Rasanya ada yang terbakar saat Ratu mendengar semua perkataan Sam tadi. Melamar Bu Boram setelah lulus sekolah. Ratu berdecak, menggenggam erat tangkai duri mawar yang dia cabut paksa dari potnya di sekitaran halaman rumah sakit. Seperti hatinya yang saat ini tersayat-sayat dan berdarah.Ratu merasakan kepalanya pusing, darah merembes dari telapak tangannya. Tapi amarah dalam dadanya membuat pikirannya tetap membara bahkan saat seharusnya dia dilarikan ke IGD sebentar lagi.Ratu ingin melihat apa Sam akan mengkhawatirkannya lebih dari Boram saat ini.Tidak ada yang boleh merebut calon suaminya, seseorang yang sudah sejak lama menetap di hatinya. Lebih dari seorang superhero, kakak dan kekasih. Samudra itu segalanya buat Ratu.Jadi dia sama sekali tidak salah kalau menjaga Sam supaya tetap berada di sisinya. Boram tidak punya hak untuk merebutnya dan tidak akan pernah bisa memiliki Sam."Dek."Ratu berbalik saat akhirnya kesadarannya mulai menghilang membuat Sam seketika berlari panik
Boram memeluk tubuhnya sendiri seraya berdiri di depan kaca ruangan ICU memandang nanar sosok Ratu yang terbaring di dalamnya. Tidak bisa membayangkan hidup yang selama ini gadis cantik itu perjuangkan meski harus bergulat dengan alat-alat kedokteran juga obat-obatan.Boram merasakan hatinya terenyuh. Mencoba mengabaikan keadaan hatinya sendiri yang sudah kacau balau membayangkan keinginan terbesar Ratu. Memiliki Samudra di dalam hidupnya sebagai seorang suami yang bisa menjaganya dan menemaninya melewati ini semua.Meski tidak rela tapi Boram tahu, hanya orang berhati egois yang tidak peduli dengan hal itu dan mengabaikannya. Sayangnya Boram bukan orang yang tidak peduli. Boram lebih dari mengerti karena itu dia sudah memutuskan. Ratu akan mendapatkan keinginannya meski Boram harus mengorbankan cintanya. Boram sama sekali tidak membenci Ratu karena terlalu memaksakan kehendak ke semua orang agar mengikuti kemauannya. Boram hanya akan menganggap kalau memang dia dan Samudra tidak b
"Aku akan mengurus administrasinya." Boram yang duduk di tepi ranjang menoleh ke Arbian yang masuk ke dalam ruangan rawat inapnya setelah dari kantin membeli kopi dan berdiri di sampingnya. "Kamu di sini dulu dan siap-siap ya setelah itu kita langsung pulang.""Biar aku saja Mas. Aku sudah terlalu banyak merepotkan," tolak Boram.Arbian menggelengkan kepala, merapikan anak rambut Boram yang terjuntai seraya tersenyum. "Harus berapa kali aku katakan Neng. Aku akan menanggung semua hal yang terjadi padamu seperti yang aku janjikan pada almarhum ibuku selama kamu belum menjadi istriku tapi nanti kalau kita menikah maka aku akan menanggungmu sebagai seorang suami." Boram diam menatap Arbian tepat di manik mana. "Kamu tidak usah memikirkan apapun cukup istirahat dan terus sehat." Arbian meletakkan telapak tangannya di pipi Boram yang tidak sanggup berkata-kata. Lalu perlahan kepalanya menunduk ke bawah."Maafkan aku," lirih Boram."Hei, kenapa?" Arbian menangkup wajah Boram dengan kedua ta
