Sabtu menjadi hari kebebasan bagi Boram.Berhubung sekolah libur, sejak pagi dia sudah sibuk membereskan rumah dan memasak juga menyiapkan aneka kue kecil untuk cemilan ringan murid lesnya nanti. Boram sangat bersemangat. Hal apa lagi yang bisa dilakukannya jika bukan hal-hal seperti ini supaya dia tidak menganggur saja di rumah sendirian. Walaupun nanti sore dia masih tetap harus pergi bekerja di cafe.Setelah semua kegiatan di dapur beres, Boram berpindah ke halaman depan rumahnya menyiapkan tempatnya. Boram meletakkan alas tikar yang dia beli beberapa hari yang lalu di bawah pohon mangga yang rindang untuk menghalau hawa matahari pagi yang hangat. Menyusun beberapa meja kayu panjang untuk alas belajar. Menurut Boram, akan lebih mengasyikan kalau belajar di luar supaya lebih santai dan udaranya juga cukup menyegarkan. Anak-anak pasti akan senang dan yang terpenting betah saat harus mengerjakan latihan soal-soal.Boram tahu betul kalau anak-anak itu tipe pembosanan. Tentunya dia yang
"Sekali lagi makasih ya Neng sudah mau ngajarin Alan matematika."Boram mengangguk ketika mendengar ucapan terima kasih yang diucapkan Arbian setelah melewati pintu rumahnya dan kembali berbalik menghadapnya."Sama-sama Pak. Dia sampai kecapean begitu main sama teman-teman barunya."Boram mengelus rambut Alan yang tertidur di dalam gendongan Arbian dan menatapnya penuh sayang. Hal itu tentu tidak luput dari perhatian Arbian yang memandangi Boram dengan sorot mata kagum dan penuh cinta. Mengandaikan kalau saja ini adalah keluarga kecilnya yang bahagia di mana hanya ada mereka bertiga yang meskipun hidup sederhana asalkan selalu bersama sudah pasti akan membahagiakan.Tapi sayang sekali, itu hanyalah hayalan dan mimpi Arbian semata saat ini karena kenyataanya tidak seindah itu. Boram belum menjadi istrinya, Alan juga bukan anak mereka dan juga—"Udah Om pulang sana. Kasihan itu keponakannya sudah ketiduran begitu. Hati-hati di jalan ya Om, jangan ngebut-ngebut nanti di tilang polisi," s
Boram menghentikan langkahnya di depan sebuah rumah dua lantai bercat cream muda yang ada tulisan Adela Tylor di sisi lain bangunan yang djadikan tempat untuk menerima pesanan jahitan. Kata Bu Kelly – tetangga depan rumahnya – penjahit di dekat kompleksnya ini sudah terkenal dengan jahitan kebayanya yang rapi dengan model apapun. Jadi Boram langsung datang membawa kain kebaya yang dulu pernah di belinya. Meskipun belum tahu akan di pakainya untuk apa tapi sayang sekali kalau tidak di jahitkan. Bisalah di pakai untuk datang ke acara kondangan.Boram masuk ke dalam setelah membuka pagar rumah setinggi pinggangnya, melongokkan kepalanya mencari-cari sang penjahit sampai dia menemukan wanita cantik berambut panjang sedang sibuk dengan sesuatu di belakang jahitannya."Permisi."Wanita itu mengangkat kepalanya lalu tersenyum ramah membuat Boram tertegun sejenak. Wajahnya nggak asing, tapi siapa?"Iya. Ayo masuk Mbak," katanya seraya berdiri.Boram melepas flat shoes merek Batanya, masuk ke
Boram memindai seluruh area cafe dan tidak menemukan sosok Sam di manapun, membuatnya kembali melanjutkan langkah ke arah pintu keluar khusus pegawai berniat untuk pulang. Setelah selesai manggung dan membuatnya terbengong dengan ajakan kencan yang frontal di depan semua pengunjung cafe, Sam menghilang. Bukannya Boram mengiyakan ajakan cowok itu tapi dia ingin menolaknya secara halus. Mungkin ajakan kencan itu hanya bercandaan Sam jadi Boram juga tidak akan memikirkannya. Entah cowok itu berada di mana saat ini, yang pasti Boram akan pulang meskipun sendirian.Angin dingin malam minggu menerpa Boram sesaat setelah membuka pintu. Dirapatkannya jaket yang dikenakannya dan melangkah pasti ke arah halte. Baru lima langkah menjauh, suara menggelegar motor sport terdengar dari kejauhan. Boram menoleh sesaat masih sambil berjalan lalu bersikap masa bodo. Nyatanya suara bising itu malah semakin mendekat dan berhenti sempurna di depan Boram menghadang langkahnya.Boram kaget, reflek memeluk e
