Mendadak Wahyudi merasa lemas dan pandangan matanya berkunang-kunang. Dia seketika oleng dan hampir saja limbung, jatuh ke belakang kalau dia tidak berpegangan pada pagar rumahnya.
"Apa? Tidak mungkin! Adelia tidak mungkin melakukan hal itu?" desis Wahyudi. Laki-laki itu menatap ke arah kerumunan laki-laki yang ada di hadapan nya. "Kalian jangan mengada-ngada! Istri saya tidak mungkin berbuat jahat dan curang pada saya!" ujar Wahyudi dengan badan yang gemetar. Dia merasa takut jika kehilangan rumah yang dimiliki nya sejak tiga tahun lalu sebagai hadiah dari ibunya yang menjual sawah dan sapi demi membelikannya rumah atas keberhasilannya diterima kerja di pabrik konveksi terbesar di kota itu. Rumah seharga tiga ratus juta itu memang dipilih karena lokasi nya yang dekat dengan pabrik. Dan di pabrik itu lah, tiga tahun kemudian, dia bertemu dengan Adelia, karyawan junior yang datang dari desa ke kota dan diterima bekerja di pabrik tempat Wahyudi bekerja. Adelia yang cantik jelita alami, langsung menarik perhatian Wahyudi dan beberapa karyawan lain. Perlu perjuangan yang lumayan berliku untuk Wahyudi memenangkan hati Adelia. Dan Wahyudi pun seakan ketiban durian runtuh saat Adelia menerima cintanya. Hanya saja menuruti aturan dari pabrik, bahwa pasangan suami istri tidak boleh bekerja di dalam pabrik yang sama, maka Adelia memutuskan untuk berhenti bekerja di pabrik itu dan menikah dengan Wahyudi. "Heh! Pak, Bapak! Jangan melamun ya! Kosong kan segera rumah ini!" seru laki-laki tinggi di hadapan Wahyudi seraya mengibaskan tangannya. Wahyudi yang sedang terpuruk segera menguasai diri lalu menatap ke arah kerumunan laki-laki di hadapan nya. "Bagaimana kalau saya tidak mau pergi dari rumah saya? Ini rumah saya! Ibu saya bahkan menjual sawah dan sapi untuk membeli rumah ini untuk saya! Eh, kalian kok mendadak memaksa saya untuk pergi dari rumah yang telah diberikan oleh ibu saya!" tegas Wahyudi. Meskipun satu lawan banyak, Wahyudi siap menjabanin, asalkan rumahnya tidak jatuh di tangan pada debt collect*r. Laki-laki di hadapan nya mendelik. "Kami akan mengeluarkan barang-barang bapak dengan paksa!" serunya. Dia lalu memerintah kan anak buahnya untuk mulai melompati pagar rumah Wahyudi. Anak buah lelaki itu segera melakukan instruksi dari bosnya dan dua orang dengan cekatan melompati pagar dan dalam waktu sekejap telah berada di dalam pagar rumah Wahyudi. Wahyudi yang panik segera berteriak dan berusaha menghentikan mereka. "Astaga! Apa-apaan kalian! Kalian tidak punya bukti kalau sudah memiliki sertifikat rumah saya! Jangan mengada-ngada!" "Saya punya buktinya! Saya memiliki sertifikat rumah ini dan foto kopi K T P bapak serta istri bapak. Ada lagi, saya juga mempunyai surat kuasa yang telah ditandatangani oleh bapak yang menyebut kan persetujuan bahwa bapak memperbolehkan rumah ini dijamin kan untuk meminjam uang pada saya." Wahyudi terdiam sejenak. Dia terhenyak dan menatap tak percaya pada laki-laki di hadapannya. "Saya nggak percaya," desis Wahyudi lirih. "Mari kita masuk ke dalam rumah. Saya akan membuktikan bahwa saya memiliki bukti-bukti yang saya sebutkan!" Wahyudi terdiam dan tidak merespon ucapan laki-laki di hadapan nya. Dia lalu menggeserkan-geserkan