"Mas Anthony, biar saya naik taksi saja." Boram merasa tidak enak saat Anthony membukakan pintu mobil untuknya di lobbi saat hujan di luar semakin menderas."Maafkan aku kalau kamu merasa tidak nyaman tapi sebelum membawa Jenna tadi dia berpesan untuk mengantarmu pulang. Ini sudah malam dan kebetulan aku tidak keberatan. Jangan merasa canggung seperti itu.""Tapi Mas—" Boram bingung ingin menolak saat Anthony menarik lengannya dan membawanya masuk ke dalam mobil, menutupnya lalu bergerak masuk ke kursi kemudi dan menjalankan mobilnya menjauhi hotel di bawah guyuran hujan deras. Boram hanya diam. Sejujurnya dia bingung. Lelaki di sampingnya ini jelas ayah kandungnya Sam dan dia ingin menanyakan banyak hal terutama tentang Sam tapi mati-matian ditahannya. Apa dia tahu memiliki anak lelaki yang ketampanannya menurun darinya dan— Boram mengalihkan tatapan ke luar. Bagaimana tanggapannya kalau tahu Sam mencintai janda."Kamu tinggal sendirian?" Setelah beberapa saat dalam keheningan, Anth
Tok...Tok..Tok...Boram tersentak dari tidurnya di atas sajadahnya masih mengenakan mukena saat mendengar ketukan di pintu rumahnya. Dengan agak terhuyung Boram berdiri seraya melepas mukenanya dan keluar kamar. Hujan sudah menghilang selepas tengah malam. Semalam dia menangis dan tidak bisa tidur memikirkan Sam dan perkataan Anthony saat akan pulang dan memilih sholat tahajud dan ketiduran dan malah melewatkan sholat shubuh.Boram melihat waktu masih menunjukkan pukul enam pagi dan saat dia membuka pintu depan rumahnya dilihatnya tiga Ibu kompleks yang rumahnya di samping kanan dan kirinya menatap dengan pandangan aneh."Ada apa ya Bu?" Tanya Boram heran."Bu Boram, kami ini datang menyampaikan beberapa keluhan Ibu-ibu kompleks sini ya yang resah karena Bu Boram sering banget bawa lelaki berbeda ke sini." Boram bengong dan menatap mereka bergantian. "Jadi lebih baik ibu pindah kontrakan deh dari pada kami bicara dengan Ibu Anis, selaku yang punya rumah ini.""Tapi Bu, saya tidak mela
"Jadi, aku sudah tidak memiliki kesempatan lagi?" Arbian yang baru saja berbalik saat hendak keluar dari ruangan rawat inap Jenna terdiam di tempatnya. "Aku memang sengaja kembali ke Indonesia supaya bisa bersamamu lagi mengabaikan omongan orang tuaku yang tidak peduli apapun tentangku setelah perceraianku. Apa aku terlalu berharap lebih kalau kamu masih mencintaiku sama seperti dulu?"Arbian hanya diam. Bahkan saat isakan Jenna terdengar di belakangnya. Semalaman dia menunggu Jenna yang baru sadarkan diri tadi pagi meski mereka tidak membicarakan apapun. Saat hampir mendekati jam makan siang, Arbian berniat untuk pulang."Aku sama sekali tidak pernah menduga kalau ternyata selama ini aku hanya mencintaimu secara sepihak karena nyatanya cintamu sudah menghilang. Rasanya—" Jenna menangis dan Arbian hanya bisa mengepalkan tangannya. "Menyakitkan. Kalau dari awal aku tidak bodoh dan dengan yakinnya merasa kamu masih mencintaiku dan kita bisa bersama ternyata semua itu hanya delusiku saja
Boram berdiri diam di halte dengan tatapan mengarah ke depan di mana hujan yang sejak semalam turun masih menderas menciptakan genangan air di mana-mana. Sudah lima belas menit berlalu setelah bus yang ditumpanginya pergi menjauh tapi dia tidak juga beranjak pergi dan bergabung dengan sekumpulan siswa dan siswi yang berjalan mengarah ke sekolah di bawah naungan payung sambil mengobrol.Bukan karena dia tidak membawa payung tapi karena hatinya berharap, kalau dia tinggal sedikit lebih lama di sana, mungkin dia bisa berpapasan jalan dengan Samudra dan memiliki kesempatan menjelaskan kesalahpahaman mereka. Saat ini pikirannya sedang di penuhi oleh sosok cowok itu yang membuatnya resah seperti remaja labil yang sedang marahan dengan gebetannya. Boram tahu kalau apa yang dirasakannya ini sangat memalukan tapi toh dia tetap tidak bisa berhenti memikirkannya. Menyadari kalau memang semua ini berawal dari dirinya sendiri yang mengingkari janji dan juga tidak berpikir kalau Sam pasti akan menu
