Boram memperhatikan gurat wajah Sam yang terbias lampu kamar. "Kenapa kamu begitu berbeda Sam?" Sam menaikkan alisnya, "Maksudnya?""Seharusnya cowok sepertimu itu hanya memikirkan tentang bersenang-senang, gonta-ganti pacar, mencari jati diri, dan pengalaman-pengalaman lainnya yang seharusnya dilakukan anak sekolahan.""Kita sudah pernah membahasnya Mbak," desah Sam."Aku masih tidak mengerti dengan cara berpikirmu. Seharusnya yang kamu pentingkan sekarang itu menghabiskan masa-masa sekolahmu bersama dengan teman-temanmu yang lain bukannya bersikap sok dewasa seperti ini dan memikirkan bagaimana caranya supaya kita bisa bersama. Bukankah itu terlalu cepat? Memutuskan bersama dengan seseorang bahkan tanpa mencari dibanyaknya pilihan yang lain di luar sana." Boram menghela napasnya perlahan. "Kamu tidak seperti anak sekolahan.""Aku tidak masalah jika kamu menganggapnya aneh.""Tidak seperti itu—""Jadi dewasa sebelum waktunya?" kekeh Sam."Yah, seperti itulah."Sam memainkan jemari
"Sayang."Ratu menolehkan kepalanya ke samping saat mendengar seruan itu di sela kegiatannya membaca novel dan mendengarkan musik dalam volume kecil di ayunan kayu nyaman yang ada di belakang rumahnya di area outdoor menghadap ke arah kolam renang dan juga taman bunga mawar aneka warna yang memang sengaja di tanam Jerry supaya rumahnya terlihat manis dan tidak suram meskipun tidak ada sentuhan wanita di sana. "Ih apaan sih Pa!!" Jawabnya dengan nada jengkel. Ratu membuang muka dengan wajah cemberut seraya memeluk lebih erat bonekanya dan melanjutkan membaca novel. Masih marah karena kemarin dia harus pulang dengan Alka karena Papanya lebih memilih pekerjaannya dan mempercayakan keselamatannya pada cowok resek bin menyebalkan yang sudah seenaknya mengambil ciuman pertamanya.Mood Ratu kembali jelek hanya karena mengingat kejadian itu. Padahal tadi pagi saat bangun tidur, dia sudah berusaha mengabaikan bayangan wajah Alka dan ciuman di kenimgnya sambil menyusun beberapa kegiatan yang
"Ada apa? Kenapa mukamu kusut?"Selepas makan siang, Rei yang baru saja bertemu Aron heran saat mendapati Arbian duduk di salah satu sofa yang ada di sudut terjauh dari pintu masuk sedang menikmati secangkir kopi dan rokoknya."Kamu tahu kemana Sam membawa Boram?" Tanyanya to the point.Rei menaikkan alisnya dan duduk di depan Arbian yang terlihat lelah meski penampilan santainya membuat beberapa pengunjung wanita berbisik-bisik dan menatapnya tanpa kedip. "Jadi akhirnya si berondong membawa lari pujaan hatinya jauh dari si duda yang suka mengganggu?" kekeh Rei tidak terlalu menanggapi serius pertanyaan Arbian meski wajah lelaki itu tidak nampak bercanda.Arbian mendengus, "Bocah ingusan begitu bisa bawa lari Boram sejauh apa sih?!" lalu menyesap rokoknya yang tersisa setengah di sela tangannya dan menghembuskannya ke samping lalu melipat lengannya di atas meja. "Lagian juga ya tuh bocah nekat banget. Sudah tahu kalau nasibnya bakal menikah sama yang lain masih aja ngejar-ngejar Bora
"Aku bisa saja lebih berandalan dari pada ini. Kalau aku marah, rasanya ingin datang ke rumah Papa dan menghancurkan apapun kebahagiaan yang ada di sana. Papa asik bersenang-senang dengan keluarganya sementara kami harus berjuang hidup berdua. Aku dan Mama sudah melalui banyak hal yang tidak akan pernah bisa dia bayangkan."Boram sangat mengerti. "Kamu tidak ingin menemuinya Papamu sekali saja secara terbuka?"Sam mencebik, "Entah reaksi apa yang akan dia perlihatkan!!" Sam mengubah duduknya jadi menghadap Boram dan menopangkan dagunya. "Jangan pikirkan itu. Dalam bayanganku sekarang ini hanya ada kita di sana. Aku yang jadi pengacara dengan hobi sebagai penyanyi dan memiliki istri sepertimu."Boram terhenyak sesaat. "Kamu membayangkan sampai sejauh itu?" Boram berdecak. "Luar biasa sekali hayalanmu Sam.""Apa salahnya? Semua berawal dari mimpi dan hayalankan?" Kekeh Sam.Boram menggelengkan kepala. Sam menatap Boram intens membuat wanita itu jengah dan kambali berbicara. "Yeah, menya
