Sam bergeming di depan meja belajar sedang menatap buku miliknya yang dihiasi tulisan tangan Boram dengan rumus-rumus matematika yang disederhanakan. Juga tempelan sticky note kuning dengan kalimat penyemangat untuknya.Untuk Sam yang pemberani.Jangan pernah sekalipun kamu menyerah Aku akan terus mendukungmu.Jadilah lelaki yang sukses nantinya.Boram :)Sam mengepalkan kedua tangannya di atas meja dan menundukkan wajah. Hatinya terasa sakit ketika bayangan dirinya di masa depan yang mungkin sudah sukses berkat kalimat sederhana penyemangat ini tapi bukan Boramlah yang menjadi pendampingnya.Sam memukul meja belajarnya berkali-kali membiarkan saja buku tangannya memerah. Dia tidak peduli. Siapa yang peduli pada perasaannya saat ini. Tidak ada. Bahkan Boram juga tidak memahami rasa cintanya dan dia lebih memilih menyambut uluran tangan Arbian tidak sekalipun mencoba memberinya kesempatan. Hanya karena dia masih sekolah dan dianggap bocah.Apa yang salah dengan hal itu sebenarnya kala
"Bu Boram."Boram terkejut dan gelagapan ketika Rei yang duduk di depannya di warung bakso setelah sekolah usai mengagetkannya. Bahkan ujung sedotannya masih ada di bibir yang isinya dia sesap pelan-pelan sambil melamun."Maaf Pak. Sampai mana tadi pembicaraan kita?""Sampai saya juga lupa Bu." Boram nyengir dan kembali melanjutkan makannya di bawah tatapan Rei yang juga menggelengkan kepala lalu melipat lengannya di atas meja setelah menyingkirkan mangkuk baksonya ke samping. "Ada yang lagi dipikirkan ya?""Nggak ada kok Pak. Saya masih teringat dengan kejadian kemalingan kemarin. Masih ngeri aja sih."Rei menaikkan alisnya, "Yakin hanya karena itu?"Boram tertawa, "Ah Bapak ini kok jadi kepo sih. Iya cuma itu aja kok. Terima kasih banyak loh Pak sudah bersedia datang dan membantu mengganti semua kunci di rumah."Rei menghela napasnya dan tersenyum, "Saya nggak kepo Bu tapi kelihatan sekali kalau Bu Boram lagi banyak pikiran. Tentang hal itu saya kan sejak awal sudah bilang kalau ada
Agar bisa membaca yang samar itu, Boram merasa harus melakukan sesuatu.Kalau memang Arbian yang berada di dalam hatinya maka Boram akan melakukan sholat istikharah meminta petunjuk pada Sang Pencipta untuk meyakinkan lagi dirinya kalau keputusannya menerima Arbian sebagai suaminya adalah keputusan yang terbaik.Jadi besoknya saat Sam belum juga kelihatan keberadaanya di sekolah maupun di cafe, Boram menyetujui ajakan makan siang Arbian yang langsung menjemputnya. Boram pikir akan di ajak makan siang di tempat makan biasa dan kaget ketika Arbian membawanya makan di restoran mewah yang harganya pasti mahal."Kok kesini Pak? Kenapa nggak makan di warung aja?" Kata Boram tanpa mengalihkan tatapannya dari interior mewah restoran.Arbian terkekeh, "Makanan di sini enak kok.""Tapi kan mahal."Arbian tertawa, "Nggak kok. Tidak usah dipikirkan hal itu yang penting kamu nikmati makan siang kita ini."Boram hanya tersenyum tipis lalu mengangguk dan berjalan bersisian dengan Arbian mengikuti pel
"Selamat malam semuanya."Boram reflek mengangkat pandangan dari mesin kasir saat sedang melayani pengunjung dan terkejut mendapati Samudra berdiri di panggung memegang mic andalannya menyapa semua pengunjung cafe yang malam ini ramai. Boram terdiam dan tidak bisa mengalihkan tatapannya. Tidak menyangka kalau Sam sudah kembali bekerja malam ini."Mbak, berapa totalannya?"Boram tersentak kaget, menggumamkan kata maaf dan kembali sibuk dengan kegiatan menghitungnya."Apa ada yang merindukanku di sini?" kata Samudra santai.Boram berusaha fokus dengan jumlah kembalian uang pelanggan sambil mendengarkan suara Samudra. Pengunjung bersorak membuat cafe menjadi ramai."Aku merindukan seseorang—" Boram menahan napasnya lalu kembali menatap Sam di kejauhan setelah pelanggannya berlalu pergi.Sam balik menatapnya intens, "Lagu ini untukmu. Seseorang yang suatu hari nanti ingin sekali bisa aku milikki." Pengunjung cafe bersorak.Boram menumpukan tangannya di pinggiran meja dengan perasaan berde