"Pap, pokoknya Ratu nggak mau tahu. Ratu mau ikut Darmawisata lusa sama Sam." Ratu duduk santai di bangku depan perpustakaan yang sepi saat jam istirahat dengan telepon di tangannya seraya memandangi rintikan hujan. "Ratu sudah daftar ulang tadi.""Sayang, kamu kan tahu alasan Papa tidak memperbolehkan kamu untuk ikut acara seperti itu bukannya melarang."Ratu cemberut, "Tapi kan Pap, ada Samudra yang jagain Ratu. Papa nggak usah khawatir seperti itu.""Tetap aja kalau Sam sendirian yang jaga kamu, Papa belum tenang.""Ih Papa ini jahat banget. Ini tuh kegiatan terakhir Ratu di bangku SMA. Belum tentu nanti bakalan ada lagi. Setelah itu kami bakalan fokus ujian yang tersisa dua minggu lagi. Izinin Ratu buat ikut?!""Ratu--""Papa jahat nggak sayang sama Ratu," selanya langsung dengan kesal."Bukan begitu sayang tapi resikonya besar banget," desah Jery."Pokoknya Ratu bakalan mogok makan kalau nggak diizinkan—" Ratu tersentak kaget saat tiba-tiba ponsel di tangannya diambil alih seseor
"Kaila suka makan es krim coklat ya?"Arbian menoleh ke arah samping tempat di mana Kaila duduk manis di salah satu bangku gazebo taman tidak jauh dari sekolahnya saat siang hari dia menjemputnya. Hujan masih turun dengan derasnya tapi Kaila ngotot minta dibelikan es krim coklat sebelum diantar pulang. Anggita sedang sibuk dengan urusan lain beberapa hari ini dan karena Jenna masih berada di rumah sakit jadi Arbian yang menjemputnya tanpa mengatakannya ke Jenna."Suka benget Om," ucap Kaila. "Mama selalu membelikan Kaila es krim setiap membawa Kaila keluar dari rumah setelah bertengkar sama Papa."DEG!!Entah kenapa jantung Arbian berdetak lebih cepat saat mendengarnya. Arbian mengulurkan tangan dan mengelus puncak kepalanya. "Mereka sering bertengkar?"Kaila terdiam sesaat masih sambil menjilati es krim coklat di tangannya kemudian mengangguk samar dan berucap lirih. "Setiap hari."Arbian menghela napas panjang, menarik tangannya dan menatap lurus ke depan, berpikir, mencoba mencerna
Mendekati pukul enam sore, Boram turun dari bus yang dinaikinya dan terduduk lesu di bangku halte yang sepi. Setalah yakin kalau memang Sam tidak akan datang menemuinya setelah dia berdiri di sana selama beberapa jam, Boram memutuskan datang ke cafe. Sudah terlambat untuk bekerja tapi Boram tidak mau pulang karena sejak tadi dia berusaha menahan serbuan air matanya. Kalau di rumah sendirian, dia pasti akan menangis lagi.Sam mungkin memang marah besar dan tidak mau menemuinya bahkan sekedar untuk mendengarkan penjelasannya saja dia tidak mau. Tidak ada yang bisa dilakukan Boram saat ini.Boram meletakkan kepalanya di tiang besi penyanggah halte dan memandangi langit yang masih berbalut mendung karena memang hujan baru berhenti setengah jam yang lalu. Tidak ada keindahan semburat jingga yang biasa dia lihat saat sore menjelang malam.Ditahanpun, nyatanya air matanya mengalir begitu saja membuat Boram harus menutup wajahnya dengan tangan lalu seakan tersadar dia saat ini berada di tempa
"Mam--"Adela yang sedang membaca majalah di ruang tamu mengangkat pandangannya dan bertatapan mata dengan Samudra yang baru saja menutup pintu lalu mendekatinya. Wajahnya terlihat kusut, rambutnya berantakan dan tatapannya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Raut wajah sendu yang sering diperlihatkannya kalau Adela sedang sedih atau kedapatan menangis walaupun Sam tidak pernah menanyakan apa alasannya. Sejak tadi Adela memang menunggu Sam pulang meskipun jam sudah menunjukkan angka sepuluh malam. Adela sontak menutup majalah dan meletakkan di atas meja, merentangkan tangan menyambut saat Sam memeluknya dengan erat. "Kenapa sayang?" Tanya Adela seraya mengelus kepala Sam penuh sayang."Aku melakukan kesalahan," lirihnya. "Setiap orang pernah melakukan kesalahan dan selama hal itu masih bisa diperbaiki maka lakukanlah sebelum terlambat." Meskipun bingung tapi Adela tetap menjawab kalimat pernyataan Sam. Nanti anaknya pasti akan mengatakannya sendiri sesuatu yang beberapa hari ini m