Adela menghela napas panjang dan menepuk tangan Boram beberapa kali lalu menariknya dan sedikit menunduk memandangi tangannya yang bertaut."Dia mirip banget sama Papanya. Keras kepalanya, nekatnya, kepintarannya, ketampananya. Mungkin Tante hanya nyumbang perut untuk mengandungnya dulu." Adela tertawa sedikit dipaksakan. Kelihatan sekali kalau kenangan masa lalu masih membayang dan mengikuti. Boram mengerti karena jelas kalau Tante Adela masih mencintai lelaki itu padahal mereka selama ini ditelantarkan. Karena cinta. Walaupun saat ini memiliki lelaki itu sangat tindak mungkin tapi Tante Adela masih menyimpannya dalam hati. Boram tidak bisa membayangkan rasa yang ditanggung beliau selama ini. Boram seakan menatap cermin masa depannya sendiri. Dulu dia tidak pernah sibuk memikirkan cinta serumit ini karena dia hanya mencintai Mas kelana seorang yang menyambut cintanya dengan baik. Tapi sekarang, cintanya sulit untuk digapai."Kadang kalau Malam, Tante jadi merasa sedih kalau ingat ke
Ratu yang sudah sadar dari masa kritisnya memeluk kedua lututnya erat dan mengalihkan tatapannya dari hujan yang menderas di luar dari kaca rawat inapnya ke Papanya yang duduk dengan laptop di atas pangkuannya."Pap, Sam mana sih kok nggak datang-datang?"Jery menghentikan gerak tangannya di atas keyboard dan menatap anaknya yang cemberut."Ratu telpon tapi nadanya sibuk melulu.""Mungkin dia lagi ada kesibukan sayang. Tunggu aja dulu.""Ih tapi kan Ratu kangen sama dia Pap.""Sayang." Jery meletakkan laptopnya di atas meja dan meninggalkan pekerjaannya sebentar mendekat ke Ratu dan duduk di hadapannya. "Kamu harus mengerti kalau tidak setiap saat Sam bisa menemani kamu di sini. Lagian sekarang kan sudah ada Papa yang jagain. Biarkan aja Sam belajar dulu di rumah.""Tapi kalau Sam malah sedang bersama Boram bagaimana Pap?"Jery mengelus puncak kepalanya, "Kamu harus percaya sama Papa. Kalian akan menikah nanti jadi kamu tidak perlu secemburu itu sama Bu Boram yang sebentar lagi juga a
Dua minggu ini Samudra menghindarinya.Boram sadar betul akan hal itu tapi dia juga tahu apa alasannya. Ratu benar-benar menganggapnya seperti saingan. Meskipun dia masih bersikap hormat karena Boram masih tercatat sebagai gurunya tapi selebihnya tatapan gadis itu membuatnya harus berusaha menahan sabar. Boram juga tahu kalau Ratu selalu ada di mana pun Sam berada.Boram tidak mau terlalu memikirkannya jadi dia mengalihkan pikirannya dengan mempersiapkan pra-ujian juga mengoreksi nilai-nilai siswanya selama dua minggu ini. Nilai Sam tidak terlalu memuaskan karena hanya berbeda beberapa angka dari syarat nilai kelulusan tapi Boram cukup puas dengan hasilnya. Cowok itu pasti belajar dengan giat.Kira-kira Sam akan minta hadiah apa ya?"Bu."Boram menghentikan langkah kakinya saat seseorang memanggilnya dan dilihatnya Kevin, salah satu siswanya yang berkelakuan baik dan pintar mendekat seraya tersenyum."Kenapa Kevin?""Maaf Bu tadi kertas soal bahasa indonesia saya terikut di kertas mate
Boram berdiri di depan sekolah sejak setengah jam yang lalu sampai tidak menyadari kalau keadaan sekolah sudah sepi. Boram tahu dia harus menepati janjinya jadi di sinilah dia berada, menunggu Samudra.Boram sedang memikirkan untuk mengunjungi makan Kang Mas Kelana di tempat asalnya dulu besok berhubung hari sabtu dan sekolah libur. Jarak dari ibu kota ke daerah kabupaten Paryaman tempatnya tinggal dulu hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar lima jam perjalanan."Boram."Panggilan itu menyentak Boram dari lamunannya dan melihat mobil milik Arbian ternyata berhenti tepat di depannya."Loh Mas Arbian ngapain di sini?"Arbian menutup pintu mobilnya lalu mendekat. "Neng asik banget melamunnya sampai nggak sadar sekeliling." Boram hanya tersenyum. "Tadinya hanya numpang lewat karena jam pulangan sudah dari tadi tapi ternyata Neng berdiri sendirian di sini. Nungguin akang ya?" candanya.Boram tertawa. "Kita nggak ada janji ketemu kan hari ini?"Arbian mendesah dan mengangguk. Berdiri menyan
