[Yud, anak ibu yang paling ganteng. Adik kedua kamu ingin menikah. Kamu masih punya tabungan kan untuk membantu ibu melamar calon istri adik kamu. Nggak banyak cuma tiga juta saja. Soalnya uang simpanan ibu mepet juga.]
"Hah? Astaga!" Wahyudi merasakan kepalanya semakin berat dan napasnya yang mendadak tercekat. Dia segera duduk di kursi teras dan membaca ulang pesan dari ibunya. "Aduh, ibu ini gimana sih? Udah jatuh, tertimpa beton ini namanya. Untung saja aku kuat dan nggak kena stroke," ujar Wahyudi. Dia segera meraih ponsel nya dan menelepon ibunya. "Halo, assalamu'alaikum, Bu." "Waalaikumsalam, halo anak ganteng! Gimana kabar kamu? Sudah baca pesan dari Ibu?" "Sudah, Bu. Tapi...." "Nah, kamu bisa kan nyumbang tiga juta saja. Kalau acara nikahnya masih akan dibicarakan waktu lamaran. Tapi sepertinya tiga bulan lagi kata adikmu. Soalnya adik kamu mau nabung dulu. Dan kamu nanti nyumbang lima juta ya saat adik kamu nikahan? Adikmu mau beli mobil setelah ibu membelikannya rumah yang lebih murah dari kamu. Dia pasti butuh sumbangan dana yang besar." Wahyudi menelan ludah. "Bu, sebenarnya ada yang ingin aku katakan." "Oh ya? Ada apa? Katakan saja?" Wahyudi menelan ludah dengan susah payah. "Ibu, sepertinya aku tidak dapat membantu lamaran dan pernikahan Wawan." Terdengar hening sejenak. "Astaga, kok bisa sih? Kamu ini benar-benar kacang yang lupa pada kulitnya? Kamu nggak ingat kalau ibu sudah membelikan kamu rumah? Kamu dan Wawan itu masing-masing mendapatkan jatah tiga ratus juta. Kamu meminta semua jatah kamu untuk membeli rumah yang memang mahal di daerah kota sebelah. Sementara adik kamu cukup dengan uang dia ratus juta untuk beli rumah yang sudah bagus di daerah ini. Yang seratus juta, dia ingin beli mobil. Kalian itu seharusnya selalu membantu orang tua kalau orang tua dalam kesulitan. Apa artinya uang tiga juta dan lima juta untuk kamu yang telah mendapatkan uang tiga ratus juta dari ibu?" tanya Ambar, ibu Wahyudi dengan berang. "Bu, Wahyudi tahu kalau ibu baik sekali dengan ku. Dan aku juga setiap bulan sudah mengirimkan sebagian besar gajiku pada ibu," ujar Wahyudi dengan kelu. "Oh, jadi kamu mulai itung-itungan dengan ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusui, dan mengasuh kamu dari kecil sampai gede? Udah gede, juga diberi rumah, eh kamu nya nggak mau gantian bantu keluarga?" keluh Ambar, membuat Wahyudi merasa tidak enak. "Bukan itu! Kalau kondisi normal, Wahyudi pasti mau bantu, Bu. Tapi sekarang aku juga sedang dalam masalah. Tolong mengerti sedikit, Bu!" ujar Wahyudi dengan nada meninggi. "Astaga, kamu sekarang berani membantah dan membentak ibu?! Ini semua pasti karena Adelia! Mana istri kamu! Kamu itu kan belum punya anak, masa sih enggak ada simpanan sama sekali? Ini pasti karena Adelia boros kan? Menghambur-hamburkan gaji suami saja!" ujar Ambar ketus. "Nah, masalahnya itu dari Adelia, Bu! Dia... " "Tuh kan, Adelia memang pembuat masalah! Masa gaji lima juta habis begitu saja! Dan kamu pasti juga menambah uang saku Adelia dengan lemburan kan?" "Bu, sebenarnya... Gaji Wahyudi kan lima juta. Tiga juta kuberikan pada ibu. Dan dua juta kupegang sendiri untuk ngopi. Adelia hanya dapat seratus lima puluh ribu perbulan. Setelah menikah, Wahyudi jarang ambil lemburan juga." "Nah itu bener. Kita harus hemat dan nggak boleh boros. Sederhana dalam makan dan minum sehingga bisa nabung. Lihat ibu dan almarhum bapak kamu bisa nabung dan beli sawah untuk bekal kalian. Kami dulu sering makan ubi dan jagung rebus hasil bertanam sendiri demi bisa nabung. Kalau Adelia pinter, dia kan nganggur dan nggak kerja di pabrik lagi, dia nanem-nanem tanaman di dalam pot. Agar kalian bisa nabung dan berhemat mumpung belum punya anak. Kamu gimana sih mendidik istri?" tanya