"Gina sudah tidur, Mas?" tanya Tiana, yang baru saja masuk ke dalam kamar.Rusdi menoleh, "Iya, dia baru saja tidur. Mungkin kelelahan karena Gina lama sekali menangis," jawab Rusdi.Tiana duduk di tepian tempat tidur. Lalu ia mengusap rambut Gina dengan lembut."Biarkan dia tidur, Mas. Lama kelamaan dia pasti betah bersama kita. Ayok, kita kembali ke kamar kita!" ajak Tiana.Rusdi menggeleng, ia seakan tidak ingin melepas Gina."Kamu takut jika Ratri mengambil Gina? Mas, kamu ayahnya, kamu juga berhak atas Gina. Jadi ... Nggak perlu takut. Biarkan dia tidur sendiri," imbuh Tiana.Rusdi terdiam, kemudian ia menidurkan Gina. Setelah menyelimuti Gina, Rusdi dan Tiana kembali ke kamar mereka."Mas!""Ti!"Secara bersamaan, Rusdi dan Tiana memanggil satu sama lain."Ah ... Kamu duluan saja, Mas," ujar Tiana.Rusdi mengangguk, "Aku sudah memutuskan jika aku akan segera menceraikan Ratri."Tiana terbelalak, ia terkejut atas ucapan Rusdi barusan."Yang benar, Mas? Ya ampun ... Aku senang sek
"Gina!" teriak Ratri.Ratri yang ketiduran di atas kursi, terbangun akibat mimpi buruk tentang Gina."Gina ketakutan," gumam Ratri.Ratri bangkit kemudian menyambar tasnya. Ia tergesa keluar untuk kembali ke rumah Rusdi. Ia masih penasaran akan Rusdi dan Tiana. Feeling-nya begitu kuat, jika Gina memang ada di sana.Ratri mencari ojek yang selalu mangkal di pinggir jalan. Namun, tak ada satu pun mereka ada di sana. Karena hari sudah malam, angkot pun sudah tidak ada yang beroperasi."Nggak apa-apa, aku akan jalan kaki saja. Pasti mereka ada di rumah sekarang. Aku yakin," batin Ratri.Ratri memutuskan untuk berjalan kaki saja. Ia akan menempuh perjalanan yang jauh untuk sampai ke rumah Rusdi.Tekadnya begitu kuat demi sang buah hati. Ia rela berjalan kaki sejauh apapun.Ratri mempercepat langkahnya. Namun, baru saja ia hendak menyebrang jalan. Sebuah motor ugal-ugalan hampir saja menabraknya.Bruk!Seseorang berhasil menangkap tubuh Ratri ke pinggir jalan. Membuat mereka terguling secar
"Kamu siapa?" tanya seorang wanita muda dengan pakaian layaknya baby sitter.Ratri terdiam, bingung hendak menjawab apa. Suster yang bekerja sebagai pengasuh Cherly kemudian menatap Gina."Pak, Bu, ada penyusup!" teriak suster itu tiba-tiba.Ratri panik, takut jika Rusdi dan Tiana mendengar, dan kembali masuk ke dalam rumah."Aaa!"Ratri terpaksa menarik tangan suster itu dan mendorong kasar tubuhnya ke dalam kamar. Kemudian menutup pintunya dan mengunci kamar itu, yang kebetulan kuncinya tergantung dari luar."Tolong, saya dikunci di dalam kamar!" teriak suster itu sambil menggedor pintu.Gegas Ratri mencari jalan keluar lewat pintu lain. Namun, pintu yang lain semua dikunci. Hanya ada satu jalan keluar yang bisa membuat Ratri keluar, yakni pintu depan.Dengan sangat terpaksa Ratri harus kembali ke pintu depan. Ia berharap, Rusdi dan Tiana masih fokus pada apa yang sedang dilakukan pria itu.Sampai di luar, terlihat Rusdi, Tiana dan pria tadi tengah mematikan api, yang telah merambat
