Reihan menghentikan motor besarnya di parkiran cafe yang sedang ramai. Boram turun dan melepas helm yang tadi baru saja di belinya bersama Reihan.
Boram melangkah mundur dan mengangkat kepalanya untuk melihat nama cafe yang terpampang jelas di depan bangunan minimalis dua lantai itu seraya memeluk helm pinknya.Black n White Cafe."Cafe ini yang mengelola sahabat saya,Bu. Bukan pemiliknya sih tapi dia yang bertanggung jawab penuh," kata Reihan yang sudah berdiri di samping Boram ketika melihat arah pandangannya lalu mengambil helm pink miliknya dan meletakkannya di atas jok motor."Oh, saya kira mau di ajak nongkrong gitu Pak," kekehnya. Reihan menatap Boram yang langsung panik dan menggeleng, "Saya bercanda kok, Pak. Hehe." Reihan tertawa melihat tingkah kikuknya. Mereka berjalan bersisian masuk ke dalam cafe yang memang nuansanya serba hitam dan putih. Cafe nyaman dan tenang dengan lantunan musik Jazz menggema di seluruh ruangan. Ornamen pendukung cafe yang pas tata letak dan juga keindahannya. Ada area outdoor atau smoking area juga area bebas asap di bagian dalam. Deretan sofa dan kursi tersusun sangat berkelas.Cafe yang menawarkan kenyamanan dilihat dari jumlah pengunjungnya yang ramai. Boram yakin kalau semua yang di tawarkan oleh cafe ini memiliki review yang bagus. Cocok untuk tempat berkumpul anak muda atau pekerja kantoran sekedar untuk melapas penat.Reihan menarik pelan lengan Boram agar berhenti melangkah dan menyuruhnya duduk di salah satu kursi kayu di sebelah potrait The Beatles yang tercetak dalam background hitam dan putih."Bu Boram duduk aja dulu di sini ya. Saya mau bicara sama dia dulu di lantai dua."
Boram tersenyum dan mengangguk. Duduk cantik seraya meletakkan tasnya di atas meja saat dilihatnya punggung tegap Reihan menghilang di belokan tangga teratas lalu mengalihkan perhatiannya ke sekitar cafe dengan antusias. Di sudut terdapat beberapa pasang remaja yang sedang asyik menikmati es krim sundae sambil berceloteh ringan.
Seketika Boram bernostalgia kembali ke masa remajanya.Bedanya, masa remajanya tidak diisi dengan nongkrong bareng gebetan di cafe keren seperti ini. Dia lebih banyak sibuk dengan kegiatan panti asuhan dan belajar supaya bisa lulus dan masuk ke perguruan tinggi. Biasanya kalau jalan sama Kang Mas Kelana hanya ke warung tenda yang menjual ayam penyet kemudian jalan-jalan memutari kota tanpa tujuan. Bagi Boram, hal sederhana seperti itu sudah membuatnya bahagia.Semua kenangan itu kembali menyeruak di dalam kepalanya. Terproyeksi dan terpampang jelas di balik bayang matanya membuat perlahan rembesan air bening keluar dari sana. Teringat dengan semua kenangan yang di tinggalkan almarhum suaminya.Untung saja posisi Boram saat ini agak terlindungi dari sekelilingnya. Duduk di salah satu dari dua kursi yang saling berhadapan untuk melengkapi meja berbentuk setengah lingkaran yang terbuat dari kayu coklat dengan motif ukiran yang cantik. Ada tanaman hias dan potrait The Beatles dalam ukuran besar di tiap sisinya. Kebetulan juga sofa hitam yang berada tepat di balakangnya sedang kosong. Boram menundukkan wajahnya sambil menyeka air matanya dengan jari. Wajahnya terlindungi oleh rambut hitamnya yang tergerai indah.Dia merindukan Kang Mas Kelananya. Pasti asyik kalau setiap malam minggu setelah resmi menikah, bisa kencan di cafe model beginian meskipun di kota lamanya dulu tidak banyak yang membuka usaha cafe. "Habis di putusin pacar ya, Neng." Suara maskulin itu terdengar sangat dekat dengannya. Ketika dia mengangkat wajah, Boram terhenyak ke belakang. Seorang lelaki yang memakai kemeja biru langit dengan kedua lengannya di gulung sampai siku duduk di kursi kosong yang ada di hadapan Boram."Kok nangis sendirian di sini?" tanyanya