Dari pada menatap semangkok bakso yang masih mengepul panas di depannya, Boram lebih memilih memandangi sang guru olahragawan seksi – Reihan – yang sibuk memotong pentolan bakso menjadi beberapa bagian.
Menatap otot tangannya yang menonjol kekar bergerak-gerak seirama dengan kegiatannya memotong. Menatap betapa seriusnya si seksi sibuk dengan baksonya. Menatap bagaimana wajah tampan itu menampilkan ekspresi menggemaskan. Saat Pak Reihan mengangkat sendok berisi mie dan pentolannya yang sudah berbentuk kecil itu mendekat ke mulutnya, Boram menatapnya tanpa kedip. Dilahapnya dalam sekali bukaan mulut, mengunyahnya nikmat lalu manik mata itu menemukan keterkesimaan Boram. Seulas senyum macho nampak di sudut bibir yang masih sibuk mengunyah itu.O EM GI. "Dimakan baksonya Bu. Jangan melamun. Nanti kalau baksonya dingin, rasanya jadi nggak enak."Boram gelagapan, reflek mengangguk dan dengan grogi mengambil sebotol kecap di dekat tangan Pak Reihan. Sangking deg-degannya, botol itu sampai terjatuh. Dengan sigap, Boram mengambilnya kembali bersamaan dengan tangan kekar itu yang menbantunya. Kedua tangan mereka bersentuhan. Owww.Hangat. Seketika wajah Boram rasanya sudah semerah tomat. Boram menarik tangannya membiarkan Reihan yang meletakkanya di samping mangkuknya."Makasih Pak.""Sama-sama Bu. Apa anak-anak di kelas tadi membuat ulah? Sepertinya Bu Boram sedang tidak fokus." Reihan menatap seksama Boram yang memilih menyibukkan diri dengan kecapnya. "Aneh. Biasanya kalau pelajaran matematika, mereka anteng.""Apa karena ada Samudra Pak? Mereka bersikap tenang sih memang. Saya awalnya heran. Tapi tahulah kenapa, pasti takut sama Samudra."Pak Reihan tertawa. Kembali fokus dengan baksonya. Boram tanpa sadar menghela napasnya."Iya. Samudra memang mengancam mereka. Ada gunanya juga sisi berandalnya di kelas."Boram tertawa menanggapi lalu menatap Reihan serius."Dia itu—" Boram meletakkan sendoknya dan melipat lengan di atas meja, "berandalan yang tidak seperti berandalan."Reihan tersenyum dan mengangguk. Boram merapikan rambutnya yang terjuntai ke belakang telinga."Mana ada berandalan yang serius dengan matematika. Duduk di deretan paling depan. Fokus dan tidak teralihkan. Biasanya kan anak-anak berandalan itu masa bodoh Pak.""Coba aja dekati dia Bu supaya tahu kenapa.""Jangan ah Pak. Bahaya." Boram menyendokkan baksonya masuk ke dalam mulut. Reihan menaikkan alisnya dan menyerumput segelas teh manis sambil menatap Boram. Siang ini mereka berada di kedia bakso depan sekolah. Bukan di kantin tapi di luar area sekolah. Selepas mengajar tadi dia memiliki waktu mengevaluasi hasil soal anak didiknya sampai jam istirahat kedua berbunyi dan tidak menyangka saat Pak Reihan menghampirin. Ternyata ajakannya memang serius."Bahaya kenapa?"Boram menelan makanannya, "Nggak apa-apa Pak.""Samudra memang berandalan Bu tapi dia tidak akan membahayakan atau mengancam Bu Boram. Tenang saja."Boram tertawa. Menyendokkan lagi baksonya. Rasanya nikmat kalau makan berdua.Reihan menyerumput es teh manisnya, "Jadi Bu Boram tinggal sendirian di kota ini?"Boram mengangguk. "Iya Pak. Mau mencari pengalaman. Siapa tahu memang di sini jadi tujuan akhir saya menetap.""Nggak takut sendirian Bu?" "Ya takut sih tapi mau gimana lagi. Saya menjalaninya pelan-pelan aja.""Saya salut sama Ibu. Berani merantau sendirian." Boram