"Selamat pagi Tante Adela."Ratu menyapa dengan senyuman lebar ketika melihat Adela dan Samudra menyambut di ambang pintu rumah. Di belakangnya menyusul sosok lelaki tinggi tegap berstatus duda yang merupakan Papa dari Ratu, Jery Baskoro, membawa bingkisan yang entah apa dengan senyuman yang tidak pernah pudar dari wajahnya setiap kali datang berkunjung.Senyuman yang selalu ditunjukkan untuk Mamanya. Sam hanya berdiri diam melipat lengannya dan mundur sedikit ketika Ratu sudah sampai di depan pintu, melepas sepatunya dan memeluk Adela erat yang langsung di balas Mamanya sama eratnya. Sam menghela napas pelan, menoleh sedikit ke belakang tepatnya ke arah kamarnya dengan perasaan bergemuruh.Tempat di mana ada Boram yang bersembunyi."Sam, kamu sudah sarapan? Aku bawain brownies kesukaanmu loh."Sam kaget ketika mendapati Ratu sudah berdiri di sampingnya dan memperhatikannya lekat lalu mengambil bingkisan yang di bawa Papanya. "Pagi Sam," sapa Om Jery ramah.Sam tersenyum, "Pagi Om."
"Arbian." Boram turun dari kamar Sam dengan langkah pelan dan tersenyum saat ketiganya yang berdiri di ambang pintu menoleh ke arahnya secara bersamaan. Arbian membalas senyumannya, Adela hanya diam menatapnya dan Sam berdiri dengan tatapan sarat emosi."Boram. Kita pulang sekarang ya," kata Arbian.Boram mengangguk. Berusaha mengabaikan tatapan milik Sam yang mampu membuat lututnya lemas seketika dan berusaha untuk tidak terpengaruh."Tante, sebelumnya Boram minta maaf kalau merepotkan dan juga sangat berterima kasih karena sudah diizinkan menginap semalam di sini."Adela tersenyum, "Iya sama-sama. Kita harus saling menolong jika ada yang kesusahan. Kamu tidak usah terlalu memikirkannya. Tante harap kejadian seperti ini tidak akan terjadi lagi."Boram tersenyum tipis, memeluk Adela sebentar dan mengangguk, "Tentu saja."Lalu Boram berhadapan dengan Sam dan mengeratkan genggamannya pada plastik pakaian di tangannya dan berusaha tersenyum seperti biasanya. Sam menatapnya dalam seperti
Sam bergeming di depan meja belajar sedang menatap buku miliknya yang dihiasi tulisan tangan Boram dengan rumus-rumus matematika yang disederhanakan. Juga tempelan sticky note kuning dengan kalimat penyemangat untuknya.Untuk Sam yang pemberani.Jangan pernah sekalipun kamu menyerah Aku akan terus mendukungmu.Jadilah lelaki yang sukses nantinya.Boram :)Sam mengepalkan kedua tangannya di atas meja dan menundukkan wajah. Hatinya terasa sakit ketika bayangan dirinya di masa depan yang mungkin sudah sukses berkat kalimat sederhana penyemangat ini tapi bukan Boramlah yang menjadi pendampingnya.Sam memukul meja belajarnya berkali-kali membiarkan saja buku tangannya memerah. Dia tidak peduli. Siapa yang peduli pada perasaannya saat ini. Tidak ada. Bahkan Boram juga tidak memahami rasa cintanya dan dia lebih memilih menyambut uluran tangan Arbian tidak sekalipun mencoba memberinya kesempatan. Hanya karena dia masih sekolah dan dianggap bocah.Apa yang salah dengan hal itu sebenarnya kala
"Bu Boram."Boram terkejut dan gelagapan ketika Rei yang duduk di depannya di warung bakso setelah sekolah usai mengagetkannya. Bahkan ujung sedotannya masih ada di bibir yang isinya dia sesap pelan-pelan sambil melamun."Maaf Pak. Sampai mana tadi pembicaraan kita?""Sampai saya juga lupa Bu." Boram nyengir dan kembali melanjutkan makannya di bawah tatapan Rei yang juga menggelengkan kepala lalu melipat lengannya di atas meja setelah menyingkirkan mangkuk baksonya ke samping. "Ada yang lagi dipikirkan ya?""Nggak ada kok Pak. Saya masih teringat dengan kejadian kemalingan kemarin. Masih ngeri aja sih."Rei menaikkan alisnya, "Yakin hanya karena itu?"Boram tertawa, "Ah Bapak ini kok jadi kepo sih. Iya cuma itu aja kok. Terima kasih banyak loh Pak sudah bersedia datang dan membantu mengganti semua kunci di rumah."Rei menghela napasnya dan tersenyum, "Saya nggak kepo Bu tapi kelihatan sekali kalau Bu Boram lagi banyak pikiran. Tentang hal itu saya kan sejak awal sudah bilang kalau ada
