Ratu tidak bisa menerima begitu saja perbedaan yang dia rasakan saat ini terlebih tentang sosok yang selama bertahun-tahun sebelumnya selalu ada untuknya. Dulu ketika dia membuka mata setelah beberapa hari pingsan karena penyakitnya akan selalu ada Sam yang menyambutnya dan mengatakan selamat datang di sertai senyuman lebar yang seakan tidak bisa dipisahkan dalam hidupnya. Ratu lebih hapal dengan sebentuk senyuman hangat milik Sam dari pada miliknya sendiri.Saat dalam keadaan tidak sadar, dia selalu menguatkan dirinya sendiri dengan mengatakan kalau dia harus bangun dan kembali melihat dunia bagaimanapun caranya karena dia tahu ada Sam yang menunggunya. Entah sambil tidur, bersenandung pelan, mencoret-coret buku matematikanya atau hanya diam saja tanpa melakukan apa-apa.Bagi Ratu, sosok Sam ada untuk menguatkannya.Tapi sekarang berbeda."Hai, Queen." Ratu menangkap senyuman milik orang lain saat dia membuka mata. Mencoba mengabaikan rasa berdenyut di kepalanya. "Aku tahu kalau kamu
"Kerjakan tugas yang Ibu tulis di papan tulis tanpa melihat rumusnya di buku cetak kalian."Boram berdiri dari duduknya, mengedarkan pandangan ke seluruh area kelas yang ribut berbisik-bisik menggumamkan tentang tugas tambahan yang diberikannya meski hanya lima soal."Setiap pertemuan sampai nanti ujian akhir, akan ada lima soal berbeda seperti ini yang harus kalian kerjakan. Ibu mau lihat sejauh mana ingatan kalian tentang soal-soal yang sebelumnya sudah di bahas. Apa rumusnya masih ingat atau sudah lupa.""Aduh Bu. Sudah disuruh latihan soal dari ujian sebelumnya eh ditambah tugas beginian lagi," Agam memberi komentar. "Nggak boleh ngintip-ngintip sedikit kah?" lalu mengacak rambutnya seraya memperhatikan kertas di tangannya dengan tatapan horor."Sama aja bohong dong kalau Ibu memperbolehkan kalian membuka materinya. Kalian tinggal lihat rumusnya dan menyalinnya tapi tidak diingat. Nanti kalau ujian mana boleh bawa buku."Boram melangkah pelan menuju ke bangku deretan depan. Sejak
"Sam—" Adela menghentikan langkah kaki Sam yang sudah berdiri di ambang pintu. Sam menoleh dengan tatapan heran. "Kenapa Ma?""Mama mau bicara sebentar sama kamu." Adela beranjak ke ruang tamu dan duduk di sofa panjang lalu menepuk-nepuk tempat di sebelahnya supaya Sam ikut duduk bersamanya.Sam bergeming, menatap sekilas jam tangan dan hampir melihat jarum jam bergerak ke angka delapan. Sebentar lagi shift Boram akan habis dan Sam yang hari ini memang bukan jadwalnya menyanyi di cafe memilih pergi ke sana sebelum Boram pulang. Dia tadi sudah pinjam motor dan mencucinya. Mamanya memang baru saja pulang dari membantu tetangganya yang sedang mengadakan acara syukuran.Mau tidak mau, Sam masuk lagi ke dalam seraya meletakkan helm besarnya di dekat pintu dan duduk di samping Mamanya."Kenapa Ma?"Adela menatap lekat penampilan Sam yang rapi. Kalau anak lelakinya itu sudah meminjam motor itu artinya ada hal istimewa yang akan dia lakukan. Tidak perlu bertanya karena pasti dugaannya benar
Boram hanya diam memandangi Arbian. Merasa sedikit canggung tapi setidaknya dia sudah mengatakan siapa yang dia pilih. Boram lalu berdiri karena merasa tidak ada lagi keperluan yang lain yang mengharuskannya duduk lebih lama di sini. Dia harus kerja dan dia juga harus memenuhi janji kencan dengan ABG yang kadang labil dan harus disogok dulu dengan kencan agar mau masuk kelas tapi entah kenapa hal-hal seperti itu membuat Boram tersenyum sendiri saat mengingatnya. "Kalau begitu saya permisi ya Mas. Harus kerja." Tanpa terduga, Arbian menahan langkahnya dengan memegang pergelangan tangannya dan ikut berdiri. "Neng, aku boleh minta tolong?""Minta tolong?" tanya Boram heran.Arbian melepas pegangannya seraya mengangguk. "Malam ini tolong temani Akang pergi ke acara makan malam ya. Sebentar saja."Boram langsung menggelengkan kepala, menolak. "Aduh, jangan Mas. Nanti malah bikin malu karena memang nggak pernah datang ke pesta orang-orang kaya seperti kalian." "Boram—" desah Arbian den
