Bel istirahat berbunyi nyaring. Bersamaan dengan Boram yang selesai menutup sesi mengajarnya, merapikan tumpukan soal dan jawaban para muridnya yang sudah berhamburan keluar di atas tumpukan buku-buku mengajarnya. "Sam, aku mau ke kantin sama Risa. Kamu titip kerupuk koin seperti biasanya kan?""Hmm." Samudra bergumam. Boram masih sibuk membereskan bawaannya membelakangi kasak kusuk mereka berdua. "Ini duitnya. Tapi ingat, ke sana nggak pake lari ya. Pegangan sama Risa. Awas kedorong-dorong. Suruh aja si Risa yang ngantri. Jangan kamu."Uhh, protective banget sih terus ngomongnya pake aku-kamu lagi, desah Boram."Ishh, Sam bawel. Aku sudah tahu. Ya udah mana sini uangnya. Kamu tunggu ya. Jangan kemana-mana.""Iya."Boram berbalik dengan membawa tumpukan bukunya saat Ratu melintas di depannya seraya tersenyum, "Permisi ya Bu." Boram mengangguk, "Iya."Setelah Ratu berlalu, Boram berusaha untuk tidak mempedulikan tatapan Samudra yang ternyata sudah berpindah duduk di atas mejanya."Mb
Samudra menggendongnya erat dan meletakkannya di sandaran jok yang sedikit dia landaikan agar Ratu yang merintih merasa nyaman. "Kamu baru ditinggal sebentar kenapa bisa jatuh sih?" Gerutunya.Samudra mundur dan menoleh ke Risa, "Ris, lo bawa tasnya Ratu ya. Nanti gue ambil."Risa mengangguk. Samudra segera menutup pintu mobil dan berlari ke kursi kemudi. Tangannya bergetar karena panik menghidupkan mesin mobil. Di lihatnya sekilas Ratu yang mengeluarkan darah dari hidungnya. Samudra mengambil tisu dan menekan, membersihkan noda merah itu. Ratu mengambil alih tisu itu untuk menahan darahnya yang keluar.Samudra memegang kemudi dan menjalankan mobil canggih itu keluar dari area parkir. Sekilas, dari kaca spion luar, Samudra melihat sosok pujaan hatinya berdiri memandangi ke arahnya dengan ekspresi aneh. Samudra menghela napas dan berbelok, keluar dari sekolah.Prioritasnya saat ini hanya Ratu. Sam berkonsentrasi pada jalanan dengan tangan kiri yang mengotak atik sesuatu di perangkat el
Boram sudah memutuskan kalau Black n White Cafe ini menjadi cafe favoritnya. Desain interior dan suasananya membuat pangunjung merasa nyaman duduk berjam-jam sambil mengobrol atau sekedar mengerjakan tugas di depan laptop. Harga makanan yang ada bisa dibilang masih dalam standar. Murah dan enak. Dengan aneka menu hidangan dari makanan ringan sampai yang berat. Semuanya recomended.Boram sudah berada di balik meja kasir selama tiga jam. Langit di luar sudah menggelap dan bagian dalam cafe berubah menjadi lebih romantis lagi. Cantik dengan hiasan lampion dan lilin hias. Hanya di bagian indoor karena untuk outdoor tetap dibiarkan terang. Seakan-akan ada dua dimensi di cafe ini.Yang lebih keren lagi, setiap malam akan ada penampilan live music. Entah itu band indie atau penyanyi cafe yang memang sering tampil di sini. Boram sudah tidak sabar untuk melihatnya. Fix, Boram suka banget cafe keren ini dan dia yakin akan betah bekerja sesuai dengan yang dikatakan oleh Pak Rei. Bosnya juga ba
Boram sudah bersiap untuk pulang karena shiftnya hanya sampai jam sembilan malam. Akan ada pegawai lelaki lain yang menggantikan sampai cafe tutup jam 1 malam nanti. Boram mengambil tas dan memakai jaket jeansnya. Keket sudah pulang duluan di jemput sama mas bojonya jadi Boram berada sendirian di ruang ganti. Setelah menutup pintu lokernya, Boram berjalan melewati dapur mengarah ke pintu samping, pintu khusus pegawai. Dia akan keluar lewat sana. Hal pertama yang menyambutnya ketika dia membuka pintu adalah angin malam yang berhembus kencang. Parkiran nampak sepi tapi tidak gelap karena penerangan di sana cukup terang. Boram merapatkan jaket dan memakai tudungnya berjalan pelan mengarah ke halte bus di pinggir jalan besar.Baru berjalan beberapa langkah, lengannya di tarik seseorang dari belakang hingga tubuhnya berputar. Samudra tersenyum di sana. “Jangan pulang sendirian Mbak, sama aku aja.” “Kamu sudah selesai nyanyinya?” “Sudah. Biar digantikan yang lain.” Boram mengangguk, me
