Arbian berdiri di depan kaca bening kamar tidurnya memandangi lampu-lampu kota yang gemerlap dari apartemennya. Ada begitu banyak pikiran yang silih berganti di kepalanya tapi lebih banyak dia memikirkan Boram dan reaksinya saat tahu siapa dia sebenarnya.Arbian berbalik berjalan keluar dari kamar menuju ruangan kerjanya dan mengambil sebuah map yang tergeletak di atas meja. Map berisi artikel koran tentang kasus penbegalan dan pembunuhan di salah satu pelosok daerah yang melibatkan istri seorang pengusaha industri terkemuka dan anak perempuannya yang paling kecil.Arbian duduk di kursinya dan menghela napas.Mamanya dan adiknya yang paling kecil berusia lima belas tahun menjadi korbannya. Setelah berhasil di bawa masih dalam keadaan bernyawa ke rumah sakit nyatanya seminggu kemudian mereka di panggil yang Maha Kuasa. Arbian sangat terpukul karena seharusnya malam itu dialah yang mengantar mereka mencari rumah kerabat dekat Mama yang sudah lama dicarinya.Akibat itu jugalah ada seoran
Sabtu menjadi hari kebebasan bagi Boram.Berhubung sekolah libur, sejak pagi dia sudah sibuk membereskan rumah dan memasak juga menyiapkan aneka kue kecil untuk cemilan ringan murid lesnya nanti. Boram sangat bersemangat. Hal apa lagi yang bisa dilakukannya jika bukan hal-hal seperti ini supaya dia tidak menganggur saja di rumah sendirian. Walaupun nanti sore dia masih tetap harus pergi bekerja di cafe.Setelah semua kegiatan di dapur beres, Boram berpindah ke halaman depan rumahnya menyiapkan tempatnya. Boram meletakkan alas tikar yang dia beli beberapa hari yang lalu di bawah pohon mangga yang rindang untuk menghalau hawa matahari pagi yang hangat. Menyusun beberapa meja kayu panjang untuk alas belajar. Menurut Boram, akan lebih mengasyikan kalau belajar di luar supaya lebih santai dan udaranya juga cukup menyegarkan. Anak-anak pasti akan senang dan yang terpenting betah saat harus mengerjakan latihan soal-soal.Boram tahu betul kalau anak-anak itu tipe pembosanan. Tentunya dia yang
"Sekali lagi makasih ya Neng sudah mau ngajarin Alan matematika."Boram mengangguk ketika mendengar ucapan terima kasih yang diucapkan Arbian setelah melewati pintu rumahnya dan kembali berbalik menghadapnya."Sama-sama Pak. Dia sampai kecapean begitu main sama teman-teman barunya."Boram mengelus rambut Alan yang tertidur di dalam gendongan Arbian dan menatapnya penuh sayang. Hal itu tentu tidak luput dari perhatian Arbian yang memandangi Boram dengan sorot mata kagum dan penuh cinta. Mengandaikan kalau saja ini adalah keluarga kecilnya yang bahagia di mana hanya ada mereka bertiga yang meskipun hidup sederhana asalkan selalu bersama sudah pasti akan membahagiakan.Tapi sayang sekali, itu hanyalah hayalan dan mimpi Arbian semata saat ini karena kenyataanya tidak seindah itu. Boram belum menjadi istrinya, Alan juga bukan anak mereka dan juga—"Udah Om pulang sana. Kasihan itu keponakannya sudah ketiduran begitu. Hati-hati di jalan ya Om, jangan ngebut-ngebut nanti di tilang polisi," s