Setelah berkenalan, mereka terdiam sesaat. Ratri dan pria yang ternyata bernama Saga itu tampak sibuk dengan pikiran masing-masing."Ah malah saling diam begini. Aku pamit dulu, Mbak Ratri. Semoga Gina lekas sembuh," pamit Saga bersiap dengan motor bebeknya."Ah iya, sekali lagi terima kasih atas kebaikan Mas Saga. Semoga Tuhan membalas kebaikannya Mas," ucap Ratri.Saga pun menghidupkan mesin motornya, sementara Ratri masuk ke dalam rumahnya.Baru juga keluar dari gang rumah Ratri. Saga menghentikan motornya. Ia merasa ada yang kurang ketika berpamitan pergi."Ya salam ... Kenapa aku lupa minta nomor HP-nya!" gumam Saga menepuk jidatnya.Ingin kembali ke rumah Ratri, namun ia tak enak. Maka ia teruskan saja perjalanan pulangnya.Keesokan harinya"Ya Tuhan, syukurlah Gina telah kembali, Ratri. Bersyukur Tuhan telah mengirimkan orang baik yang menolong kamu." Bi Atun yang tengah menyuapi Gina, merasa terharu dengan perjuangan Ratri semalam."Iya, Bi. Oh iya, sepertinya aku harus pindah
Ratri kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas, setelah mengakhiri panggilan dari Marni."Mas Saga, mohon maaf, aku harus pamit pulang," pamit Ratri."Ah iya, nggak apa-apa, Mbak. Mau aku antar?" tanya Saga.Ratri menggeleng pelan, "Tidak usah, terima kasih, Mas aku bawa motor."Saga mengangguk, kemudian ia juga beranjak dari kursi taman. Ia hendak membeli telur ke agen langganannya. Namun, baru hendak melangkah, sebuah benda berkilau tergeletak di bawah hampir terinjak olehnya. Saga mengambilnya, mengamati apa benda itu."Bros kerudung?" gumam Saga.Saga hendak mengejar Ratri. Namun, ia sudah tidak melihat Ratri di taman itu."Memangnya siapa yang ngirim surat ini, Mar?" tanya Ratri ketika ia telah sampai di rumah Marni.Ratri membolak balik kertas yang dimaksud, sebelum membukanya."Nggak tahu, Mbak. Coba buka saja suratnya. Siapa tahu itu penting," jawab Marni.Ratri mengangguk kemudian mulai membuka surat itu."Gugatan cerai?" gumam Ratri.Ratri membacanya dengan teliti. Ternyata
"Ini kunci motor kamu, sini kunci mobilku!" seru pria yang tak lain adalah Saga."Aduh, Bro! Kenapa mesti malam ini, sih? Aku lagi ada acara nih sama keluarga calonku. Kalau ketahuan mobil ini bukan punyaku, pasti malu aku," ujar Beri.Saga menggedikkan bahu, "Sorry, Bro! Mama dari tadi nelepon terus nyuruh pulang. Kalau aku ketahuan bawa motor, bisa habis aku. Mama trauma banget kalau aku bawa motor," ucap Saga.Dengan sangat terpaksa, Beri menyerahkan kunci mobil dan menerima kunci motornya. Ia harus mencari alasan, tentang mobil mewahnya yang ternyata tidak ada."Nih uang buat cuci steam motornya. Maaf nggak sempat nyuci tadi, motornya bau amis telur," ucap Saga.Beri berdecak kesal, "Kenapa nggak sekalian saja sih kamu nikahin janda tua itu. Hampir tiap hari beliin telur lah, terigu lah, beras lah, ayam lah!" celetuk Beri.Saga mendelik, lekas ia masuk ke dalam mobilnya, meninggalkan Beri yang tengah kebingungan.Sampai di rumah, Saga langsung masuk ke dalam kamarnya. Sepanjang ha
Seorang tetangga wanita tengah berdiri di depan rumah kontrakan Ratri."Mohon maaf, Bu Yanti, maksudnya apa, ya?" tanya Ratri.Kabar cerainya Ratri ternyata telah menyebar dari mulut ke mulut di daerah tempat tinggal Ratri, walaupun baru sehari."Nggak bermaksud apa-apa, cuma mau ngingetin, jadi janda harus mahal dikit. Jangan baru sehari menjanda, sudah bawa laki-laki ke rumah. Bisa apes yang menjadi tetangga kamu, Mbak," jawab bu Yanti.Ratri hanya menggeleng mendengar ocehan bu Yanti. Di mana-mana selalu saja ada orang yang tidak suka kepadanya.Bu Yanti pun pergi setelah mengoceh di depan rumah Ratri. Ratri menghela nafas kasar. Sehina itukah menjadi seorang janda? Sehingga apa yang ia lakukan selalu salah di mata orang yang tidak suka padanya."Mbak, apakah benar sama apa yang dibilangnya tadi? Apa benar Mbak sudah cerai dari suami Mbak itu?" tanya Saga tiba-tiba.Ratri mengangguk, "Ya, kemarin waktu kita di taman, sepupu aku memberitahuku ada seseorang mengirimkan surat. Setelah
