Boram duduk di halte dekat pasar sambil memijit pangkal kakinya yang terasa pegal. Tadi dia sudah bertemu dengan pengelola cafe dan mendapatkan pekerjaan sebagai seorang kasir part time di sana dan bisa mulai bekerja mulai besok setelah pulang mengajar. Boram senang banget karena dengan bantuan Reihan dia bisa cepat mendapat pekerjaan.
Setelah dari Cafe, Boram memilih minta di turunkan di pasar tidak jauh dari komplek perumahannya untuk membeli beberapa bahan masakan untuk nanti malam sedangkan Reihan langsung berbalik arah dan pulang. Sekarang Boram merasa lelah setelah memutari pasar membeli banyak bahan masakan. Dua kresek putih besar dan helm pinknya tergeletak di samping tubuhnya.Sialnya, hujan tiba-tiba saja turun dan semakin deras memaksa Boram yang lupa membawa payung harus berteduh di halte. Langit semakin menggelap membuat malam terlihat datang lebih cepat dari seharusnya. Padahal masih jam lima sore.Boram memilih menunggu karena kalau dia nekat sudah bisa dipastikan sampai di rumah dia akan basah kuyup.Boram menghela napas seraya memeluk tasnya di dada mencoba menghalau sengatan hawa dingin meskipun dia memakai blazer yang lumayan tebal. Diedarkannya pandangan ke kanan dan ke kiri. Lalu lintas di depannya tidak terlalu ramai dan terlihat banyak pengendara motor yang menepi untuk berteduh.Saat itulah Boram melihatnya.Cowok itu berdiri bersebrangan dengannya memegang sebuah payung besar di tangan sedang menatapnya. Dia memakai kaos putih dan memasukkan tangan yang lainnya di saku celana. Boram terdiam lebih karena terpana. Kenapa cowok berondong itu terlihat lebih tampan dari biasanya?Hanya sesaat karena cowok itu memutus tatapan mata mereka dan berbalik pergi menjauh entah kemana. Boram tidak bisa melihat karena terhalang dinding halte di sampingnya. Boram meletakkan kepalanya bersandar di dinding memandangi rintikan hujan yang tidak juga mereda. Hanya diam meresapi. Di saat-saat seperti inilah dia benar-benar merasakan kesendirian.Kenyataan kalau dia hidup sebatang kara membuatnya ingin menangis saja dan menyerah tapi janjinya saat berada di atas pusara almarhum suaminya yang akhirnya kembali menguatkan. Hidup harus tetap berlanjut, sepahit apapun kenyataan yang sedang kita alami.Tiba-tiba seseorang datang, mengambil belanjaannya dan menyerahkan helm pink miliknya dengan gerakan kasar ke tangannya membuat Boram terkejut setengah mati. "Ayo pulang. Kalau nungguin reda bisa sampai malam," katanya seraya menarik lengan Boram yang masih bengong agar berdiri."Loh, kamu dari mana? Tadi aku lihat—""Beli obat."Samudra membuka lagi payungnya dan menarik pergelangan tangan Boram merapat ke tubuhnya agar berada di bawah naungan payung dan mengikuti langkah kakinya mendekati zebra cross dan menyebrang di sana mengarah pulang ke jalan tembusan untuk sampai ke perumahan Boram.Setelah mereka bisa berjalan tanpa hambatan, Samudra melepaskan pergelangan tangannya masih sambil menentang belanjaan Boram yang hanya bisa terdiam memeluk helmnya. Tidak ada yang berbicara di bawah naungan payung dan aspal becek karena genangan air."Untung pakai flatshoes," kata Samudra. Boram melihat ke arah kakinya lalu menoleh, "Persiapan."Samudra mengangkat alis tebalnya, "Buat apa? Jangan bilang persiapan untuk jalan sama Pak Rei."Cowok itu mendengus dan membuang muka. "Persiapan kalau ada adegan lari lagi kayak