Ada banyak hal di dunia ini yang tidak terduga bisa terjadi. Boram sangat tahu kalau takdir memang tidak adil tapi dia juga tahu kalau takdir bisa begitu teramat manis. Sebelum ini, Boram hidup membaur dengan anak-anak yang tidak beruntung. Dibesarkan oleh orang lain, dijadikan satu dengan anak-anak yang bernasib sama dengannya dan berjuang bersama demi hidup yang lebih baik ke depannya. Hanya bersama sekumpulan anak-anak yang kebetulan bernasib sama. Tragis. Tidak memiliki keluarga dan tidak pernah tersentuh kasih sayang orang tua.Boram tahu bagaimana rasanya sendirian. Berjuang mengandalkan dirinya sendiri untuk tetap bisa di pandang oleh dunia. Jadi dia tidak akan pernah menilai seseorang yang dikenalnya dari latar belakangnya ataupun silsilah keluarganya.Jadi, ketika Samudra mengatakan hal yang membuatnya penasaran beberapa hari ini, pikiran pertama yang melintas di dalam kepalanya hanyalah sedih. Lalu mengikuti bayangan hidup seperti apa yang selama ini di jalaninya. Boram le
Arbian berdiri di depan kaca bening kamar tidurnya memandangi lampu-lampu kota yang gemerlap dari apartemennya. Ada begitu banyak pikiran yang silih berganti di kepalanya tapi lebih banyak dia memikirkan Boram dan reaksinya saat tahu siapa dia sebenarnya.Arbian berbalik berjalan keluar dari kamar menuju ruangan kerjanya dan mengambil sebuah map yang tergeletak di atas meja. Map berisi artikel koran tentang kasus penbegalan dan pembunuhan di salah satu pelosok daerah yang melibatkan istri seorang pengusaha industri terkemuka dan anak perempuannya yang paling kecil.Arbian duduk di kursinya dan menghela napas.Mamanya dan adiknya yang paling kecil berusia lima belas tahun menjadi korbannya. Setelah berhasil di bawa masih dalam keadaan bernyawa ke rumah sakit nyatanya seminggu kemudian mereka di panggil yang Maha Kuasa. Arbian sangat terpukul karena seharusnya malam itu dialah yang mengantar mereka mencari rumah kerabat dekat Mama yang sudah lama dicarinya.Akibat itu jugalah ada seoran
Sabtu menjadi hari kebebasan bagi Boram.Berhubung sekolah libur, sejak pagi dia sudah sibuk membereskan rumah dan memasak juga menyiapkan aneka kue kecil untuk cemilan ringan murid lesnya nanti. Boram sangat bersemangat. Hal apa lagi yang bisa dilakukannya jika bukan hal-hal seperti ini supaya dia tidak menganggur saja di rumah sendirian. Walaupun nanti sore dia masih tetap harus pergi bekerja di cafe.Setelah semua kegiatan di dapur beres, Boram berpindah ke halaman depan rumahnya menyiapkan tempatnya. Boram meletakkan alas tikar yang dia beli beberapa hari yang lalu di bawah pohon mangga yang rindang untuk menghalau hawa matahari pagi yang hangat. Menyusun beberapa meja kayu panjang untuk alas belajar. Menurut Boram, akan lebih mengasyikan kalau belajar di luar supaya lebih santai dan udaranya juga cukup menyegarkan. Anak-anak pasti akan senang dan yang terpenting betah saat harus mengerjakan latihan soal-soal.Boram tahu betul kalau anak-anak itu tipe pembosanan. Tentunya dia yang
"Sekali lagi makasih ya Neng sudah mau ngajarin Alan matematika."Boram mengangguk ketika mendengar ucapan terima kasih yang diucapkan Arbian setelah melewati pintu rumahnya dan kembali berbalik menghadapnya."Sama-sama Pak. Dia sampai kecapean begitu main sama teman-teman barunya."Boram mengelus rambut Alan yang tertidur di dalam gendongan Arbian dan menatapnya penuh sayang. Hal itu tentu tidak luput dari perhatian Arbian yang memandangi Boram dengan sorot mata kagum dan penuh cinta. Mengandaikan kalau saja ini adalah keluarga kecilnya yang bahagia di mana hanya ada mereka bertiga yang meskipun hidup sederhana asalkan selalu bersama sudah pasti akan membahagiakan.Tapi sayang sekali, itu hanyalah hayalan dan mimpi Arbian semata saat ini karena kenyataanya tidak seindah itu. Boram belum menjadi istrinya, Alan juga bukan anak mereka dan juga—"Udah Om pulang sana. Kasihan itu keponakannya sudah ketiduran begitu. Hati-hati di jalan ya Om, jangan ngebut-ngebut nanti di tilang polisi," s