slot pagar yang memang agak macet lalu membuka pagarnya perlahan. Laki-laki itu bergegas masuk ke dalam rumah. Lalu mengetuk pintu rumah nya berkali-kali. "Del, Adel! Bukakan pintu!" Hening, tak ada suara. Tanpa putus asa, Wahyudi lalu meraih ponsel nya dan menelepon istri nya itu. Tapi nihil, nomor istri nya tidak aktif. "Pak, cepat kemasi barangnya! Kami juga harus melaksanakan tugas dari bos kami!" ujar laki-laki di hadapan nya tampak tak sabar. Wahyudi menatap ke arah laki-laki itu. "Tunjukkan dulu bukti-bukti yang tadi kamu katakan!" tantang Wahyudi. "Oke!" Laki-laki di hadapan Wahyudi menunjukkan tas tenteng hitamnya lalu mengeluarkan isinya. Tampak sebuah map kertas warna biru yang segera diletakkan nya di atas meja plastik di teras. Wahyudi mendelik saat melihat satu persatu bukti yang dipegang nya. Dia baru sadar kalau sebulan setelah menikah, Adelia meminta tanda tangan nya yang katanya untuk mencairkan dana BLT atau bansos saat dia baru saja tidur. Waktu itu dengan mata setengah terpejam karena masih mengantuk, Wahyudi segera menandatangani kertas yang disodorkan oleh istrinya agar dia bisa segera tidur kembali. "Jadi kapan rumah bapak akan segera dikosongkan?" tanya laki-laki tinggi di hadapan nya. Baru saja Wahyudi akan menjawab, terdengar suara salam dari pintu gerbang. Seorang laki-laki berseragam masuk ke teras rumah nya dan mengeluarkan amplop coklat dari dalam tas punggung nya. "Apa benar rumah ini adalah rumah pak Wahyudi?" Wahyudi mengangguk. "Saya Wahyudi." Wajahnya menegang. 'Ada apa lagi ini?" gumamnya galau. "Bapak siapa?" tanya Wahyudi. "Saya juru sita dari pengadilan agama ingin mengantarkan jadwal sidang mediasi dari istri Pak Wahyudi." Next?"Saya juru sita dari pengadilan agama ingin mengantarkan jadwal sidang pertama gugat cerai dari istri Pak Wahyudi.""Apa?" tanya Wahyudi melongo. Dia menatap panik secara bergantian pada juru sita pengadilan agama dan debt collect*r di hadapannya dengan bergantian. 'Ini pasti mimpi!' gumamnya lalu mencubit kedua pipinya secara bersamaan. 'Akan kubuktikan kalau hal ini masih mimpi dan saat aku bangun, semua dalam keadaan baik-baik saja. Adelia juga akan kembali ke sisiku dan sedang memasakkan makanan enak untukku.'"Awww! Sakit!" gumam Wahyudi seraya mengelus tangan nya yang baru saja dicubitnya sendiri. "Pak, silakan tanda tangan di sini sebagai bukti bahwa bapak telah menerima surat dari pengadilan agama," ujar pegawai dari pengadilan agama itu seraya menunjuk ke arah kanan bawah formulir yang dipegangnya. Wahyudi hanya bisa menghela napas panjang. "Tidak. Saya tidak mau tanda tangan! Saya tidak akan mau berpisah dengan Adelia!" seru Wahyudi dengan tegas. Pegawai pengadilan agam
"Tidak. Adelia tidak ada di sini. Jangan bilang kalau anak saya menghilang?!" tanya Bapak Adelia dengan nada seram. Wahyudi menelan ludah. Dia menatap mertuanya dengan jantung yang berdebar lebih kencang. Sanusi, mertua nya itu adalah laki-laki pindahan dari desa yang mengadu nasib ke kotanya. Dari cerita Adelia dulu, bapaknya ini adalah petani sekaligus peternak ayam yang pindah dari desa ke kota setelah menjual sawahnya yang kecil dan ayam kampungnya yang hanya beberapa ekor. Dan sekarang di kota, bapaknya menjadi pedagang beras di salah satu pasar. Tapi bagi Wahyudi, mertuanya itu lebih cocok menjadi salah satu preman daripada pedagang beras. Sanusi, bapak Adelia mendelik dant berjalan mendekat ke arah Wahyudi. "Kenapa kamu terdiam? Berati benar kalau Adelia menghilang dari rumah kamu?"Wahyudi menatap ke arah wajah mertuanya. Kata-kata nya tersumpal di kerongkongan. Dan tidak bisa keluar dari mulutnya."Kamu jangan mangap-mangap saja seperti ikan koi yang kurang air, jelaskan p
