Samudra sedang gusar.Semalam dia harus menahan kekesalan saat tahu ternyata Boram sudah pulang duluan tanpa menunggunya ataupun membalas pesannya. Padahal isinya sudah sangat jelas kalau dia meminta Boram untuk menunggu sampai dia kembali menjemputnya untuk pulang bersama.Samudra sudah bergeges kembali ke cafe dengan terburu-buru setelah mengantar Ratu sampai rumahnya bahkan menolak tawaran Papa Ratu untuk mampir dan mengobrol. Bukannya apa, tapi dia hanya khawatir akan keselamatan Boram kalau wanita itu pulang sendirian malam-malam naik bus. Dia dengar daerah di sekitar sana sedang marak dengan aksi penjambretan.Samudra jelas harus ekstra menjaga Boram yang setiap hari harus berada di daerah situ. Kedatangan Ratu ke cafe juga tidak diperkirakannya sebelumnya. Entah ada angin apa, Ratu tiba-tiba datang menontonnya menyanyi tanpa memberitahukannya lebih dulu.Tidak seperti biasanya."Sam, kamu dengarin aku ngomong nggak sih?!" Ratu sedikit membentak.Sam yang sejak tadi asik ngunyah
Samudra dan cowok yang Boram ketahui bernama Samuel itu langsung di giring Pak Rei ke ruangan kepala sekolah karena berkelahi pada jam sekolah berlangsung. Boram tidak tega melihat wajah Sam yang babak belur akibat dari pukulan balasan Samuel. Padahal sebelumnya hanya perkara sepele tapi Boram tidak menduga akan berakhir adu jotos seperti itu.Boram bisa melihat kalau Sam sedang marah. Teriakannya dan panggilan namanya sama sekali tidak di dengarkan. Boram memijit pelipisnya dan menatap bayangan wajahnya di cermin di dalam toilet sekolah. Jam sekolah sudah selesai dan dia sudah bersiap-siap untuk pulang.Saat keluar dari toilet, lengannya di tahan oleh seseorang yang berdiri di samping pintu. Boram kaget mendapati Ratu berdiri dengan wajah dingin dan tatapan menusuk."Kenapa Ratu?" tanyanya. Ratu menatapnya lekat membuat Boram sedikit bergidik. Lalu cewek itu mendengus dan mengibaskan rambutnya."Ibu seharusnya sadar ya posisi dan status Bu Boram di sini itu apa."Boram jelas bingung
Samudra menunggu dalam diam di salah satu sudut cafe sendirian. Awalnya dia ingin menjemput Boram dan mengantarnya ke cafe tapi keadaan rumahnya tertutup dan sepi. Jadi Samudra memutuskan untuk menunggu di cafe.Samudra mengacak rambutnya saat panggilannya selalu terhubung ke operator. Dia gusar. Kalaupun memang Boram sedang sibuk setidaknya Samudra tahu dia ada dimana bukannya seperti ini."Ngapain kamu di sini? Bukannya bapak sudah suruh untuk libur aja dulu?" Tiba-tiba Rei yang hendak keluar setelah menemui Aron mendekat dan duduk di depannya."Nungguin Boram," jawab Sam malas.Rei menghela napasnya, "Jadi, ini bukan hanya sekedar cinta biasa?"Sam berdecak, "Geli banget dengarnya. Tapi aku tidak akan membantah. Aku mencintainya."Rei tertawa dan menggelengkan kepala lalu melipat lengannya memperhatikan Samudra yang serius dengan ucapannya."Kamu sadar nggak, kamu ini umur berapa sekarang?""Kenapa selalu umur yang jadi masalah di sini, hah?!" Samudra keki. "Itu hanya satu masal
Ada banyak hal di dunia ini yang tidak terduga bisa terjadi. Boram sangat tahu kalau takdir memang tidak adil tapi dia juga tahu kalau takdir bisa begitu teramat manis. Sebelum ini, Boram hidup membaur dengan anak-anak yang tidak beruntung. Dibesarkan oleh orang lain, dijadikan satu dengan anak-anak yang bernasib sama dengannya dan berjuang bersama demi hidup yang lebih baik ke depannya. Hanya bersama sekumpulan anak-anak yang kebetulan bernasib sama. Tragis. Tidak memiliki keluarga dan tidak pernah tersentuh kasih sayang orang tua.Boram tahu bagaimana rasanya sendirian. Berjuang mengandalkan dirinya sendiri untuk tetap bisa di pandang oleh dunia. Jadi dia tidak akan pernah menilai seseorang yang dikenalnya dari latar belakangnya ataupun silsilah keluarganya.Jadi, ketika Samudra mengatakan hal yang membuatnya penasaran beberapa hari ini, pikiran pertama yang melintas di dalam kepalanya hanyalah sedih. Lalu mengikuti bayangan hidup seperti apa yang selama ini di jalaninya. Boram le
