Boram merebahkan diri di atas tempat tidur memandang nyalang langit-langit kamarnya dengan bayangan wajah Arbian juga Sam yang berputar silih berganti. Mencoba merenungkan bagaimana sebenarnya perasaannya sendiri. Arbian jelas lelaki yang seharusnya dia terima menjadi suaminya bukan karena masalah balas budi itu tapi mungkin karena persamaan nasib. Lagi pula, laki-laki itu baik dan sayang keluarga. Tidak ada keraguan untuk menolaknya saat Arbian memintanya menjadi istrinya.Tapi masalahnya bukan hanya itu. Boram sadar ada yang tidak beres sedang dia rasakan terutama kenyataan di mana jantungnya selalu berdetak lebih kencang saat bersama Samudra. Cowok remaja yang merupakan siswanya sendiri. Boram mati-matian untuk mengenyahkan apapun perasaan yang ada untuk cowok itu. Dia harus sadar apa posisinya.Akhirnya Boram duduk, memeluk gulingnya dan menatap figura yang terpasang di dinding yang seketika membuatnya merasa sedih. Fotonya saat menikah dengan Mas Kelana. Tentang kejadian yang men
Sebelumnya....."Bang Kev, makasih ya."Sam melempar kunci motor saat tetangganya, Kevin, muncul dari balik pintu rumahnya yang langsung sigap dia tangkap. Kevin tersenyum, membuka lebar pintunya dan mengekori Sam yang duduk di kursi rotan berandanya."Jadi beneran lo yang bawa tuh motor?" tunjuknya ke motor sport merah di garasi rumahnya, "kalau lo masih mau pakai tuh motor, ya bawa aja dulu Sam. Lo sendiri tahu, tuh motor kebanyakan nganggurnya di rumah. Gue sama Aldi biasanya pakai mobil. Yah walaupun gue rada heran juga waktu Aldi tadi bilang kalau lo yang bawa tuh motor. Biasanya kan lo ogah biarpun gue paksa. Katanya lebih suka naik bus kemana-mana."Sam hanya tersenyum, memukulkan kotak rokoknya ke tangan, membukanya dan mengambil satu untuk dinyalakan. Kevin, tetangga sebrang rumah Sam menyimpitkan mata saat melihat penampilan Sam, "Lo baru pulang ngedate ya?""Yup." Sam menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya ke udara. "Ini kan malam minggu."Kevin tertawa, mengambil kot
Boram menggerang. Perlahan membuka matanya dan melihat langit-langit kamar yang terasa asing baginya. "Astaga, kepalaku," desah Boram memegangi kepalanya."Sudah bangun?"Suara lembut itu menyadarkan Boram. Saat dia menoleh, Boram terbelalak ketika melihat seorang wanita cantik sedang duduk di sampingnya memperhatikan. Boram mengerjapkan mata, bangkit untuk duduk yang langsung dibantu dan mencoba mengingat dia ada di mana."Kamu ada di rumah Tante, Boram. Tenang saja."Lalu Boram ingat siapa wanita yang ada di depannya dan melotot kaget."Tante kan?"Tante itu tersenyum, berpindah duduk di samping Boram dan menyerahkan segelas teh hangat."Adela. Masih ingat?"Boram mengangguk dan mengambil alih gelas tehnya, "Terima kasih. Tadi siang, aku datang untuk menjahitkan kebaya." Boram lalu meminum tehnya.Adela tersenyum, "Tante, Mamanya Sam."Boram tersedak minumannya sendiri membuatnya batuk-batuk hebat. Adela langsung panik dan bantu menepuk punggung Boram."Mamanya Samudra Arkana?" Tan
Paginya saat Boram terbangun, dia jelas kaget setengah mati saat mendapati Sam ada di dalam kamar, duduk di kursi meja belajarnya dan menatapnya dalam diam. Boram mengerjapkan mata mencoba melihat apakah itu memang Sam atau bukan hingga membuat cowok itu tertawa."Bukan malaikat kok Mbak, ini hanya aku. Sam" kekehnya geli.Boram duduk di pinggir ranjang dan memutar bola matanya mencoba merapikan rambutnya yang mungkin mencuat kemana-mana."Siapa juga yang ngira kamu malaikat."Sam tertawa renyah. Cowok itu begitu tampan dan segar meski hanya berpakaian sederhana hanya jeans setengah lutut dan kaus tanpa lengan. Ototnya tercetak di sana meski jauh dari otot punya Pak Rei yang kekar. Sam berdiri, menggeser kursinya sampai di depan Boram dan menatapnya intens. Boram hanya bisa terdiam."Semuanya sudah selesai. Mbak nggak perlu takut atau khawatir karena kawanan maling itu sudah di penjara." Sam tersenyum menumpukan kedua telapak tangan di pinggiran kursinya dan sedikit memajukan tubuhnya
"Selamat pagi Tante Adela."Ratu menyapa dengan senyuman lebar ketika melihat Adela dan Samudra menyambut di ambang pintu rumah. Di belakangnya menyusul sosok lelaki tinggi tegap berstatus duda yang merupakan Papa dari Ratu, Jery Baskoro, membawa bingkisan yang entah apa dengan senyuman yang tidak pernah pudar dari wajahnya setiap kali datang berkunjung.Senyuman yang selalu ditunjukkan untuk Mamanya. Sam hanya berdiri diam melipat lengannya dan mundur sedikit ketika Ratu sudah sampai di depan pintu, melepas sepatunya dan memeluk Adela erat yang langsung di balas Mamanya sama eratnya. Sam menghela napas pelan, menoleh sedikit ke belakang tepatnya ke arah kamarnya dengan perasaan bergemuruh.Tempat di mana ada Boram yang bersembunyi."Sam, kamu sudah sarapan? Aku bawain brownies kesukaanmu loh."Sam kaget ketika mendapati Ratu sudah berdiri di sampingnya dan memperhatikannya lekat lalu mengambil bingkisan yang di bawa Papanya. "Pagi Sam," sapa Om Jery ramah.Sam tersenyum, "Pagi Om."