[Yud, anak ibu yang paling ganteng. Adik kedua kamu ingin menikah. Kamu masih punya tabungan kan untuk membantu ibu melamar calon istri adik kamu. Nggak banyak cuma tiga juta saja. Soalnya uang simpanan ibu mepet juga.]"Hah? Astaga!"Wahyudi merasakan kepalanya semakin berat dan napasnya yang mendadak tercekat. Dia segera duduk di kursi teras dan membaca ulang pesan dari ibunya. "Aduh, ibu ini gimana sih? Udah jatuh, tertimpa beton ini namanya. Untung saja aku kuat dan nggak kena stroke," ujar Wahyudi. Dia segera meraih ponsel nya dan menelepon ibunya. "Halo, assalamu'alaikum, Bu.""Waalaikumsalam, halo anak ganteng! Gimana kabar kamu? Sudah baca pesan dari Ibu?""Sudah, Bu. Tapi....""Nah, kamu bisa kan nyumbang tiga juta saja. Kalau acara nikahnya masih akan dibicarakan waktu lamaran. Tapi sepertinya tiga bulan lagi kata adikmu. Soalnya adik kamu mau nabung dulu. Dan kamu nanti nyumbang lima juta ya saat adik kamu nikahan? Adikmu mau beli mobil setelah ibu membelikannya rumah yan
Wahyudi seketika mendelik mendegar kata-kata sang adik. "Aduh, Gusti! Cobaan apa lagi ini?"Wahyudi segera berdiri dari posisi berbaringnya di kursi. Dia nyaris terjatuh tersandung kaki meja saat kepalanya terasa mendadak pusing. "Astaga! Ada apa sih?! Jangan-jangan kolesterol atau tekanan darah ku naik karena selama ini aku jarang banget nakan sayur. Hanya awal menikah dulu saja. Setelah empat bulan menikah, Adelia mulai masak yang enak-enak. Dan sembilan bulan pernikahan ini, dia minggat begitu saja. Tanpa pesan pula," gumam Wahyudi duduk di lantai dengan duduk di kursi sofa ruang tamunya. "Hah! Adelia bikin stres aja. Belum lagi ibu ini, kenapa justru cari ribut dengan pak Sanusi sih? Padahal ibu tahu kalau bapaknya Adelia itu kayak preman pasar. Tapi kok bisa-bisanya sih ibu cari keributan di sana. Gimana kalau bapaknya Adelia tahu aku memberikan nafkah lima ribu pada anaknya? Tapi, aku kan cuma ngajari Adelia agar berhemat agar kami bisa mulai menabung jika dia hamil?" gumam W
"Hah, saya menyesal telah menyetujui pernikahan Adelia denganmu! Seharus nya kamu ini dilaporkan ke polisi karena menelantarkan anak saya! Gaji kamu seperti nya lebih dari cukup jika kamu berikan pada anak saya untuk uang nafkah!" ujar Wati emosi membuat Wahyudi dan Ambar berpandangan. "Eh, bu Wati! Dulu itu saat saya baru menikah dengan almarhum bapaknya Wahyudi, semua cukup-cukup saja tuh! Uang lima ribu bisa makan enak dengan kenyang. Bahkan sampai saya sampai punya anak pun saya dan anak-anak bisa makan puas tanpa kelaparan! Saya bahkan rajin nanem-nanem singkong, tomat, lombok dan pisang, beberapa tanaman juga saya rawat sehingga bisa dimasak. Saya juga miara ayam, kambing dan sapi buat bantu perekonomian keluarga. Dasar Adelia nya saja yang malas. Dia mana pernah kepikiran untuk berhemat dan menabung untuk masa depan anak-anak nya kelak! Bisanya memboroskan uang suaminya. Jadi perempuan itu harusnya bisa membantu suami cari duit!" ucap Ambar berapi-api. Sanusi dan Wati yang