"Bu, aku izin mau ke toilet dulu, ya. Nggak apa-apa?" pamit Ratri.Bu Wulan mengangguk kemudian menyahut, "Ah iya boleh, Nak."Ratri pun bergegas pergi ke toilet dengan tergesa. Ia mengenakan masker yang selalu ia bawa di dalam tasnya. Beruntung seseorang yang memanggil bu Wulan tidak begitu memperhatikan Ratri, hanya fokus menatap bu Wulan."Nunik, ya ampun ... Kamu Nunik, kah?" tanya bu Wulan kepada seorang wanita yang baru saja memanggilnya."Iya, aku Nunik teman sekolah kamu dulu. Sudah lama sekali kita nggak ketemu, terakhir kita bertemu saat kita lulus sekolah dulu. Kamu apa kabar, Wulan? Kamu nggak berubah, ya. Kamu tetap cantik. Aku lagi pesan makanan nih, kebetulan sekali kita ketemu," ujar bu Nunik."Kabarku baik, nggak nyangka aku, kita bisa ketemu lagi setelah sekian lama," jawab bu Wulan."Kebetulan sekali, karena kamu ada di sini. Aku mau kasih tahu kamu sesuatu. Sebentar lagi aku mau menikahkan anak bungsuku. Kamu datang, ya! Aku minta nomor kamu, nanti aku kirim alamat
Beberapa hari kemudian, seperti biasa Gina tengah mempersiapkan diri untuk berangkat ke kampus.Sebenarnya Gina merasa malas, setiap hari ia harus berhati-hati dengan keadaan kampus. Ah, bukan keadaan tepatnya, melainkan ketiga monster kampus yang selalu membuatnya kesal. Beberapa kali Gina mengalami bullying seperti dilempar telur, disiram air, dilempar tepung, dan masih banyak lagi. Tak habis pikir, ketiga monster kampus itu masih tetap saja aman di kampus itu. Dari sekian banyaknya mahasiswa di sana, tak ada seorang pun yang berani melawan atau melapor mereka. Pernah beberapa kali, Gina ingin melaporkan kasus bullying itu. Namun, selalu gagal karena ketiga monster itu tidak membiarkan Gina melakukannya."Sayang, sepertinya aku bakalan pulang cepat lagi nanti. Em ... Aku mau makan siang sama kamu berdua di pinggir danau," ujar Saga, saat mereka sedang sarapan pagi."Ehem ... Jadi hanya berdua nih? Aku sama Andres nggak diajak?" timpal Gina sambil melirik Andres."Hanya kami berdua,
Gina menggedikkan bahunya, ia juga merasa ragu sama seperti yang dirasakan Tessa.Kosan yang baru saja disewa Cherly terlihat tidak terawat. Bukan berarti kumuh, akan tetapi, keadaanya yang terlihat lembab."Entahlah, aku juga ragu, Tes. Kosan ini juga berada di paling ujung berbatasan dengan kebun pisang," sahut Gina."Em ... Apa kita kasih saran saja sama Cherly, buat cari lagi kosan yang lain? Aku saja sekarang ini, kok kurang nyaman, ya!" seru Tessa.Gina terdiam, ucapan Tessa ada benarnya juga. Namun, apakah Cherly setuju?"Tapi Cherly sudah membayar sewa selama beberapa bulan ke depan, Tes. Tapi ... Kita coba tanyakan saja nanti kalau dia sudah kembali," sahut Gina.Tak berselang lama, Cherly kembali dengan membawa 3 cup minuman dingin yang ditenteng di dalam kantong kresek bening."Ini buat kalian, huhhh haus banget," ujar Cherly, lantas memberikan 2 cup minuman itu kepada Gina dan Tessa."Terima kasih, Cher. Em ... Cher, kamu yakin mau tinggal di kosan ini?" tanya Gina memasti