Ibu nya dengan nada memojokkan. "Bu, itu... Sebenarnya, Adelia sudah menjaminkan rumah ini pada renten*r." Wahyudi pun dengan terbata-bata menceritakan semua kejadian buruk yang menimpanya. "Astaga, kamu kok guobl*k gitu sih, Yud? Kenapa kamu sembrono menyimpan serti fikat rumah kamu, hah? Padahal ibu dan almarhum bapak menabung dengan susah payah demi membelikan kamu dan adik kamu rumah! Ibu tidak mau tahu! Cari Adelia sampai dapat, minta pertanggungjawaban nya!" "Ini juga sudah berusaha mencari, Bu! Tapi apa boleh buat, aku masih belum menemukannya," ujar Wahyudi dengan nada putus asa. "Ck, kalau begitu, ibu harus turun tangan dan meminta bapaknya Adelia untuk membayar semua hutang anaknya itu! Tunggu! Ibu siap - siap kesana! Ah, kamu itu benar-benar mengecewakan! Nggak bisa mendidik istri!" ujar ibunya kesal. "Hah? Ibu mau apa kemari?" tanya Wahyudi kaget. "Ibu harus ketemu dengan bapaknya Adelia! Minta uang sama dua!" "Jangan, Bu! Wahyudi tidak mau kalau masalah ini jadi ramai!" ujar Wahyudi panik. "Kamu tidak usah bingung. Biar ibu yang mengurus semuanya." "Bu, kalau Wahyudi minjam uang pada ibu sekitar tiga puluh juta untuk membayar hutang Adelia dulu? Wahyudi mau bayar utang Adelia dulu selama empat bulan agar rumah ini bisa dipertahankan," uJar Wahyudi memelas. "Hah? Apa Ibu tidak salah dengar? Apa kamu gi la? Kamu mau meres ibu yang sudah tua ini? Ibu ini ibarat parutan kelapa kering yang sudah tidak bisa diperas lagi. Ora sudi! Kalau kamu butuh uang untuk membayar utang Adelia, lebih baik kamu minta pada bapaknya saja! Nanti ibu yang memintakan nya!" "Bu, tapi Bu! Bapaknya Adelia itu... " Klik! "Astaga! Kepalaku... Kepalaku migrain dan vertigo!" keluh Wahyudi. Dia memegangi kepalanya dan bersandar di kursi teras rumahnya. Wahyudi menghela napas panjang dan berusaha untuk menyedot oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-paru nya. "Sepertinya aku harus masuk ke dalam rumah dulu, paling tidak aku harus mengistirahatkan pikiran," Ujar Wahyudi. Dia menatap ke arah pintu. Sebenarnya pintu depan ini mempunyai kunci duplikat, tapi ada di dalam kamarnya. Wahyudi tidak pernah membawa kunci itu karena dia jarang lembur, sehingga jarang pulang malam. Kunci utama jelas dibawa Adelia, kunci duplikat ada di dalam kamarnya. Sedangkan Pintu belakang dan pintu depan, tidak mempunyai kunci duplikat dan dikunci dari dalam rumah. Mau tidak mau, Wahyudi harus merusak gagang pintu depan agar bisa masuk ke dalam rumah. Wahyudi mengambil batu yang agak besar yang ada di teras rumahnya. Lalu berusaha untuk merusak pintu depan rumah. ** Wahyudi yang sudah masuk kedalam rumah, tertidur di sofa panjang dan mengganjal pintu depan yang tidak terkunci dengan kursi kayu ruang makannya terkejut saat mendengar ponsel nya berdering dengan nyaring. Dia tidak menyadari hari yang sudah malam karena minum obat sakit kepala langsung dua dosis. Wahyudi dengan mata setengah terpejam, meraih ponsel nya dan menerima panggilan telepon tanpa melihat nama di layar. "Halo, Mas Yud! Ibu, Mas! Aku mengantarkan ibu ke rumah mertua kamu. Dan.. Dan mereka saling adu mulut sekarang! Cepat kesini, Mas! Bantu melerai, aku kewalahan! Kami jadi tontonan tetangga!" Wahyudi seketika mendelik mendegar kata-kata sang adik. "Aduh, Gusti! Cobaan apa lagi ini?" Next?Wahyudi seketika mendelik mendegar kata-kata sang adik. "Aduh, Gusti! Cobaan apa lagi ini?"Wahyudi segera berdiri dari posisi berbaringnya di kursi. Dia nyaris terjatuh tersandung kaki meja saat kepalanya terasa mendadak pusing. "Astaga! Ada apa sih?! Jangan-jangan kolesterol atau tekanan darah ku naik karena selama ini aku jarang banget nakan sayur. Hanya awal menikah dulu saja. Setelah empat bulan menikah, Adelia mulai masak yang enak-enak. Dan sembilan bulan pernikahan ini, dia minggat begitu saja. Tanpa pesan pula," gumam Wahyudi duduk di lantai dengan duduk di kursi sofa ruang tamunya. "Hah! Adelia bikin stres aja. Belum lagi ibu ini, kenapa justru cari ribut dengan pak Sanusi sih? Padahal ibu tahu kalau bapaknya Adelia itu kayak preman pasar. Tapi kok bisa-bisanya sih ibu cari keributan di sana. Gimana kalau bapaknya Adelia tahu aku memberikan nafkah lima ribu pada anaknya? Tapi, aku kan cuma ngajari Adelia agar berhemat agar kami bisa mulai menabung jika dia hamil?" gumam W