kemarin-kemarin."Samudra seketika menoleh dan mengehentikan langkah kakinya, "Seriusan,Mbak?""Kenapa manggilnya Mbak, aku kan gurumu," dengus Boram. "Itu kan di sekolah. Aku sih pengennya manggil sayang, tapi— ah sudahlah." Mereka kembali berjalan dalam diam. Otak Boram dipenuhi dengan berbagai macam prasangka."Aku ini gurumu bukan gebetanmu, Samudra."Samudra diam tidak menjawab atau membalas tatapan matanya. Saat akan berbelok meninggalkan jalanan besar, Samudra tiba-tiba menarik lengan Boram dan memutar tubuhnya hingga posisi mereka terbalik membuat tubuh Boram merapat di balik badan kekar Samudra. Lalu bunyi cipratan itu terdengar nyaring dari balik punggung Samudra dan mengenai sedikit kakinya.Boram ternganga dalam pelukan lengan Samudra di lehernya.Ternyata tidak jauh dari tempat mereka berjalan tadi di pinggir jalan besar, ada genangan air lumayan banyak yang terciprat sempurna ke baju Samudra akibat dari mobil yang melaju cepat tidak mempedulikan sekelilingnya."Aku pikir kalau sudah cinta, status itu tidaklah penting," Bisik Samudra di telinganya, di bawah naungan payung yang melindungi mereka dari derasnya hujan dan Samudra yang melindungi Boram dari cipratan kumbangan air kotor yang sempurna membasahi tubuh cowok itu.Posisinya ini mengingatkan Boram saat pertama kali mereka bertemu. Samudra yang melindunginya dari batu besar yang melayang.Boram tidak bisa berkata-kata.***
"Sweater ini punya siapa,Mbak?"
Samudra menatap sweater hitam lelaki di tangannya yang diberikan Boram untuk menggantikan bajunya yang kotor dan basah supaya dia tidak kedinginan di tengah hawa dingin hujan yang masih menderas. Boram duduk di kursi kayu depan rumah kontrakannya seraya meletakkan teh hangat di atas meja kecil dan menatap Samudra yang berdiri menatapnya."Punya almarhum suamiku," lirihnya. Diketatkannya sweater miliknya menutupi tubuhnya sendiri dan memperhatikan keterkejutan Samudra."Almarhum suami?" Tanyanya tidak percaya."Dari awal aku kan sudah bilang kalau aku ini janda. Memangnya kamu pikir aku bercanda," dengusnya.Samudra tersenyum, "Gue memang berpikiran seperti itu. Tidak menyangka kalau Mbak memang janda. Tapi nggak masalah sih buat gue."Boram berdecak dan melambaikan tangannya ke arah dalam rumah, "Nggak usah ngomong yang aneh-aneh. Sekarang kamu ganti bajumu dengan sweater itu di dalam supaya nggak masuk angin. Taruh bajumu kotormu di keranjang. Biar aku cucikan. Sebagai ungkapan terima kasih karena sudah mengantarku pulang.""Baiklah. Tapi Mbak ikhlaskan bajunya aku pakai dulu." Samudra terkekeh seraya berjalan mendekati pintu rumah. "Siapa tahu nanti aku yang jadi suami Mbak berikutnya."Boram berdiri dan menabok punggung Samudra dengan lipatan koran yang diambilnya dari tumpukan di bawah kaki meja. "Kamu bisa nggak sih nggak usah ngomong sembarangan. Sana masuk, ganti baju dan pulang.""Ihh Mbak ini sadis!"Boram menghela napas saat Samudra masuk ke dalam rumah dan duduk bersandar di kursi nyaman memandangi rintikan hujan yang masih saja belum berhenti. Seharusnya adzan maghrib sudah berkumandang saat ini. Suasana di sekitar perumahannya sudah sepi. Boram tidak mau capek-capek memikirkan omongan tidak masuk akal dan juga tatapan mata Samudra yang berbinar itu. Rasanya aneh ketika mendapati ada seorang cowok yang masih sangat muda mendekatinya dan berlagak seperti lelaki dewasa. Memangnya di