Boram mengerjapkan matanya saat fashion stylist yang di sewa Arbian untuk mendandaninya berputar-putar mengelilingnya memperhatikan penampilannya malam ini yang katanya seperti cinderella tapi bagi Boram malah sangat berlebihan. Seperti mau pergi ke jamuan makan malam kerajaan padahal hanya menghadiri pesta."Kecantikanmu yang sebenarnya tersembunyi di balik baju kerja dan riasan kasualmu itu."Veronica menatap puas penampilan Boram yang malam ini sudah dia make over sesuai dengan permintaan Arbian."Separah itu kah?" tanya Boram yang belum memperhatikan keseluruhan penampilannya."Parah?" Vero mendengus tidak suka. "Kamu itu mahakarya, sadar atau tidak sadar kamu dengan kecantikanmu itu. Mau lihat?""Tidak usah kalau hasilnya amburadul."Vero tiba-tiba mencekal kedua lengannya dengan tatapan kesal dan memutar Boram dalam sekali gerakan memaksanya menghadap ke kaca rias besar yang ada di depannya."Tidak ada kata amburadul kalau sudah aku yang menanganinya. Lihat dirimu sendiri dan ba
Samudra sudah tidak tahu berapa lama dia berdiri di bawah pohon rambutan di dekat rumah Boram sejak dari halte bus tadi. Niatnya ingin menjauh tapi nyatanya dia malah pergi ke rumah Boram dan menunggunya di sana. Dia hanya ingin melihat lebih jelas apakah memang yang tadi itu benar suaranya Boram atau dia salah pendengaran. Dia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri dan kalau benar Boram pergi ke pesta dengan Arbian maka Sam ingin sekali menghajar lelaki itu.Tidak peduli hujan membuat tubuhnya basah dan menggigil akibat sengatan hawa dingin malam hari.Sam bergerak sedikit saat matanya menangkap sorot lampu mobil di kejauhan yang perlahan mendekat dan berhenti tepat di depan rumah Boram. Reflek tangannya mengepal erat seraya menunggu. Keadaan sekitarnya yang agak gelap dan hujan yang turun dengan deras membuat pandangan Sam agak kabur tapi dia jelas tahu kalau lelaki yang keluar dan membuka payung lebarnya seraya berjalan ke arah kursi penumpang adalah sosok Arbian."Boram," Sam
"Mas Anthony, biar saya naik taksi saja." Boram merasa tidak enak saat Anthony membukakan pintu mobil untuknya di lobbi saat hujan di luar semakin menderas."Maafkan aku kalau kamu merasa tidak nyaman tapi sebelum membawa Jenna tadi dia berpesan untuk mengantarmu pulang. Ini sudah malam dan kebetulan aku tidak keberatan. Jangan merasa canggung seperti itu.""Tapi Mas—" Boram bingung ingin menolak saat Anthony menarik lengannya dan membawanya masuk ke dalam mobil, menutupnya lalu bergerak masuk ke kursi kemudi dan menjalankan mobilnya menjauhi hotel di bawah guyuran hujan deras. Boram hanya diam. Sejujurnya dia bingung. Lelaki di sampingnya ini jelas ayah kandungnya Sam dan dia ingin menanyakan banyak hal terutama tentang Sam tapi mati-matian ditahannya. Apa dia tahu memiliki anak lelaki yang ketampanannya menurun darinya dan— Boram mengalihkan tatapan ke luar. Bagaimana tanggapannya kalau tahu Sam mencintai janda."Kamu tinggal sendirian?" Setelah beberapa saat dalam keheningan, Anth
Tok...Tok..Tok...Boram tersentak dari tidurnya di atas sajadahnya masih mengenakan mukena saat mendengar ketukan di pintu rumahnya. Dengan agak terhuyung Boram berdiri seraya melepas mukenanya dan keluar kamar. Hujan sudah menghilang selepas tengah malam. Semalam dia menangis dan tidak bisa tidur memikirkan Sam dan perkataan Anthony saat akan pulang dan memilih sholat tahajud dan ketiduran dan malah melewatkan sholat shubuh.Boram melihat waktu masih menunjukkan pukul enam pagi dan saat dia membuka pintu depan rumahnya dilihatnya tiga Ibu kompleks yang rumahnya di samping kanan dan kirinya menatap dengan pandangan aneh."Ada apa ya Bu?" Tanya Boram heran."Bu Boram, kami ini datang menyampaikan beberapa keluhan Ibu-ibu kompleks sini ya yang resah karena Bu Boram sering banget bawa lelaki berbeda ke sini." Boram bengong dan menatap mereka bergantian. "Jadi lebih baik ibu pindah kontrakan deh dari pada kami bicara dengan Ibu Anis, selaku yang punya rumah ini.""Tapi Bu, saya tidak mela