Boram menghentikan langkahnya di depan sebuah rumah dua lantai bercat cream muda yang ada tulisan Adela Tylor di sisi lain bangunan yang djadikan tempat untuk menerima pesanan jahitan. Kata Bu Kelly – tetangga depan rumahnya – penjahit di dekat kompleksnya ini sudah terkenal dengan jahitan kebayanya yang rapi dengan model apapun. Jadi Boram langsung datang membawa kain kebaya yang dulu pernah di belinya. Meskipun belum tahu akan di pakainya untuk apa tapi sayang sekali kalau tidak di jahitkan. Bisalah di pakai untuk datang ke acara kondangan.Boram masuk ke dalam setelah membuka pagar rumah setinggi pinggangnya, melongokkan kepalanya mencari-cari sang penjahit sampai dia menemukan wanita cantik berambut panjang sedang sibuk dengan sesuatu di belakang jahitannya."Permisi."Wanita itu mengangkat kepalanya lalu tersenyum ramah membuat Boram tertegun sejenak. Wajahnya nggak asing, tapi siapa?"Iya. Ayo masuk Mbak," katanya seraya berdiri.Boram melepas flat shoes merek Batanya, masuk ke
Boram memindai seluruh area cafe dan tidak menemukan sosok Sam di manapun, membuatnya kembali melanjutkan langkah ke arah pintu keluar khusus pegawai berniat untuk pulang. Setelah selesai manggung dan membuatnya terbengong dengan ajakan kencan yang frontal di depan semua pengunjung cafe, Sam menghilang. Bukannya Boram mengiyakan ajakan cowok itu tapi dia ingin menolaknya secara halus. Mungkin ajakan kencan itu hanya bercandaan Sam jadi Boram juga tidak akan memikirkannya. Entah cowok itu berada di mana saat ini, yang pasti Boram akan pulang meskipun sendirian.Angin dingin malam minggu menerpa Boram sesaat setelah membuka pintu. Dirapatkannya jaket yang dikenakannya dan melangkah pasti ke arah halte. Baru lima langkah menjauh, suara menggelegar motor sport terdengar dari kejauhan. Boram menoleh sesaat masih sambil berjalan lalu bersikap masa bodo. Nyatanya suara bising itu malah semakin mendekat dan berhenti sempurna di depan Boram menghadang langkahnya.Boram kaget, reflek memeluk e
Boram merebahkan diri di atas tempat tidur memandang nyalang langit-langit kamarnya dengan bayangan wajah Arbian juga Sam yang berputar silih berganti. Mencoba merenungkan bagaimana sebenarnya perasaannya sendiri. Arbian jelas lelaki yang seharusnya dia terima menjadi suaminya bukan karena masalah balas budi itu tapi mungkin karena persamaan nasib. Lagi pula, laki-laki itu baik dan sayang keluarga. Tidak ada keraguan untuk menolaknya saat Arbian memintanya menjadi istrinya.Tapi masalahnya bukan hanya itu. Boram sadar ada yang tidak beres sedang dia rasakan terutama kenyataan di mana jantungnya selalu berdetak lebih kencang saat bersama Samudra. Cowok remaja yang merupakan siswanya sendiri. Boram mati-matian untuk mengenyahkan apapun perasaan yang ada untuk cowok itu. Dia harus sadar apa posisinya.Akhirnya Boram duduk, memeluk gulingnya dan menatap figura yang terpasang di dinding yang seketika membuatnya merasa sedih. Fotonya saat menikah dengan Mas Kelana. Tentang kejadian yang men
Sebelumnya....."Bang Kev, makasih ya."Sam melempar kunci motor saat tetangganya, Kevin, muncul dari balik pintu rumahnya yang langsung sigap dia tangkap. Kevin tersenyum, membuka lebar pintunya dan mengekori Sam yang duduk di kursi rotan berandanya."Jadi beneran lo yang bawa tuh motor?" tunjuknya ke motor sport merah di garasi rumahnya, "kalau lo masih mau pakai tuh motor, ya bawa aja dulu Sam. Lo sendiri tahu, tuh motor kebanyakan nganggurnya di rumah. Gue sama Aldi biasanya pakai mobil. Yah walaupun gue rada heran juga waktu Aldi tadi bilang kalau lo yang bawa tuh motor. Biasanya kan lo ogah biarpun gue paksa. Katanya lebih suka naik bus kemana-mana."Sam hanya tersenyum, memukulkan kotak rokoknya ke tangan, membukanya dan mengambil satu untuk dinyalakan. Kevin, tetangga sebrang rumah Sam menyimpitkan mata saat melihat penampilan Sam, "Lo baru pulang ngedate ya?""Yup." Sam menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya ke udara. "Ini kan malam minggu."Kevin tertawa, mengambil kot
