Boram hanya diam memandangi Arbian. Merasa sedikit canggung tapi setidaknya dia sudah mengatakan siapa yang dia pilih. Boram lalu berdiri karena merasa tidak ada lagi keperluan yang lain yang mengharuskannya duduk lebih lama di sini. Dia harus kerja dan dia juga harus memenuhi janji kencan dengan ABG yang kadang labil dan harus disogok dulu dengan kencan agar mau masuk kelas tapi entah kenapa hal-hal seperti itu membuat Boram tersenyum sendiri saat mengingatnya. "Kalau begitu saya permisi ya Mas. Harus kerja." Tanpa terduga, Arbian menahan langkahnya dengan memegang pergelangan tangannya dan ikut berdiri. "Neng, aku boleh minta tolong?""Minta tolong?" tanya Boram heran.Arbian melepas pegangannya seraya mengangguk. "Malam ini tolong temani Akang pergi ke acara makan malam ya. Sebentar saja."Boram langsung menggelengkan kepala, menolak. "Aduh, jangan Mas. Nanti malah bikin malu karena memang nggak pernah datang ke pesta orang-orang kaya seperti kalian." "Boram—" desah Arbian den
Boram mengerjapkan matanya saat fashion stylist yang di sewa Arbian untuk mendandaninya berputar-putar mengelilingnya memperhatikan penampilannya malam ini yang katanya seperti cinderella tapi bagi Boram malah sangat berlebihan. Seperti mau pergi ke jamuan makan malam kerajaan padahal hanya menghadiri pesta."Kecantikanmu yang sebenarnya tersembunyi di balik baju kerja dan riasan kasualmu itu."Veronica menatap puas penampilan Boram yang malam ini sudah dia make over sesuai dengan permintaan Arbian."Separah itu kah?" tanya Boram yang belum memperhatikan keseluruhan penampilannya."Parah?" Vero mendengus tidak suka. "Kamu itu mahakarya, sadar atau tidak sadar kamu dengan kecantikanmu itu. Mau lihat?""Tidak usah kalau hasilnya amburadul."Vero tiba-tiba mencekal kedua lengannya dengan tatapan kesal dan memutar Boram dalam sekali gerakan memaksanya menghadap ke kaca rias besar yang ada di depannya."Tidak ada kata amburadul kalau sudah aku yang menanganinya. Lihat dirimu sendiri dan ba
Samudra sudah tidak tahu berapa lama dia berdiri di bawah pohon rambutan di dekat rumah Boram sejak dari halte bus tadi. Niatnya ingin menjauh tapi nyatanya dia malah pergi ke rumah Boram dan menunggunya di sana. Dia hanya ingin melihat lebih jelas apakah memang yang tadi itu benar suaranya Boram atau dia salah pendengaran. Dia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri dan kalau benar Boram pergi ke pesta dengan Arbian maka Sam ingin sekali menghajar lelaki itu.Tidak peduli hujan membuat tubuhnya basah dan menggigil akibat sengatan hawa dingin malam hari.Sam bergerak sedikit saat matanya menangkap sorot lampu mobil di kejauhan yang perlahan mendekat dan berhenti tepat di depan rumah Boram. Reflek tangannya mengepal erat seraya menunggu. Keadaan sekitarnya yang agak gelap dan hujan yang turun dengan deras membuat pandangan Sam agak kabur tapi dia jelas tahu kalau lelaki yang keluar dan membuka payung lebarnya seraya berjalan ke arah kursi penumpang adalah sosok Arbian."Boram," Sam
