"Sam—" Adela menghentikan langkah kaki Sam yang sudah berdiri di ambang pintu. Sam menoleh dengan tatapan heran. "Kenapa Ma?""Mama mau bicara sebentar sama kamu." Adela beranjak ke ruang tamu dan duduk di sofa panjang lalu menepuk-nepuk tempat di sebelahnya supaya Sam ikut duduk bersamanya.Sam bergeming, menatap sekilas jam tangan dan hampir melihat jarum jam bergerak ke angka delapan. Sebentar lagi shift Boram akan habis dan Sam yang hari ini memang bukan jadwalnya menyanyi di cafe memilih pergi ke sana sebelum Boram pulang. Dia tadi sudah pinjam motor dan mencucinya. Mamanya memang baru saja pulang dari membantu tetangganya yang sedang mengadakan acara syukuran.Mau tidak mau, Sam masuk lagi ke dalam seraya meletakkan helm besarnya di dekat pintu dan duduk di samping Mamanya."Kenapa Ma?"Adela menatap lekat penampilan Sam yang rapi. Kalau anak lelakinya itu sudah meminjam motor itu artinya ada hal istimewa yang akan dia lakukan. Tidak perlu bertanya karena pasti dugaannya benar
Boram hanya diam memandangi Arbian. Merasa sedikit canggung tapi setidaknya dia sudah mengatakan siapa yang dia pilih. Boram lalu berdiri karena merasa tidak ada lagi keperluan yang lain yang mengharuskannya duduk lebih lama di sini. Dia harus kerja dan dia juga harus memenuhi janji kencan dengan ABG yang kadang labil dan harus disogok dulu dengan kencan agar mau masuk kelas tapi entah kenapa hal-hal seperti itu membuat Boram tersenyum sendiri saat mengingatnya. "Kalau begitu saya permisi ya Mas. Harus kerja." Tanpa terduga, Arbian menahan langkahnya dengan memegang pergelangan tangannya dan ikut berdiri. "Neng, aku boleh minta tolong?""Minta tolong?" tanya Boram heran.Arbian melepas pegangannya seraya mengangguk. "Malam ini tolong temani Akang pergi ke acara makan malam ya. Sebentar saja."Boram langsung menggelengkan kepala, menolak. "Aduh, jangan Mas. Nanti malah bikin malu karena memang nggak pernah datang ke pesta orang-orang kaya seperti kalian." "Boram—" desah Arbian den
Boram mengerjapkan matanya saat fashion stylist yang di sewa Arbian untuk mendandaninya berputar-putar mengelilingnya memperhatikan penampilannya malam ini yang katanya seperti cinderella tapi bagi Boram malah sangat berlebihan. Seperti mau pergi ke jamuan makan malam kerajaan padahal hanya menghadiri pesta."Kecantikanmu yang sebenarnya tersembunyi di balik baju kerja dan riasan kasualmu itu."Veronica menatap puas penampilan Boram yang malam ini sudah dia make over sesuai dengan permintaan Arbian."Separah itu kah?" tanya Boram yang belum memperhatikan keseluruhan penampilannya."Parah?" Vero mendengus tidak suka. "Kamu itu mahakarya, sadar atau tidak sadar kamu dengan kecantikanmu itu. Mau lihat?""Tidak usah kalau hasilnya amburadul."Vero tiba-tiba mencekal kedua lengannya dengan tatapan kesal dan memutar Boram dalam sekali gerakan memaksanya menghadap ke kaca rias besar yang ada di depannya."Tidak ada kata amburadul kalau sudah aku yang menanganinya. Lihat dirimu sendiri dan ba
Samudra sudah tidak tahu berapa lama dia berdiri di bawah pohon rambutan di dekat rumah Boram sejak dari halte bus tadi. Niatnya ingin menjauh tapi nyatanya dia malah pergi ke rumah Boram dan menunggunya di sana. Dia hanya ingin melihat lebih jelas apakah memang yang tadi itu benar suaranya Boram atau dia salah pendengaran. Dia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri dan kalau benar Boram pergi ke pesta dengan Arbian maka Sam ingin sekali menghajar lelaki itu.Tidak peduli hujan membuat tubuhnya basah dan menggigil akibat sengatan hawa dingin malam hari.Sam bergerak sedikit saat matanya menangkap sorot lampu mobil di kejauhan yang perlahan mendekat dan berhenti tepat di depan rumah Boram. Reflek tangannya mengepal erat seraya menunggu. Keadaan sekitarnya yang agak gelap dan hujan yang turun dengan deras membuat pandangan Sam agak kabur tapi dia jelas tahu kalau lelaki yang keluar dan membuka payung lebarnya seraya berjalan ke arah kursi penumpang adalah sosok Arbian."Boram," Sam