Boram menggerang. Perlahan membuka matanya dan melihat langit-langit kamar yang terasa asing baginya. "Astaga, kepalaku," desah Boram memegangi kepalanya."Sudah bangun?"Suara lembut itu menyadarkan Boram. Saat dia menoleh, Boram terbelalak ketika melihat seorang wanita cantik sedang duduk di sampingnya memperhatikan. Boram mengerjapkan mata, bangkit untuk duduk yang langsung dibantu dan mencoba mengingat dia ada di mana."Kamu ada di rumah Tante, Boram. Tenang saja."Lalu Boram ingat siapa wanita yang ada di depannya dan melotot kaget."Tante kan?"Tante itu tersenyum, berpindah duduk di samping Boram dan menyerahkan segelas teh hangat."Adela. Masih ingat?"Boram mengangguk dan mengambil alih gelas tehnya, "Terima kasih. Tadi siang, aku datang untuk menjahitkan kebaya." Boram lalu meminum tehnya.Adela tersenyum, "Tante, Mamanya Sam."Boram tersedak minumannya sendiri membuatnya batuk-batuk hebat. Adela langsung panik dan bantu menepuk punggung Boram."Mamanya Samudra Arkana?" Tan
Sebulan kemudian,Area keberangkatan International Soekarno Hatta.“Tolong, berjanjilah pada kami untuk merawatnya dengan baik.”Boram menahan tangisannya saat meminta dengan sungguh-sungguh pada Nindy yang menggendong Mutia.Nindy tersenyum. “Aku berjanji,Boram. Aku akan membesarkannya dengan baik. Kalian bisa mengunjungi kami kapanpun ke Rusia. Kami akan selalu menerima kalian dengan baik.”“Iya.”Boram mengamgguk. Nina dan suaminya yang seorang warga Rusia akhirnya mengajukan diri menjadi wali sah Mutia dan akan membesarkannya di tempat tinggal mereka seperti pesan yang ditinggalkan Nina. Boram yang sudah menganggap Mutia seperti anak kandungnya itu begitu berat melepas Mutia.“Mama..” Mutia mengulurkan tangan ingin di gendong Boram yang langsung mengambil alih. Boram memeluknya dengan erat dan menciumi wajahnya dengan sayang. Sebentar lagi mereka akan berpisah dan Boram merasa sangat sedih, Setelah Boram gantian Sam yang memberikan pelukan terakhir untuk Mutia dan kemudian mengem
Sam dan Boram saling berangkulan di depan makan Nina yang satu jam lalu baru saja dikuburkan. Boram masih tidak percaya bahwa takdir Nina akan jadi seperti ini padahal dia adalah orang yang baik. Tadi pagi mereka mendapatkan telepon dari pihak rumah sakit yang mengabarkan kalau Nina kembali kritis dan Sam langsung buru-buru ke sana sementara Boram harus menunggu Mbak Ina dulu. Sampai sana ternyata Sam sudah terkulai sedih dan mengatakan kalau Nina tidak bisa diselamatkan lagi karena pendarahan di otaknya. Boram langsung menangis histeris karena dia teringat dengan Mutia yang dia tinggalkan dengan buru-buru tadi.Meskipun dia masih memiliki ayah, tapi Reno tidak bisa menjaga anaknya sendiri karena saat ini berada di penjara."Sayang..."Sam menarik lamunan Boram membuatnya menoleh. "Ayo,kita pulang dan lihat keadaan Mutia."Boram mengangguk, teringat lagi dengan tangisan Mutia saat memeluk Ibunya untuk terakhir kalinya tadi sebelum dikuburkan. Kakak kandung Nina juga belum bisa ditemuk