lagi tidak peduli dengan keterkejutan Boram.Boram menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Lelaki itu tertawa dan mengeluarkan sesuatu dari saku celana hitam slim fitnya dan mengambil tangan Boram yang ada di atas meja menyerahkan sapu tangan putih bersih dengan inisial AR di ujungnya. Boram mengerjapkan matanya."Ini apa?" tanya Boram. "Itu sapu tangan,Neng. Pakai untuk menghapus air mata kamu. Saya nggak suka lihat ada wanita menangis duduk sendirian di cafe ramai begini seperti habis patah hati."Boram memperhatikan dengan seksama wajah lelaki berambut rapi dan hitam itu dengan heran. "Aku nggak nangis," katanya kemudian dan mengembalikan sapu tangannya. Lelaki itu berdecak dan mengambil sapu tangan miliknya dan mengulurkan tangan dengan tiba-tiba mendekati wajahnya. Dihusapnya pelan air mata yang masih nampak di sudut mata Boram dengan perlahan. "Ini kalau nggak nangis namanya apa? udah deh Neng nggak usah pake acara ngeles. Saya sudah lihat. Jelek tahu."Lelaki ini luar biasa sok iya sok deketnya. Boram reflek menjauhkan tangan lelaki itu dan mengusapnya sendiri lalu tersenyum. "Makasih perhatiannya tapi kamu tidak perlu sampai seperhatian itu sama saya.""Arbian." Lelaki itu melipat kedua lengannya di atas meja menatap Boram yang diam tidak mengerti."Hah?" "Namaku Arbian,Neng.""Oh, nggak nanya sih Kang." Boram menutup rapat bibirnya ketika keceplosan memanggil lelaki itu Akang seperti panggilannya untuk Kelana karena sejak tadi Arbian memanggilnya dengan sebutan Neng.Arbian terkekeh lalu berdiri seraya melihat sekilas jam tangan mahalnya. Dihelanya napasnya pelan lalu menatap sekali lagi wajah Boram dengan seksama yang nampak bingung memandanginya. "Waktu itu saat kebetulan saya lihat kamu di jalan terus saya panggil, Neng main kabur gitu aja. Mana larinya cepat banget."Boram terkejut bukan main ketika mendengarnya. Arbian tersenyum dan meletakkan sapu tangannya di atas meja di depan Boram. "Ketemu kamu untuk yang kedua kalinya, kamu melihat saya seperti orang aneh sok perhatian."Boram mengerjapkan matanya, "Terus saya harus melihat kamu dengan tatapan seperti apa? Saya kenal aja nggak. Dan waktu itu saya memang berfikiran kalau kamu lelaki berbahaya."Arbian tertawa dan berdecak, "Yah, masuk akal juga sih saat itu kamu lari. Tapi, kenapa nggak dilihat dulu siapa yang manggil?"'"Sudah takut duluan!" Decak Boram."Oke-oke. Saya minta maaf. Tapi kalau nanti kita bertemu untuk yang ketiga kalinya, tatap saya dengan pandangan cinta ya,Neng."Boram ternganga. Arbian tertawa nampaknya suka sekali menggoda Boram."Memangnya aku mau ketemu kamu lagi," dengus Boram setelah berhasil mengatasi keterkejutannya.Arbian tersenyum, memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan berucap mantap."Harus. Tolong sapu tanganku yang tadi di pakai untuk menghapus air mata kamu itu di cuci ya. Nanti saya ambil lagi." Boram mendelik. Arbian mengedipkan matanya, "Sampai ketemu lagi cantik. Jangan nangis lagi."Tanpa menunggu jawaban Boram, Lelaki itu berbalik dan pergi keluar dari cafe dan masuk ke dalam mobil BMW hitam mengkilat dan pergi dari sana meninggalkan Boram dengan tampang bloon.Apa-apan itu tadi? Apa modusan lelaki zaman now seperti ini?***
Boram duduk di halte dekat pasar sambil memijit pangkal kakinya yang terasa pegal. Tadi dia sudah bertemu dengan pengelola cafe dan mendapatkan pekerjaan sebagai seorang kasir part time di sana dan bisa mulai bekerja mulai besok setelah pulang mengajar. Boram senang banget karena dengan bantuan Reihan dia bisa cepat mendapat pekerjaan. Setelah dari Cafe, Boram memilih minta di turunkan di pasar tidak jauh dari komplek perumahannya untuk membeli beberapa bahan masakan untuk nanti malam sedangkan Reihan langsung berbalik arah dan pulang. Sekarang Boram merasa lelah setelah memutari pasar membeli banyak bahan masakan. Dua kresek putih besar dan helm pinknya tergeletak di samping tubuhnya.Sialnya, hujan tiba-tiba saja turun dan semakin deras memaksa Boram yang lupa membawa payung harus berteduh di halte. Langit semakin menggelap membuat malam terlihat datang lebih cepat dari seharusnya. Padahal masih jam lima sore.Boram memilih menunggu karena kalau dia nekat sudah bisa dipastikan samp