Boram terbatuk saat mendengar tawaran Sam yang mau meminjamkan bajunya. Seketika teringat dengan Almarhum Mas Kelana yang kaosnya sering Boram pinjam dan pakai jika di rumah. Bukan karena dia tidak punya baju tapi lebih senang mencium aroma maskulin almarhum suaminya itu."Pelan-pelan aja makannya. Kita tidak sedang buru-buru kok." Sam menggelengkan kepala saat menyerahkan es teh manis milik Boram beserta sedotannya yang langsung diminumnya."Pakai kaosmu?" Boram berdecak saat batuknya mereda. "Yang benar saja!!"Sam menggaruk belakang kepalanya. "Aku sengaja bawa kaos banyak siapa tahu Mbak mau pakai." Sam nyengir. "Ukurannya besar kok."Boram mengunyah pentolan baksonya dan menaikkan kedua bahunya. "Bolehlah kalau kepepet."Sam tertawa gemas. Boram menundukkan wajahnya dan lahap memakan baksonya tidak berani menatap Sam."Aku akan sangat bahagia sekali jika bisa memilikimu di masa depan, Boram," bisiknya hingga membuat Boram tertegun memandangi Baksonya. Tidak menjawab tapi dalam ha
Sebulan kemudian,Area keberangkatan International Soekarno Hatta.“Tolong, berjanjilah pada kami untuk merawatnya dengan baik.”Boram menahan tangisannya saat meminta dengan sungguh-sungguh pada Nindy yang menggendong Mutia.Nindy tersenyum. “Aku berjanji,Boram. Aku akan membesarkannya dengan baik. Kalian bisa mengunjungi kami kapanpun ke Rusia. Kami akan selalu menerima kalian dengan baik.”“Iya.”Boram mengamgguk. Nina dan suaminya yang seorang warga Rusia akhirnya mengajukan diri menjadi wali sah Mutia dan akan membesarkannya di tempat tinggal mereka seperti pesan yang ditinggalkan Nina. Boram yang sudah menganggap Mutia seperti anak kandungnya itu begitu berat melepas Mutia.“Mama..” Mutia mengulurkan tangan ingin di gendong Boram yang langsung mengambil alih. Boram memeluknya dengan erat dan menciumi wajahnya dengan sayang. Sebentar lagi mereka akan berpisah dan Boram merasa sangat sedih, Setelah Boram gantian Sam yang memberikan pelukan terakhir untuk Mutia dan kemudian mengem
Sam dan Boram saling berangkulan di depan makan Nina yang satu jam lalu baru saja dikuburkan. Boram masih tidak percaya bahwa takdir Nina akan jadi seperti ini padahal dia adalah orang yang baik. Tadi pagi mereka mendapatkan telepon dari pihak rumah sakit yang mengabarkan kalau Nina kembali kritis dan Sam langsung buru-buru ke sana sementara Boram harus menunggu Mbak Ina dulu. Sampai sana ternyata Sam sudah terkulai sedih dan mengatakan kalau Nina tidak bisa diselamatkan lagi karena pendarahan di otaknya. Boram langsung menangis histeris karena dia teringat dengan Mutia yang dia tinggalkan dengan buru-buru tadi.Meskipun dia masih memiliki ayah, tapi Reno tidak bisa menjaga anaknya sendiri karena saat ini berada di penjara."Sayang..."Sam menarik lamunan Boram membuatnya menoleh. "Ayo,kita pulang dan lihat keadaan Mutia."Boram mengangguk, teringat lagi dengan tangisan Mutia saat memeluk Ibunya untuk terakhir kalinya tadi sebelum dikuburkan. Kakak kandung Nina juga belum bisa ditemuk