"Belum beruntung Mbak." Sam nyengir. "Kita coba lagi ya.""Nggak usah," kata Boram seraya mengambil boneka monyet ukuran mini yang diserahkan cowok penjaga stand dengan tambahan bonus senyuman ala pepsodent. "Ini juga lumayan kok. Jadi kalau aku lihat monyet ini, aku jadi ingat sama kamu."Sam mendengus saat Boram menggoyangkan boneka monyet itu di depan wajahnya, "Kenapa harus monyet?!" Boram hanya bisa tertawa. Sam mendesah dan mengacak rambutnya. "Duh, nggak dapat deh bantal lucunya. Maklum aja Mbak, biasanya ngelempar pakai batu bukan pakai tembakan begitu."Boram kembali tertawa seraya memasukkan boneka monyet itu ke dalam tas lalu memeluk sebelah lengan Sam dan menyeret laki-laki itu untuk mengikutinya. Di salah satu area di mana banyak remaja sedang duduk santai menunggu menghadap ke panggung megah yang ada di depan sana, Sam menghentikan langkah kakinya membuat Boram sempat bingung. Sam yang hanya memakai kaos tanpa lengan sedang memakai kaca mata hitamnya."Fotoin dulu dong
"Sam tunggu!!!"Boram mengayuh sepeda milik Stevi yang sering dia pakai untuk olahraga pagi keliling kompleks di belakang Sam yang sejak keluar rumah tadi mengayuh sepedanya dengan gaya sok. Sam menoleh ke belakang. "Cepat Mbak, kayuh terus." Lalu Sam mengarahkan kamera ponselnya sambil mengendarai sepedanya dengan tangan satu untuk memfoto Boram yang tersenyum.Pagi ini sebelum pulang, Boram berinisiatife membuatkan makan siang untuk Stevi yang sudah berbaik hati mau menampung mereka sementara di rumahnya. Hanya sebagai ungkapan terima kasih Boram walaupun gadis itu menolak tapi Boram tetap memaksa. Rencananya setelah makan siang bersama, mereka akan berkendara pulang karena besok Sam harus sekolah dan Boram yang mengajar. Jadi, Boram ditemani oleh Sam pergi ke pasar pagi yang tidak terlalu jauh jaraknya dari perumahan Stevi menggunakan sepeda."Cantik banget," desah Sam setelah mendapatkan foto Boram dan memasukkan ponselnya ke saku celana jins lalu memperlambat laju sepedanya men
Boram berdiri di samping motor besar Sam memperhatikan lekat punggung cowok itu yang maju menghadapi Pak Jery, Ratu dan juga Arbian. Ada perasaan cemas dalam hatinya saat ini. Ditambah lagi para tetangga yang mulai keluar dari rumah mereka. Besok pagi, Boram bisa memastikan kalau mereka akan bergosip tentang dirinya."Kenapa kalian semua berkumpul di sini?" tanya Sam."Kamu masih tanya, Sam?!!" Ratu menjawab dengan nada tinggi seraya maju beberapa langkah ke depan."Ratu—" Tegur Jery yang mencekal lengan anaknya tapi langsung ditepisnya. Ratu sudah sangat emosi saat ini. Dia tidak pernah menyangka kalau ternyata Sam berani membawa gurunya itu pergi ke luar kota hanya berdua tanpa sepengetahuannya. Mungkin kalau Tante Adela tidak menghubungi Papanya maka Ratu tidak akan pernah tahu."Kamu pergi berdua saja dengan gurumu sendiri selama dua hari. Apa itu pantas?" Ratu menunjuk Boram dengan tatapan tajam. Begitu benci dengan gurunya sendiri karena telah merebut perhatian Sam. "Apa Bu Bor
Boram mengunci rumahnya dalam dua kali putar lalu meletakkannya di dalam tas dan berjalan keluar rumah. Senin pagi, Boram pergi ke sekolah lebih cepat. Meski tanpa tenaga pergi ke sana tapi dia tidak punya pilihan lain. Semalaman dia berpikir, apa memang yang dilakukannya dengan Sam itu salah? Apa perasaan yang dia miliki untuk bocah lelaki itu tidak dibenarkan?Dia sendiri tidak pernah tahu kenapa hatinya memilih Samudra untuk persinggahan selanjutnya. Kalau bisa menghindar mungkin sudah dia lakukan tapi tetap saja samudra ada di dalam pikirannya. "Iya, masa ya tadi malam ada ribut-ribut.""Hah, apaan ? Duh aku ketinggalan berita ya.""Ih, itu loh Bu Boram. Dua hari kan nggak ada di rumah tuh. Gelap rumahnya. Eh pada mau tahu nggak sebenarnya dia kemana?""Loh kemana?""Pacaran sama anak muridnya sendiri. Kayaknya sih keluar kota. Nggak nyangka banget ya? Ternyata Bu Boram sukanya yang muda-muda gitu. Padahal ada loh calon suaminya. Aneh banget.""Hah, murid sekolahnya sendiri Bu?"