Beberapa saat sebelumnya, Wahyudi memastikan bahwa tidak ada satupun CCTV yang terpasang di kafe ini. Setelah membulatkan tekad, dia memutuskan untuk menjalankan rencana jahatnya. "Awas saja kamu, Del! Aku tidak akan tinggal diam melihat kamu hidup dengan bahagia, sementara aku dan ibuku hidup menderita. Aku akan membuat usaha kamu bangkrut dan rugi, Del!" gumam Wahyudi lirih. Dia lalu mencabut tiga helai rambut dan menggigit kukunya lalu memasukkannya ke dalam mangkuk. Selanjutnya dia berteriak sambil berseru jijik. "Astaga! Pelayan! Pelayan! Apa-apaan ini! Kenapa jorok sekali makanan di sini!" Beberapa pelanggan menatap dengan penuh tanda tanya pada Wahyudi. Sementara itu Wahyudi tampak semakin merasa marah karena tidak ada pelayan yang mendatangi nya dan dia merasa tidak dipedulikan. "Woi! Pembeli adalah raja! Awas ya kalian! Karyawan dan pemilik kafe di sini akan ku viralkan! Saya mau protes! Saya tidak terima dengan pelayanan kafe ini!" ujar Wahyudi dengan nada tinggi. Suar
"Dasar pelakor! VAlakor kamu ya! Gatel! Kamu telah selingkuh dengan suami saya kan?! Dan sekarang kamu hamil dengan suami saya. Saya tidak terima!! Huh, sialan! Pelakor kurang ajar! Akan ku seret kamu ke kantor polisi!" seru perempuan bertubuh subur itu dan di samping perempuan itu tampaklah Jarot dengan wajah pucat dan tangan gemeteran berusaha melerai istrinya dan Wina yang saling menjambak dengan kencang. "Astaga! Apa tadi kata istri pak Jarot?!" desis Wahyudi dengan suara parau. Dia ingin melangkah maju ke arah istrinya, tapi kesulitan karena ada beberapa orang di depannya termasuk kedua satpam yang berjalan lebih dulu yang segera melerai Wina dan istri Jarot. "Jangan membuat keributan di sini! Kalau ada masalah pribadi, selesai kan saja di luar," ujar salah seorang satpam seraya berusaha melepaskan cengkeraman tangan istri Jarot dari rambut Wina. "Nggak bisa begitu, Pak! Ini urusan kami bertiga! Bapak jangan ikut campur! Jalang ini sudah berselingkuh dengan suami saya!" seru i
Suasana pantai yang indah dengan deburan ombak saat matahari tenggelem membuat suasana semakin indah. Angin semilir memainkan rambut Adelia hingga mengembang bergelombang semakin indah. Roni mengajak Adelia ke pantai dan melihat ke arah laut lepas. Mereka duduk di warung sea food pinggir pantai. Adelia menatap ke arah lautan dengan senyum terkembang. "Kamu senang dengan pantai kan?” tebak Roni. Adelia mengangguk. " Iya, senang banget. Biasanya kalau liburan sekolah, aku dan keluarga jalan-jalan ke pantai. Hm, darimana kamu tahu soal itu, Mas?" tanya Adelia penasaran. Roni tersenyum penuh misteri. "Sebenarnya aku juga mendekati bapak dan ibu kamu. Aku sering menyapa beliau dan menanyakan makanan dan tempat favorit," sahut Roni serius. Tapi Adelia mendelik. "Apa? Kamu serius, Mas? Bapak dan ibuku termasuk orang tua yang kaku dan susah didekati lho." Roni tersenyum. "Bukti nya aku mendapatkan informasi tentang pantai dan seafood dari bapak dan ibu kamu. Rasanya aku menemukan kedua
"Halo, selamat sore. Ini dari kepolisian. Pemilik ponsel ini ditahan atas laporan para korban investasi bodong. Kalau bapak merasa menjadi salah satu korbannya, silakan datang ke kantor polisi untuk memberikan kesaksiannya besok," ujar suara seberang membuat Wahyudi merasa lemas seketika."Astaga, tidak mungkin kalau teman saya menipu saya! Bapak pasti bercanda kan?! Mana teman saya? Saya ingin memastikan kalau dia sedang becanda dengan saya," ujar Wahyudi berusaha untuk tidak panik, walaupun di dalam hatinya, dia merasakan cemas bukan main. "Saya sedang tidak bercanda. Jika bapak tidak percaya, silakan datang ke kantor polisi sekarang," ujar suara dari seberang membuat Wahyudi hanya bisa menelan ludah dan menghela napas berat. ***"Aku ditipu, Bu. Aku ditipu teman ku. Uang dari pemkab habis semuanya. Aku harus bagaimana, Bu?" tanya Wahyudi panik setelah pulang dari kantor polisi. "Kamu sih, Mas, nggak bisa hati-hati kalau investasi, sekarang jadinya harus seperti ini kan?" sahut W