Setelah meletakkan tasnya di atas meja, Boram terduduk di kursi dengan wajah lesu seraya mengedarkan pandangan ke sekitar area ruang guru yang perlahan mulai ramai. Dihelanya napas pendek dan menatap pintu masuk dengan pandangan kosong. Membayangkan kembali kejadian semalam. Boram merasakan jantungnya kembali berdebar. Cowok itu mampu membuatnya merasakan perasaan seperti ini lagi. "Semuanya dengarkan!!" Bu Niken yang baru saja masuk menepuk tangannya menuntut perhatian semua orang yang ada di dalam. Boram menegakkan punggungnya mendengarkan seraya mengambil beberapa buku paket untuk bahan ajarnya pagi ini. "Pak Jery nanti siang mau berkunjung ya. Kita semua diwajibkan hadir dalam rapat bulanan membahas tentang keadaan sekolah selama enam bulan ini. Diharapkan apapun keluhan dan permasalahan yang ada bisa dibicarakan dengan beliau."Semua orang terlihat sumringah dengan berita itu hingga menimbulkan dengungan di mana-mana entah sedang membahas apa.Boram mengeryit, "Pak Jery?"Niken
Samudra menghela napas, duduk bersila di atas tempat tidur dan diam memandangi tangannya yang diperban. Baju seragamnya sudah di lepas menyisakan kaos hitam yang di pakainya sebagai dalaman. Sakit di bagian ulu hatinya masih terasa akibat dari pukulan yang dilayangkan musuhnya memakai balok saat Sam lengah.Sam menggerakkan kepalanya berputar mencoba untuk merenggangkan otot lehernya yang kaku saat Ratu masuk ke dalam membawa sebungkus kerupuk koin dan minuman soda."Sok jagoan!" decak Ratu saat duduk di hadapannya. Memberikan minuman soda itu ke tangan Sam."Aku memang jagoan," jawab Sam bangga.Ratu memutar bola matanya dan menunjuk luka Sam dengan dagunya seraya membuka bungkusan plastik kerupuk yang langsung diambil alih Sam dan membukanya hanya dalam satu kali robekan dan memakannya."Kamu bisa terluka lebih dari ini Sam.""Tapi aku suka berkelahi.""Nggak ada faedahnya sama sekali. Aku nggak suka melihat kamu yang seperti ini," lirih Ratu. Sam menyodorkan satu kerupuknya ke mulut
Samudra sama sekali tidak tahu kalau ternyata Om Jery berdiri di balik pintu kelas tempat di mana dia dan Boram mengobrol. Entah hanya kebetulan atau memang sebelumnya dia melihat Sam menarik Boram masuk lalu penasaran untuk mencari tahu. Ekspresi wajah Om Jery yang awalnya nampak terkejut berubah seperti wajah ramahnya yang biasanya membuat Sam tidak bisa menebak apa yang beliau pikirkan.Sam tidak terlalu mengkhawatirkan penilaian Om Jery. Malah bagus kalau beliau mengetahui hubungannya dengan Boram. Asalkan lelaki yang berjalan dengan punggung tegak di depannya ini tidak melakukan hal aneh seperti memberhentikan Boram dari pekerjaannya. Semoga saja Om Jery tidak bertindak egois dengan memanfaatkan kekuasannya untuk menekan Boram. Sam tidak akan pernah tinggal diam jika melihat Boram mendapatkan masalah karena memiliki perasaan terhadapnya.Mereka bertiga berjalan mengarah ke ruangan kepala sekolah yang kosong. Di sepanjang koridor juga sudah sepi hanya suara murid di lapangan bask
Boram menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Disekanya wajah sehabis menangis lebay entah untuk alasan apa. Ditatapnya lekat keseluruhan wajahnya di kaca kamar mandi seraya memikirkan pembicaraan mereka tadi apalagi semua perkataannya. Benarkah dia rela melihat Sam menikahi wanita lain?Sejujurnya dia tidak rela."Astaga, kenapa dengan diriku?"Boram bermonolog sendiri. Bingung. Kenapa dia malah sangat emosional terhadap apapun yang berhubungan dengan Sam padahal Arbian jauh lebih pantas dipilih. Jawabannya karena dia menyadari adanya sosok Sam yang berdiam di hatinya entah sejak kapan. Walaupun begitu Boram tidak bisa mengabaikan kenyataan kalau dia memang harus berusaha keras mengabaikan perasaannya lagi. Keadaan tidak mengizinkannya berhubungan dengan cowok itu lebih jauh.Tapi Boram sempat membayangkan bagaimana kalau seandainya mereka memiliki kesempatan untuk bisa saling membalas perasaan masing-masing dan memutuskan bersama tanpa menyakiti perasaan orang lain da