"Mas Anthony, biar saya naik taksi saja." Boram merasa tidak enak saat Anthony membukakan pintu mobil untuknya di lobbi saat hujan di luar semakin menderas."Maafkan aku kalau kamu merasa tidak nyaman tapi sebelum membawa Jenna tadi dia berpesan untuk mengantarmu pulang. Ini sudah malam dan kebetulan aku tidak keberatan. Jangan merasa canggung seperti itu.""Tapi Mas—" Boram bingung ingin menolak saat Anthony menarik lengannya dan membawanya masuk ke dalam mobil, menutupnya lalu bergerak masuk ke kursi kemudi dan menjalankan mobilnya menjauhi hotel di bawah guyuran hujan deras. Boram hanya diam. Sejujurnya dia bingung. Lelaki di sampingnya ini jelas ayah kandungnya Sam dan dia ingin menanyakan banyak hal terutama tentang Sam tapi mati-matian ditahannya. Apa dia tahu memiliki anak lelaki yang ketampanannya menurun darinya dan— Boram mengalihkan tatapan ke luar. Bagaimana tanggapannya kalau tahu Sam mencintai janda."Kamu tinggal sendirian?" Setelah beberapa saat dalam keheningan, Anth
Tok...Tok..Tok...Boram tersentak dari tidurnya di atas sajadahnya masih mengenakan mukena saat mendengar ketukan di pintu rumahnya. Dengan agak terhuyung Boram berdiri seraya melepas mukenanya dan keluar kamar. Hujan sudah menghilang selepas tengah malam. Semalam dia menangis dan tidak bisa tidur memikirkan Sam dan perkataan Anthony saat akan pulang dan memilih sholat tahajud dan ketiduran dan malah melewatkan sholat shubuh.Boram melihat waktu masih menunjukkan pukul enam pagi dan saat dia membuka pintu depan rumahnya dilihatnya tiga Ibu kompleks yang rumahnya di samping kanan dan kirinya menatap dengan pandangan aneh."Ada apa ya Bu?" Tanya Boram heran."Bu Boram, kami ini datang menyampaikan beberapa keluhan Ibu-ibu kompleks sini ya yang resah karena Bu Boram sering banget bawa lelaki berbeda ke sini." Boram bengong dan menatap mereka bergantian. "Jadi lebih baik ibu pindah kontrakan deh dari pada kami bicara dengan Ibu Anis, selaku yang punya rumah ini.""Tapi Bu, saya tidak mela
"Jadi, aku sudah tidak memiliki kesempatan lagi?" Arbian yang baru saja berbalik saat hendak keluar dari ruangan rawat inap Jenna terdiam di tempatnya. "Aku memang sengaja kembali ke Indonesia supaya bisa bersamamu lagi mengabaikan omongan orang tuaku yang tidak peduli apapun tentangku setelah perceraianku. Apa aku terlalu berharap lebih kalau kamu masih mencintaiku sama seperti dulu?"Arbian hanya diam. Bahkan saat isakan Jenna terdengar di belakangnya. Semalaman dia menunggu Jenna yang baru sadarkan diri tadi pagi meski mereka tidak membicarakan apapun. Saat hampir mendekati jam makan siang, Arbian berniat untuk pulang."Aku sama sekali tidak pernah menduga kalau ternyata selama ini aku hanya mencintaimu secara sepihak karena nyatanya cintamu sudah menghilang. Rasanya—" Jenna menangis dan Arbian hanya bisa mengepalkan tangannya. "Menyakitkan. Kalau dari awal aku tidak bodoh dan dengan yakinnya merasa kamu masih mencintaiku dan kita bisa bersama ternyata semua itu hanya delusiku saja
Boram berdiri diam di halte dengan tatapan mengarah ke depan di mana hujan yang sejak semalam turun masih menderas menciptakan genangan air di mana-mana. Sudah lima belas menit berlalu setelah bus yang ditumpanginya pergi menjauh tapi dia tidak juga beranjak pergi dan bergabung dengan sekumpulan siswa dan siswi yang berjalan mengarah ke sekolah di bawah naungan payung sambil mengobrol.Bukan karena dia tidak membawa payung tapi karena hatinya berharap, kalau dia tinggal sedikit lebih lama di sana, mungkin dia bisa berpapasan jalan dengan Samudra dan memiliki kesempatan menjelaskan kesalahpahaman mereka. Saat ini pikirannya sedang di penuhi oleh sosok cowok itu yang membuatnya resah seperti remaja labil yang sedang marahan dengan gebetannya. Boram tahu kalau apa yang dirasakannya ini sangat memalukan tapi toh dia tetap tidak bisa berhenti memikirkannya. Menyadari kalau memang semua ini berawal dari dirinya sendiri yang mengingkari janji dan juga tidak berpikir kalau Sam pasti akan menu
