"Saya juru sita dari pengadilan agama ingin mengantarkan jadwal sidang pertama gugat cerai dari istri Pak Wahyudi."
"Apa?" tanya Wahyudi melongo. Dia menatap panik secara bergantian pada juru sita pengadilan agama dan debt collect*r di hadapannya dengan bergantian. 'Ini pasti mimpi!' gumamnya lalu mencubit kedua pipinya secara bersamaan. 'Akan kubuktikan kalau hal ini masih mimpi dan saat aku bangun, semua dalam keadaan baik-baik saja. Adelia juga akan kembali ke sisiku dan sedang memasakkan makanan enak untukku.' "Awww! Sakit!" gumam Wahyudi seraya mengelus tangan nya yang baru saja dicubitnya sendiri. "Pak, silakan tanda tangan di sini sebagai bukti bahwa bapak telah menerima surat dari pengadilan agama," ujar pegawai dari pengadilan agama itu seraya menunjuk ke arah kanan bawah formulir yang dipegangnya. Wahyudi hanya bisa menghela napas panjang. "Tidak. Saya tidak mau tanda tangan! Saya tidak akan mau berpisah dengan Adelia!" seru Wahyudi dengan tegas. Pegawai pengadilan agama itu hanya mengedikkan kepala. Dia lalu meraih ponsel nya dan mengambil gambar Wahyudi secara mendadak. "Hei, Pak! Ini sudah tidak benar! Saya masih mencintai istri saya!" seru Wahyudi dengan kesal. "Pak, ini bukan urusan saya. Saya hanya bertugas untuk memastikan surat panggilan untuk sidang mediasi sudah diterima oleh tergugat. Tapi dengarkan saran saya, kalau bapak masih mencintai istri bapak, bapak tanda tangan formulir penerimaan surat ini dan datang saja ke sidang mediasi dan pertahankan rumah tangga bapak," ujar juru sita itu. Wahyudi pun hanya terdiam dan mau tidak mau menandatangani formulir penerimaan jadwal mediasi. Setelah mendapat kan tanda tangan Wahyudi, pegawai pengadilan agama itu pun pergi. Wahyudi pun menatap ke arah debt collect*r di hadapan nya. "Bapak, saya minta waktu untuk mengemasi barang saya. Saya juga harus nyari kos atau kontrakan. Beri saya waktu sebulan untuk mencari tempat tinggal baru," pinta Wahyudi memelas. Laki-laki tinggi di hadapan nya menyedekapkan kedua tangan nya di depan dada. "Waktu satu minggu terlalu lama!" ujar laki-laki itu. Wahyudi terdiam sejenak. Dia berpikir bagaimana caranya agar rumahnya masih bisa selamat. Mendadak sebuah ide melintas di pikiran nya. "Kalau begitu, saya akan membayar utang istri saya. Berapa bulan istri saya tidak membayar angsuran? Saya akan melunasi nya," ujar Wahyudi. Laki-laki tinggi di hadapan nya itu membuka tas tenteng warna hitam yang dibawanya lalu mengeluarkan buku agak tebal. "Jumlah pinjaman seratus juta. Perbulan membayar tujuh juta lima ratus ribu. Istri kamu sudah libur ngangsur selama tiga bulan. Jadi bulan ini kamu harus membayar dua puluh dua juta lima ratus ribu. Angsuran berjalan selama lima belas bulan. Saat ini masih berjalan lima bulan." Wahyudi menelan ludah. 