"Aaargh!" Gina terkejut, saat seseorang menyiramkan 1 ember air ke seluruh tubuhnya, hingga bajunya basah kuyup.Ingin marah, akan tetapi di sana ia tidak mendapati siapa pun. Entah ini pekerjaan siapa, Gina tidak tahu."Perbuatan siapa ini?" teriak Gina lantang.Gina menoleh ke sana kemari, siapa tahu ada orang yang bisa ia tanyai mengenai hal itu. Namun, sayangnya tidak ada siapa pun di sana.Prok! Prok! Prok!Dari arah ruangan di samping Gina, pintu seketika terbuka lebar dan menampakkan 3 orang yang ia kenali. Salah satu dari mereka tepuk tangan dengan puas melihat Gina basah kuyup."Kamu!" gumam Gina.David tersenyum puas, menampakkan deretan gigi putihnya."Bagaimana, apakah kamu masih tidak takut sama saya?" tanya David.Kini Gina mengerti, ternyata ini perbuatan David, si monster kampus dan kedua temannya.Gina menyeka wajahnya yang penuh air dengan kasar. Ia tak habis pikir, kenapa orang seperti David masih dipertahankan di kampus itu. Padahal, banyak sekali orang-orang yang
Gina berusaha memberontak, saat seseorang yang tidak ia ketahui siapa itu terus menariknya hendak menuju kamar.Ingin berteriak, apa daya, suara Gina tertahan karena tangan itu terus membungkam mulut Gina."Ya Tuhan, siapa orang ini? Jangan sampai dia mencelakaiku," batin Gina ketakutan.Gina terus berusaha melepaskan diri, hingga terlintas di kepalanya, untuk menginjak kaki orang itu.Buk!"Aw!" pekik orang itu, merasa kesakitan akibat diinjak cukup kuat oleh Gina.Gina terperanjat, ia merasa tidak asing dengan suara itu. Orang itu kemudian melepaskan tangannya dari mulut Gina. Saat Gina membalikkan badan menghadapnya, ia terkejut saat melihat orang itu."Sakit tahu!" seru orang itu."Cherly, ya ampun! Ternyata ini kerjaan kamu," imbuh Gina terbelalak.Cherly mengangguk, seraya duduk di pinggiran ranjang sambil mengaduh kesakitan pada kakinya. Gina kemudian duduk di sampingnya."Hehe ... Maaf ya, Saudari. Aku hanya mau memberi kejutan," ucap Cherly tersenyum tengil. Namun, ia masih m
"Hai, Gina!" Rika tersenyum ke arah Gina.Gina berdiri mematung, begitu pun dengan Tessa, ia terkejut melihat Rika ada di dalam mobil bersama Saga."Ayah, kenapa Rika bisa bersama Ayah?" tanya Gina, ia urung untuk masuk ke dalam mobil.Saga mengerutkan dahinya, ia merasa aneh dengan sikap putrinya itu. Pasalnya ia tidak tahu menahu tentang Rika seperti apa. Gina maupun Ratri belum memberitahu Saga, jika Rika berusaha mendekatinya, dan berusaha membuat rumah tangganya bersama Ratri hancur."Kok kamu nanyanya gitu, Nak. Rika kan teman kamu, memangnya kenapa kalau Rika ikut kita sekalian. Tadi Ayah lihat dia terjatuh di jalan, kakinya sakit kayaknya. Jadi, Ayah ajak saja Rika untuk pulang bareng," jelas Saga.Gina menatap tajam ke arah Rika, yang melemparkan senyuman penuh kemenangan."Pokoknya aku nggak mau satu mobil dengan Rika," ujar Gina menegaskan.Saga semakin aneh dengan sikap Gina. Ia kemudian turun dari dalam mobil, lalu mendekatinya."Kamu kenapa sih, kok jadi gitu? Dia teman
"Aaaaargh!" Rika berdiri dengan mulut menganga. Rambut dan bajunya basah karena guyuran air itu."Kurang ajar," pekik Rika.Semua orang di kantin terpana atas apa yang dilakukan Gina.Gina tersenyum, ia kemudian menyimpan kembali botol air mineral itu ke atas meja."Bagiamana rasanya? Tidak enak, kan? Itu juga yang aku rasakan tadi, setelah kamu menyebar gosip murahan, yang jauh dari kebenarannya," cetus Gina dengan santainya.Rika menatap Gina tajam. Ia mengepalkan tangannya kuat, mulai terpancing emosi."Jadi kamu mau balas dendam?" tanya Rika.Gina tersenyum miring seraya melipat kedua tangannya di depan dada."Jadi ... Kamu merasa aku ini sedang balas dendam sama kamu? Dari ucapanmu barusan saja, sudah terbukti kalau kamu memang mau mencari masalah denganku. Tapi sayangnya, aku tidak ada maksud balas dendam. Aku hanya ingin memberi pelajaran kepada orang yang suka playing victim seperti kamu. Miris sekali, tidak mendapatkan ayahnya, kamu malah memfitnah anaknya," ujar Gina sambil