"Pap, pokoknya Ratu nggak mau tahu. Ratu mau ikut Darmawisata lusa sama Sam." Ratu duduk santai di bangku depan perpustakaan yang sepi saat jam istirahat dengan telepon di tangannya seraya memandangi rintikan hujan. "Ratu sudah daftar ulang tadi.""Sayang, kamu kan tahu alasan Papa tidak memperbolehkan kamu untuk ikut acara seperti itu bukannya melarang."Ratu cemberut, "Tapi kan Pap, ada Samudra yang jagain Ratu. Papa nggak usah khawatir seperti itu.""Tetap aja kalau Sam sendirian yang jaga kamu, Papa belum tenang.""Ih Papa ini jahat banget. Ini tuh kegiatan terakhir Ratu di bangku SMA. Belum tentu nanti bakalan ada lagi. Setelah itu kami bakalan fokus ujian yang tersisa dua minggu lagi. Izinin Ratu buat ikut?!""Ratu--""Papa jahat nggak sayang sama Ratu," selanya langsung dengan kesal."Bukan begitu sayang tapi resikonya besar banget," desah Jery."Pokoknya Ratu bakalan mogok makan kalau nggak diizinkan—" Ratu tersentak kaget saat tiba-tiba ponsel di tangannya diambil alih seseor
Sebulan kemudian,Area keberangkatan International Soekarno Hatta.“Tolong, berjanjilah pada kami untuk merawatnya dengan baik.”Boram menahan tangisannya saat meminta dengan sungguh-sungguh pada Nindy yang menggendong Mutia.Nindy tersenyum. “Aku berjanji,Boram. Aku akan membesarkannya dengan baik. Kalian bisa mengunjungi kami kapanpun ke Rusia. Kami akan selalu menerima kalian dengan baik.”“Iya.”Boram mengamgguk. Nina dan suaminya yang seorang warga Rusia akhirnya mengajukan diri menjadi wali sah Mutia dan akan membesarkannya di tempat tinggal mereka seperti pesan yang ditinggalkan Nina. Boram yang sudah menganggap Mutia seperti anak kandungnya itu begitu berat melepas Mutia.“Mama..” Mutia mengulurkan tangan ingin di gendong Boram yang langsung mengambil alih. Boram memeluknya dengan erat dan menciumi wajahnya dengan sayang. Sebentar lagi mereka akan berpisah dan Boram merasa sangat sedih, Setelah Boram gantian Sam yang memberikan pelukan terakhir untuk Mutia dan kemudian mengem
Sam dan Boram saling berangkulan di depan makan Nina yang satu jam lalu baru saja dikuburkan. Boram masih tidak percaya bahwa takdir Nina akan jadi seperti ini padahal dia adalah orang yang baik. Tadi pagi mereka mendapatkan telepon dari pihak rumah sakit yang mengabarkan kalau Nina kembali kritis dan Sam langsung buru-buru ke sana sementara Boram harus menunggu Mbak Ina dulu. Sampai sana ternyata Sam sudah terkulai sedih dan mengatakan kalau Nina tidak bisa diselamatkan lagi karena pendarahan di otaknya. Boram langsung menangis histeris karena dia teringat dengan Mutia yang dia tinggalkan dengan buru-buru tadi.Meskipun dia masih memiliki ayah, tapi Reno tidak bisa menjaga anaknya sendiri karena saat ini berada di penjara."Sayang..."Sam menarik lamunan Boram membuatnya menoleh. "Ayo,kita pulang dan lihat keadaan Mutia."Boram mengangguk, teringat lagi dengan tangisan Mutia saat memeluk Ibunya untuk terakhir kalinya tadi sebelum dikuburkan. Kakak kandung Nina juga belum bisa ditemuk