"Sam..." Sam menoleh saat mendengar panggilan dari balik punggungnya dan menemukan Boram menghampirinya dengan wajah panik dan khawatir. "Apa yang terjadi sebenarnya?""Rumit,sayang." Sam memeluk Boram dengan erat, berdiri berdua tidak jauh dari ruang operasi."Kita fikir keadaan sudah menjadi lebih baik tapi ternyata masih ada yang mencoba untuk membahayakan Nina.""Apa maksudmu?"Sam menghela napas panjang, membawa Boram duduk di kursi tunggu dan mulai memberikan penjelasan."Istri kedua Reno sengaja menabrak mobil Nina hingga terpelanting dan terbalik menghantam pembatas jalan." Boram kaget seraya menutup mulutnya. "Anita, wanita itu sudah diamankan dan sekarang kita hanya bisa menunggu sambil berdoa. Bagaimana dengan Mutia?""Saat aku tinggalkan tadi dia sedang tidur dan dijaga sama Mbak Ina."Sam mengangguk, kembali menatap pintu ruang operasi karena luka yang di dapat Nina di kepala cukup serius. Sam berharap Nina bisa sembuh karena Mutia masih membutuhkannya."Semoga saja dia
Sidang kedua Nina selesai dengan lancar. Seminggu setelahnya Sam mengajak Boram untuk menunaikan ibadah Umrah dan akan dilanjutkan dengan jalan-jalan ke beberapa negara Timur Tengah selama tiga minggu. Setelah menempuh perjalanan panjang dan sampai di kota Madinah, semua rasa lelahnya terbayarkan saat melihat istrinya yang cantik menggunakan hijab. Mereka khusyuk beribadah dan Sam menumpahkan semua doa dan harapannya selama ini di depan Ka’bah untuk keberkahan hidupnya ke depan dan kebahagiaan dunia akhirat. Sam juga meminta skenario terbaik untuk rumah tangga mereka yang belum dikaruniai seorang anak. Berharap, doa-doa dan harapannya agar dikabulkan Tuhan. “Kenapa tidak dari dulu saja kita ke sini ya, sayang?” Sam menoleh, menatap wajah sendu istrinya yang menatap lurus ke depan di mana Ka’bah berada. Saat ini mereka sedang duduk santai tidak jauh dari Ka’bah hanya untuk sekedar duduk sembari berdoa dan membaca Al Qur’an. “Semua sudah ditakdirkan, sayang. Sekaranglah momen kita ja
Setelah masa pemulihan selama seminggu dan keadaannya sudah membaik, Boram menjalani hari-harinya seperti biasa. Dia sadar tidak bisa terus terlarut dalam kehilangan hingga membuatnya terus merasa sedih. Waktu terus bergulir dan Boram akan menjadikan yang dia lewati itu sebagai sebuah pembelajaran. Kedepannya dia bertekad untuk mulai hidup sehat begitu juga dengan Sam, menghabiskan waktu berdua entah di rumah atau jalan-jalan dan lebih hati-hati lagi dalam bertindak.Sudah berlalu dua minggu sejak sidang pertama Nina di gelar yang hasilnya cukup baik dan memiliki harapan ke depannya, Boram mengajak Nina membawa Mutia untuk jalan-jalan ke mall.Saat ini mereka sedang berada di salah satu restoran steak di dalam mall untuk makan siang.“Kita harus lebih sering jalan-jalan deh ke depannya,” ujar Boram, menyuapi Mutia kentang halus yang dimakan gadis kecil itu dengan bersemangat. “Sepertinya Mutia senang sekali bisa melihat-lihat ke ramaian.”Nina mengangguk. “Kita bisa atur jadwal kapanp
Rasanya ada yang terasa kosong di hati Boram. Setelah sadar dari pengaruh bius pasca operasi kuret, Boram lebih banyak melamun sembari mengelus perutnya. Masih belum menyangka dengan apa yang telah dia alami saat ini. Bagaimana bisa, dia tidak menyadari sama sekali kehadiran calon bayi yang sudah ada di dalam perutnya sementara dia tidak henti-hentinya berharap keajaiban itu ada. Dia merasa sedang menyesali sesuatu tapi tidak ada yang bisa dia lakukan lagi. Tuhan sudah mengambil kembali sesuatu yang sejak awal memang bukan miliknya. “Boram, makan dulu yuk.” Boram tersenyum lemah sembari menggeleng pada Jenna di sampingnya yang baru saja mengambil alih makan siang yang di antarkan pegawai rumah sakit. “Jangan seperti itu. Kamu tetap butuh makan.” “Rasanya aku malas sekali melakukan apa-pun.” Jenna menghela napas, merapikan rambut Boram dengan senyuman hangat. “Kamu tidak kasihan dengan Samudra?” Boram terdiam, Suaminya tadi pulang sebentar ke rumah saat Jenna datang untuk membant