tersipu. Reihan memperhatikan lekat. Boram deg-degan akut. "Kalau misalnya ada apa-apa Bu, hubungi saja saya. Siap kapanpun di butuhkan. Biar tengah malam sekalipun misalkan ada keadaan darurat."Boram terkesima. Reihan tersenyum macho. Boram seketika bahagia. "Terimakasih Pak. Itu berarti banyak buat saya.""Sama-sama."Mereka lalu diam menghabiskan bakso masing-masing. Boram makan sambil senyum-senyum sendiri saat tiba-tiba dia teringat sesuatu."Ah ya Pak. Apa Pak Reihan punya info lowongan kerja part time gitu?"Alis tebal Reihan terangkat. Di letakkannya sendok dan garpu di dalam mangkok bakso yang kosong dan menggesernya menjauh."Part time? Buat Bu Boram?""Iya. Untuk menghilangkan bosan di rumah. Saya sudah coba nawarin jasa les privat buat anak-anak kompleks tapi untuk hari sabtu-minggu aja. Setelah pulang ngajar, saya bingung mau ngapain lagi.""Nggak capek Bu?""Capek gimana Pak. Saya masih muda, masih kuat kerja.""Juga masih cantik."Boram langsung merona. Reihan berdeham dan tersenyum, "Saya carikan nanti Bu. Mungkin adanya di cafe atau restoran gitu nggak apa-apa ya?""Nggak apa-apa Pak. Yang penting halal."Reihan tertawa dan mengangguk. "Oke.""Makasih Pak.""Sama-sama Bu. Habiskan baksonya. Kalau mau nambah lagi boleh kok.”Boram menggeleng dan tertawa. "Saya sudah kekenyangan Pak.Boram ingin memuji kebaikan Reihan, tapi ucapannya menggantung di sudut lidah saat di lihatnya di luar kedai bakso, seorang cowok memakai hoodie dan slayer menutupi separuh wajahnya berdiri di jalan masuk kedai memperhatikan Boram.Reihan yang posisinya membelakangi tidak melihat apa yang Boram lihat. Hanya lima menit pandangan mereka beradu, cowok itu berbalik pergi dan menghilang. Bukan masuk ke dalam area sekolah tapi menjauh dari sana. Boram berniat berdiri tapi tidak jadi. Samudra?***
Sudah sejak setengah jam setelah bel pulang sekolah berbunyi, Boram masih saja nampak gelisah memandangi pintu ruang guru. Menunggu seseorang datang menghadapnya. Diedarkan pandangan ke sekitarnya dan melihat masih ada beberapa guru yang sibuk dengan lembaran soal siswa. Boram menatap mejanya sendiri yang sudah bersih hanya terdapat tas kerjanya.
Boram merapikan rambutnya dan melihat lagi jam di tangannya seraya menghela napas. Saat diyakin Samudra tidak akan datang memenuhi panggilannya, dia berdiri dan mengamit tas kerjanya bersamaan dengan kedatangan Reihan ke dalam menuju pantry di sudut ruangan tapi langkahnya terhenti saat melihat Boram."Loh Bu, belum pulang?"Boram berjalan pelan menghampiri, "Ini baru mau pulang Pak. Duluan ya Pak Reihan."Reihan menahan langkah Boram, "Kebetulan.Tungguin saya kalau gitu Bu. Biar saya antar. Sekalian ada yang ingin saya beritahu. Bagaimana?"Boram mengerjapkan matanya, "Nggak usah Pak. Nanti merepotkan.""Nggak Bu. Saya mau ajak ke sesuatu tempat dulu."Boram terdiam dengan berbagai macam prasangka indah. Mau di ajak nonton bioskop kah? Atau kencan di kedai es krim?"Mau kemana ya Pak?"Reihan membereskan mejanya yang terletak di bagian depan tidak jauh dari posisi Boram berdiri seraya tersenyum."Nanti Bu Boram tahu sendiri. Atau—" Reihan menghentikan gerak tangannya dan menatap seksama Boram yang terdiam. "Bu Boram sudah punya acara lain setelah ini?"Boram reflek menggeleng. Terlalu bersemangat malah."Nggak Pak. Saya kan sudah bilang kalau setelah pulang ngajar, nggak punya