"Sam..." Sam menoleh saat mendengar panggilan dari balik punggungnya dan menemukan Boram menghampirinya dengan wajah panik dan khawatir. "Apa yang terjadi sebenarnya?""Rumit,sayang." Sam memeluk Boram dengan erat, berdiri berdua tidak jauh dari ruang operasi."Kita fikir keadaan sudah menjadi lebih baik tapi ternyata masih ada yang mencoba untuk membahayakan Nina.""Apa maksudmu?"Sam menghela napas panjang, membawa Boram duduk di kursi tunggu dan mulai memberikan penjelasan."Istri kedua Reno sengaja menabrak mobil Nina hingga terpelanting dan terbalik menghantam pembatas jalan." Boram kaget seraya menutup mulutnya. "Anita, wanita itu sudah diamankan dan sekarang kita hanya bisa menunggu sambil berdoa. Bagaimana dengan Mutia?""Saat aku tinggalkan tadi dia sedang tidur dan dijaga sama Mbak Ina."Sam mengangguk, kembali menatap pintu ruang operasi karena luka yang di dapat Nina di kepala cukup serius. Sam berharap Nina bisa sembuh karena Mutia masih membutuhkannya."Semoga saja dia
Sidang kedua Nina selesai dengan lancar. Seminggu setelahnya Sam mengajak Boram untuk menunaikan ibadah Umrah dan akan dilanjutkan dengan jalan-jalan ke beberapa negara Timur Tengah selama tiga minggu. Setelah menempuh perjalanan panjang dan sampai di kota Madinah, semua rasa lelahnya terbayarkan saat melihat istrinya yang cantik menggunakan hijab. Mereka khusyuk beribadah dan Sam menumpahkan semua doa dan harapannya selama ini di depan Ka’bah untuk keberkahan hidupnya ke depan dan kebahagiaan dunia akhirat. Sam juga meminta skenario terbaik untuk rumah tangga mereka yang belum dikaruniai seorang anak. Berharap, doa-doa dan harapannya agar dikabulkan Tuhan. “Kenapa tidak dari dulu saja kita ke sini ya, sayang?” Sam menoleh, menatap wajah sendu istrinya yang menatap lurus ke depan di mana Ka’bah berada. Saat ini mereka sedang duduk santai tidak jauh dari Ka’bah hanya untuk sekedar duduk sembari berdoa dan membaca Al Qur’an. “Semua sudah ditakdirkan, sayang. Sekaranglah momen kita ja
Setelah masa pemulihan selama seminggu dan keadaannya sudah membaik, Boram menjalani hari-harinya seperti biasa. Dia sadar tidak bisa terus terlarut dalam kehilangan hingga membuatnya terus merasa sedih. Waktu terus bergulir dan Boram akan menjadikan yang dia lewati itu sebagai sebuah pembelajaran. Kedepannya dia bertekad untuk mulai hidup sehat begitu juga dengan Sam, menghabiskan waktu berdua entah di rumah atau jalan-jalan dan lebih hati-hati lagi dalam bertindak.Sudah berlalu dua minggu sejak sidang pertama Nina di gelar yang hasilnya cukup baik dan memiliki harapan ke depannya, Boram mengajak Nina membawa Mutia untuk jalan-jalan ke mall.Saat ini mereka sedang berada di salah satu restoran steak di dalam mall untuk makan siang.“Kita harus lebih sering jalan-jalan deh ke depannya,” ujar Boram, menyuapi Mutia kentang halus yang dimakan gadis kecil itu dengan bersemangat. “Sepertinya Mutia senang sekali bisa melihat-lihat ke ramaian.”Nina mengangguk. “Kita bisa atur jadwal kapanp
Rasanya ada yang terasa kosong di hati Boram. Setelah sadar dari pengaruh bius pasca operasi kuret, Boram lebih banyak melamun sembari mengelus perutnya. Masih belum menyangka dengan apa yang telah dia alami saat ini. Bagaimana bisa, dia tidak menyadari sama sekali kehadiran calon bayi yang sudah ada di dalam perutnya sementara dia tidak henti-hentinya berharap keajaiban itu ada. Dia merasa sedang menyesali sesuatu tapi tidak ada yang bisa dia lakukan lagi. Tuhan sudah mengambil kembali sesuatu yang sejak awal memang bukan miliknya. “Boram, makan dulu yuk.” Boram tersenyum lemah sembari menggeleng pada Jenna di sampingnya yang baru saja mengambil alih makan siang yang di antarkan pegawai rumah sakit. “Jangan seperti itu. Kamu tetap butuh makan.” “Rasanya aku malas sekali melakukan apa-pun.” Jenna menghela napas, merapikan rambut Boram dengan senyuman hangat. “Kamu tidak kasihan dengan Samudra?” Boram terdiam, Suaminya tadi pulang sebentar ke rumah saat Jenna datang untuk membant