sekolahnya tidak ada yang mau menjadi pacarnya. Meskipun dia nggak kaya seperti cowok-cowok badboy di cerita yang sering di bacanya tapi dia termasuk tampan, nakal dan misterius. Itu jelas menarik di mata gadis-gadis sekarangSaat sedang asyik melamun dan memandangi gemericik hujan yang turun dari atap rumahnya, tiba-tiba pandangannya terhalang sepasang mata hitam dengan alis mata tebal yang menatapnya tajam dan dalam. "Jangan melamun Mbak nanti kesambet."Boram diam. Bukan karena sindiran dari Samudra tapi lebih karena penampilan cowok itu saat memakai sweater milik Kang Mas Kelana. Boram tidak bisa berkata-kata. Suaranya tersangkut di tenggorokan, matanya menyusuri dari leher turun ke pinggang. Mungkin efek dari proposi badan Samudra yang memang tegap dan tinggi jadi mengingatkan Boram dengan—"Mbak, jangan buat gue takut dong."Tiba-tiba Samudra berada dekat di depannya, mengibaskan telapak tangannya di depan wajah Boram yang kaget. Aromanya dan kemiripannya membuat Boram tidak tahan lagi.Boram menepis tangan Samudra di depannya membuat cowok itu terhempaas ke samping dengan wajah kaget dan bingung. Boram berdiri dengan menahan air matanya."Sekali lagi makasih atas bantuanmu tadi. Lebih baik kamu minum tehnya terus pulang. Besok masih harus sekolah. Aku mau sholat.""Mbak—"Tanpa menunggu kelanjutan omongan Samudra, Boram berbalik masuk ke dalam rumah, menutup pintu dan menguncinya dengan tergesa.Air matanya menggenang teringat akan almarhum Kang Mas Kelana. Boram mengucap istigfar berkali-kali dan bergeges ke kamar mandi mengambil wudhu dan menunaikan sholat. Setelah itu dia tidak keluar lagi dari kamar.Boram tidak tahu bahwa Samudra terduduk dengan wajah lesu memandangi pintu rumah Boram yang tertutup sampai jam sepuluh malam mengabaikan sengatan hawa dingin dari hujan yang juga tidak berhenti turun menciptakan genangan air di halaman rumah Boram.Meninggalkan tanda tanya di benak Samudra yang akhirnya menyerah dan pulang ke rumah dalam gelap dan guyuran hujan deras. Melupakan bahwa dia membawa payung yang tertinggal di dekat pintu rumah Boram.***
Samudra menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan menerawang. Seluruh tubuhnya tertutup selimut yang tebal untuk menghalau dingin akibat dari kegiatan hujan-hujanannya tadi. Hanya ada satu nama di dalam kepalanya. Sosok guru matematika yang menarik hatinya sejak pertama kali mereka bertemu.Sebelum ini Samudra masa bodoh dengan yang namanya perempuan. Entah kenapa Bu Boram berbeda. Dia juga tidak mengerti dengan sikapnya jika sudah berhadapan dengan wanita itu. Yang menarik sejak pertemuan pertama mereka yang membuat Samudra tidak bisa berhenti membayangkannya adalah tatapan matanya.Bulat, hitam, memperdaya tapi terkesan kesepian.Kenapa Samudra bisa tahu karena selam ini dia hidup dengan seseorang yang juga memiliki tatapan mata seperti itu. "Sam, kamu sudah tidur?" Suara di luar kamarnya mengagetkannya."Belum,Mam," suaranya yang serak terasa tidak sampai ke pintu. Namun pintu itu tetap terbuka menampilkan Mama cantiknya yang membawa teh hangat dan obat. "Mama heran..." Ma