"Hah, saya menyesal telah menyetujui pernikahan Adelia denganmu! Seharus nya kamu ini dilaporkan ke polisi karena menelantarkan anak saya! Gaji kamu seperti nya lebih dari cukup jika kamu berikan pada anak saya untuk uang nafkah!" ujar Wati emosi membuat Wahyudi dan Ambar berpandangan. "Eh, bu Wati! Dulu itu saat saya baru menikah dengan almarhum bapaknya Wahyudi, semua cukup-cukup saja tuh! Uang lima ribu bisa makan enak dengan kenyang. Bahkan sampai saya sampai punya anak pun saya dan anak-anak bisa makan puas tanpa kelaparan! Saya bahkan rajin nanem-nanem singkong, tomat, lombok dan pisang, beberapa tanaman juga saya rawat sehingga bisa dimasak. Saya juga miara ayam, kambing dan sapi buat bantu perekonomian keluarga. Dasar Adelia nya saja yang malas. Dia mana pernah kepikiran untuk berhemat dan menabung untuk masa depan anak-anak nya kelak! Bisanya memboroskan uang suaminya. Jadi perempuan itu harusnya bisa membantu suami cari duit!" ucap Ambar berapi-api. Sanusi dan Wati yang
Baru saja Wahyudi memarkirkan motor nya di pinggir jalan dekat warung, saat dia melihat sosok Adelia melintas keluar dari warung. "Astaga! Adelia!" seru Wahyudi. Wahyudi segera melompat dari motor nya dan hampir berlari mengejar sosok perempuan yang berjalan dengan cepat. "Del, Adelia!" seru Wahyudi lirih. Karena dia antara yakin dengan tak yakin terhadap pandangan nya. Malam itu gelap, mendung. Bulan dan bintang bersembunyi di balik awan. Lampu warung memang terang, hanya sebatas di dalam dan teras warung, sedangkan di sekeliling warung hanya ada lampu jalan yang berwarna kekuningan. Perempuan berambut panjang dan bercelana jins yang berjarak kurang lebih dua ratus meter dari tempat Wahyudi memarkir motor memalingkan wajahnya sekilas ke belakang, dan Wahyudi terkesiap saat melihat tulang pipi dan hidung mancung nya. "Del! Adel!"Wahyudi semakin bersemangat mengejar perempuan itu namun tiba-tiba dia menabrak seseorang, hingga seseorang itu terjatuh. "Aduh!" pekik orang yang dit
Beberapa bulan sebelumnya, "Ini uang bulanan kamu," ujar Wahyudi setelah dia baru saja gajian. Dengan mata berbinar, Adelia menerima amplop tipis berwarna coklat yang diulurkan oleh sang suami. Dahi Adelia sedikit berkerut saat membuka amplop coklat itu dan melihat isinya. "Seratus lima puluh ribu? Ini sehari kan, Mas?" tanya Adelia menatap Wahyudi dengan penuh harap. "Sehari? Sebulan lah, Del. Makanya sehari kalau bisa kamu belanja lima ribu saja. Beras, bumbu, LPG, listrik, air dan minyak goreng biar menjadi urusan ku. Kamu hanya perlu beli lauk dan sayur. Cukup kan? Lagipula Kita belum punya anak."Adelia melongo. "Astaga, Mas. Kok kamu tega sih. Mana cukup uang lima ribu sehari?" protes Adelia. Wahyudi menatap Adelia dan memeluk istrinya erat."Cukup, Sayang. Tahu tempe dan seikat bayam bisa kok buat sehari. Aku juga jarang makan di rumah. Jadi untuk makan kamu saja ya. Jangan boros-boros jadi istri. Kita harus menabung untuk calon anak kita mumpung kamu belum hamil."Adelia
