Samudra menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan menerawang. Seluruh tubuhnya tertutup selimut yang tebal untuk menghalau dingin akibat dari kegiatan hujan-hujanannya tadi. Hanya ada satu nama di dalam kepalanya. Sosok guru matematika yang menarik hatinya sejak pertama kali mereka bertemu.
Sebelum ini Samudra masa bodoh dengan yang namanya perempuan. Entah kenapa Bu Boram berbeda. Dia juga tidak mengerti dengan sikapnya jika sudah berhadapan dengan wanita itu. Yang menarik sejak pertemuan pertama mereka yang membuat Samudra tidak bisa berhenti membayangkannya adalah tatapan matanya.Bulat, hitam, memperdaya tapi terkesan kesepian.Kenapa Samudra bisa tahu karena selam ini dia hidup dengan seseorang yang juga memiliki tatapan mata seperti itu. "Sam, kamu sudah tidur?" Suara di luar kamarnya mengagetkannya."Belum,Mam," suaranya yang serak terasa tidak sampai ke pintu. Namun pintu itu tetap terbuka menampilkan Mama cantiknya yang membawa teh hangat dan obat. "Mama heran..." Mamanya duduk di tepi ranjang seraya menggelengkan kepala, "sore kamu pamit keluar bawa payung katanya mau beli obat tapi kenapa baru pulang larut malam, basah kuyup dan melupakan di mana payungmu berada." Samudra bangkit duduk masih sambil merapatkan selimutnya dan nyengir. Mamanya meletakkan telapak tangannya di dahinya dan menggeleng. "Akibatnya jadi demam begini."Samudra menerima sodoran gelas teh hangat dan satu tablet obat penurun demam yang langsung dia minum dan menghabiskan tehnya."Sekarang ceritakan!" Desak Mamanya."Nanti aja Mam. Tenggorokannya Sam rasanya sakit kalau bicara." Mamanya menghela napas. Samudra tersenyum, "Mama tumben belum tidur. Banyak jahitan?"Mamanya menggeleng. "Nggak juga. Sudah selesai semua dari tadi sore kok. Ini mau istirahat. Kamu tidur ya. Besok kalau masih demam nggak usah sekolah dulu.""Nggak bisa Mam, Samudra harus sekolah."Alis Mamanya naik menatapnya heran. "Tumben?""Ada pelajaran matematika." Mamanya menghela napas dan mengacak rambut anaknya gemas. "Kamu berusaha keras untuk satu hal itu ya.""Sam hanya ingin membuktikan kalau Sam pasti bisa kalau berusaha." "Mama tahu. Kemampuanmu sudah meningkat. Tapi jangan semata-mata hanya untuk memenuhi egomu agar bisa diakui,Sam. Kita lebih bahagia seperti ini.""Sam bahagia tapi Mama tidak. Sam akan membuktikan kalau Sam bisa jadi anak yang berguna. Sam nggak mau melihat Mama yang kesepian seperti ini.""Kamu adalah dosa sekaligus anugrah dari Tuhan Sam."Sam bungkam, memeluk tubuhnya yang semakin dingin di dalam selimutnya yang hangat. Mamanya mendekat dan memeluknya. "Kamu lebih berharga dari harta, Sam."Samudra memejamkan matanya. Dia bertekad akan melakukan apapun agar mata Mamanya kembali hidup. Juga tambahan lagi satu keinginan dalam hatinya sejak dia bertemu dengan Boram.Semoga suatu hari nanti dia pantas menjadi pendamping wanita itu dan membuat matanya kembali bercahaya.***
"Pu-tus."