Boram keluar dari ruang guru mengarah ke toilet khusus staf sebelum memulai sesi mengajar pelajaran pertama dengan langkah pelan. Bel masuk belum berbunyi, jadi koridor kelas masih ramai dengan para siswa dan siswi yang berdatangan dan mengobrol heboh. Boram tersenyum merasakan semua atmosfir masa muda di sekelilingnya. Betapa menyenangkannya masa-masa SMA yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Semua momen yang lambat laun membentuk pengalaman hidup yang bisa menentukan masa depan dan kedewasaan. Momen kebahagiaan sekaligus kesakitan.Kita berhak menentukan ingin memiliki momen yang seperti apa.Boram berbelok masuk ke dalam toilet yang kosong, melihat sekilas penampilannya yang rapi seperti biasanya di kaca. Kerutan nampak di dahinya, dia mendekat sedikit dan menekan-nekan sembab di area matanya lalu menghela napas. Semalam dia menangis. Rindu dengan Kang Mas Kelana. Ekspresi wajahnya membuatnya terpaku. Terlihat jelas perubahan yang terjadi semenjak Mas Kelana pergi. Boram merasa
Bel istirahat berbunyi nyaring. Bersamaan dengan Boram yang selesai menutup sesi mengajarnya, merapikan tumpukan soal dan jawaban para muridnya yang sudah berhamburan keluar di atas tumpukan buku-buku mengajarnya. "Sam, aku mau ke kantin sama Risa. Kamu titip kerupuk koin seperti biasanya kan?""Hmm." Samudra bergumam. Boram masih sibuk membereskan bawaannya membelakangi kasak kusuk mereka berdua. "Ini duitnya. Tapi ingat, ke sana nggak pake lari ya. Pegangan sama Risa. Awas kedorong-dorong. Suruh aja si Risa yang ngantri. Jangan kamu."Uhh, protective banget sih terus ngomongnya pake aku-kamu lagi, desah Boram."Ishh, Sam bawel. Aku sudah tahu. Ya udah mana sini uangnya. Kamu tunggu ya. Jangan kemana-mana.""Iya."Boram berbalik dengan membawa tumpukan bukunya saat Ratu melintas di depannya seraya tersenyum, "Permisi ya Bu." Boram mengangguk, "Iya."Setelah Ratu berlalu, Boram berusaha untuk tidak mempedulikan tatapan Samudra yang ternyata sudah berpindah duduk di atas mejanya."Mb
Samudra menggendongnya erat dan meletakkannya di sandaran jok yang sedikit dia landaikan agar Ratu yang merintih merasa nyaman. "Kamu baru ditinggal sebentar kenapa bisa jatuh sih?" Gerutunya.Samudra mundur dan menoleh ke Risa, "Ris, lo bawa tasnya Ratu ya. Nanti gue ambil."Risa mengangguk. Samudra segera menutup pintu mobil dan berlari ke kursi kemudi. Tangannya bergetar karena panik menghidupkan mesin mobil. Di lihatnya sekilas Ratu yang mengeluarkan darah dari hidungnya. Samudra mengambil tisu dan menekan, membersihkan noda merah itu. Ratu mengambil alih tisu itu untuk menahan darahnya yang keluar.Samudra memegang kemudi dan menjalankan mobil canggih itu keluar dari area parkir. Sekilas, dari kaca spion luar, Samudra melihat sosok pujaan hatinya berdiri memandangi ke arahnya dengan ekspresi aneh. Samudra menghela napas dan berbelok, keluar dari sekolah.Prioritasnya saat ini hanya Ratu. Sam berkonsentrasi pada jalanan dengan tangan kiri yang mengotak atik sesuatu di perangkat el
Boram sudah memutuskan kalau Black n White Cafe ini menjadi cafe favoritnya. Desain interior dan suasananya membuat pangunjung merasa nyaman duduk berjam-jam sambil mengobrol atau sekedar mengerjakan tugas di depan laptop. Harga makanan yang ada bisa dibilang masih dalam standar. Murah dan enak. Dengan aneka menu hidangan dari makanan ringan sampai yang berat. Semuanya recomended.Boram sudah berada di balik meja kasir selama tiga jam. Langit di luar sudah menggelap dan bagian dalam cafe berubah menjadi lebih romantis lagi. Cantik dengan hiasan lampion dan lilin hias. Hanya di bagian indoor karena untuk outdoor tetap dibiarkan terang. Seakan-akan ada dua dimensi di cafe ini.Yang lebih keren lagi, setiap malam akan ada penampilan live music. Entah itu band indie atau penyanyi cafe yang memang sering tampil di sini. Boram sudah tidak sabar untuk melihatnya. Fix, Boram suka banget cafe keren ini dan dia yakin akan betah bekerja sesuai dengan yang dikatakan oleh Pak Rei. Bosnya juga ba