“Pak, mereka nggak akan berantem kan?” Boram menatap bergantian antara Pak Rei dengan Aron di kursi depan duduk terlalu maju di antara mereka dengan muka panik. Rei terkekeh, “Nggak Bu. Lagian Bu Boram sudah di amankan jadi mereka paling-paling langsung pulang. Mau ngapain lagi coba?” Boram mengigit ujung kukunya, “Duh salah saya apa ya Pak?” Aron menoleh dan tertawa, “Memangnya kamu ngapain mereka?” “Itu juga saya bingung. Padahal saya nggak ngapa-ngapain terus mereka kenapa bersikap begini.” Rei tertawa melihat kepolosan Boram. “Hanya satu kesalahan Bu Boram.” Boram langung menoleh ke Rei dan memegang lengan berotot itu panik, “Hah!! memangnya saya ngapain Pak?” Aron tertawa dan berdecak melipat lengannya di dada. Rei melirik Boram sekilas masih sambil fokus menyetir mobil, “Bu Boram buat mereka jatuh hati.” Boram melepaskan cekalannya dan menghela napas, “Itu di luar kuasa saya Pak.” Rei mengangguk, “Nggak apa-apa Bu. Saya kenal baik mereka berdua. Arbian baik kok dan Sa
Arbian mengetukkan jemarinya di atas meja kerjanya. Mencoba mencari cara untuk mendekati Boram secara halus karena kelihatannya Boram selalu berubah galak kalau melihatnya. Galak-galak makin cantik. Arbian melipat lengannya dan memutar tempat duduknya menghadap ke kaca bening di belakangnya melihat langit yang cerah.Boram pasti sedang mengajar sekarang.Ponsel di dalam sakunya bergetar. Arbian mengambilnya dan muncul nama keponakannya yang baru berumur empat tahun di sana. Bayi zaman sekarang bahkan sudah di modalin ponsel keren dan canggih gara-gara si mamak korban teknologi.Hebatnya lagi, si bayik bisa menggunakannya. Luar biasa memang!!!Arbian menghela napas dan menekan tanda jawab. Kalau Cipa yang menelepon pasti ada maunya."Halo, Cipa sayang.""Ooooo Iaaan," celotehan cadelnya terdengar. Arbian berusaha keras untuk menafsirkan, mengeja dan memahami apa saja perkataan gadis kecil itu."Kenapa sayang?""Ka Alan nangiss engeeeeng," katanya lagi."Hah? Alan? Nangis kenapa sayang?
Kalau di sekolah dia bisa berkelit dari Pak Rei, maka di cafe dia sama sekali tidak bisa kabur dari atasannya, Aron."Pak, yang kemarin itu saya cuma iseng aja kok nanya. Saya nggak tahu kalau Pak Rei punya calon istri. Saya jadi nggak enak sama bapak.”Tanpa terduga Aron tertawa. “Kamu masih nggak enak soal kemarin. Nggak apa-apa kok. Yang bisa jadi masalah itu kalau kamu sudah tahu dia punya calon istri tapi tetap mau –““Tidak Pak!” Boram menyela tegas, membuat Aron untuk sesaat kaget. “Sama sekali tidak ada.”Aron tertawa, “Kalau begitu tidak ada masalah di antara kita. Mungkin kamu sedikit menyalahartikan kebaikan Rei tapi dia itu orangnya memang seperti itu. Tapi dia bilang kok, melihat kondisimu saat ini yang marantau sendirian, dia ingin membantu sebisa mungkin. Bisa dibilang, dia sudah nganggep kamu seperti adiknya sendiri.”Boram terdiam sesaat, “Tapi Pak, saya ini janda. Persepsi orang-orang—”“Saya tahu. Tapi yang terpenting selama kita menjaga niat baik itu tetap baik unt
Samudra sedang gusar.Semalam dia harus menahan kekesalan saat tahu ternyata Boram sudah pulang duluan tanpa menunggunya ataupun membalas pesannya. Padahal isinya sudah sangat jelas kalau dia meminta Boram untuk menunggu sampai dia kembali menjemputnya untuk pulang bersama.Samudra sudah bergeges kembali ke cafe dengan terburu-buru setelah mengantar Ratu sampai rumahnya bahkan menolak tawaran Papa Ratu untuk mampir dan mengobrol. Bukannya apa, tapi dia hanya khawatir akan keselamatan Boram kalau wanita itu pulang sendirian malam-malam naik bus. Dia dengar daerah di sekitar sana sedang marak dengan aksi penjambretan.Samudra jelas harus ekstra menjaga Boram yang setiap hari harus berada di daerah situ. Kedatangan Ratu ke cafe juga tidak diperkirakannya sebelumnya. Entah ada angin apa, Ratu tiba-tiba datang menontonnya menyanyi tanpa memberitahukannya lebih dulu.Tidak seperti biasanya."Sam, kamu dengarin aku ngomong nggak sih?!" Ratu sedikit membentak.Sam yang sejak tadi asik ngunyah