"Iya, putus."Wanita berambut blonde dengan hiasan tebal itu ternganga tidak percaya. Matanya mengerjap dan memajukkan tubuhnya mendekat ke arah sang pacar yang tidak ada angin tidak ada hujan minta putus tiba-tiba."Alasannya?""Kamu wanita matre."Wanita itu lebih dari shock. Bukan ingin membantah tapi lebih merasa heran kenapa setelah setengahe tahun hubungan mereka terjalin, lelaki di hadapannya ini baru sadar. Apa belakangan ini dia meminta sesuatu yang berlebihan? Rasa-rasanya tidak.Seminggu yang lalu dia hanya minta jalan-jalan keliling Eropa dan pacarnya ini mengabulkannya tanpa protes."Jangan bercanda." Wanita itu tertawa sumbang dan meminum winenya sampai habis.Lelaki itu berdecak, "Aku sama sekali tidak bercanda. Aku tidak akan mengungkit atau mempermasalahkan tentang uang yang telah kamu hamburkan selama ini tapi aku hanya meminta kita putus dan jangan lagi menemuiku atau muncul di depanku.""Aku tidak mau!!"Alis lelaki itu terangkat. Kedua lengannya dilipat di depan dada, duduk bersandar. "Apa kamu takut tidak lagi memiliki sumber uang untuk shopping, holiday dan semua pengeluaranmu?""Bukan hanya itu tapi ini tidak masuk akal. Kita selama ini baik-baik saja dan kenapa kamu tiba-tiba malah minta putus dan mencampakkanku seperti ini?" Wanita itu menyimpitkan matanya. "Apa kamu memiliki wanita lain?""Ck, itu bukan urusanmu. Jadi kita buat kesepakatan—" Lelaki itu memajukan tubuhnya dan mengetukkan jari telunjuknya di atas meja mahoni itu. "Lebih baik kamu menyetujui permintaanku atau sekretarisku akan mengirimkan semua tagihan pengeluaranmu beberapa bulan ini."Wanita itu murka, dia berdiri dan mengambil gelas wine milik mantan pacarnya dengan emosi tinggi."DASAR BRENGSEK LO ARBIAN!"Seketika Arbian terkena siraman rohani dalam bentuk segelas wine merah pekat hingga wajah dan kemeja mahalnya ternoda. Wanita itu melipat kedua lengannya dengan hidung kembang kempis emosi."Aku membencimu dan semoga suatu hari nanti kamu akan mendapatkan karmanya. Tetap menjadi duda selama bertahun-tahun."Setelah itu, dia pergi dari sana dengan suara heels-nya yang mengehentak keluar dari bar meninggalkan Arbian yang menghela napas seraya membersihkan wajahnya.Hanya demi satu nama. Arbian mengambil ponsel dan membuka galerinya melihat satu foto mode candid. Arbian tersenyum.Boram.***
"Siapa ya laki-laki itu?"
Boram yang masih mengenakan mukena putihnya merebahkan diri di atas tempat tidur nampak mencoba mencari ingatan tentang sosok laki-laki bernama Arbian yang sapu tangannya ditinggalkan begitu saja padanya. Mau dibiarkan di sana tapi Boram tidak enak jadi mau tidak mau Boram bawa pulang dan berniat mencucinya besok pagi.
"Tidak ada nama dengan ingatan laki-laki seperti dia sebelumnya," gumamnya,nampak yakin sekali dengan ingatannya.
Selama ini hanya ada Kang Mas Kelana yang menemaninya dan dia yakin akan ingat jika ada laki-laki seperti Arbian yang dulu pernah dia kenal.
"Coba lihat di kontak handphone,deh."
Boram mengambil ponsel, mencoba mencari di sederet nama yang ada di kontaknya namun tetap tidak ada.
"Ah, entahlah." Boram malah pusing sendiri karena bingung.
Tanpa sengaja dia menekan galeri ponselnya hingga terpampang beberapa fotonya dan almarhum suaminya hingga membuatnya kembali bersedih. Dia lihat satu demi satu hingga tidak sadar matanya sudah berkaca-kaca sampai pada foto pernikahan mereka yang begitu membahagiakan.
"Kang Mas..." Boram bermonolog sendiri. "Doakan aku supaya bisa melalui semua ini sendirian dengan baik. Aku..." Boram menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan isakannya tetap di dalam. Dia tidak mau menyalahkan takdir yang merenggut kebahagiaannya yang terasa sebentar dengan almarhum suaminya. "Aku sangat kehilanganmu."
Boram menggenggam ponselnya, memeluk guling dan membenamkan tubuhnya di sana hingga tidak menyadari rintik-rintik hujan yang perlahan mulai menderas.
Hingga beberapa waktu dia meresapi sakitnya mengenang almarhum dan diam mendnegarkan suara hujan dengan mata yang sayu karena habis menangis juga mengantuk.
"Siapa tahu nanti aku yang jadi suami Mbak berikutnya."
Boram tiba-tiba teringat dengan ucapan bocah sok dewasa itu yang membuatnya tertawa geli. Bagaimana bisa kata-kata itu keluar dari bocah SMA yang seharusnya sibuk mencari jati diri bukannya malah terpikat dengan gurunya sendiri.
Boram tersenyum, memilih untuk memejamkan mata sembari mendengar hujan yang menderas.
Samudra. Perjalananmu masih sangat jauh pikir Boram sebelum terlelap.