Adelia tersenyum kecut dan dalam pikirannya, dia sudah merencanakan pembalasan untuk suami pelitnya itu. 'Awas saja kamu, Mas! Aku tidak ikhlas dengan nafkah yang kamu berikan! Aku akan membuatmu menyesal lebih memilih ibu dan teman-teman kamu.'"Hm, Mas. Bagaimana kalau gaji kamu masuknya ke rekeningku saja?" tanya Adelia lagi mencoba menawarkan solusi. Wahyudi mendelik. "Apa? Masuk ke rekening kamu? Nggak salah tuh? Aku lo yang kerja seharian. Biar aku lah yang mengatur keuangan. Hm, aku dan ibu. Kamu percaya saja pada ibuku yang amanah. Buktinya kan aku bisa punya rumah ini karena pemberian ibuku yang telah berhemat dari dulu, Del."Adelia menghela napas panjang. "Tapi, Mas. Uang lima ribu itu kalau untuk sehari... ""Adelia, aku tidak tahu kenapa hari ini kamu ngeyel sekali. Kita baru menikah dua bulan, dan aku tidak ingin kita bertengkar hanya gara-gara masalah uang.""Hanya kamu bilang, Mas? Uang ini memang segalanya, tapi segala-galanya butuh uang. Lalu kenapa kamu justru le
Wahyudi menghela napas panjang. Pikiran nya berkecamuk kebingungan."Sepertinya besok aku harus datang ke pengadilan agama. Daripada aku harus membayar hutang Adelia, lebih baik aku meminta maaf padanya. Dan akan jauh lebih baik jika dia kerja di rumah."Wahyudi menghela napas panjang lalu tersenyum lebar. Merasa menemukan ide cemerlang. "Yah, betul sekali! Dengan minta modal dari keluarga nya, dia bisa saja jualan online atau jualan makanan ringan. Dekat perumahan kan ada SD. Wah ide bagus! Dengan begitu Adelia bisa membayar utangnya pada debt collect*r itu. Nanti kalau kurang, aku tambahin saja.Daripada aku harus berpisah dengan Adelia, lalu mulai lagi harus mengenal perempuan lain. Ah, malah ribet. Apalagi nanti kalau berpisah dengan Adelia, nggak ada yang menyapu, mengepel, mencuci, dan menyetrika bajuku. Hah, daripada capek-capek melakukan pekerjaan rumah tangga padahal aku sudah kecapean di pabrik, atau buang-buang duit untuk mencari dan membayar ART, tidak ada salahnya aku m
Beberapa hari sebelum nya, Suara ketukan pintu di rumah Roni membuat lelaki yang sedang memegang sapu itu berlalu ke arah pintu depan rumah nya. "Eh, kamu Yud. Ayo masuk dulu. Aku masih mau nyapu-nyapu rumah," ujar Roni setelah membuka pintu. Pemuda itu mengerut kan keningnya saat melihat Wahyudi yang sedang datang ke rumahnya pagi-pagi."Hm, aku enggak lama kok, Ron. Jadi aku di depan pintu saja. Aku hanya ingin minta tolong padamu," ujar Wahyudi dengan wajah memelas."Oh ya? Minta tolong apa, Yud?""Tenang saja, kali ini aku tidak akan meminjam uang padamu. Aku hanya ingin meminta kamu menjadi saksi saat aku sidang kedua di pengadilan. Jadwal nya seminggu lagi. Rencana nya aku tidak ingin melibatkan ibu dan keluarga ku yang lain dalam kasus perceraian ku. Karena ibuku juga menyuruhku bercerai tapi aku ingin mempertahankan rumah tanggaku. Jadi aku ingin mengajak kamu menjadi saksi yang membelaku di depan hakim. Untuk saksi lain, aku akan mengajak teman yang lain. Jadi kamu mau kan
LIMA RIBU DI TANGAN ISTRI YANG TEPAT13 A"Pak Wahyudi! Jangan membuat keributan di sini! Saya bisa melaporkan bapak ke kantor polisi atas tuduhan penganiayaan!" ujar Rosa dengan tegas. Ambar dan Wawan segera mendekat ke arah Wahyudi dan masing-masing dari mereka menarik tangan Wahyudi. Wahyudi menggeram dengan kesal dan perlahan berdiri menjauh dari tubuh Roni. Roni mengusap sudut bibirnya yang berdarah akibat pukulan Wahyudi. Dia sangat ingin membalas Wahyudi, tapi ditahan nya. Dia tidak ingin memperburuk karir nya maupun sang kakak. "Tuduhan kamu palsu. Kamu tidak mempunyai bukti tentang apa yang sudah kamu katakan," sahut Roni. Wahyudi menghela napas kasar, lalu menatap ke arah Roni dengan tajam. "Awas saja kamu! Aku pasti akan membuat kamu menyesal!" ujar Wahyudi sebelum dia akhirnya pergi karena ajakan adik dan ibunya. "Yud, kita pergi saja. Jangan membuat malu dan masalah lagi!" bisik Ambar di telinga anak sulung nya. Wahyudi mendengkus kasar dan segera pergi dari ruang