Boram merebahkan diri di atas tempat tidur memandang nyalang langit-langit kamarnya dengan bayangan wajah Arbian juga Sam yang berputar silih berganti. Mencoba merenungkan bagaimana sebenarnya perasaannya sendiri. Arbian jelas lelaki yang seharusnya dia terima menjadi suaminya bukan karena masalah balas budi itu tapi mungkin karena persamaan nasib. Lagi pula, laki-laki itu baik dan sayang keluarga. Tidak ada keraguan untuk menolaknya saat Arbian memintanya menjadi istrinya.Tapi masalahnya bukan hanya itu. Boram sadar ada yang tidak beres sedang dia rasakan terutama kenyataan di mana jantungnya selalu berdetak lebih kencang saat bersama Samudra. Cowok remaja yang merupakan siswanya sendiri. Boram mati-matian untuk mengenyahkan apapun perasaan yang ada untuk cowok itu. Dia harus sadar apa posisinya.Akhirnya Boram duduk, memeluk gulingnya dan menatap figura yang terpasang di dinding yang seketika membuatnya merasa sedih. Fotonya saat menikah dengan Mas Kelana. Tentang kejadian yang men
Sebelumnya....."Bang Kev, makasih ya."Sam melempar kunci motor saat tetangganya, Kevin, muncul dari balik pintu rumahnya yang langsung sigap dia tangkap. Kevin tersenyum, membuka lebar pintunya dan mengekori Sam yang duduk di kursi rotan berandanya."Jadi beneran lo yang bawa tuh motor?" tunjuknya ke motor sport merah di garasi rumahnya, "kalau lo masih mau pakai tuh motor, ya bawa aja dulu Sam. Lo sendiri tahu, tuh motor kebanyakan nganggurnya di rumah. Gue sama Aldi biasanya pakai mobil. Yah walaupun gue rada heran juga waktu Aldi tadi bilang kalau lo yang bawa tuh motor. Biasanya kan lo ogah biarpun gue paksa. Katanya lebih suka naik bus kemana-mana."Sam hanya tersenyum, memukulkan kotak rokoknya ke tangan, membukanya dan mengambil satu untuk dinyalakan. Kevin, tetangga sebrang rumah Sam menyimpitkan mata saat melihat penampilan Sam, "Lo baru pulang ngedate ya?""Yup." Sam menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya ke udara. "Ini kan malam minggu."Kevin tertawa, mengambil kot
Boram menggerang. Perlahan membuka matanya dan melihat langit-langit kamar yang terasa asing baginya. "Astaga, kepalaku," desah Boram memegangi kepalanya."Sudah bangun?"Suara lembut itu menyadarkan Boram. Saat dia menoleh, Boram terbelalak ketika melihat seorang wanita cantik sedang duduk di sampingnya memperhatikan. Boram mengerjapkan mata, bangkit untuk duduk yang langsung dibantu dan mencoba mengingat dia ada di mana."Kamu ada di rumah Tante, Boram. Tenang saja."Lalu Boram ingat siapa wanita yang ada di depannya dan melotot kaget."Tante kan?"Tante itu tersenyum, berpindah duduk di samping Boram dan menyerahkan segelas teh hangat."Adela. Masih ingat?"Boram mengangguk dan mengambil alih gelas tehnya, "Terima kasih. Tadi siang, aku datang untuk menjahitkan kebaya." Boram lalu meminum tehnya.Adela tersenyum, "Tante, Mamanya Sam."Boram tersedak minumannya sendiri membuatnya batuk-batuk hebat. Adela langsung panik dan bantu menepuk punggung Boram."Mamanya Samudra Arkana?" Tan
Paginya saat Boram terbangun, dia jelas kaget setengah mati saat mendapati Sam ada di dalam kamar, duduk di kursi meja belajarnya dan menatapnya dalam diam. Boram mengerjapkan mata mencoba melihat apakah itu memang Sam atau bukan hingga membuat cowok itu tertawa."Bukan malaikat kok Mbak, ini hanya aku. Sam" kekehnya geli.Boram duduk di pinggir ranjang dan memutar bola matanya mencoba merapikan rambutnya yang mungkin mencuat kemana-mana."Siapa juga yang ngira kamu malaikat."Sam tertawa renyah. Cowok itu begitu tampan dan segar meski hanya berpakaian sederhana hanya jeans setengah lutut dan kaus tanpa lengan. Ototnya tercetak di sana meski jauh dari otot punya Pak Rei yang kekar. Sam berdiri, menggeser kursinya sampai di depan Boram dan menatapnya intens. Boram hanya bisa terdiam."Semuanya sudah selesai. Mbak nggak perlu takut atau khawatir karena kawanan maling itu sudah di penjara." Sam tersenyum menumpukan kedua telapak tangan di pinggiran kursinya dan sedikit memajukan tubuhnya