***
Boram keluar dari ruang guru mengarah ke toilet khusus staf sebelum memulai sesi mengajar pelajaran pertama dengan langkah pelan. Bel masuk belum berbunyi, jadi koridor kelas masih ramai dengan para siswa dan siswi yang berdatangan dan mengobrol heboh. Boram tersenyum merasakan semua atmosfir masa muda di sekelilingnya. Betapa menyenangkannya masa-masa SMA yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Semua momen yang lambat laun membentuk pengalaman hidup yang bisa menentukan masa depan dan kedewasaan. Momen kebahagiaan sekaligus kesakitan.Kita berhak menentukan ingin memiliki momen yang seperti apa.Boram berbelok masuk ke dalam toilet yang kosong, melihat sekilas penampilannya yang rapi seperti biasanya di kaca. Kerutan nampak di dahinya, dia mendekat sedikit dan menekan-nekan sembab di area matanya lalu menghela napas. Semalam dia menangis. Rindu dengan Kang Mas Kelana. Ekspresi wajahnya membuatnya terpaku. Terlihat jelas perubahan yang terjadi semenjak Mas Kelana pergi. Boram merasa
Bel istirahat berbunyi nyaring. Bersamaan dengan Boram yang selesai menutup sesi mengajarnya, merapikan tumpukan soal dan jawaban para muridnya yang sudah berhamburan keluar di atas tumpukan buku-buku mengajarnya. "Sam, aku mau ke kantin sama Risa. Kamu titip kerupuk koin seperti biasanya kan?""Hmm." Samudra bergumam. Boram masih sibuk membereskan bawaannya membelakangi kasak kusuk mereka berdua. "Ini duitnya. Tapi ingat, ke sana nggak pake lari ya. Pegangan sama Risa. Awas kedorong-dorong. Suruh aja si Risa yang ngantri. Jangan kamu."Uhh, protective banget sih terus ngomongnya pake aku-kamu lagi, desah Boram."Ishh, Sam bawel. Aku sudah tahu. Ya udah mana sini uangnya. Kamu tunggu ya. Jangan kemana-mana.""Iya."Boram berbalik dengan membawa tumpukan bukunya saat Ratu melintas di depannya seraya tersenyum, "Permisi ya Bu." Boram mengangguk, "Iya."Setelah Ratu berlalu, Boram berusaha untuk tidak mempedulikan tatapan Samudra yang ternyata sudah berpindah duduk di atas mejanya."Mb
Samudra menggendongnya erat dan meletakkannya di sandaran jok yang sedikit dia landaikan agar Ratu yang merintih merasa nyaman. "Kamu baru ditinggal sebentar kenapa bisa jatuh sih?" Gerutunya.Samudra mundur dan menoleh ke Risa, "Ris, lo bawa tasnya Ratu ya. Nanti gue ambil."Risa mengangguk. Samudra segera menutup pintu mobil dan berlari ke kursi kemudi. Tangannya bergetar karena panik menghidupkan mesin mobil. Di lihatnya sekilas Ratu yang mengeluarkan darah dari hidungnya. Samudra mengambil tisu dan menekan, membersihkan noda merah itu. Ratu mengambil alih tisu itu untuk menahan darahnya yang keluar.Samudra memegang kemudi dan menjalankan mobil canggih itu keluar dari area parkir. Sekilas, dari kaca spion luar, Samudra melihat sosok pujaan hatinya berdiri memandangi ke arahnya dengan ekspresi aneh. Samudra menghela napas dan berbelok, keluar dari sekolah.Prioritasnya saat ini hanya Ratu. Sam berkonsentrasi pada jalanan dengan tangan kiri yang mengotak atik sesuatu di perangkat el
Boram sudah memutuskan kalau Black n White Cafe ini menjadi cafe favoritnya. Desain interior dan suasananya membuat pangunjung merasa nyaman duduk berjam-jam sambil mengobrol atau sekedar mengerjakan tugas di depan laptop. Harga makanan yang ada bisa dibilang masih dalam standar. Murah dan enak. Dengan aneka menu hidangan dari makanan ringan sampai yang berat. Semuanya recomended.Boram sudah berada di balik meja kasir selama tiga jam. Langit di luar sudah menggelap dan bagian dalam cafe berubah menjadi lebih romantis lagi. Cantik dengan hiasan lampion dan lilin hias. Hanya di bagian indoor karena untuk outdoor tetap dibiarkan terang. Seakan-akan ada dua dimensi di cafe ini.Yang lebih keren lagi, setiap malam akan ada penampilan live music. Entah itu band indie atau penyanyi cafe yang memang sering tampil di sini. Boram sudah tidak sabar untuk melihatnya. Fix, Boram suka banget cafe keren ini dan dia yakin akan betah bekerja sesuai dengan yang dikatakan oleh Pak Rei. Bosnya juga ba
