Ratu yang baru saja kembali dari kamar kecil mendadak merasakan kepalanya pusing. Dia berjalan dengan agak sempoyongan dan hampir saja terjatuh kalau saja tangan seseorang tidak lebih dulu menahannya agar tetap berdiri tegak."Kamu nggak apa-apa?"Ratu menoleh ke samping dan terdiam sesaat kemudian dengan paksa mencoba melepas pegangan Boram di tangannya. "Bukan urusan ibu. Lepaskan!""Ratu—" Boram tetap tidak melepaskan pegangannya. "Ibu antar ke UKS ya biar kamu bisa istirahat.""Nggak!" Ratu menarik tangan Boram menjauh. "Ibu nggak usah sok-sok perhatian gitu deh. Bilang aja ibu senang kan ngelihat Ratu lemah seperti ini dan berharap kalau Ratu mati aja sekalian supaya bisa sama-sama Sam," tuduhnya sengit. Boram sempat terkejut mendengar tuduhannya tapi setelah itu dia membalasnya dengan senyuman. "Sama sekali tidak seperti itu. Ibu tentu aja berharap kalau kamu cepat sembuh—""Bohong!" Selanya langsung dan menatap Boram tajam, "Dengar ya Bu, sampai kapanpun saya tidak akan membia
"Kamu mengharap banget ya kembali sama Arbian?"Jenna yang duduk di kursi penumpang sibuk dengan ponsel di tangannya menoleh ke arah sahabatnya, Anggita, yang berkonsentrasi mengendarai mobil menuju ke salah satu cafe langganannya mengambil pesanan kue."Kamu kan tahu, aku tuh dari dulu cintanya sama dia." Jenna mengatakannya seakan-akan hal itu seharusnya tidak perlu lagi dipertanyakan. "Aku menikah sama mantan suamiku itu karena dijodohkan.""Tapi keadaanya sekarang sudah berubah jauh, Jen." Anggita membelokkan mobilnya memasuki area pertokoan yang ramai. Kerutan samar muncul di dahi Jenna, "Berubah bagaimana? Kalau maksudmu sekarang kita sama-sama sedang tidak memiliki pasangan, bukannya itu malah bagus? Kita bisa menikah dan hidup bahagia nantinya," ucap Jenna yakin. "Kita toh sama-sama masih saling mencintai."Anggita tertawa seraya menggelengkan kepala membiarkan Jenna mendengus kesal. "Kalian sudah berpisah lumayan lama." Jenna melipat lengannya di dada menatap serius sahabat
Lalu mereka berdiri saling berhadapan. "Aku tidak mau memberikan kesempatan palsu pada siapapun di saat aku tahu siapa yang aku pilih." Arbian menatap lekat Boram dan wajahnya yang hanya terpoles sapuan make-up tipis tapi justru di matanya Boram semakin cantik. "Mas bisa mencari wanita lain di luaran sana bukannya malah menunggu wanita yang sudah memilih orang lain.""Apa yang membuatku kalah dengannya?" tanya Arbian langsung. "Kenapa kamu lebih memilih cowok yang masih labil seperti dia dibandingkan aku yang bisa dikatakan matang dan mapan?" Boram terdiam. "Aku sangat penasaran dengan jawabannya?""Aku—" Boram bingung menjawabnya. "Dia membuatku kembali bisa merasakan apa yang dulu pernah aku rasakan untuk Mas Kelana.""Mengabaikan fakta kalau cowok itu masih terlalu muda dan belum mapan?" "Dia pekerja keras. Kamu bisa melihatnya sendiri.""Tapi dia masih bocah belasan tahun yang mencoba terlihat dewasa. Kamu seharusnya memikirkan kenyamanan hidupmu ke depannya bukannya malah bersed