Baru saja Wahyudi memarkirkan motor nya di pinggir jalan dekat warung, saat dia melihat sosok Adelia melintas keluar dari warung. "Astaga! Adelia!" seru Wahyudi. Wahyudi segera melompat dari motor nya dan hampir berlari mengejar sosok perempuan yang berjalan dengan cepat. "Del, Adelia!" seru Wahyudi lirih. Karena dia antara yakin dengan tak yakin terhadap pandangan nya. Malam itu gelap, mendung. Bulan dan bintang bersembunyi di balik awan. Lampu warung memang terang, hanya sebatas di dalam dan teras warung, sedangkan di sekeliling warung hanya ada lampu jalan yang berwarna kekuningan. Perempuan berambut panjang dan bercelana jins yang berjarak kurang lebih dua ratus meter dari tempat Wahyudi memarkir motor memalingkan wajahnya sekilas ke belakang, dan Wahyudi terkesiap saat melihat tulang pipi dan hidung mancung nya. "Del! Adel!"Wahyudi semakin bersemangat mengejar perempuan itu namun tiba-tiba dia menabrak seseorang, hingga seseorang itu terjatuh. "Aduh!" pekik orang yang dit
Beberapa bulan sebelumnya, "Ini uang bulanan kamu," ujar Wahyudi setelah dia baru saja gajian. Dengan mata berbinar, Adelia menerima amplop tipis berwarna coklat yang diulurkan oleh sang suami. Dahi Adelia sedikit berkerut saat membuka amplop coklat itu dan melihat isinya. "Seratus lima puluh ribu? Ini sehari kan, Mas?" tanya Adelia menatap Wahyudi dengan penuh harap. "Sehari? Sebulan lah, Del. Makanya sehari kalau bisa kamu belanja lima ribu saja. Beras, bumbu, LPG, listrik, air dan minyak goreng biar menjadi urusan ku. Kamu hanya perlu beli lauk dan sayur. Cukup kan? Lagipula Kita belum punya anak."Adelia melongo. "Astaga, Mas. Kok kamu tega sih. Mana cukup uang lima ribu sehari?" protes Adelia. Wahyudi menatap Adelia dan memeluk istrinya erat."Cukup, Sayang. Tahu tempe dan seikat bayam bisa kok buat sehari. Aku juga jarang makan di rumah. Jadi untuk makan kamu saja ya. Jangan boros-boros jadi istri. Kita harus menabung untuk calon anak kita mumpung kamu belum hamil."Adelia
Adelia tersenyum kecut dan dalam pikirannya, dia sudah merencanakan pembalasan untuk suami pelitnya itu. 'Awas saja kamu, Mas! Aku tidak ikhlas dengan nafkah yang kamu berikan! Aku akan membuatmu menyesal lebih memilih ibu dan teman-teman kamu.'"Hm, Mas. Bagaimana kalau gaji kamu masuknya ke rekeningku saja?" tanya Adelia lagi mencoba menawarkan solusi. Wahyudi mendelik. "Apa? Masuk ke rekening kamu? Nggak salah tuh? Aku lo yang kerja seharian. Biar aku lah yang mengatur keuangan. Hm, aku dan ibu. Kamu percaya saja pada ibuku yang amanah. Buktinya kan aku bisa punya rumah ini karena pemberian ibuku yang telah berhemat dari dulu, Del."Adelia menghela napas panjang. "Tapi, Mas. Uang lima ribu itu kalau untuk sehari... ""Adelia, aku tidak tahu kenapa hari ini kamu ngeyel sekali. Kita baru menikah dua bulan, dan aku tidak ingin kita bertengkar hanya gara-gara masalah uang.""Hanya kamu bilang, Mas? Uang ini memang segalanya, tapi segala-galanya butuh uang. Lalu kenapa kamu justru le