“Mutia, kamu ngegemesin banget sih.”Boram nampak senang setelah memakaikan gaun pink berenda untuk Mutia selepas mandi sore karena niatnya setelah ini adalah mengajak Mutia jalan-jalan ke taman dekat komplek.“SiniTante cium dulu. Pasti harum banget.”Mutia tertawa di dalam pelukan Boram hingga membuatnya geli dan ingin melepaskan diri. Boram semakin lama semakin sayang dengan Mutia dan mulai memperlakukannya seperti anak sendiri meskipun kenyataannya begitu pahit. Namun, untuk dirinya sendiri, kehadiran Mutia membawa kegembiraan tersendiri untuknya.“Bu Boram, cemilan sama strollernya sudah siap di bawah.”Boram menoleh dan tersenyum pada Bik Umang, tukang masak di rumah Nina yang usianya sudah lanjut tapi masih giat bekerja. “Oke, Bik. Sebentar lagi kami turun ke bawah.”Boram memakaikan pita di rambut Mutia yang sudah diikat dua kanan dan kiri dengan senyuman puas lalu menggendongnya untuk turun. Sampai di bawah bik Umang menungggu sembari memegang stroller Mutia dan membantu Bor
Sam yang sedang sibuk dengan pekerjaannya di depan laptop yang menyala,melirik sekilas seseorang yang masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk terlebih dahulu dan mendengkus setelahnya.“Harap ketok pintu dulu sebelum masuk.”Laki-laki yang sudah masuk ke dalam ruangannya itu berhenti melangkah, mundur beberapa jengkal untuk kembali mengetuk pintu sembari tertawa dan masuk ke dalam.“Serius banget.” Sam menyandarkan punggungnya, meladeni laki-laki di depannya itu. “Ngopi yuk.”“Bukannya kamu lagi honeymoon ya? Kok cepat banget pulangnya.”Akmal, salah satu sahabatnya di sekolah dulu selain Alka tersenyum sumringah membuat Sam menaikkan alisnya heran.“Buat apa lagi honeymoon kalau istriku ternyata sudah positif hamil.”“Hah?” Sam cengok, menghitung dalam hati usia pernikahan Akmal dan Lili yang baru berlangsung hampir dua bulan itu. “Seriusan? Cepat banget. Lili enggak kamu buntingin duluan kan?”Akmal yang seorang anggota polisi itu mengepalkan tangannya. “Enak saja!” Akmal duduk di
Sehari setelah insiden, Nina diperbolehkan pulang. Keadaannya sudah baik-baik saja dan ada beberapa polisi yang berjaga di sekitar rumah Nina agar kejadian sebelumnya tidak terulang lagi. Sam masih melakukan penyelidikan dan pengawasan terhadap kasus Nina di mana Reno, suaminya itu masih dalam status buron. Sementara Boram setiap pulang sekolah punya kegiatan baru jika sedang tidak ada jadwal mengajar les yaitu mampir ke rumah Nina untuk bermain dengan Mutia. “Mbak, saya tidak mau merepotkan sampai harus datang jauh-jauh ke sini,” ujar Nina suatu hari.“Tidak. Aku ini setelah pulang ke rumah kalau tidak ada jadwal les ya pengangguran. Terlebih jika Sam sedang menangani suatu kasus di mana dia lebih banyak lembur. Aku kadang suka main di tempat sahabatku dan bermain bersama anaknya. Jadi, kamu tidak usah khawatir.” Boram mencoba menjelaskan. “Atau kamu merasa kurang nyaman kalau aku datang terus?”Nina reflek langsung membantah. “Tentu saja tidak. Aku sangat berterima kasih tapi taku