"Sam..." Sam menoleh saat mendengar panggilan dari balik punggungnya dan menemukan Boram menghampirinya dengan wajah panik dan khawatir. "Apa yang terjadi sebenarnya?""Rumit,sayang." Sam memeluk Boram dengan erat, berdiri berdua tidak jauh dari ruang operasi."Kita fikir keadaan sudah menjadi lebih baik tapi ternyata masih ada yang mencoba untuk membahayakan Nina.""Apa maksudmu?"Sam menghela napas panjang, membawa Boram duduk di kursi tunggu dan mulai memberikan penjelasan."Istri kedua Reno sengaja menabrak mobil Nina hingga terpelanting dan terbalik menghantam pembatas jalan." Boram kaget seraya menutup mulutnya. "Anita, wanita itu sudah diamankan dan sekarang kita hanya bisa menunggu sambil berdoa. Bagaimana dengan Mutia?""Saat aku tinggalkan tadi dia sedang tidur dan dijaga sama Mbak Ina."Sam mengangguk, kembali menatap pintu ruang operasi karena luka yang di dapat Nina di kepala cukup serius. Sam berharap Nina bisa sembuh karena Mutia masih membutuhkannya."Semoga saja dia
Sidang kedua Nina selesai dengan lancar. Seminggu setelahnya Sam mengajak Boram untuk menunaikan ibadah Umrah dan akan dilanjutkan dengan jalan-jalan ke beberapa negara Timur Tengah selama tiga minggu. Setelah menempuh perjalanan panjang dan sampai di kota Madinah, semua rasa lelahnya terbayarkan saat melihat istrinya yang cantik menggunakan hijab. Mereka khusyuk beribadah dan Sam menumpahkan semua doa dan harapannya selama ini di depan Ka’bah untuk keberkahan hidupnya ke depan dan kebahagiaan dunia akhirat. Sam juga meminta skenario terbaik untuk rumah tangga mereka yang belum dikaruniai seorang anak. Berharap, doa-doa dan harapannya agar dikabulkan Tuhan. “Kenapa tidak dari dulu saja kita ke sini ya, sayang?” Sam menoleh, menatap wajah sendu istrinya yang menatap lurus ke depan di mana Ka’bah berada. Saat ini mereka sedang duduk santai tidak jauh dari Ka’bah hanya untuk sekedar duduk sembari berdoa dan membaca Al Qur’an. “Semua sudah ditakdirkan, sayang. Sekaranglah momen kita ja
Setelah masa pemulihan selama seminggu dan keadaannya sudah membaik, Boram menjalani hari-harinya seperti biasa. Dia sadar tidak bisa terus terlarut dalam kehilangan hingga membuatnya terus merasa sedih. Waktu terus bergulir dan Boram akan menjadikan yang dia lewati itu sebagai sebuah pembelajaran. Kedepannya dia bertekad untuk mulai hidup sehat begitu juga dengan Sam, menghabiskan waktu berdua entah di rumah atau jalan-jalan dan lebih hati-hati lagi dalam bertindak.Sudah berlalu dua minggu sejak sidang pertama Nina di gelar yang hasilnya cukup baik dan memiliki harapan ke depannya, Boram mengajak Nina membawa Mutia untuk jalan-jalan ke mall.Saat ini mereka sedang berada di salah satu restoran steak di dalam mall untuk makan siang.“Kita harus lebih sering jalan-jalan deh ke depannya,” ujar Boram, menyuapi Mutia kentang halus yang dimakan gadis kecil itu dengan bersemangat. “Sepertinya Mutia senang sekali bisa melihat-lihat ke ramaian.”Nina mengangguk. “Kita bisa atur jadwal kapanp
Rasanya ada yang terasa kosong di hati Boram. Setelah sadar dari pengaruh bius pasca operasi kuret, Boram lebih banyak melamun sembari mengelus perutnya. Masih belum menyangka dengan apa yang telah dia alami saat ini. Bagaimana bisa, dia tidak menyadari sama sekali kehadiran calon bayi yang sudah ada di dalam perutnya sementara dia tidak henti-hentinya berharap keajaiban itu ada. Dia merasa sedang menyesali sesuatu tapi tidak ada yang bisa dia lakukan lagi. Tuhan sudah mengambil kembali sesuatu yang sejak awal memang bukan miliknya. “Boram, makan dulu yuk.” Boram tersenyum lemah sembari menggeleng pada Jenna di sampingnya yang baru saja mengambil alih makan siang yang di antarkan pegawai rumah sakit. “Jangan seperti itu. Kamu tetap butuh makan.” “Rasanya aku malas sekali melakukan apa-pun.” Jenna menghela napas, merapikan rambut Boram dengan senyuman hangat. “Kamu tidak kasihan dengan Samudra?” Boram terdiam, Suaminya tadi pulang sebentar ke rumah saat Jenna datang untuk membant
