Ratri kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas, setelah mengakhiri panggilan dari Marni."Mas Saga, mohon maaf, aku harus pamit pulang," pamit Ratri."Ah iya, nggak apa-apa, Mbak. Mau aku antar?" tanya Saga.Ratri menggeleng pelan, "Tidak usah, terima kasih, Mas aku bawa motor."Saga mengangguk, kemudian ia juga beranjak dari kursi taman. Ia hendak membeli telur ke agen langganannya. Namun, baru hendak melangkah, sebuah benda berkilau tergeletak di bawah hampir terinjak olehnya. Saga mengambilnya, mengamati apa benda itu."Bros kerudung?" gumam Saga.Saga hendak mengejar Ratri. Namun, ia sudah tidak melihat Ratri di taman itu."Memangnya siapa yang ngirim surat ini, Mar?" tanya Ratri ketika ia telah sampai di rumah Marni.Ratri membolak balik kertas yang dimaksud, sebelum membukanya."Nggak tahu, Mbak. Coba buka saja suratnya. Siapa tahu itu penting," jawab Marni.Ratri mengangguk kemudian mulai membuka surat itu."Gugatan cerai?" gumam Ratri.Ratri membacanya dengan teliti. Ternyata
"Ini kunci motor kamu, sini kunci mobilku!" seru pria yang tak lain adalah Saga."Aduh, Bro! Kenapa mesti malam ini, sih? Aku lagi ada acara nih sama keluarga calonku. Kalau ketahuan mobil ini bukan punyaku, pasti malu aku," ujar Beri.Saga menggedikkan bahu, "Sorry, Bro! Mama dari tadi nelepon terus nyuruh pulang. Kalau aku ketahuan bawa motor, bisa habis aku. Mama trauma banget kalau aku bawa motor," ucap Saga.Dengan sangat terpaksa, Beri menyerahkan kunci mobil dan menerima kunci motornya. Ia harus mencari alasan, tentang mobil mewahnya yang ternyata tidak ada."Nih uang buat cuci steam motornya. Maaf nggak sempat nyuci tadi, motornya bau amis telur," ucap Saga.Beri berdecak kesal, "Kenapa nggak sekalian saja sih kamu nikahin janda tua itu. Hampir tiap hari beliin telur lah, terigu lah, beras lah, ayam lah!" celetuk Beri.Saga mendelik, lekas ia masuk ke dalam mobilnya, meninggalkan Beri yang tengah kebingungan.Sampai di rumah, Saga langsung masuk ke dalam kamarnya. Sepanjang ha
Seorang tetangga wanita tengah berdiri di depan rumah kontrakan Ratri."Mohon maaf, Bu Yanti, maksudnya apa, ya?" tanya Ratri.Kabar cerainya Ratri ternyata telah menyebar dari mulut ke mulut di daerah tempat tinggal Ratri, walaupun baru sehari."Nggak bermaksud apa-apa, cuma mau ngingetin, jadi janda harus mahal dikit. Jangan baru sehari menjanda, sudah bawa laki-laki ke rumah. Bisa apes yang menjadi tetangga kamu, Mbak," jawab bu Yanti.Ratri hanya menggeleng mendengar ocehan bu Yanti. Di mana-mana selalu saja ada orang yang tidak suka kepadanya.Bu Yanti pun pergi setelah mengoceh di depan rumah Ratri. Ratri menghela nafas kasar. Sehina itukah menjadi seorang janda? Sehingga apa yang ia lakukan selalu salah di mata orang yang tidak suka padanya."Mbak, apakah benar sama apa yang dibilangnya tadi? Apa benar Mbak sudah cerai dari suami Mbak itu?" tanya Saga tiba-tiba.Ratri mengangguk, "Ya, kemarin waktu kita di taman, sepupu aku memberitahuku ada seseorang mengirimkan surat. Setelah
"Bu, aku izin mau ke toilet dulu, ya. Nggak apa-apa?" pamit Ratri.Bu Wulan mengangguk kemudian menyahut, "Ah iya boleh, Nak."Ratri pun bergegas pergi ke toilet dengan tergesa. Ia mengenakan masker yang selalu ia bawa di dalam tasnya. Beruntung seseorang yang memanggil bu Wulan tidak begitu memperhatikan Ratri, hanya fokus menatap bu Wulan."Nunik, ya ampun ... Kamu Nunik, kah?" tanya bu Wulan kepada seorang wanita yang baru saja memanggilnya."Iya, aku Nunik teman sekolah kamu dulu. Sudah lama sekali kita nggak ketemu, terakhir kita bertemu saat kita lulus sekolah dulu. Kamu apa kabar, Wulan? Kamu nggak berubah, ya. Kamu tetap cantik. Aku lagi pesan makanan nih, kebetulan sekali kita ketemu," ujar bu Nunik."Kabarku baik, nggak nyangka aku, kita bisa ketemu lagi setelah sekian lama," jawab bu Wulan."Kebetulan sekali, karena kamu ada di sini. Aku mau kasih tahu kamu sesuatu. Sebentar lagi aku mau menikahkan anak bungsuku. Kamu datang, ya! Aku minta nomor kamu, nanti aku kirim alamat