Sam menyanyikan lagi Ed Sheeran yang merupakan request dari salah satu pengunjung cafe sambil menatap kesibukan Boram di balik meja kasir. Apa tidak ada yang menyadari kecantikan wanita yang saat ini tengah tersenyum untuk pelanggan lelaki yang sibuk dengan kartu kredit di tangannya? Ah tidak. Lebih baik tidak ada yang menyadarinya jadi hanya dia saja yang bisa memiliki senyuman itu. Ada Om-Om yang tidak bisa menerima kalah dari bocah sepertinya saja sudah sangat merepotkan jadi dia tidak perlu tambahan lelaki lain yang mengejar wanita-nya.Tell me that you turned down the manWho asked for your hand'Cause you're waiting for meAnd I know, you're gonna be away a whileBut I've got no plans at all to leaveSam tersenyum saat tatapan mereka bertemu setelah lelaki yang tadi berlalu. Boram menundukkan sedikit wajahnya dan mengalihkannya ke arah lain tapi Sam bisa melihat jelas senyuman balasan miliknya di wajah itu. Seketika perasaan resah karena kedatangan Arbian tadi menghilang. Ny
Ratu tidak bisa menerima begitu saja perbedaan yang dia rasakan saat ini terlebih tentang sosok yang selama bertahun-tahun sebelumnya selalu ada untuknya. Dulu ketika dia membuka mata setelah beberapa hari pingsan karena penyakitnya akan selalu ada Sam yang menyambutnya dan mengatakan selamat datang di sertai senyuman lebar yang seakan tidak bisa dipisahkan dalam hidupnya. Ratu lebih hapal dengan sebentuk senyuman hangat milik Sam dari pada miliknya sendiri.Saat dalam keadaan tidak sadar, dia selalu menguatkan dirinya sendiri dengan mengatakan kalau dia harus bangun dan kembali melihat dunia bagaimanapun caranya karena dia tahu ada Sam yang menunggunya. Entah sambil tidur, bersenandung pelan, mencoret-coret buku matematikanya atau hanya diam saja tanpa melakukan apa-apa.Bagi Ratu, sosok Sam ada untuk menguatkannya.Tapi sekarang berbeda."Hai, Queen." Ratu menangkap senyuman milik orang lain saat dia membuka mata. Mencoba mengabaikan rasa berdenyut di kepalanya. "Aku tahu kalau kamu
"Kerjakan tugas yang Ibu tulis di papan tulis tanpa melihat rumusnya di buku cetak kalian."Boram berdiri dari duduknya, mengedarkan pandangan ke seluruh area kelas yang ribut berbisik-bisik menggumamkan tentang tugas tambahan yang diberikannya meski hanya lima soal."Setiap pertemuan sampai nanti ujian akhir, akan ada lima soal berbeda seperti ini yang harus kalian kerjakan. Ibu mau lihat sejauh mana ingatan kalian tentang soal-soal yang sebelumnya sudah di bahas. Apa rumusnya masih ingat atau sudah lupa.""Aduh Bu. Sudah disuruh latihan soal dari ujian sebelumnya eh ditambah tugas beginian lagi," Agam memberi komentar. "Nggak boleh ngintip-ngintip sedikit kah?" lalu mengacak rambutnya seraya memperhatikan kertas di tangannya dengan tatapan horor."Sama aja bohong dong kalau Ibu memperbolehkan kalian membuka materinya. Kalian tinggal lihat rumusnya dan menyalinnya tapi tidak diingat. Nanti kalau ujian mana boleh bawa buku."Boram melangkah pelan menuju ke bangku deretan depan. Sejak
"Sam—" Adela menghentikan langkah kaki Sam yang sudah berdiri di ambang pintu. Sam menoleh dengan tatapan heran. "Kenapa Ma?""Mama mau bicara sebentar sama kamu." Adela beranjak ke ruang tamu dan duduk di sofa panjang lalu menepuk-nepuk tempat di sebelahnya supaya Sam ikut duduk bersamanya.Sam bergeming, menatap sekilas jam tangan dan hampir melihat jarum jam bergerak ke angka delapan. Sebentar lagi shift Boram akan habis dan Sam yang hari ini memang bukan jadwalnya menyanyi di cafe memilih pergi ke sana sebelum Boram pulang. Dia tadi sudah pinjam motor dan mencucinya. Mamanya memang baru saja pulang dari membantu tetangganya yang sedang mengadakan acara syukuran.Mau tidak mau, Sam masuk lagi ke dalam seraya meletakkan helm besarnya di dekat pintu dan duduk di samping Mamanya."Kenapa Ma?"Adela menatap lekat penampilan Sam yang rapi. Kalau anak lelakinya itu sudah meminjam motor itu artinya ada hal istimewa yang akan dia lakukan. Tidak perlu bertanya karena pasti dugaannya benar