"Arbian." Boram turun dari kamar Sam dengan langkah pelan dan tersenyum saat ketiganya yang berdiri di ambang pintu menoleh ke arahnya secara bersamaan. Arbian membalas senyumannya, Adela hanya diam menatapnya dan Sam berdiri dengan tatapan sarat emosi."Boram. Kita pulang sekarang ya," kata Arbian.Boram mengangguk. Berusaha mengabaikan tatapan milik Sam yang mampu membuat lututnya lemas seketika dan berusaha untuk tidak terpengaruh."Tante, sebelumnya Boram minta maaf kalau merepotkan dan juga sangat berterima kasih karena sudah diizinkan menginap semalam di sini."Adela tersenyum, "Iya sama-sama. Kita harus saling menolong jika ada yang kesusahan. Kamu tidak usah terlalu memikirkannya. Tante harap kejadian seperti ini tidak akan terjadi lagi."Boram tersenyum tipis, memeluk Adela sebentar dan mengangguk, "Tentu saja."Lalu Boram berhadapan dengan Sam dan mengeratkan genggamannya pada plastik pakaian di tangannya dan berusaha tersenyum seperti biasanya. Sam menatapnya dalam seperti
Sam bergeming di depan meja belajar sedang menatap buku miliknya yang dihiasi tulisan tangan Boram dengan rumus-rumus matematika yang disederhanakan. Juga tempelan sticky note kuning dengan kalimat penyemangat untuknya.Untuk Sam yang pemberani.Jangan pernah sekalipun kamu menyerah Aku akan terus mendukungmu.Jadilah lelaki yang sukses nantinya.Boram :)Sam mengepalkan kedua tangannya di atas meja dan menundukkan wajah. Hatinya terasa sakit ketika bayangan dirinya di masa depan yang mungkin sudah sukses berkat kalimat sederhana penyemangat ini tapi bukan Boramlah yang menjadi pendampingnya.Sam memukul meja belajarnya berkali-kali membiarkan saja buku tangannya memerah. Dia tidak peduli. Siapa yang peduli pada perasaannya saat ini. Tidak ada. Bahkan Boram juga tidak memahami rasa cintanya dan dia lebih memilih menyambut uluran tangan Arbian tidak sekalipun mencoba memberinya kesempatan. Hanya karena dia masih sekolah dan dianggap bocah.Apa yang salah dengan hal itu sebenarnya kala
"Bu Boram."Boram terkejut dan gelagapan ketika Rei yang duduk di depannya di warung bakso setelah sekolah usai mengagetkannya. Bahkan ujung sedotannya masih ada di bibir yang isinya dia sesap pelan-pelan sambil melamun."Maaf Pak. Sampai mana tadi pembicaraan kita?""Sampai saya juga lupa Bu." Boram nyengir dan kembali melanjutkan makannya di bawah tatapan Rei yang juga menggelengkan kepala lalu melipat lengannya di atas meja setelah menyingkirkan mangkuk baksonya ke samping. "Ada yang lagi dipikirkan ya?""Nggak ada kok Pak. Saya masih teringat dengan kejadian kemalingan kemarin. Masih ngeri aja sih."Rei menaikkan alisnya, "Yakin hanya karena itu?"Boram tertawa, "Ah Bapak ini kok jadi kepo sih. Iya cuma itu aja kok. Terima kasih banyak loh Pak sudah bersedia datang dan membantu mengganti semua kunci di rumah."Rei menghela napasnya dan tersenyum, "Saya nggak kepo Bu tapi kelihatan sekali kalau Bu Boram lagi banyak pikiran. Tentang hal itu saya kan sejak awal sudah bilang kalau ada