Boram sudah bersiap untuk pulang karena shiftnya hanya sampai jam sembilan malam. Akan ada pegawai lelaki lain yang menggantikan sampai cafe tutup jam 1 malam nanti. Boram mengambil tas dan memakai jaket jeansnya. Keket sudah pulang duluan di jemput sama mas bojonya jadi Boram berada sendirian di ruang ganti. Setelah menutup pintu lokernya, Boram berjalan melewati dapur mengarah ke pintu samping, pintu khusus pegawai. Dia akan keluar lewat sana. Hal pertama yang menyambutnya ketika dia membuka pintu adalah angin malam yang berhembus kencang. Parkiran nampak sepi tapi tidak gelap karena penerangan di sana cukup terang. Boram merapatkan jaket dan memakai tudungnya berjalan pelan mengarah ke halte bus di pinggir jalan besar.Baru berjalan beberapa langkah, lengannya di tarik seseorang dari belakang hingga tubuhnya berputar. Samudra tersenyum di sana. “Jangan pulang sendirian Mbak, sama aku aja.” “Kamu sudah selesai nyanyinya?” “Sudah. Biar digantikan yang lain.” Boram mengangguk, me
“Pak, mereka nggak akan berantem kan?” Boram menatap bergantian antara Pak Rei dengan Aron di kursi depan duduk terlalu maju di antara mereka dengan muka panik. Rei terkekeh, “Nggak Bu. Lagian Bu Boram sudah di amankan jadi mereka paling-paling langsung pulang. Mau ngapain lagi coba?” Boram mengigit ujung kukunya, “Duh salah saya apa ya Pak?” Aron menoleh dan tertawa, “Memangnya kamu ngapain mereka?” “Itu juga saya bingung. Padahal saya nggak ngapa-ngapain terus mereka kenapa bersikap begini.” Rei tertawa melihat kepolosan Boram. “Hanya satu kesalahan Bu Boram.” Boram langung menoleh ke Rei dan memegang lengan berotot itu panik, “Hah!! memangnya saya ngapain Pak?” Aron tertawa dan berdecak melipat lengannya di dada. Rei melirik Boram sekilas masih sambil fokus menyetir mobil, “Bu Boram buat mereka jatuh hati.” Boram melepaskan cekalannya dan menghela napas, “Itu di luar kuasa saya Pak.” Rei mengangguk, “Nggak apa-apa Bu. Saya kenal baik mereka berdua. Arbian baik kok dan Sa
Arbian mengetukkan jemarinya di atas meja kerjanya. Mencoba mencari cara untuk mendekati Boram secara halus karena kelihatannya Boram selalu berubah galak kalau melihatnya. Galak-galak makin cantik. Arbian melipat lengannya dan memutar tempat duduknya menghadap ke kaca bening di belakangnya melihat langit yang cerah.Boram pasti sedang mengajar sekarang.Ponsel di dalam sakunya bergetar. Arbian mengambilnya dan muncul nama keponakannya yang baru berumur empat tahun di sana. Bayi zaman sekarang bahkan sudah di modalin ponsel keren dan canggih gara-gara si mamak korban teknologi.Hebatnya lagi, si bayik bisa menggunakannya. Luar biasa memang!!!Arbian menghela napas dan menekan tanda jawab. Kalau Cipa yang menelepon pasti ada maunya."Halo, Cipa sayang.""Ooooo Iaaan," celotehan cadelnya terdengar. Arbian berusaha keras untuk menafsirkan, mengeja dan memahami apa saja perkataan gadis kecil itu."Kenapa sayang?""Ka Alan nangiss engeeeeng," katanya lagi."Hah? Alan? Nangis kenapa sayang?