Samudra menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan menerawang. Seluruh tubuhnya tertutup selimut yang tebal untuk menghalau dingin akibat dari kegiatan hujan-hujanannya tadi. Hanya ada satu nama di dalam kepalanya. Sosok guru matematika yang menarik hatinya sejak pertama kali mereka bertemu.Sebelum ini Samudra masa bodoh dengan yang namanya perempuan. Entah kenapa Bu Boram berbeda. Dia juga tidak mengerti dengan sikapnya jika sudah berhadapan dengan wanita itu. Yang menarik sejak pertemuan pertama mereka yang membuat Samudra tidak bisa berhenti membayangkannya adalah tatapan matanya.Bulat, hitam, memperdaya tapi terkesan kesepian.Kenapa Samudra bisa tahu karena selam ini dia hidup dengan seseorang yang juga memiliki tatapan mata seperti itu. "Sam, kamu sudah tidur?" Suara di luar kamarnya mengagetkannya."Belum,Mam," suaranya yang serak terasa tidak sampai ke pintu. Namun pintu itu tetap terbuka menampilkan Mama cantiknya yang membawa teh hangat dan obat. "Mama heran..." Ma
Boram keluar dari ruang guru mengarah ke toilet khusus staf sebelum memulai sesi mengajar pelajaran pertama dengan langkah pelan. Bel masuk belum berbunyi, jadi koridor kelas masih ramai dengan para siswa dan siswi yang berdatangan dan mengobrol heboh. Boram tersenyum merasakan semua atmosfir masa muda di sekelilingnya. Betapa menyenangkannya masa-masa SMA yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Semua momen yang lambat laun membentuk pengalaman hidup yang bisa menentukan masa depan dan kedewasaan. Momen kebahagiaan sekaligus kesakitan.Kita berhak menentukan ingin memiliki momen yang seperti apa.Boram berbelok masuk ke dalam toilet yang kosong, melihat sekilas penampilannya yang rapi seperti biasanya di kaca. Kerutan nampak di dahinya, dia mendekat sedikit dan menekan-nekan sembab di area matanya lalu menghela napas. Semalam dia menangis. Rindu dengan Kang Mas Kelana. Ekspresi wajahnya membuatnya terpaku. Terlihat jelas perubahan yang terjadi semenjak Mas Kelana pergi. Boram merasa
Bel istirahat berbunyi nyaring. Bersamaan dengan Boram yang selesai menutup sesi mengajarnya, merapikan tumpukan soal dan jawaban para muridnya yang sudah berhamburan keluar di atas tumpukan buku-buku mengajarnya. "Sam, aku mau ke kantin sama Risa. Kamu titip kerupuk koin seperti biasanya kan?""Hmm." Samudra bergumam. Boram masih sibuk membereskan bawaannya membelakangi kasak kusuk mereka berdua. "Ini duitnya. Tapi ingat, ke sana nggak pake lari ya. Pegangan sama Risa. Awas kedorong-dorong. Suruh aja si Risa yang ngantri. Jangan kamu."Uhh, protective banget sih terus ngomongnya pake aku-kamu lagi, desah Boram."Ishh, Sam bawel. Aku sudah tahu. Ya udah mana sini uangnya. Kamu tunggu ya. Jangan kemana-mana.""Iya."Boram berbalik dengan membawa tumpukan bukunya saat Ratu melintas di depannya seraya tersenyum, "Permisi ya Bu." Boram mengangguk, "Iya."Setelah Ratu berlalu, Boram berusaha untuk tidak mempedulikan tatapan Samudra yang ternyata sudah berpindah duduk di atas mejanya."Mb