Boram hanya diam memandangi Arbian. Merasa sedikit canggung tapi setidaknya dia sudah mengatakan siapa yang dia pilih. Boram lalu berdiri karena merasa tidak ada lagi keperluan yang lain yang mengharuskannya duduk lebih lama di sini. Dia harus kerja dan dia juga harus memenuhi janji kencan dengan ABG yang kadang labil dan harus disogok dulu dengan kencan agar mau masuk kelas tapi entah kenapa hal-hal seperti itu membuat Boram tersenyum sendiri saat mengingatnya. "Kalau begitu saya permisi ya Mas. Harus kerja." Tanpa terduga, Arbian menahan langkahnya dengan memegang pergelangan tangannya dan ikut berdiri. "Neng, aku boleh minta tolong?""Minta tolong?" tanya Boram heran.Arbian melepas pegangannya seraya mengangguk. "Malam ini tolong temani Akang pergi ke acara makan malam ya. Sebentar saja."Boram langsung menggelengkan kepala, menolak. "Aduh, jangan Mas. Nanti malah bikin malu karena memang nggak pernah datang ke pesta orang-orang kaya seperti kalian." "Boram—" desah Arbian den
Sebulan kemudian,Area keberangkatan International Soekarno Hatta.“Tolong, berjanjilah pada kami untuk merawatnya dengan baik.”Boram menahan tangisannya saat meminta dengan sungguh-sungguh pada Nindy yang menggendong Mutia.Nindy tersenyum. “Aku berjanji,Boram. Aku akan membesarkannya dengan baik. Kalian bisa mengunjungi kami kapanpun ke Rusia. Kami akan selalu menerima kalian dengan baik.”“Iya.”Boram mengamgguk. Nina dan suaminya yang seorang warga Rusia akhirnya mengajukan diri menjadi wali sah Mutia dan akan membesarkannya di tempat tinggal mereka seperti pesan yang ditinggalkan Nina. Boram yang sudah menganggap Mutia seperti anak kandungnya itu begitu berat melepas Mutia.“Mama..” Mutia mengulurkan tangan ingin di gendong Boram yang langsung mengambil alih. Boram memeluknya dengan erat dan menciumi wajahnya dengan sayang. Sebentar lagi mereka akan berpisah dan Boram merasa sangat sedih, Setelah Boram gantian Sam yang memberikan pelukan terakhir untuk Mutia dan kemudian mengem
Sam dan Boram saling berangkulan di depan makan Nina yang satu jam lalu baru saja dikuburkan. Boram masih tidak percaya bahwa takdir Nina akan jadi seperti ini padahal dia adalah orang yang baik. Tadi pagi mereka mendapatkan telepon dari pihak rumah sakit yang mengabarkan kalau Nina kembali kritis dan Sam langsung buru-buru ke sana sementara Boram harus menunggu Mbak Ina dulu. Sampai sana ternyata Sam sudah terkulai sedih dan mengatakan kalau Nina tidak bisa diselamatkan lagi karena pendarahan di otaknya. Boram langsung menangis histeris karena dia teringat dengan Mutia yang dia tinggalkan dengan buru-buru tadi.Meskipun dia masih memiliki ayah, tapi Reno tidak bisa menjaga anaknya sendiri karena saat ini berada di penjara."Sayang..."Sam menarik lamunan Boram membuatnya menoleh. "Ayo,kita pulang dan lihat keadaan Mutia."Boram mengangguk, teringat lagi dengan tangisan Mutia saat memeluk Ibunya untuk terakhir kalinya tadi sebelum dikuburkan. Kakak kandung Nina juga belum bisa ditemuk