Agar bisa membaca yang samar itu, Boram merasa harus melakukan sesuatu.Kalau memang Arbian yang berada di dalam hatinya maka Boram akan melakukan sholat istikharah meminta petunjuk pada Sang Pencipta untuk meyakinkan lagi dirinya kalau keputusannya menerima Arbian sebagai suaminya adalah keputusan yang terbaik.Jadi besoknya saat Sam belum juga kelihatan keberadaanya di sekolah maupun di cafe, Boram menyetujui ajakan makan siang Arbian yang langsung menjemputnya. Boram pikir akan di ajak makan siang di tempat makan biasa dan kaget ketika Arbian membawanya makan di restoran mewah yang harganya pasti mahal."Kok kesini Pak? Kenapa nggak makan di warung aja?" Kata Boram tanpa mengalihkan tatapannya dari interior mewah restoran.Arbian terkekeh, "Makanan di sini enak kok.""Tapi kan mahal."Arbian tertawa, "Nggak kok. Tidak usah dipikirkan hal itu yang penting kamu nikmati makan siang kita ini."Boram hanya tersenyum tipis lalu mengangguk dan berjalan bersisian dengan Arbian mengikuti pel
"Selamat malam semuanya."Boram reflek mengangkat pandangan dari mesin kasir saat sedang melayani pengunjung dan terkejut mendapati Samudra berdiri di panggung memegang mic andalannya menyapa semua pengunjung cafe yang malam ini ramai. Boram terdiam dan tidak bisa mengalihkan tatapannya. Tidak menyangka kalau Sam sudah kembali bekerja malam ini."Mbak, berapa totalannya?"Boram tersentak kaget, menggumamkan kata maaf dan kembali sibuk dengan kegiatan menghitungnya."Apa ada yang merindukanku di sini?" kata Samudra santai.Boram berusaha fokus dengan jumlah kembalian uang pelanggan sambil mendengarkan suara Samudra. Pengunjung bersorak membuat cafe menjadi ramai."Aku merindukan seseorang—" Boram menahan napasnya lalu kembali menatap Sam di kejauhan setelah pelanggannya berlalu pergi.Sam balik menatapnya intens, "Lagu ini untukmu. Seseorang yang suatu hari nanti ingin sekali bisa aku milikki." Pengunjung cafe bersorak.Boram menumpukan tangannya di pinggiran meja dengan perasaan berde
Setelah meletakkan tasnya di atas meja, Boram terduduk di kursi dengan wajah lesu seraya mengedarkan pandangan ke sekitar area ruang guru yang perlahan mulai ramai. Dihelanya napas pendek dan menatap pintu masuk dengan pandangan kosong. Membayangkan kembali kejadian semalam. Boram merasakan jantungnya kembali berdebar. Cowok itu mampu membuatnya merasakan perasaan seperti ini lagi. "Semuanya dengarkan!!" Bu Niken yang baru saja masuk menepuk tangannya menuntut perhatian semua orang yang ada di dalam. Boram menegakkan punggungnya mendengarkan seraya mengambil beberapa buku paket untuk bahan ajarnya pagi ini. "Pak Jery nanti siang mau berkunjung ya. Kita semua diwajibkan hadir dalam rapat bulanan membahas tentang keadaan sekolah selama enam bulan ini. Diharapkan apapun keluhan dan permasalahan yang ada bisa dibicarakan dengan beliau."Semua orang terlihat sumringah dengan berita itu hingga menimbulkan dengungan di mana-mana entah sedang membahas apa.Boram mengeryit, "Pak Jery?"Niken
Samudra menghela napas, duduk bersila di atas tempat tidur dan diam memandangi tangannya yang diperban. Baju seragamnya sudah di lepas menyisakan kaos hitam yang di pakainya sebagai dalaman. Sakit di bagian ulu hatinya masih terasa akibat dari pukulan yang dilayangkan musuhnya memakai balok saat Sam lengah.Sam menggerakkan kepalanya berputar mencoba untuk merenggangkan otot lehernya yang kaku saat Ratu masuk ke dalam membawa sebungkus kerupuk koin dan minuman soda."Sok jagoan!" decak Ratu saat duduk di hadapannya. Memberikan minuman soda itu ke tangan Sam."Aku memang jagoan," jawab Sam bangga.Ratu memutar bola matanya dan menunjuk luka Sam dengan dagunya seraya membuka bungkusan plastik kerupuk yang langsung diambil alih Sam dan membukanya hanya dalam satu kali robekan dan memakannya."Kamu bisa terluka lebih dari ini Sam.""Tapi aku suka berkelahi.""Nggak ada faedahnya sama sekali. Aku nggak suka melihat kamu yang seperti ini," lirih Ratu. Sam menyodorkan satu kerupuknya ke mulut