"Kamu cuma memberikan n a f k ah pada istrimu lima r i b u sehari?" tanya Roni tidak percaya. Pandangannya m e l o t o t ke arah Wahyudi, temannya yang sedang nongkrong di warung kopi, Cak Dul. Wahyudi menjentikkan ibu jari dan telunjuknya dengan mantap. "Tentu saja! Istri ku itu luar biasa! Kami kan baru saja menikah. Belum setahun. Jadi belum punya a n a k. Buat apa dia diberi n a f k a h banyak-banyak? Sedangkan anak saja belum punya," ujar Wahyudi tertawa. Roni, temannya tetap saja melongo. "Ah, tetap enggak masuk akal. Jangan-jangan sehari-hari kamu cuma makan sama garam. Belum minyak dan beras kan?""Hm, minyak, beras, sama keperluan di kamar mandi itu aku yang beli. U a n g lima r i b u itu khusus lauk.""Jangan-jangan kamu makan sama garam? Ya kan? Ngaku kamu!" tanya Roni tetap tidak puas. "Ish, nggak ya. Hebatnya istriku itu walaupun n a f k a h lima r i b u, tapi sehari-hati aku makan enak. Ayam b a k a r, sambal cumi, tadi aja aku makan sate," Pamer Wahyudi bangga. Dia
Mendadak Wahyudi merasa lemas dan pandangan matanya berkunang-kunang. Dia seketika oleng dan hampir saja limbung, jatuh ke belakang kalau dia tidak berpegangan pada pagar rumahnya. "Apa? Tidak mungkin! Adelia tidak mungkin melakukan hal itu?" desis Wahyudi. Laki-laki itu menatap ke arah kerumunan laki-laki yang ada di hadapan nya. "Kalian jangan mengada-ngada! Istri saya tidak mungkin berbuat jahat dan curang pada saya!" ujar Wahyudi dengan badan yang gemetar. Dia merasa takut jika kehilangan rumah yang dimiliki nya sejak tiga tahun lalu sebagai hadiah dari ibunya yang menjual sawah dan sapi demi membelikannya rumah atas keberhasilannya diterima kerja di pabrik konveksi terbesar di kota itu. Rumah seharga tiga ratus juta itu memang dipilih karena lokasi nya yang dekat dengan pabrik. Dan di pabrik itu lah, tiga tahun kemudian, dia bertemu dengan Adelia, karyawan junior yang datang dari desa ke kota dan diterima bekerja di pabrik tempat Wahyudi bekerja. Adelia yang cantik jelita al
"Saya juru sita dari pengadilan agama ingin mengantarkan jadwal sidang pertama gugat cerai dari istri Pak Wahyudi.""Apa?" tanya Wahyudi melongo. Dia menatap panik secara bergantian pada juru sita pengadilan agama dan debt collect*r di hadapannya dengan bergantian. 'Ini pasti mimpi!' gumamnya lalu mencubit kedua pipinya secara bersamaan. 'Akan kubuktikan kalau hal ini masih mimpi dan saat aku bangun, semua dalam keadaan baik-baik saja. Adelia juga akan kembali ke sisiku dan sedang memasakkan makanan enak untukku.'"Awww! Sakit!" gumam Wahyudi seraya mengelus tangan nya yang baru saja dicubitnya sendiri. "Pak, silakan tanda tangan di sini sebagai bukti bahwa bapak telah menerima surat dari pengadilan agama," ujar pegawai dari pengadilan agama itu seraya menunjuk ke arah kanan bawah formulir yang dipegangnya. Wahyudi hanya bisa menghela napas panjang. "Tidak. Saya tidak mau tanda tangan! Saya tidak akan mau berpisah dengan Adelia!" seru Wahyudi dengan tegas. Pegawai pengadilan agam
"Tidak. Adelia tidak ada di sini. Jangan bilang kalau anak saya menghilang?!" tanya Bapak Adelia dengan nada seram. Wahyudi menelan ludah. Dia menatap mertuanya dengan jantung yang berdebar lebih kencang. Sanusi, mertua nya itu adalah laki-laki pindahan dari desa yang mengadu nasib ke kotanya. Dari cerita Adelia dulu, bapaknya ini adalah petani sekaligus peternak ayam yang pindah dari desa ke kota setelah menjual sawahnya yang kecil dan ayam kampungnya yang hanya beberapa ekor. Dan sekarang di kota, bapaknya menjadi pedagang beras di salah satu pasar. Tapi bagi Wahyudi, mertuanya itu lebih cocok menjadi salah satu preman daripada pedagang beras. Sanusi, bapak Adelia mendelik dant berjalan mendekat ke arah Wahyudi. "Kenapa kamu terdiam? Berati benar kalau Adelia menghilang dari rumah kamu?"Wahyudi menatap ke arah wajah mertuanya. Kata-kata nya tersumpal di kerongkongan. Dan tidak bisa keluar dari mulutnya."Kamu jangan mangap-mangap saja seperti ikan koi yang kurang air, jelaskan p