"Sam..." Sam menoleh saat mendengar panggilan dari balik punggungnya dan menemukan Boram menghampirinya dengan wajah panik dan khawatir. "Apa yang terjadi sebenarnya?""Rumit,sayang." Sam memeluk Boram dengan erat, berdiri berdua tidak jauh dari ruang operasi."Kita fikir keadaan sudah menjadi lebih baik tapi ternyata masih ada yang mencoba untuk membahayakan Nina.""Apa maksudmu?"Sam menghela napas panjang, membawa Boram duduk di kursi tunggu dan mulai memberikan penjelasan."Istri kedua Reno sengaja menabrak mobil Nina hingga terpelanting dan terbalik menghantam pembatas jalan." Boram kaget seraya menutup mulutnya. "Anita, wanita itu sudah diamankan dan sekarang kita hanya bisa menunggu sambil berdoa. Bagaimana dengan Mutia?""Saat aku tinggalkan tadi dia sedang tidur dan dijaga sama Mbak Ina."Sam mengangguk, kembali menatap pintu ruang operasi karena luka yang di dapat Nina di kepala cukup serius. Sam berharap Nina bisa sembuh karena Mutia masih membutuhkannya."Semoga saja dia
Sidang kedua Nina selesai dengan lancar. Seminggu setelahnya Sam mengajak Boram untuk menunaikan ibadah Umrah dan akan dilanjutkan dengan jalan-jalan ke beberapa negara Timur Tengah selama tiga minggu. Setelah menempuh perjalanan panjang dan sampai di kota Madinah, semua rasa lelahnya terbayarkan saat melihat istrinya yang cantik menggunakan hijab. Mereka khusyuk beribadah dan Sam menumpahkan semua doa dan harapannya selama ini di depan Ka’bah untuk keberkahan hidupnya ke depan dan kebahagiaan dunia akhirat. Sam juga meminta skenario terbaik untuk rumah tangga mereka yang belum dikaruniai seorang anak. Berharap, doa-doa dan harapannya agar dikabulkan Tuhan. “Kenapa tidak dari dulu saja kita ke sini ya, sayang?” Sam menoleh, menatap wajah sendu istrinya yang menatap lurus ke depan di mana Ka’bah berada. Saat ini mereka sedang duduk santai tidak jauh dari Ka’bah hanya untuk sekedar duduk sembari berdoa dan membaca Al Qur’an. “Semua sudah ditakdirkan, sayang. Sekaranglah momen kita ja
Setelah masa pemulihan selama seminggu dan keadaannya sudah membaik, Boram menjalani hari-harinya seperti biasa. Dia sadar tidak bisa terus terlarut dalam kehilangan hingga membuatnya terus merasa sedih. Waktu terus bergulir dan Boram akan menjadikan yang dia lewati itu sebagai sebuah pembelajaran. Kedepannya dia bertekad untuk mulai hidup sehat begitu juga dengan Sam, menghabiskan waktu berdua entah di rumah atau jalan-jalan dan lebih hati-hati lagi dalam bertindak.Sudah berlalu dua minggu sejak sidang pertama Nina di gelar yang hasilnya cukup baik dan memiliki harapan ke depannya, Boram mengajak Nina membawa Mutia untuk jalan-jalan ke mall.Saat ini mereka sedang berada di salah satu restoran steak di dalam mall untuk makan siang.“Kita harus lebih sering jalan-jalan deh ke depannya,” ujar Boram, menyuapi Mutia kentang halus yang dimakan gadis kecil itu dengan bersemangat. “Sepertinya Mutia senang sekali bisa melihat-lihat ke ramaian.”Nina mengangguk. “Kita bisa atur jadwal kapanp
Rasanya ada yang terasa kosong di hati Boram. Setelah sadar dari pengaruh bius pasca operasi kuret, Boram lebih banyak melamun sembari mengelus perutnya. Masih belum menyangka dengan apa yang telah dia alami saat ini. Bagaimana bisa, dia tidak menyadari sama sekali kehadiran calon bayi yang sudah ada di dalam perutnya sementara dia tidak henti-hentinya berharap keajaiban itu ada. Dia merasa sedang menyesali sesuatu tapi tidak ada yang bisa dia lakukan lagi. Tuhan sudah mengambil kembali sesuatu yang sejak awal memang bukan miliknya. “Boram, makan dulu yuk.” Boram tersenyum lemah sembari menggeleng pada Jenna di sampingnya yang baru saja mengambil alih makan siang yang di antarkan pegawai rumah sakit. “Jangan seperti itu. Kamu tetap butuh makan.” “Rasanya aku malas sekali melakukan apa-pun.” Jenna menghela napas, merapikan rambut Boram dengan senyuman hangat. “Kamu tidak kasihan dengan Samudra?” Boram terdiam, Suaminya tadi pulang sebentar ke rumah saat Jenna datang untuk membant
