Samudra sama sekali tidak tahu kalau ternyata Om Jery berdiri di balik pintu kelas tempat di mana dia dan Boram mengobrol. Entah hanya kebetulan atau memang sebelumnya dia melihat Sam menarik Boram masuk lalu penasaran untuk mencari tahu. Ekspresi wajah Om Jery yang awalnya nampak terkejut berubah seperti wajah ramahnya yang biasanya membuat Sam tidak bisa menebak apa yang beliau pikirkan.Sam tidak terlalu mengkhawatirkan penilaian Om Jery. Malah bagus kalau beliau mengetahui hubungannya dengan Boram. Asalkan lelaki yang berjalan dengan punggung tegak di depannya ini tidak melakukan hal aneh seperti memberhentikan Boram dari pekerjaannya. Semoga saja Om Jery tidak bertindak egois dengan memanfaatkan kekuasannya untuk menekan Boram. Sam tidak akan pernah tinggal diam jika melihat Boram mendapatkan masalah karena memiliki perasaan terhadapnya.Mereka bertiga berjalan mengarah ke ruangan kepala sekolah yang kosong. Di sepanjang koridor juga sudah sepi hanya suara murid di lapangan bask
Boram menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Disekanya wajah sehabis menangis lebay entah untuk alasan apa. Ditatapnya lekat keseluruhan wajahnya di kaca kamar mandi seraya memikirkan pembicaraan mereka tadi apalagi semua perkataannya. Benarkah dia rela melihat Sam menikahi wanita lain?Sejujurnya dia tidak rela."Astaga, kenapa dengan diriku?"Boram bermonolog sendiri. Bingung. Kenapa dia malah sangat emosional terhadap apapun yang berhubungan dengan Sam padahal Arbian jauh lebih pantas dipilih. Jawabannya karena dia menyadari adanya sosok Sam yang berdiam di hatinya entah sejak kapan. Walaupun begitu Boram tidak bisa mengabaikan kenyataan kalau dia memang harus berusaha keras mengabaikan perasaannya lagi. Keadaan tidak mengizinkannya berhubungan dengan cowok itu lebih jauh.Tapi Boram sempat membayangkan bagaimana kalau seandainya mereka memiliki kesempatan untuk bisa saling membalas perasaan masing-masing dan memutuskan bersama tanpa menyakiti perasaan orang lain da
Boram sudah tidak bisa menangis lagi. Tatapannya nanar ke arah ventilasi kamar mandi yang cahaya dari luar semakin menghilang digantikan dengan gelap. Untung saja saklar lampu kamar mandi ada di dalam kalau tidak mungkin dia akan duduk dalam gelap dan membayangkan yang tidak-tidak."Siapapun tolong!!" Bahkan suaranya sudah serak tidak sanggup berteriak."Mas Kelana," lirih Boram. "Apa aku harus pergi dari kota ini lagi dan memulai hidup baru di kota lain?"Boram memeluk tubuhnya sendiri. Menggigil."Kenapa nasibku harus seperti ini Mas padahal aku nggak pernah berbuat jahat sama orang lain."Boram berbicara sendiri supaya dia tidak merasa ketakutan di dalam. Meskipun dia orang beragama dan tidak percaya tahayul tapi kalau sendirian di tempat seperti ini membuat pikirannya membayangkan yang aneh-aneh. Namanya juga manusia. Mau tidak dipikirkan tapi kepikiran juga. Dalam hati Boram berdoa agar ada seseorang yang menemukannya.Boram merasakan perutnya melilit. Sejak pagi dia memang belu
Rasanya ada yang terbakar saat Ratu mendengar semua perkataan Sam tadi. Melamar Bu Boram setelah lulus sekolah. Ratu berdecak, menggenggam erat tangkai duri mawar yang dia cabut paksa dari potnya di sekitaran halaman rumah sakit. Seperti hatinya yang saat ini tersayat-sayat dan berdarah.Ratu merasakan kepalanya pusing, darah merembes dari telapak tangannya. Tapi amarah dalam dadanya membuat pikirannya tetap membara bahkan saat seharusnya dia dilarikan ke IGD sebentar lagi.Ratu ingin melihat apa Sam akan mengkhawatirkannya lebih dari Boram saat ini.Tidak ada yang boleh merebut calon suaminya, seseorang yang sudah sejak lama menetap di hatinya. Lebih dari seorang superhero, kakak dan kekasih. Samudra itu segalanya buat Ratu.Jadi dia sama sekali tidak salah kalau menjaga Sam supaya tetap berada di sisinya. Boram tidak punya hak untuk merebutnya dan tidak akan pernah bisa memiliki Sam."Dek."Ratu berbalik saat akhirnya kesadarannya mulai menghilang membuat Sam seketika berlari panik