Boram menghentikan langkahnya di depan sebuah rumah dua lantai bercat cream muda yang ada tulisan Adela Tylor di sisi lain bangunan yang djadikan tempat untuk menerima pesanan jahitan. Kata Bu Kelly – tetangga depan rumahnya – penjahit di dekat kompleksnya ini sudah terkenal dengan jahitan kebayanya yang rapi dengan model apapun. Jadi Boram langsung datang membawa kain kebaya yang dulu pernah di belinya. Meskipun belum tahu akan di pakainya untuk apa tapi sayang sekali kalau tidak di jahitkan. Bisalah di pakai untuk datang ke acara kondangan.Boram masuk ke dalam setelah membuka pagar rumah setinggi pinggangnya, melongokkan kepalanya mencari-cari sang penjahit sampai dia menemukan wanita cantik berambut panjang sedang sibuk dengan sesuatu di belakang jahitannya."Permisi."Wanita itu mengangkat kepalanya lalu tersenyum ramah membuat Boram tertegun sejenak. Wajahnya nggak asing, tapi siapa?"Iya. Ayo masuk Mbak," katanya seraya berdiri.Boram melepas flat shoes merek Batanya, masuk ke
Boram memindai seluruh area cafe dan tidak menemukan sosok Sam di manapun, membuatnya kembali melanjutkan langkah ke arah pintu keluar khusus pegawai berniat untuk pulang. Setelah selesai manggung dan membuatnya terbengong dengan ajakan kencan yang frontal di depan semua pengunjung cafe, Sam menghilang. Bukannya Boram mengiyakan ajakan cowok itu tapi dia ingin menolaknya secara halus. Mungkin ajakan kencan itu hanya bercandaan Sam jadi Boram juga tidak akan memikirkannya. Entah cowok itu berada di mana saat ini, yang pasti Boram akan pulang meskipun sendirian.Angin dingin malam minggu menerpa Boram sesaat setelah membuka pintu. Dirapatkannya jaket yang dikenakannya dan melangkah pasti ke arah halte. Baru lima langkah menjauh, suara menggelegar motor sport terdengar dari kejauhan. Boram menoleh sesaat masih sambil berjalan lalu bersikap masa bodo. Nyatanya suara bising itu malah semakin mendekat dan berhenti sempurna di depan Boram menghadang langkahnya.Boram kaget, reflek memeluk e
Boram merebahkan diri di atas tempat tidur memandang nyalang langit-langit kamarnya dengan bayangan wajah Arbian juga Sam yang berputar silih berganti. Mencoba merenungkan bagaimana sebenarnya perasaannya sendiri. Arbian jelas lelaki yang seharusnya dia terima menjadi suaminya bukan karena masalah balas budi itu tapi mungkin karena persamaan nasib. Lagi pula, laki-laki itu baik dan sayang keluarga. Tidak ada keraguan untuk menolaknya saat Arbian memintanya menjadi istrinya.Tapi masalahnya bukan hanya itu. Boram sadar ada yang tidak beres sedang dia rasakan terutama kenyataan di mana jantungnya selalu berdetak lebih kencang saat bersama Samudra. Cowok remaja yang merupakan siswanya sendiri. Boram mati-matian untuk mengenyahkan apapun perasaan yang ada untuk cowok itu. Dia harus sadar apa posisinya.Akhirnya Boram duduk, memeluk gulingnya dan menatap figura yang terpasang di dinding yang seketika membuatnya merasa sedih. Fotonya saat menikah dengan Mas Kelana. Tentang kejadian yang men
Sebelumnya....."Bang Kev, makasih ya."Sam melempar kunci motor saat tetangganya, Kevin, muncul dari balik pintu rumahnya yang langsung sigap dia tangkap. Kevin tersenyum, membuka lebar pintunya dan mengekori Sam yang duduk di kursi rotan berandanya."Jadi beneran lo yang bawa tuh motor?" tunjuknya ke motor sport merah di garasi rumahnya, "kalau lo masih mau pakai tuh motor, ya bawa aja dulu Sam. Lo sendiri tahu, tuh motor kebanyakan nganggurnya di rumah. Gue sama Aldi biasanya pakai mobil. Yah walaupun gue rada heran juga waktu Aldi tadi bilang kalau lo yang bawa tuh motor. Biasanya kan lo ogah biarpun gue paksa. Katanya lebih suka naik bus kemana-mana."Sam hanya tersenyum, memukulkan kotak rokoknya ke tangan, membukanya dan mengambil satu untuk dinyalakan. Kevin, tetangga sebrang rumah Sam menyimpitkan mata saat melihat penampilan Sam, "Lo baru pulang ngedate ya?""Yup." Sam menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya ke udara. "Ini kan malam minggu."Kevin tertawa, mengambil kot