“Mutia, kamu ngegemesin banget sih.”Boram nampak senang setelah memakaikan gaun pink berenda untuk Mutia selepas mandi sore karena niatnya setelah ini adalah mengajak Mutia jalan-jalan ke taman dekat komplek.“SiniTante cium dulu. Pasti harum banget.”Mutia tertawa di dalam pelukan Boram hingga membuatnya geli dan ingin melepaskan diri. Boram semakin lama semakin sayang dengan Mutia dan mulai memperlakukannya seperti anak sendiri meskipun kenyataannya begitu pahit. Namun, untuk dirinya sendiri, kehadiran Mutia membawa kegembiraan tersendiri untuknya.“Bu Boram, cemilan sama strollernya sudah siap di bawah.”Boram menoleh dan tersenyum pada Bik Umang, tukang masak di rumah Nina yang usianya sudah lanjut tapi masih giat bekerja. “Oke, Bik. Sebentar lagi kami turun ke bawah.”Boram memakaikan pita di rambut Mutia yang sudah diikat dua kanan dan kiri dengan senyuman puas lalu menggendongnya untuk turun. Sampai di bawah bik Umang menungggu sembari memegang stroller Mutia dan membantu Bor
Sam yang sedang sibuk dengan pekerjaannya di depan laptop yang menyala,melirik sekilas seseorang yang masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk terlebih dahulu dan mendengkus setelahnya.“Harap ketok pintu dulu sebelum masuk.”Laki-laki yang sudah masuk ke dalam ruangannya itu berhenti melangkah, mundur beberapa jengkal untuk kembali mengetuk pintu sembari tertawa dan masuk ke dalam.“Serius banget.” Sam menyandarkan punggungnya, meladeni laki-laki di depannya itu. “Ngopi yuk.”“Bukannya kamu lagi honeymoon ya? Kok cepat banget pulangnya.”Akmal, salah satu sahabatnya di sekolah dulu selain Alka tersenyum sumringah membuat Sam menaikkan alisnya heran.“Buat apa lagi honeymoon kalau istriku ternyata sudah positif hamil.”“Hah?” Sam cengok, menghitung dalam hati usia pernikahan Akmal dan Lili yang baru berlangsung hampir dua bulan itu. “Seriusan? Cepat banget. Lili enggak kamu buntingin duluan kan?”Akmal yang seorang anggota polisi itu mengepalkan tangannya. “Enak saja!” Akmal duduk di
Sehari setelah insiden, Nina diperbolehkan pulang. Keadaannya sudah baik-baik saja dan ada beberapa polisi yang berjaga di sekitar rumah Nina agar kejadian sebelumnya tidak terulang lagi. Sam masih melakukan penyelidikan dan pengawasan terhadap kasus Nina di mana Reno, suaminya itu masih dalam status buron. Sementara Boram setiap pulang sekolah punya kegiatan baru jika sedang tidak ada jadwal mengajar les yaitu mampir ke rumah Nina untuk bermain dengan Mutia. “Mbak, saya tidak mau merepotkan sampai harus datang jauh-jauh ke sini,” ujar Nina suatu hari.“Tidak. Aku ini setelah pulang ke rumah kalau tidak ada jadwal les ya pengangguran. Terlebih jika Sam sedang menangani suatu kasus di mana dia lebih banyak lembur. Aku kadang suka main di tempat sahabatku dan bermain bersama anaknya. Jadi, kamu tidak usah khawatir.” Boram mencoba menjelaskan. “Atau kamu merasa kurang nyaman kalau aku datang terus?”Nina reflek langsung membantah. “Tentu saja tidak. Aku sangat berterima kasih tapi taku