Boram memeluk tubuhnya sendiri seraya berdiri di depan kaca ruangan ICU memandang nanar sosok Ratu yang terbaring di dalamnya. Tidak bisa membayangkan hidup yang selama ini gadis cantik itu perjuangkan meski harus bergulat dengan alat-alat kedokteran juga obat-obatan.Boram merasakan hatinya terenyuh. Mencoba mengabaikan keadaan hatinya sendiri yang sudah kacau balau membayangkan keinginan terbesar Ratu. Memiliki Samudra di dalam hidupnya sebagai seorang suami yang bisa menjaganya dan menemaninya melewati ini semua.Meski tidak rela tapi Boram tahu, hanya orang berhati egois yang tidak peduli dengan hal itu dan mengabaikannya. Sayangnya Boram bukan orang yang tidak peduli. Boram lebih dari mengerti karena itu dia sudah memutuskan. Ratu akan mendapatkan keinginannya meski Boram harus mengorbankan cintanya. Boram sama sekali tidak membenci Ratu karena terlalu memaksakan kehendak ke semua orang agar mengikuti kemauannya. Boram hanya akan menganggap kalau memang dia dan Samudra tidak b
"Aku akan mengurus administrasinya." Boram yang duduk di tepi ranjang menoleh ke Arbian yang masuk ke dalam ruangan rawat inapnya setelah dari kantin membeli kopi dan berdiri di sampingnya. "Kamu di sini dulu dan siap-siap ya setelah itu kita langsung pulang.""Biar aku saja Mas. Aku sudah terlalu banyak merepotkan," tolak Boram.Arbian menggelengkan kepala, merapikan anak rambut Boram yang terjuntai seraya tersenyum. "Harus berapa kali aku katakan Neng. Aku akan menanggung semua hal yang terjadi padamu seperti yang aku janjikan pada almarhum ibuku selama kamu belum menjadi istriku tapi nanti kalau kita menikah maka aku akan menanggungmu sebagai seorang suami." Boram diam menatap Arbian tepat di manik mana. "Kamu tidak usah memikirkan apapun cukup istirahat dan terus sehat." Arbian meletakkan telapak tangannya di pipi Boram yang tidak sanggup berkata-kata. Lalu perlahan kepalanya menunduk ke bawah."Maafkan aku," lirih Boram."Hei, kenapa?" Arbian menangkup wajah Boram dengan kedua ta
Adela menghela napas panjang dan menepuk tangan Boram beberapa kali lalu menariknya dan sedikit menunduk memandangi tangannya yang bertaut."Dia mirip banget sama Papanya. Keras kepalanya, nekatnya, kepintarannya, ketampananya. Mungkin Tante hanya nyumbang perut untuk mengandungnya dulu." Adela tertawa sedikit dipaksakan. Kelihatan sekali kalau kenangan masa lalu masih membayang dan mengikuti. Boram mengerti karena jelas kalau Tante Adela masih mencintai lelaki itu padahal mereka selama ini ditelantarkan. Karena cinta. Walaupun saat ini memiliki lelaki itu sangat tindak mungkin tapi Tante Adela masih menyimpannya dalam hati. Boram tidak bisa membayangkan rasa yang ditanggung beliau selama ini. Boram seakan menatap cermin masa depannya sendiri. Dulu dia tidak pernah sibuk memikirkan cinta serumit ini karena dia hanya mencintai Mas kelana seorang yang menyambut cintanya dengan baik. Tapi sekarang, cintanya sulit untuk digapai."Kadang kalau Malam, Tante jadi merasa sedih kalau ingat ke
Ratu yang sudah sadar dari masa kritisnya memeluk kedua lututnya erat dan mengalihkan tatapannya dari hujan yang menderas di luar dari kaca rawat inapnya ke Papanya yang duduk dengan laptop di atas pangkuannya."Pap, Sam mana sih kok nggak datang-datang?"Jery menghentikan gerak tangannya di atas keyboard dan menatap anaknya yang cemberut."Ratu telpon tapi nadanya sibuk melulu.""Mungkin dia lagi ada kesibukan sayang. Tunggu aja dulu.""Ih tapi kan Ratu kangen sama dia Pap.""Sayang." Jery meletakkan laptopnya di atas meja dan meninggalkan pekerjaannya sebentar mendekat ke Ratu dan duduk di hadapannya. "Kamu harus mengerti kalau tidak setiap saat Sam bisa menemani kamu di sini. Lagian sekarang kan sudah ada Papa yang jagain. Biarkan aja Sam belajar dulu di rumah.""Tapi kalau Sam malah sedang bersama Boram bagaimana Pap?"Jery mengelus puncak kepalanya, "Kamu harus percaya sama Papa. Kalian akan menikah nanti jadi kamu tidak perlu secemburu itu sama Bu Boram yang sebentar lagi juga a