Hari-hari telah berlalu, kini Gina tengah bersantai di kursi teras depan, sambil memakan camilan kesukaannya. Beruntung, setelah pertengkaran Gina dan Rika tempo hari di mobil, Rika tidak pernah datang lagi ke rumah. Gina berharap, Rika segera menyadari kesalahannya. Ia tidak mau jika kedua orang tuanya menjadi korban atas ambisi Rika yang keterlaluan itu.Seperti ucapan Rika saat menginap, kini ia telah menjadi mahasiswi di kampus yang sama dengan Gina. Namun, pertengkaran itu lantas menjadikan mereka seperti seorang musuh. Bukan musuh tepatnya, tapi Gina berusaha menjaga jarak dengan Rika. Ia tidak ingin hal buruk terjadi jika terus berdekatan dengan orang sepertinya.Keesokan harinya, Gina telah bersiap untuk pergi ke kampus, dengan ditemani oleh Saga. Karena letak kampus searah dengan kantor tempatnya bekerja, maka sekalian Saga yang mengantarkan Gina kuliah."Kamu yang semangat belajarnya. Buat ibu sama Ayahmu ini bangga, Nak," pesan Saga sebelum Gina keluar dari mobil."Iya, Yah
"Ma-maksud kamu?" tanya Rika tergugup."Jalan, Pak!" titah Gina pada sopir.Pak Mukidi mengangguk, kemudian mulai menyalakan mobilnya.Di perjalanan, Gina tampak terdiam mengacuhkan Rika. Ia sangat kesal pada kelakuan Rika yang sangat tidak sopan itu."Gina, aku tidak bermaksud-""Stop, Rika! Sebaiknya kamu tidak usah datang lagi ke rumahku. Di depan aku saja, kamu sudah berani bersikap kurang ajar sama ayahku. Apa maksud kamu, Rika? Dia ayahku, dia suami ibuku. Dia sudah tua, jauh berbeda usianya dengan kamu. Apa nggak ada lelaki lain yang kamu incar?" potong Gina, ia merasa geram dengan sikap Rika.Rika terdiam, tatapannya berubah sinis."Kenapa? Kamu takut ayah kamu aku rebut? Atau jangan-jangan ... Kamu juga suka sama Om Saga? Secara dia kan ayah tiri kamu," pungkas Rika.Gina terbelalak, terkejut mendengar ucapan Rika."Apa maksud kamu bicara seperti itu, Rik? Mana mungkin aku suka sama ayahku sendiri. Memang benar ayah Saga itu ayah tiriku. Tapi dia yang merawat aku dari kecil.
"Ayah, temani aku ke rumah Nenek. Tidak usah menunggu Ibu, biar nanti Ayah telepon Ibu dan suruh menyusul saja," ajak Gina.Saga mengangguk, ia setuju dengan usulan Gina."Iya, Sayang. Kalau begitu, Ayah siap-siap dulu," sahut Saga.Saga melangkah menuju kamarnya. Kemudian Gina pun segera berganti baju di kamarnya."Sebaiknya kamu pulang, Rika. Aku sama Ayah mau pergi," pinta Gina."Ya ... Baru saja aku mau bilang ikut. Jadi gimana ini, aku kan mau nginap lagi di sini," sahut Rika.Gina menghembuskan nafas kasar. Lalu menatap Rika dengan tajam. Perasaannya yang sedang sakit, kini ditambah oleh kelakuan Rika, seketika membuat Gina menjadi kesal dan ilfil."Maaf, Rika. Kamu punya rumah, kamu masih memiliki orang tua. Tidak seharusnya kamu sering-sering menginap di rumah orang. Maaf, bukan aku melarang kamu. Tapi, hargai tuan rumah. Kamu tidak bisa seenaknya seperti itu," pungkas Gina. Terpaksa ia harus berbicara tegas terhadap Rika.Mendengar ucapan Gina, Rika merasa kesal. Namun, ia be