Samudra menggendongnya erat dan meletakkannya di sandaran jok yang sedikit dia landaikan agar Ratu yang merintih merasa nyaman. "Kamu baru ditinggal sebentar kenapa bisa jatuh sih?" Gerutunya.Samudra mundur dan menoleh ke Risa, "Ris, lo bawa tasnya Ratu ya. Nanti gue ambil."Risa mengangguk. Samudra segera menutup pintu mobil dan berlari ke kursi kemudi. Tangannya bergetar karena panik menghidupkan mesin mobil. Di lihatnya sekilas Ratu yang mengeluarkan darah dari hidungnya. Samudra mengambil tisu dan menekan, membersihkan noda merah itu. Ratu mengambil alih tisu itu untuk menahan darahnya yang keluar.Samudra memegang kemudi dan menjalankan mobil canggih itu keluar dari area parkir. Sekilas, dari kaca spion luar, Samudra melihat sosok pujaan hatinya berdiri memandangi ke arahnya dengan ekspresi aneh. Samudra menghela napas dan berbelok, keluar dari sekolah.Prioritasnya saat ini hanya Ratu. Sam berkonsentrasi pada jalanan dengan tangan kiri yang mengotak atik sesuatu di perangkat el
Boram sudah memutuskan kalau Black n White Cafe ini menjadi cafe favoritnya. Desain interior dan suasananya membuat pangunjung merasa nyaman duduk berjam-jam sambil mengobrol atau sekedar mengerjakan tugas di depan laptop. Harga makanan yang ada bisa dibilang masih dalam standar. Murah dan enak. Dengan aneka menu hidangan dari makanan ringan sampai yang berat. Semuanya recomended.Boram sudah berada di balik meja kasir selama tiga jam. Langit di luar sudah menggelap dan bagian dalam cafe berubah menjadi lebih romantis lagi. Cantik dengan hiasan lampion dan lilin hias. Hanya di bagian indoor karena untuk outdoor tetap dibiarkan terang. Seakan-akan ada dua dimensi di cafe ini.Yang lebih keren lagi, setiap malam akan ada penampilan live music. Entah itu band indie atau penyanyi cafe yang memang sering tampil di sini. Boram sudah tidak sabar untuk melihatnya. Fix, Boram suka banget cafe keren ini dan dia yakin akan betah bekerja sesuai dengan yang dikatakan oleh Pak Rei. Bosnya juga ba
Boram sudah bersiap untuk pulang karena shiftnya hanya sampai jam sembilan malam. Akan ada pegawai lelaki lain yang menggantikan sampai cafe tutup jam 1 malam nanti. Boram mengambil tas dan memakai jaket jeansnya. Keket sudah pulang duluan di jemput sama mas bojonya jadi Boram berada sendirian di ruang ganti. Setelah menutup pintu lokernya, Boram berjalan melewati dapur mengarah ke pintu samping, pintu khusus pegawai. Dia akan keluar lewat sana. Hal pertama yang menyambutnya ketika dia membuka pintu adalah angin malam yang berhembus kencang. Parkiran nampak sepi tapi tidak gelap karena penerangan di sana cukup terang. Boram merapatkan jaket dan memakai tudungnya berjalan pelan mengarah ke halte bus di pinggir jalan besar.Baru berjalan beberapa langkah, lengannya di tarik seseorang dari belakang hingga tubuhnya berputar. Samudra tersenyum di sana. “Jangan pulang sendirian Mbak, sama aku aja.” “Kamu sudah selesai nyanyinya?” “Sudah. Biar digantikan yang lain.” Boram mengangguk, me
“Pak, mereka nggak akan berantem kan?” Boram menatap bergantian antara Pak Rei dengan Aron di kursi depan duduk terlalu maju di antara mereka dengan muka panik. Rei terkekeh, “Nggak Bu. Lagian Bu Boram sudah di amankan jadi mereka paling-paling langsung pulang. Mau ngapain lagi coba?” Boram mengigit ujung kukunya, “Duh salah saya apa ya Pak?” Aron menoleh dan tertawa, “Memangnya kamu ngapain mereka?” “Itu juga saya bingung. Padahal saya nggak ngapa-ngapain terus mereka kenapa bersikap begini.” Rei tertawa melihat kepolosan Boram. “Hanya satu kesalahan Bu Boram.” Boram langung menoleh ke Rei dan memegang lengan berotot itu panik, “Hah!! memangnya saya ngapain Pak?” Aron tertawa dan berdecak melipat lengannya di dada. Rei melirik Boram sekilas masih sambil fokus menyetir mobil, “Bu Boram buat mereka jatuh hati.” Boram melepaskan cekalannya dan menghela napas, “Itu di luar kuasa saya Pak.” Rei mengangguk, “Nggak apa-apa Bu. Saya kenal baik mereka berdua. Arbian baik kok dan Sa