“Mutia, kamu ngegemesin banget sih.”Boram nampak senang setelah memakaikan gaun pink berenda untuk Mutia selepas mandi sore karena niatnya setelah ini adalah mengajak Mutia jalan-jalan ke taman dekat komplek.“SiniTante cium dulu. Pasti harum banget.”Mutia tertawa di dalam pelukan Boram hingga membuatnya geli dan ingin melepaskan diri. Boram semakin lama semakin sayang dengan Mutia dan mulai memperlakukannya seperti anak sendiri meskipun kenyataannya begitu pahit. Namun, untuk dirinya sendiri, kehadiran Mutia membawa kegembiraan tersendiri untuknya.“Bu Boram, cemilan sama strollernya sudah siap di bawah.”Boram menoleh dan tersenyum pada Bik Umang, tukang masak di rumah Nina yang usianya sudah lanjut tapi masih giat bekerja. “Oke, Bik. Sebentar lagi kami turun ke bawah.”Boram memakaikan pita di rambut Mutia yang sudah diikat dua kanan dan kiri dengan senyuman puas lalu menggendongnya untuk turun. Sampai di bawah bik Umang menungggu sembari memegang stroller Mutia dan membantu Bor
Sam yang sedang sibuk dengan pekerjaannya di depan laptop yang menyala,melirik sekilas seseorang yang masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk terlebih dahulu dan mendengkus setelahnya.“Harap ketok pintu dulu sebelum masuk.”Laki-laki yang sudah masuk ke dalam ruangannya itu berhenti melangkah, mundur beberapa jengkal untuk kembali mengetuk pintu sembari tertawa dan masuk ke dalam.“Serius banget.” Sam menyandarkan punggungnya, meladeni laki-laki di depannya itu. “Ngopi yuk.”“Bukannya kamu lagi honeymoon ya? Kok cepat banget pulangnya.”Akmal, salah satu sahabatnya di sekolah dulu selain Alka tersenyum sumringah membuat Sam menaikkan alisnya heran.“Buat apa lagi honeymoon kalau istriku ternyata sudah positif hamil.”“Hah?” Sam cengok, menghitung dalam hati usia pernikahan Akmal dan Lili yang baru berlangsung hampir dua bulan itu. “Seriusan? Cepat banget. Lili enggak kamu buntingin duluan kan?”Akmal yang seorang anggota polisi itu mengepalkan tangannya. “Enak saja!” Akmal duduk di
Sehari setelah insiden, Nina diperbolehkan pulang. Keadaannya sudah baik-baik saja dan ada beberapa polisi yang berjaga di sekitar rumah Nina agar kejadian sebelumnya tidak terulang lagi. Sam masih melakukan penyelidikan dan pengawasan terhadap kasus Nina di mana Reno, suaminya itu masih dalam status buron. Sementara Boram setiap pulang sekolah punya kegiatan baru jika sedang tidak ada jadwal mengajar les yaitu mampir ke rumah Nina untuk bermain dengan Mutia. “Mbak, saya tidak mau merepotkan sampai harus datang jauh-jauh ke sini,” ujar Nina suatu hari.“Tidak. Aku ini setelah pulang ke rumah kalau tidak ada jadwal les ya pengangguran. Terlebih jika Sam sedang menangani suatu kasus di mana dia lebih banyak lembur. Aku kadang suka main di tempat sahabatku dan bermain bersama anaknya. Jadi, kamu tidak usah khawatir.” Boram mencoba menjelaskan. “Atau kamu merasa kurang nyaman kalau aku datang terus?”Nina reflek langsung membantah. “Tentu saja tidak. Aku sangat berterima kasih tapi taku