Akhir pekan pun tiba, Saga yang tengah bersiap untuk pergi ke acara pernikahan Beri, tengah mematut dirinya di depan cermin."Sudah oke, ganteng kok. Masa sih, Mbak Ratri nggak mau? Hehe ... Semangat, aku harus bisa membuatnya tertarik padaku. Ehem ... Gina, tunggu Papa, Nak. Papa yang akan mengobati luka ibumu itu." Seperti orang gila, Saga mengobrol sendiri dengan cermin.Ceklek!Pintu kamar terbuka, ibunya saga memperhatikan tingkah laku Saga yang terlihat sedikit aneh menurutnya."Kamu mau kemana, sudah rapi seperti ini? Nggak seperti biasanya kamu dandan kayak gitu."Saga menoleh sambil berdecak."Mama ini, anaknya pakai baju urakan ngomel-ngomel. Sekarang pakai baju rapi masih diomelin. Aku mau pergi ke acara nikahan Beri, Ma," tukas Saga."Bukan begitu, Nak. Kan Mama cuma nanya. Beri? Beri teman kamu itu?" tanya ibunya Saga."Iya, Ma. Siapa lagi?" sahut Saga."Ck ... Tuh teman kamu saja sudah nikah. Kamu? Kapan nikahnya, Saga!"Saga mendelik, hampir setiap hari ibunya selalu me
"Apa-apaan ini?" sentak Ratri sangat terkejut atas sikap Saga yang terkesan tidak sopan.Saga melirik ke sana kemari, tidak menyahut ucapan Ratri. Kemudian mengambil piring berisi makanan milik Ratri. Saga berjalan cepat menuju meja tepat di mana Tiana dan Rusdi baru saja duduk.Saga berdiri di belakang mereka, lalu menjatuhkan sesuatu tepat di belakang kursi mereka."Mas, Mbak, apa itu uang kalian?" tanya Saga, yang kini berdiri di depan meja Rusdi dan Tiana sambil menenteng satu piring makanan milik Ratri."Uang?" tanya Tiana."Kalian lihat saja di belakang kursi kalian," jawab Saga.Serempak secara bersamaan, Rusdi dan Tiana menoleh ke belakang ke bawah kursi yang mereka duduki.Dengan cepat, Saga menukar piring berisi makanan milik Ratri dengan milik Tiana."Ah iya, ini uang kamu yang jatuh bukan, Mas?" tanya Tiana.Rusdi kemudian mengambil dua lembar uang pecahan seratus ribu itu."Ah ... Sepertinya iya, ini memang uangku. Mungkin jatuh pas aku mau duduk di sini," jawab Rusdi.Da
"Aku punya cara, bagaimana membuat perhitungan sama mereka. Besok lusa aku jemput, Mbak. Akan aku tunjukkan," ujar Saga.Ratri menoleh, alisnya bertaut membentuk sebuah lengkungan."Maksud kamu, Mas?" tanya Ratri."Nanti kamu lihat sendiri," jawab Saga.Saga pun segera melajukan mobilnya. Namun, sebelum mengantar pulang ke rumah Ratri, Saga terlebih dulu menepikan mobilnya di depan cafe."Kita makan dulu, Mbak!" ajak Saga yang disambut oleh anggukan kepala Ratri.Mereka berdua turun, dan memasuki sebuah cafe, karena di acara pernikahan Lulu, mereka tak sempat makan karena kejadian tak mengenakan tadi.Setelah mendapatkan tempat duduk, mereka berdua segera memesan makanan dan minuman.Keesokan harinya, di kediaman bu Nunik tampak ramai orang yang sedang membongkar tenda. Sementara bu Nunik dan Lulu sedang sibuk membuka kado dan amplop dari tamu undangan kemarin.Sementara Beri, ia tengah menatap kedua wanita itu yang terlihat sangat sibuk itu."Mas, nanti sore kita jadi, kan pindah ke
"Pagi, Beri! Kayaknya kamu baru bangun tidur. Ah ... Aku lupa, pengantin baru," celetuk Saga.Beri tampak mengangguk kemudian menunduk malu-malu."Ah kamu bisa saja, Ga. Biasa lah ... Lagi senang-senangnya," sahut Beri dengan wajah berseri-seri."Loh, Yang. Mereka ini nggak sopan, loh. Masa masuk ke sini, ke rumah kita main nyelonong saja, tapi kamu nggak marah. Malah bermanis-manis begini," ujar Lulu.Ratri hanya bisa tertunduk sambil menahan tawa. Sebenarnya ia merasa jahat saat ini. Namun, mengingat perangai Lulu dan keluarganya yang sangat keterlaluan, membuatnya seperti itu."Tidak usah marah-marah, Sayang. Mereka tamu kita, lebih baik kamu buatin minum, gih. Bawakan juga cemilan buat mereka," sahut Beri.Lulu tampak kesal melihat reaksi suaminya. Seharusnya Beri marah. Namun, malah sebaliknya Beri tampak ramah terhadap Saga dan Ratri."Ah ... Tidak usah repot-repot. Kedatangan kami ke sini, hanya untuk memberikan hadiah untuk kalian, khususnya kamu, Beri. Sebentar," ujar Saga.S