"Aku akan mengurus administrasinya." Boram yang duduk di tepi ranjang menoleh ke Arbian yang masuk ke dalam ruangan rawat inapnya setelah dari kantin membeli kopi dan berdiri di sampingnya. "Kamu di sini dulu dan siap-siap ya setelah itu kita langsung pulang.""Biar aku saja Mas. Aku sudah terlalu banyak merepotkan," tolak Boram.Arbian menggelengkan kepala, merapikan anak rambut Boram yang terjuntai seraya tersenyum. "Harus berapa kali aku katakan Neng. Aku akan menanggung semua hal yang terjadi padamu seperti yang aku janjikan pada almarhum ibuku selama kamu belum menjadi istriku tapi nanti kalau kita menikah maka aku akan menanggungmu sebagai seorang suami." Boram diam menatap Arbian tepat di manik mana. "Kamu tidak usah memikirkan apapun cukup istirahat dan terus sehat." Arbian meletakkan telapak tangannya di pipi Boram yang tidak sanggup berkata-kata. Lalu perlahan kepalanya menunduk ke bawah."Maafkan aku," lirih Boram."Hei, kenapa?" Arbian menangkup wajah Boram dengan kedua ta
Adela menghela napas panjang dan menepuk tangan Boram beberapa kali lalu menariknya dan sedikit menunduk memandangi tangannya yang bertaut."Dia mirip banget sama Papanya. Keras kepalanya, nekatnya, kepintarannya, ketampananya. Mungkin Tante hanya nyumbang perut untuk mengandungnya dulu." Adela tertawa sedikit dipaksakan. Kelihatan sekali kalau kenangan masa lalu masih membayang dan mengikuti. Boram mengerti karena jelas kalau Tante Adela masih mencintai lelaki itu padahal mereka selama ini ditelantarkan. Karena cinta. Walaupun saat ini memiliki lelaki itu sangat tindak mungkin tapi Tante Adela masih menyimpannya dalam hati. Boram tidak bisa membayangkan rasa yang ditanggung beliau selama ini. Boram seakan menatap cermin masa depannya sendiri. Dulu dia tidak pernah sibuk memikirkan cinta serumit ini karena dia hanya mencintai Mas kelana seorang yang menyambut cintanya dengan baik. Tapi sekarang, cintanya sulit untuk digapai."Kadang kalau Malam, Tante jadi merasa sedih kalau ingat ke
Ratu yang sudah sadar dari masa kritisnya memeluk kedua lututnya erat dan mengalihkan tatapannya dari hujan yang menderas di luar dari kaca rawat inapnya ke Papanya yang duduk dengan laptop di atas pangkuannya."Pap, Sam mana sih kok nggak datang-datang?"Jery menghentikan gerak tangannya di atas keyboard dan menatap anaknya yang cemberut."Ratu telpon tapi nadanya sibuk melulu.""Mungkin dia lagi ada kesibukan sayang. Tunggu aja dulu.""Ih tapi kan Ratu kangen sama dia Pap.""Sayang." Jery meletakkan laptopnya di atas meja dan meninggalkan pekerjaannya sebentar mendekat ke Ratu dan duduk di hadapannya. "Kamu harus mengerti kalau tidak setiap saat Sam bisa menemani kamu di sini. Lagian sekarang kan sudah ada Papa yang jagain. Biarkan aja Sam belajar dulu di rumah.""Tapi kalau Sam malah sedang bersama Boram bagaimana Pap?"Jery mengelus puncak kepalanya, "Kamu harus percaya sama Papa. Kalian akan menikah nanti jadi kamu tidak perlu secemburu itu sama Bu Boram yang sebentar lagi juga a
Dua minggu ini Samudra menghindarinya.Boram sadar betul akan hal itu tapi dia juga tahu apa alasannya. Ratu benar-benar menganggapnya seperti saingan. Meskipun dia masih bersikap hormat karena Boram masih tercatat sebagai gurunya tapi selebihnya tatapan gadis itu membuatnya harus berusaha menahan sabar. Boram juga tahu kalau Ratu selalu ada di mana pun Sam berada.Boram tidak mau terlalu memikirkannya jadi dia mengalihkan pikirannya dengan mempersiapkan pra-ujian juga mengoreksi nilai-nilai siswanya selama dua minggu ini. Nilai Sam tidak terlalu memuaskan karena hanya berbeda beberapa angka dari syarat nilai kelulusan tapi Boram cukup puas dengan hasilnya. Cowok itu pasti belajar dengan giat.Kira-kira Sam akan minta hadiah apa ya?"Bu."Boram menghentikan langkah kakinya saat seseorang memanggilnya dan dilihatnya Kevin, salah satu siswanya yang berkelakuan baik dan pintar mendekat seraya tersenyum."Kenapa Kevin?""Maaf Bu tadi kertas soal bahasa indonesia saya terikut di kertas mate