kerjaan lain." Reihan mengangguk, mengambil kunci dari laci mejanya dan menarik jaket kulitnya. "Ayo Bu.""Iya Pak."Mereka berjalan bersisian menuju ke area parkir khusus motor dan Boram memilih berdiri diam di dekat pintu gerbang menunggu dan memperhatikan Reihan mengeluarkan motor besarnya yang nampak gagah. Seperti orangnya. Untung saja hari ini dia memakai celana dan membawa flatshoesnya. Meskipun nggak ada acara lari-larian lagi bersama Samudra tapi berguna untuk naik ke gonjengan motor besar itu. Boram memperhatikan lekat Pak Reihan yang memakai jaketnya, mengancingkannya sampai ke area leher lalu mengambil helm fullfacenya seraya menggerakkan kepalanya agar rambut undercutnya semakin berantakan, menyisirnya ke belakang dengan satu tangan dan memakai helmnya.Boram seakan menatap Valentino Rossi di depan sana. Tanpa kedip dengan efek slow motion."Ayo Bu, naik." Entah sejak kapan motor dengan si Valentino Rossi versi KW nya sudah berada di depannya. Boram gelagapan dan mengangguk."Ah, iya Pak." Boram berputar ke sisi satunya. "Besar ya Pak motornya." Reihan terkekeh seraya menoleh ke belakang saat tangan Boram berpegangan di pundaknya untuk bisa naik ke atas. "Biar sesuai dengan orangnya Bu. Besar.""Oke Bu. Sudah dapat posisi enak? Kita pergi sekarang ya?" "Iya Pak. Jangan laju-laju ya Pak."Reihan mengacungkan jempolnya ke belakang bersamaan dengan suara gas yang di tarik sangar dan motor melaju keluar dari area parkir menuju ke jalan besar di depan. Otomatis tubuh Boram langsung melesak ke depan seakan ingin menempel pada punggung lebar itu. Motor berbelok ke jalan besar melewati halte bus dan saat itu entah kenapa Boram menolehkan kepalanya ke arah sana dengan rambut yang berkibar-kibar dan terkejut menemukan Samudra duduk diam di sana. Cowok itu berdiri saat melihatnya dan menatapnya datar. Boram tidak bisa mengalihkan pandangan sampai sosok di halte itu mengecil dan tidak terlihat lagi.Boram menatap lurus ke depan dengan berbagai macam pertanyaan, apa Samudra menunggunya di sana?***
Reihan menghentikan motor besarnya di parkiran cafe yang sedang ramai. Boram turun dan melepas helm yang tadi baru saja di belinya bersama Reihan. Boram melangkah mundur dan mengangkat kepalanya untuk melihat nama cafe yang terpampang jelas di depan bangunan minimalis dua lantai itu seraya memeluk helm pinknya.Black n White Cafe."Cafe ini yang mengelola sahabat saya,Bu. Bukan pemiliknya sih tapi dia yang bertanggung jawab penuh," kata Reihan yang sudah berdiri di samping Boram ketika melihat arah pandangannya lalu mengambil helm pink miliknya dan meletakkannya di atas jok motor."Oh, saya kira mau di ajak nongkrong gitu Pak," kekehnya. Reihan menatap Boram yang langsung panik dan menggeleng, "Saya bercanda kok, Pak. Hehe." Reihan tertawa melihat tingkah kikuknya. Mereka berjalan bersisian masuk ke dalam cafe yang memang nuansanya serba hitam dan putih. Cafe nyaman dan tenang dengan lantunan musik Jazz menggema di seluruh ruangan. Ornamen pendukung cafe yang pas tata letak dan ju
