Boram berdiri di samping motor besar Sam memperhatikan lekat punggung cowok itu yang maju menghadapi Pak Jery, Ratu dan juga Arbian. Ada perasaan cemas dalam hatinya saat ini. Ditambah lagi para tetangga yang mulai keluar dari rumah mereka. Besok pagi, Boram bisa memastikan kalau mereka akan bergosip tentang dirinya."Kenapa kalian semua berkumpul di sini?" tanya Sam."Kamu masih tanya, Sam?!!" Ratu menjawab dengan nada tinggi seraya maju beberapa langkah ke depan."Ratu—" Tegur Jery yang mencekal lengan anaknya tapi langsung ditepisnya. Ratu sudah sangat emosi saat ini. Dia tidak pernah menyangka kalau ternyata Sam berani membawa gurunya itu pergi ke luar kota hanya berdua tanpa sepengetahuannya. Mungkin kalau Tante Adela tidak menghubungi Papanya maka Ratu tidak akan pernah tahu."Kamu pergi berdua saja dengan gurumu sendiri selama dua hari. Apa itu pantas?" Ratu menunjuk Boram dengan tatapan tajam. Begitu benci dengan gurunya sendiri karena telah merebut perhatian Sam. "Apa Bu Bor
Boram mengunci rumahnya dalam dua kali putar lalu meletakkannya di dalam tas dan berjalan keluar rumah. Senin pagi, Boram pergi ke sekolah lebih cepat. Meski tanpa tenaga pergi ke sana tapi dia tidak punya pilihan lain. Semalaman dia berpikir, apa memang yang dilakukannya dengan Sam itu salah? Apa perasaan yang dia miliki untuk bocah lelaki itu tidak dibenarkan?Dia sendiri tidak pernah tahu kenapa hatinya memilih Samudra untuk persinggahan selanjutnya. Kalau bisa menghindar mungkin sudah dia lakukan tapi tetap saja samudra ada di dalam pikirannya. "Iya, masa ya tadi malam ada ribut-ribut.""Hah, apaan ? Duh aku ketinggalan berita ya.""Ih, itu loh Bu Boram. Dua hari kan nggak ada di rumah tuh. Gelap rumahnya. Eh pada mau tahu nggak sebenarnya dia kemana?""Loh kemana?""Pacaran sama anak muridnya sendiri. Kayaknya sih keluar kota. Nggak nyangka banget ya? Ternyata Bu Boram sukanya yang muda-muda gitu. Padahal ada loh calon suaminya. Aneh banget.""Hah, murid sekolahnya sendiri Bu?"
Alka menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Ratu yang ternyata sedang duduk dengan seragam lengkap di beranda rumahnya dan nampak gelisah. Alka keluar dengan senyuman lebar membuat Ratu melotot melihatnya."Ngapain kamu ke sini?!""Mau jemput Ratuku.""Nggak. Aku sudah punya pangeran. Pergi aja sana!!!""Siapa? Sam?" Alka berdecak seraya menyandarkan punggungnya di pilar bangunan rumah. "Nggak bakalan dia jemput kamu.""Sok tahu banget!!!""Ya tahulah. Dia baru aja chat di grup sudah sampai di sekolah."Ratu melotot. Alka mendekat dan memeluk bahu Ratu. "Jadi kamu perginya sama bang Alka aja ya?"Ratu melepas paksa tangan Alka di bahunya dan mendorongnya menjauh. "Aku berangkat sama Papa aja."Lalu Jeremy muncul dari dalam rumah dan kaget mendapati Alka ada di sana. "Loh Alka?Alka mendekat dan mencium tangan Jeremy sopan, "Saya mau jemput Ratu Om.""Oh Ratu. Ya udah nggak apa-apa. Kebetulan banget Om ada meeting pagi sama client.""Papa!!!" Ratu nampak kesal."Kan satu arah sayan
Meski Sam masih bingung dengan ucapan Akmal tapi dia toh tetap mengikutinya di belakang ke arah gerbang sekolah melewati banyaknya anak-anak yang mengobrol di sepanjang koridor karena memang bel belum berbunyi. Hampir mendekati ruangan para guru, Boram lewat setelah keluar dari kamar mandi dan berpapasan dengan mereka."Pagi Ibu Boram yang cantik," kata Akmal dengan intonasi super lembut yang langsung mendapat lepakan kepala dari Sam di belakangnya.Boram yang kaget langsung mengangguk, "Pagi Akmal." Dan melihat Sam masih melepaki kepala Akmal."Pagi, cinta," Sam ikut menyapa dengan senyuman lebar nan genit."Sam," tegur Boram seraya menggelengkan kepala melihat tingkahnya untung di sekitar mereka tidak ada anak-anak yang berseliweran. "BUAHAHAHAHA," Akmal sontak saja tertawa membahana kemudian lari ngacir dan Sam jelas keki."WOIII RESEK!" Teriak Sam lalu mengejar Akmal setelah sempat mengedipkan matanya ke Boram dan mengejar Akmal yang berlari menuju gerbang sekolah di bawah tatapa