Boram berdiri di depan sekolah sejak setengah jam yang lalu sampai tidak menyadari kalau keadaan sekolah sudah sepi. Boram tahu dia harus menepati janjinya jadi di sinilah dia berada, menunggu Samudra.Boram sedang memikirkan untuk mengunjungi makan Kang Mas Kelana di tempat asalnya dulu besok berhubung hari sabtu dan sekolah libur. Jarak dari ibu kota ke daerah kabupaten Paryaman tempatnya tinggal dulu hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar lima jam perjalanan."Boram."Panggilan itu menyentak Boram dari lamunannya dan melihat mobil milik Arbian ternyata berhenti tepat di depannya."Loh Mas Arbian ngapain di sini?"Arbian menutup pintu mobilnya lalu mendekat. "Neng asik banget melamunnya sampai nggak sadar sekeliling." Boram hanya tersenyum. "Tadinya hanya numpang lewat karena jam pulangan sudah dari tadi tapi ternyata Neng berdiri sendirian di sini. Nungguin akang ya?" candanya.Boram tertawa. "Kita nggak ada janji ketemu kan hari ini?"Arbian mendesah dan mengangguk. Berdiri menyan
Boram terbatuk saat mendengar tawaran Sam yang mau meminjamkan bajunya. Seketika teringat dengan Almarhum Mas Kelana yang kaosnya sering Boram pinjam dan pakai jika di rumah. Bukan karena dia tidak punya baju tapi lebih senang mencium aroma maskulin almarhum suaminya itu."Pelan-pelan aja makannya. Kita tidak sedang buru-buru kok." Sam menggelengkan kepala saat menyerahkan es teh manis milik Boram beserta sedotannya yang langsung diminumnya."Pakai kaosmu?" Boram berdecak saat batuknya mereda. "Yang benar saja!!"Sam menggaruk belakang kepalanya. "Aku sengaja bawa kaos banyak siapa tahu Mbak mau pakai." Sam nyengir. "Ukurannya besar kok."Boram mengunyah pentolan baksonya dan menaikkan kedua bahunya. "Bolehlah kalau kepepet."Sam tertawa gemas. Boram menundukkan wajahnya dan lahap memakan baksonya tidak berani menatap Sam."Aku akan sangat bahagia sekali jika bisa memilikimu di masa depan, Boram," bisiknya hingga membuat Boram tertegun memandangi Baksonya. Tidak menjawab tapi dalam ha
Om Baskoro tersenyum, "Maaf ya datang terlambat."Jerry berdiri dan menjabat tangan Baskoro, "Tentu saja tidak." Jerry menatap cowok yang berdiri di samping Baskoro dan menunjuknya. "Ini Alka kan?" tanyanya. "Anak bungsumu?"Baskoro tertawa dan mengangguk. "Entah ada angin apa tiba-tiba dia mau ikut tapi karena dia memaksa ya sudah aku ajak saja." Om Baskoro melihat ke arah Ratu yang hanya diam saja. "Wah kebetulan ada Ratu jadi Alka punya teman ngobrol."Alka mengulurkan tangannya ke Jerry, "Apa kabar Om?""Baik Alka. Ayo duduk."Alka langsung mengambil tempat di samping Ratu yang mendengus dan melipat lengannya di dada dengan wajah kesal. Sementara Baskoro duduk di samping Jerry."Hai, cantik," Alka menyapa ratu seraya mengedip. "Sudah pesan makanan? Kamu suka udang kan? Di sini enak banget loh udang bakarnya. Aku pesankan ya." Alka langsung melambaikan tangannya ke arah pelayan yang berjaga."Nggak usah sok-sok kenal!" desis Ratu yang memilih sibuk dengan ponselnya.Alka terkekeh.
"Bagaimana?" Jenna duduk di samping Arbian di ruang keluarga sesaat setelah laki-laki itu memakan apple pienya. "Enak kan?" Tanyanya dengan tatapan berbinar."Masih sama seperti dulu," jawab Arbian jujur disela kunyahannya membuat Jenna tersenyum lebar."Baguslah. Kalau begitu seleramu masih sama sejak dulu."Arbian hanya diam. Kalimat itu jelas lebih dalam dari pada yang seharusnya. Dulu, saat mereka masih bersahabat, apple pie buatan Jenna yang terbaik. Bahkan mantan istrinya selalu gagal membuatnya. Pada percobaan ketiga dan Arbian tidak sanggup menghabiskan apple pie buatan Mevina meski dalam potongan kecil, wanita itu menyerah begitu saja."Rasanya hampir mirip dengan yang dibuat koki Cruise Bakery yang biasa aku beli."Arbian memilih fokus memotong apple pienya mengabaikan Jenna yang langsung terdiam di sebelahnya. Lebih dari tahu kalau kalimatnya tadi pasti membuat senyuman lebarnya menghilang. Jenna harus tahu, sejak dia lebih memilih menikah dengan lelaki lain dan mematahka