Boram duduk di halte dekat pasar sambil memijit pangkal kakinya yang terasa pegal. Tadi dia sudah bertemu dengan pengelola cafe dan mendapatkan pekerjaan sebagai seorang kasir part time di sana dan bisa mulai bekerja mulai besok setelah pulang mengajar. Boram senang banget karena dengan bantuan Reihan dia bisa cepat mendapat pekerjaan. Setelah dari Cafe, Boram memilih minta di turunkan di pasar tidak jauh dari komplek perumahannya untuk membeli beberapa bahan masakan untuk nanti malam sedangkan Reihan langsung berbalik arah dan pulang. Sekarang Boram merasa lelah setelah memutari pasar membeli banyak bahan masakan. Dua kresek putih besar dan helm pinknya tergeletak di samping tubuhnya.Sialnya, hujan tiba-tiba saja turun dan semakin deras memaksa Boram yang lupa membawa payung harus berteduh di halte. Langit semakin menggelap membuat malam terlihat datang lebih cepat dari seharusnya. Padahal masih jam lima sore.Boram memilih menunggu karena kalau dia nekat sudah bisa dipastikan samp
Samudra menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan menerawang. Seluruh tubuhnya tertutup selimut yang tebal untuk menghalau dingin akibat dari kegiatan hujan-hujanannya tadi. Hanya ada satu nama di dalam kepalanya. Sosok guru matematika yang menarik hatinya sejak pertama kali mereka bertemu.Sebelum ini Samudra masa bodoh dengan yang namanya perempuan. Entah kenapa Bu Boram berbeda. Dia juga tidak mengerti dengan sikapnya jika sudah berhadapan dengan wanita itu. Yang menarik sejak pertemuan pertama mereka yang membuat Samudra tidak bisa berhenti membayangkannya adalah tatapan matanya.Bulat, hitam, memperdaya tapi terkesan kesepian.Kenapa Samudra bisa tahu karena selam ini dia hidup dengan seseorang yang juga memiliki tatapan mata seperti itu. "Sam, kamu sudah tidur?" Suara di luar kamarnya mengagetkannya."Belum,Mam," suaranya yang serak terasa tidak sampai ke pintu. Namun pintu itu tetap terbuka menampilkan Mama cantiknya yang membawa teh hangat dan obat. "Mama heran..." Ma
Boram keluar dari ruang guru mengarah ke toilet khusus staf sebelum memulai sesi mengajar pelajaran pertama dengan langkah pelan. Bel masuk belum berbunyi, jadi koridor kelas masih ramai dengan para siswa dan siswi yang berdatangan dan mengobrol heboh. Boram tersenyum merasakan semua atmosfir masa muda di sekelilingnya. Betapa menyenangkannya masa-masa SMA yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Semua momen yang lambat laun membentuk pengalaman hidup yang bisa menentukan masa depan dan kedewasaan. Momen kebahagiaan sekaligus kesakitan.Kita berhak menentukan ingin memiliki momen yang seperti apa.Boram berbelok masuk ke dalam toilet yang kosong, melihat sekilas penampilannya yang rapi seperti biasanya di kaca. Kerutan nampak di dahinya, dia mendekat sedikit dan menekan-nekan sembab di area matanya lalu menghela napas. Semalam dia menangis. Rindu dengan Kang Mas Kelana. Ekspresi wajahnya membuatnya terpaku. Terlihat jelas perubahan yang terjadi semenjak Mas Kelana pergi. Boram merasa
Bel istirahat berbunyi nyaring. Bersamaan dengan Boram yang selesai menutup sesi mengajarnya, merapikan tumpukan soal dan jawaban para muridnya yang sudah berhamburan keluar di atas tumpukan buku-buku mengajarnya. "Sam, aku mau ke kantin sama Risa. Kamu titip kerupuk koin seperti biasanya kan?""Hmm." Samudra bergumam. Boram masih sibuk membereskan bawaannya membelakangi kasak kusuk mereka berdua. "Ini duitnya. Tapi ingat, ke sana nggak pake lari ya. Pegangan sama Risa. Awas kedorong-dorong. Suruh aja si Risa yang ngantri. Jangan kamu."Uhh, protective banget sih terus ngomongnya pake aku-kamu lagi, desah Boram."Ishh, Sam bawel. Aku sudah tahu. Ya udah mana sini uangnya. Kamu tunggu ya. Jangan kemana-mana.""Iya."Boram berbalik dengan membawa tumpukan bukunya saat Ratu melintas di depannya seraya tersenyum, "Permisi ya Bu." Boram mengangguk, "Iya."Setelah Ratu berlalu, Boram berusaha untuk tidak mempedulikan tatapan Samudra yang ternyata sudah berpindah duduk di atas mejanya."Mb