Ada banyak hal di dunia ini yang tidak terduga bisa terjadi. Boram sangat tahu kalau takdir memang tidak adil tapi dia juga tahu kalau takdir bisa begitu teramat manis. Sebelum ini, Boram hidup membaur dengan anak-anak yang tidak beruntung. Dibesarkan oleh orang lain, dijadikan satu dengan anak-anak yang bernasib sama dengannya dan berjuang bersama demi hidup yang lebih baik ke depannya. Hanya bersama sekumpulan anak-anak yang kebetulan bernasib sama. Tragis. Tidak memiliki keluarga dan tidak pernah tersentuh kasih sayang orang tua.Boram tahu bagaimana rasanya sendirian. Berjuang mengandalkan dirinya sendiri untuk tetap bisa di pandang oleh dunia. Jadi dia tidak akan pernah menilai seseorang yang dikenalnya dari latar belakangnya ataupun silsilah keluarganya.Jadi, ketika Samudra mengatakan hal yang membuatnya penasaran beberapa hari ini, pikiran pertama yang melintas di dalam kepalanya hanyalah sedih. Lalu mengikuti bayangan hidup seperti apa yang selama ini di jalaninya. Boram le
Arbian berdiri di depan kaca bening kamar tidurnya memandangi lampu-lampu kota yang gemerlap dari apartemennya. Ada begitu banyak pikiran yang silih berganti di kepalanya tapi lebih banyak dia memikirkan Boram dan reaksinya saat tahu siapa dia sebenarnya.Arbian berbalik berjalan keluar dari kamar menuju ruangan kerjanya dan mengambil sebuah map yang tergeletak di atas meja. Map berisi artikel koran tentang kasus penbegalan dan pembunuhan di salah satu pelosok daerah yang melibatkan istri seorang pengusaha industri terkemuka dan anak perempuannya yang paling kecil.Arbian duduk di kursinya dan menghela napas.Mamanya dan adiknya yang paling kecil berusia lima belas tahun menjadi korbannya. Setelah berhasil di bawa masih dalam keadaan bernyawa ke rumah sakit nyatanya seminggu kemudian mereka di panggil yang Maha Kuasa. Arbian sangat terpukul karena seharusnya malam itu dialah yang mengantar mereka mencari rumah kerabat dekat Mama yang sudah lama dicarinya.Akibat itu jugalah ada seoran
Sabtu menjadi hari kebebasan bagi Boram.Berhubung sekolah libur, sejak pagi dia sudah sibuk membereskan rumah dan memasak juga menyiapkan aneka kue kecil untuk cemilan ringan murid lesnya nanti. Boram sangat bersemangat. Hal apa lagi yang bisa dilakukannya jika bukan hal-hal seperti ini supaya dia tidak menganggur saja di rumah sendirian. Walaupun nanti sore dia masih tetap harus pergi bekerja di cafe.Setelah semua kegiatan di dapur beres, Boram berpindah ke halaman depan rumahnya menyiapkan tempatnya. Boram meletakkan alas tikar yang dia beli beberapa hari yang lalu di bawah pohon mangga yang rindang untuk menghalau hawa matahari pagi yang hangat. Menyusun beberapa meja kayu panjang untuk alas belajar. Menurut Boram, akan lebih mengasyikan kalau belajar di luar supaya lebih santai dan udaranya juga cukup menyegarkan. Anak-anak pasti akan senang dan yang terpenting betah saat harus mengerjakan latihan soal-soal.Boram tahu betul kalau anak-anak itu tipe pembosanan. Tentunya dia yang
"Sekali lagi makasih ya Neng sudah mau ngajarin Alan matematika."Boram mengangguk ketika mendengar ucapan terima kasih yang diucapkan Arbian setelah melewati pintu rumahnya dan kembali berbalik menghadapnya."Sama-sama Pak. Dia sampai kecapean begitu main sama teman-teman barunya."Boram mengelus rambut Alan yang tertidur di dalam gendongan Arbian dan menatapnya penuh sayang. Hal itu tentu tidak luput dari perhatian Arbian yang memandangi Boram dengan sorot mata kagum dan penuh cinta. Mengandaikan kalau saja ini adalah keluarga kecilnya yang bahagia di mana hanya ada mereka bertiga yang meskipun hidup sederhana asalkan selalu bersama sudah pasti akan membahagiakan.Tapi sayang sekali, itu hanyalah hayalan dan mimpi Arbian semata saat ini karena kenyataanya tidak seindah itu. Boram belum menjadi istrinya, Alan juga bukan anak mereka dan juga—"Udah Om pulang sana. Kasihan itu keponakannya sudah ketiduran begitu. Hati-hati di jalan ya Om, jangan ngebut-ngebut nanti di tilang polisi," s