Boram sudah bersiap untuk pulang karena shiftnya hanya sampai jam sembilan malam. Akan ada pegawai lelaki lain yang menggantikan sampai cafe tutup jam 1 malam nanti. Boram mengambil tas dan memakai jaket jeansnya. Keket sudah pulang duluan di jemput sama mas bojonya jadi Boram berada sendirian di ruang ganti. Setelah menutup pintu lokernya, Boram berjalan melewati dapur mengarah ke pintu samping, pintu khusus pegawai. Dia akan keluar lewat sana. Hal pertama yang menyambutnya ketika dia membuka pintu adalah angin malam yang berhembus kencang. Parkiran nampak sepi tapi tidak gelap karena penerangan di sana cukup terang. Boram merapatkan jaket dan memakai tudungnya berjalan pelan mengarah ke halte bus di pinggir jalan besar.Baru berjalan beberapa langkah, lengannya di tarik seseorang dari belakang hingga tubuhnya berputar. Samudra tersenyum di sana. “Jangan pulang sendirian Mbak, sama aku aja.” “Kamu sudah selesai nyanyinya?” “Sudah. Biar digantikan yang lain.” Boram mengangguk, me
“Pak, mereka nggak akan berantem kan?” Boram menatap bergantian antara Pak Rei dengan Aron di kursi depan duduk terlalu maju di antara mereka dengan muka panik. Rei terkekeh, “Nggak Bu. Lagian Bu Boram sudah di amankan jadi mereka paling-paling langsung pulang. Mau ngapain lagi coba?” Boram mengigit ujung kukunya, “Duh salah saya apa ya Pak?” Aron menoleh dan tertawa, “Memangnya kamu ngapain mereka?” “Itu juga saya bingung. Padahal saya nggak ngapa-ngapain terus mereka kenapa bersikap begini.” Rei tertawa melihat kepolosan Boram. “Hanya satu kesalahan Bu Boram.” Boram langung menoleh ke Rei dan memegang lengan berotot itu panik, “Hah!! memangnya saya ngapain Pak?” Aron tertawa dan berdecak melipat lengannya di dada. Rei melirik Boram sekilas masih sambil fokus menyetir mobil, “Bu Boram buat mereka jatuh hati.” Boram melepaskan cekalannya dan menghela napas, “Itu di luar kuasa saya Pak.” Rei mengangguk, “Nggak apa-apa Bu. Saya kenal baik mereka berdua. Arbian baik kok dan Sa
Arbian mengetukkan jemarinya di atas meja kerjanya. Mencoba mencari cara untuk mendekati Boram secara halus karena kelihatannya Boram selalu berubah galak kalau melihatnya. Galak-galak makin cantik. Arbian melipat lengannya dan memutar tempat duduknya menghadap ke kaca bening di belakangnya melihat langit yang cerah.Boram pasti sedang mengajar sekarang.Ponsel di dalam sakunya bergetar. Arbian mengambilnya dan muncul nama keponakannya yang baru berumur empat tahun di sana. Bayi zaman sekarang bahkan sudah di modalin ponsel keren dan canggih gara-gara si mamak korban teknologi.Hebatnya lagi, si bayik bisa menggunakannya. Luar biasa memang!!!Arbian menghela napas dan menekan tanda jawab. Kalau Cipa yang menelepon pasti ada maunya."Halo, Cipa sayang.""Ooooo Iaaan," celotehan cadelnya terdengar. Arbian berusaha keras untuk menafsirkan, mengeja dan memahami apa saja perkataan gadis kecil itu."Kenapa sayang?""Ka Alan nangiss engeeeeng," katanya lagi."Hah? Alan? Nangis kenapa sayang?
Kalau di sekolah dia bisa berkelit dari Pak Rei, maka di cafe dia sama sekali tidak bisa kabur dari atasannya, Aron."Pak, yang kemarin itu saya cuma iseng aja kok nanya. Saya nggak tahu kalau Pak Rei punya calon istri. Saya jadi nggak enak sama bapak.”Tanpa terduga Aron tertawa. “Kamu masih nggak enak soal kemarin. Nggak apa-apa kok. Yang bisa jadi masalah itu kalau kamu sudah tahu dia punya calon istri tapi tetap mau –““Tidak Pak!” Boram menyela tegas, membuat Aron untuk sesaat kaget. “Sama sekali tidak ada.”Aron tertawa, “Kalau begitu tidak ada masalah di antara kita. Mungkin kamu sedikit menyalahartikan kebaikan Rei tapi dia itu orangnya memang seperti itu. Tapi dia bilang kok, melihat kondisimu saat ini yang marantau sendirian, dia ingin membantu sebisa mungkin. Bisa dibilang, dia sudah nganggep kamu seperti adiknya sendiri.”Boram terdiam sesaat, “Tapi Pak, saya ini janda. Persepsi orang-orang—”“Saya tahu. Tapi yang terpenting selama kita menjaga niat baik itu tetap baik unt