Samudra menggendongnya erat dan meletakkannya di sandaran jok yang sedikit dia landaikan agar Ratu yang merintih merasa nyaman. "Kamu baru ditinggal sebentar kenapa bisa jatuh sih?" Gerutunya.Samudra mundur dan menoleh ke Risa, "Ris, lo bawa tasnya Ratu ya. Nanti gue ambil."Risa mengangguk. Samudra segera menutup pintu mobil dan berlari ke kursi kemudi. Tangannya bergetar karena panik menghidupkan mesin mobil. Di lihatnya sekilas Ratu yang mengeluarkan darah dari hidungnya. Samudra mengambil tisu dan menekan, membersihkan noda merah itu. Ratu mengambil alih tisu itu untuk menahan darahnya yang keluar.Samudra memegang kemudi dan menjalankan mobil canggih itu keluar dari area parkir. Sekilas, dari kaca spion luar, Samudra melihat sosok pujaan hatinya berdiri memandangi ke arahnya dengan ekspresi aneh. Samudra menghela napas dan berbelok, keluar dari sekolah.Prioritasnya saat ini hanya Ratu. Sam berkonsentrasi pada jalanan dengan tangan kiri yang mengotak atik sesuatu di perangkat el
Boram sudah memutuskan kalau Black n White Cafe ini menjadi cafe favoritnya. Desain interior dan suasananya membuat pangunjung merasa nyaman duduk berjam-jam sambil mengobrol atau sekedar mengerjakan tugas di depan laptop. Harga makanan yang ada bisa dibilang masih dalam standar. Murah dan enak. Dengan aneka menu hidangan dari makanan ringan sampai yang berat. Semuanya recomended.Boram sudah berada di balik meja kasir selama tiga jam. Langit di luar sudah menggelap dan bagian dalam cafe berubah menjadi lebih romantis lagi. Cantik dengan hiasan lampion dan lilin hias. Hanya di bagian indoor karena untuk outdoor tetap dibiarkan terang. Seakan-akan ada dua dimensi di cafe ini.Yang lebih keren lagi, setiap malam akan ada penampilan live music. Entah itu band indie atau penyanyi cafe yang memang sering tampil di sini. Boram sudah tidak sabar untuk melihatnya. Fix, Boram suka banget cafe keren ini dan dia yakin akan betah bekerja sesuai dengan yang dikatakan oleh Pak Rei. Bosnya juga ba
Boram sudah bersiap untuk pulang karena shiftnya hanya sampai jam sembilan malam. Akan ada pegawai lelaki lain yang menggantikan sampai cafe tutup jam 1 malam nanti. Boram mengambil tas dan memakai jaket jeansnya. Keket sudah pulang duluan di jemput sama mas bojonya jadi Boram berada sendirian di ruang ganti. Setelah menutup pintu lokernya, Boram berjalan melewati dapur mengarah ke pintu samping, pintu khusus pegawai. Dia akan keluar lewat sana. Hal pertama yang menyambutnya ketika dia membuka pintu adalah angin malam yang berhembus kencang. Parkiran nampak sepi tapi tidak gelap karena penerangan di sana cukup terang. Boram merapatkan jaket dan memakai tudungnya berjalan pelan mengarah ke halte bus di pinggir jalan besar.Baru berjalan beberapa langkah, lengannya di tarik seseorang dari belakang hingga tubuhnya berputar. Samudra tersenyum di sana. “Jangan pulang sendirian Mbak, sama aku aja.” “Kamu sudah selesai nyanyinya?” “Sudah. Biar digantikan yang lain.” Boram mengangguk, me