“Mutia, kamu ngegemesin banget sih.”Boram nampak senang setelah memakaikan gaun pink berenda untuk Mutia selepas mandi sore karena niatnya setelah ini adalah mengajak Mutia jalan-jalan ke taman dekat komplek.“SiniTante cium dulu. Pasti harum banget.”Mutia tertawa di dalam pelukan Boram hingga membuatnya geli dan ingin melepaskan diri. Boram semakin lama semakin sayang dengan Mutia dan mulai memperlakukannya seperti anak sendiri meskipun kenyataannya begitu pahit. Namun, untuk dirinya sendiri, kehadiran Mutia membawa kegembiraan tersendiri untuknya.“Bu Boram, cemilan sama strollernya sudah siap di bawah.”Boram menoleh dan tersenyum pada Bik Umang, tukang masak di rumah Nina yang usianya sudah lanjut tapi masih giat bekerja. “Oke, Bik. Sebentar lagi kami turun ke bawah.”Boram memakaikan pita di rambut Mutia yang sudah diikat dua kanan dan kiri dengan senyuman puas lalu menggendongnya untuk turun. Sampai di bawah bik Umang menungggu sembari memegang stroller Mutia dan membantu Bor
Sam yang sedang sibuk dengan pekerjaannya di depan laptop yang menyala,melirik sekilas seseorang yang masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk terlebih dahulu dan mendengkus setelahnya.“Harap ketok pintu dulu sebelum masuk.”Laki-laki yang sudah masuk ke dalam ruangannya itu berhenti melangkah, mundur beberapa jengkal untuk kembali mengetuk pintu sembari tertawa dan masuk ke dalam.“Serius banget.” Sam menyandarkan punggungnya, meladeni laki-laki di depannya itu. “Ngopi yuk.”“Bukannya kamu lagi honeymoon ya? Kok cepat banget pulangnya.”Akmal, salah satu sahabatnya di sekolah dulu selain Alka tersenyum sumringah membuat Sam menaikkan alisnya heran.“Buat apa lagi honeymoon kalau istriku ternyata sudah positif hamil.”“Hah?” Sam cengok, menghitung dalam hati usia pernikahan Akmal dan Lili yang baru berlangsung hampir dua bulan itu. “Seriusan? Cepat banget. Lili enggak kamu buntingin duluan kan?”Akmal yang seorang anggota polisi itu mengepalkan tangannya. “Enak saja!” Akmal duduk di
Sehari setelah insiden, Nina diperbolehkan pulang. Keadaannya sudah baik-baik saja dan ada beberapa polisi yang berjaga di sekitar rumah Nina agar kejadian sebelumnya tidak terulang lagi. Sam masih melakukan penyelidikan dan pengawasan terhadap kasus Nina di mana Reno, suaminya itu masih dalam status buron. Sementara Boram setiap pulang sekolah punya kegiatan baru jika sedang tidak ada jadwal mengajar les yaitu mampir ke rumah Nina untuk bermain dengan Mutia. “Mbak, saya tidak mau merepotkan sampai harus datang jauh-jauh ke sini,” ujar Nina suatu hari.“Tidak. Aku ini setelah pulang ke rumah kalau tidak ada jadwal les ya pengangguran. Terlebih jika Sam sedang menangani suatu kasus di mana dia lebih banyak lembur. Aku kadang suka main di tempat sahabatku dan bermain bersama anaknya. Jadi, kamu tidak usah khawatir.” Boram mencoba menjelaskan. “Atau kamu merasa kurang nyaman kalau aku datang terus?”Nina reflek langsung membantah. “Tentu saja tidak. Aku sangat berterima kasih tapi taku