanya lalu menghela napas. Semalam dia menangis. Rindu dengan Kang Mas Kelana. Ekspresi wajahnya membuatnya terpaku. Terlihat jelas perubahan yang terjadi semenjak Mas Kelana pergi. Boram merasa
Bel istirahat berbunyi nyaring. Bersamaan dengan Boram yang selesai menutup sesi mengajarnya, merapikan tumpukan soal dan jawaban para muridnya yang sudah berhamburan keluar di atas tumpukan buku-buku mengajarnya. "Sam, aku mau ke kantin sama Risa. Kamu titip kerupuk koin seperti biasanya kan?""Hmm." Samudra bergumam. Boram masih sibuk membereskan bawaannya membelakangi kasak kusuk mereka berdua. "Ini duitnya. Tapi ingat, ke sana nggak pake lari ya. Pegangan sama Risa. Awas kedorong-dorong. Suruh aja si Risa yang ngantri. Jangan kamu."Uhh, protective banget sih terus ngomongnya pake aku-kamu lagi, desah Boram."Ishh, Sam bawel. Aku sudah tahu. Ya udah mana sini uangnya. Kamu tunggu ya. Jangan kemana-mana.""Iya."Boram berbalik dengan membawa tumpukan bukunya saat Ratu melintas di depannya seraya tersenyum, "Permisi ya Bu." Boram mengangguk, "Iya."Setelah Ratu berlalu, Boram berusaha untuk tidak mempedulikan tatapan Samudra yang ternyata sudah berpindah duduk di atas mejanya."Mb
Samudra menggendongnya erat dan meletakkannya di sandaran jok yang sedikit dia landaikan agar Ratu yang merintih merasa nyaman. "Kamu baru ditinggal sebentar kenapa bisa jatuh sih?" Gerutunya.Samudra mundur dan menoleh ke Risa, "Ris, lo bawa tasnya Ratu ya. Nanti gue ambil."Risa mengangguk. Samudra segera menutup pintu mobil dan berlari ke kursi kemudi. Tangannya bergetar karena panik menghidupkan mesin mobil. Di lihatnya sekilas Ratu yang mengeluarkan darah dari hidungnya. Samudra mengambil tisu dan menekan, membersihkan noda merah itu. Ratu mengambil alih tisu itu untuk menahan darahnya yang keluar.Samudra memegang kemudi dan menjalankan mobil canggih itu keluar dari area parkir. Sekilas, dari kaca spion luar, Samudra melihat sosok pujaan hatinya berdiri memandangi ke arahnya dengan ekspresi aneh. Samudra menghela napas dan berbelok, keluar dari sekolah.Prioritasnya saat ini hanya Ratu. Sam berkonsentrasi pada jalanan dengan tangan kiri yang mengotak atik sesuatu di perangkat el
Boram sudah memutuskan kalau Black n White Cafe ini menjadi cafe favoritnya. Desain interior dan suasananya membuat pangunjung merasa nyaman duduk berjam-jam sambil mengobrol atau sekedar mengerjakan tugas di depan laptop. Harga makanan yang ada bisa dibilang masih dalam standar. Murah dan enak. Dengan aneka menu hidangan dari makanan ringan sampai yang berat. Semuanya recomended.Boram sudah berada di balik meja kasir selama tiga jam. Langit di luar sudah menggelap dan bagian dalam cafe berubah menjadi lebih romantis lagi. Cantik dengan hiasan lampion dan lilin hias. Hanya di bagian indoor karena untuk outdoor tetap dibiarkan terang. Seakan-akan ada dua dimensi di cafe ini.Yang lebih keren lagi, setiap malam akan ada penampilan live music. Entah itu band indie atau penyanyi cafe yang memang sering tampil di sini. Boram sudah tidak sabar untuk melihatnya. Fix, Boram suka banget cafe keren ini dan dia yakin akan betah bekerja sesuai dengan yang dikatakan oleh Pak Rei. Bosnya juga ba