"Mas Anthony, biar saya naik taksi saja." Boram merasa tidak enak saat Anthony membukakan pintu mobil untuknya di lobbi saat hujan di luar semakin menderas."Maafkan aku kalau kamu merasa tidak nyaman tapi sebelum membawa Jenna tadi dia berpesan untuk mengantarmu pulang. Ini sudah malam dan kebetulan aku tidak keberatan. Jangan merasa canggung seperti itu.""Tapi Mas—" Boram bingung ingin menolak saat Anthony menarik lengannya dan membawanya masuk ke dalam mobil, menutupnya lalu bergerak masuk ke kursi kemudi dan menjalankan mobilnya menjauhi hotel di bawah guyuran hujan deras. Boram hanya diam. Sejujurnya dia bingung. Lelaki di sampingnya ini jelas ayah kandungnya Sam dan dia ingin menanyakan banyak hal terutama tentang Sam tapi mati-matian ditahannya. Apa dia tahu memiliki anak lelaki yang ketampanannya menurun darinya dan— Boram mengalihkan tatapan ke luar. Bagaimana tanggapannya kalau tahu Sam mencintai janda."Kamu tinggal sendirian?" Setelah beberapa saat dalam keheningan, Anth
Tok...Tok..Tok...Boram tersentak dari tidurnya di atas sajadahnya masih mengenakan mukena saat mendengar ketukan di pintu rumahnya. Dengan agak terhuyung Boram berdiri seraya melepas mukenanya dan keluar kamar. Hujan sudah menghilang selepas tengah malam. Semalam dia menangis dan tidak bisa tidur memikirkan Sam dan perkataan Anthony saat akan pulang dan memilih sholat tahajud dan ketiduran dan malah melewatkan sholat shubuh.Boram melihat waktu masih menunjukkan pukul enam pagi dan saat dia membuka pintu depan rumahnya dilihatnya tiga Ibu kompleks yang rumahnya di samping kanan dan kirinya menatap dengan pandangan aneh."Ada apa ya Bu?" Tanya Boram heran."Bu Boram, kami ini datang menyampaikan beberapa keluhan Ibu-ibu kompleks sini ya yang resah karena Bu Boram sering banget bawa lelaki berbeda ke sini." Boram bengong dan menatap mereka bergantian. "Jadi lebih baik ibu pindah kontrakan deh dari pada kami bicara dengan Ibu Anis, selaku yang punya rumah ini.""Tapi Bu, saya tidak mela
"Jadi, aku sudah tidak memiliki kesempatan lagi?" Arbian yang baru saja berbalik saat hendak keluar dari ruangan rawat inap Jenna terdiam di tempatnya. "Aku memang sengaja kembali ke Indonesia supaya bisa bersamamu lagi mengabaikan omongan orang tuaku yang tidak peduli apapun tentangku setelah perceraianku. Apa aku terlalu berharap lebih kalau kamu masih mencintaiku sama seperti dulu?"Arbian hanya diam. Bahkan saat isakan Jenna terdengar di belakangnya. Semalaman dia menunggu Jenna yang baru sadarkan diri tadi pagi meski mereka tidak membicarakan apapun. Saat hampir mendekati jam makan siang, Arbian berniat untuk pulang."Aku sama sekali tidak pernah menduga kalau ternyata selama ini aku hanya mencintaimu secara sepihak karena nyatanya cintamu sudah menghilang. Rasanya—" Jenna menangis dan Arbian hanya bisa mengepalkan tangannya. "Menyakitkan. Kalau dari awal aku tidak bodoh dan dengan yakinnya merasa kamu masih mencintaiku dan kita bisa bersama ternyata semua itu hanya delusiku saja
Boram berdiri diam di halte dengan tatapan mengarah ke depan di mana hujan yang sejak semalam turun masih menderas menciptakan genangan air di mana-mana. Sudah lima belas menit berlalu setelah bus yang ditumpanginya pergi menjauh tapi dia tidak juga beranjak pergi dan bergabung dengan sekumpulan siswa dan siswi yang berjalan mengarah ke sekolah di bawah naungan payung sambil mengobrol.Bukan karena dia tidak membawa payung tapi karena hatinya berharap, kalau dia tinggal sedikit lebih lama di sana, mungkin dia bisa berpapasan jalan dengan Samudra dan memiliki kesempatan menjelaskan kesalahpahaman mereka. Saat ini pikirannya sedang di penuhi oleh sosok cowok itu yang membuatnya resah seperti remaja labil yang sedang marahan dengan gebetannya. Boram tahu kalau apa yang dirasakannya ini sangat memalukan tapi toh dia tetap tidak bisa berhenti memikirkannya. Menyadari kalau memang semua ini berawal dari dirinya sendiri yang mengingkari janji dan juga tidak berpikir kalau Sam pasti akan menu