"Pak, saya mencintainya." Jery yang baru saja duduk di balik meja kerja kepala sekolah langsung ternganga mendengar perkataan Boram."Kamu—" ucapnya dengan terbata. "mencintai Sam?"Boram mengangguk. Duduk tegak di kursinya seraya meremas kedua tangannya di bawah tatapan tidak percaya Pak Jery. Meski khawatir, gelisah dan tidak tahu apa tanggapan beliau saat mengetahui bagaimana perasaannya tapi Boram merasa tetap harus mengatakannya."Saya tahu mungkin bapak akan beranggapan kalau saya ini terlalu kelewat batas karena menyukai cowok SMA seperti Sam tapi""Tidak Boram. Tidak seperti itu," selanya membuat Boram terdiam. "Saya tadi hanya kaget karena tiba-tiba kamu mengungkapkannya segamblang itu walaupun saya sudah bisa menebaknya.""Maafkan saya." Boram merundukkan kepalanya. "Saya juga tidak tahu kenapa semuanya bisa jadi seperti ini.""Kenapa kamu minta maaf?" Boram reflek mengangkat pandangannya saat mendengar pertanyaan itu. Jery menatapnya lekat. "Walaupun di luar saya kelihatan
Ratu yang baru saja kembali dari kamar kecil mendadak merasakan kepalanya pusing. Dia berjalan dengan agak sempoyongan dan hampir saja terjatuh kalau saja tangan seseorang tidak lebih dulu menahannya agar tetap berdiri tegak."Kamu nggak apa-apa?"Ratu menoleh ke samping dan terdiam sesaat kemudian dengan paksa mencoba melepas pegangan Boram di tangannya. "Bukan urusan ibu. Lepaskan!""Ratu—" Boram tetap tidak melepaskan pegangannya. "Ibu antar ke UKS ya biar kamu bisa istirahat.""Nggak!" Ratu menarik tangan Boram menjauh. "Ibu nggak usah sok-sok perhatian gitu deh. Bilang aja ibu senang kan ngelihat Ratu lemah seperti ini dan berharap kalau Ratu mati aja sekalian supaya bisa sama-sama Sam," tuduhnya sengit. Boram sempat terkejut mendengar tuduhannya tapi setelah itu dia membalasnya dengan senyuman. "Sama sekali tidak seperti itu. Ibu tentu aja berharap kalau kamu cepat sembuh—""Bohong!" Selanya langsung dan menatap Boram tajam, "Dengar ya Bu, sampai kapanpun saya tidak akan membia
"Kamu mengharap banget ya kembali sama Arbian?"Jenna yang duduk di kursi penumpang sibuk dengan ponsel di tangannya menoleh ke arah sahabatnya, Anggita, yang berkonsentrasi mengendarai mobil menuju ke salah satu cafe langganannya mengambil pesanan kue."Kamu kan tahu, aku tuh dari dulu cintanya sama dia." Jenna mengatakannya seakan-akan hal itu seharusnya tidak perlu lagi dipertanyakan. "Aku menikah sama mantan suamiku itu karena dijodohkan.""Tapi keadaanya sekarang sudah berubah jauh, Jen." Anggita membelokkan mobilnya memasuki area pertokoan yang ramai. Kerutan samar muncul di dahi Jenna, "Berubah bagaimana? Kalau maksudmu sekarang kita sama-sama sedang tidak memiliki pasangan, bukannya itu malah bagus? Kita bisa menikah dan hidup bahagia nantinya," ucap Jenna yakin. "Kita toh sama-sama masih saling mencintai."Anggita tertawa seraya menggelengkan kepala membiarkan Jenna mendengus kesal. "Kalian sudah berpisah lumayan lama." Jenna melipat lengannya di dada menatap serius sahabat
Lalu mereka berdiri saling berhadapan. "Aku tidak mau memberikan kesempatan palsu pada siapapun di saat aku tahu siapa yang aku pilih." Arbian menatap lekat Boram dan wajahnya yang hanya terpoles sapuan make-up tipis tapi justru di matanya Boram semakin cantik. "Mas bisa mencari wanita lain di luaran sana bukannya malah menunggu wanita yang sudah memilih orang lain.""Apa yang membuatku kalah dengannya?" tanya Arbian langsung. "Kenapa kamu lebih memilih cowok yang masih labil seperti dia dibandingkan aku yang bisa dikatakan matang dan mapan?" Boram terdiam. "Aku sangat penasaran dengan jawabannya?""Aku—" Boram bingung menjawabnya. "Dia membuatku kembali bisa merasakan apa yang dulu pernah aku rasakan untuk Mas Kelana.""Mengabaikan fakta kalau cowok itu masih terlalu muda dan belum mapan?" "Dia pekerja keras. Kamu bisa melihatnya sendiri.""Tapi dia masih bocah belasan tahun yang mencoba terlihat dewasa. Kamu seharusnya memikirkan kenyamanan hidupmu ke depannya bukannya malah bersed