'Astaga! Dapat darimana uang sebanyak itu?' tanyanya dalam hati. Selama ini dia selalu mengirimkan sebagian besar gajinya pada ibunya di kabupaten sebelah yang berjarak tiga jam dari rumahnya ini. Sehingga dia tidak mempunyai banyak tabungan. "Hm, saya akan membayar nya, Pak. Tapi saya mohon berikan saya waktu. Besok pasti akan saya bayar," sahut Wahyudi memelas. Para penagih hutang itu berpandangan. "Oke. Sekarang kami akan pergi. Tapi ingat satu hal, awas saja kalau kamu tidak menepati janji kamu untuk membayar hutang dan menebus rumah ini!" ancam penagih hutang itu lalu beranjak pergi. "Astaga, slamet-slamet! Untung saja aku bisa mengulur waktu. Ck, aku harus segera menghubungi Adelia lagi," gumam Wahyudi lirih. Dia lalu merain ponselnya dan kembali menelepon istrinya itu. Tapi Wahyudi harus menelan kekecewaan karena ponsel istri nya tidak aktif. Wahyudi segera mengetuk pintu rumahnya berkali-kali seraya memanggil nama Adelia. Laki-laki itu pun berkeliling rumah sambil mengintip ventilasi dan jendela rumah. Masih berharap jika Adelia sedang tertidur di dalam rumah, namun harapan nya harus musnah, saat Adelia tidak tampak di seluruh penjuru rumah. Hendak bertanya pada tetangga pun percuma. Di perumahan itu, antar tetangga saling tertutup dan jarang berbaur satu sama lain. "Astaga, Adelia kemana sih?" ucap Wahyudi kesal. "Kalau begini aku terpaksa harus pergi ke rumah orang tuanya. Awas saja kalau dia ternyata sembunyi di sana. Dasar istri tidak tahu diuntung!" ucap Wahyudi gusar. "Duh, padahal bapak Adel serem banget, tapi aku tetap harus mencari istriku!" Laki-laki itupun segera memacu motor nya ke rumah orang tuanya yang hanya berjarak enam kilometer dari rumahnya. Sesampainya di rumah orang tua Adelia, Wahyudi segera mengetuk pintu rumah mertua nya. Tak lama kemudian bapak Adelia keluar. Dia menatap Wahyudi dengan heran. Lelaki yang betubuh kekar dan berkumis lebar itu menatap Wahyudi dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan wajah penasaran. "Assalamu'alaikum, Pak. Maaf menganggu, apa Adelia ada di dalam?" Mertuanya mendelik mendengar pertanyaan dari Wahyudi. "Tidak. Adelia tidak ada di sini! Jangan bilang kalau anak saya menghilang?!" tanya Bapak Adelia dengan nada seram. Wahyudi menelan ludah. Next?"Tidak. Adelia tidak ada di sini. Jangan bilang kalau anak saya menghilang?!" tanya Bapak Adelia dengan nada seram. Wahyudi menelan ludah. Dia menatap mertuanya dengan jantung yang berdebar lebih kencang. Sanusi, mertua nya itu adalah laki-laki pindahan dari desa yang mengadu nasib ke kotanya. Dari cerita Adelia dulu, bapaknya ini adalah petani sekaligus peternak ayam yang pindah dari desa ke kota setelah menjual sawahnya yang kecil dan ayam kampungnya yang hanya beberapa ekor. Dan sekarang di kota, bapaknya menjadi pedagang beras di salah satu pasar. Tapi bagi Wahyudi, mertuanya itu lebih cocok menjadi salah satu preman daripada pedagang beras. Sanusi, bapak Adelia mendelik dant berjalan mendekat ke arah Wahyudi. "Kenapa kamu terdiam? Berati benar kalau Adelia menghilang dari rumah kamu?"Wahyudi menatap ke arah wajah mertuanya. Kata-kata nya tersumpal di kerongkongan. Dan tidak bisa keluar dari mulutnya."Kamu jangan mangap-mangap saja seperti ikan koi yang kurang air, jelaskan p
[Yud, anak ibu yang paling ganteng. Adik kedua kamu ingin menikah. Kamu masih punya tabungan kan untuk membantu ibu melamar calon istri adik kamu. Nggak banyak cuma tiga juta saja. Soalnya uang simpanan ibu mepet juga.]"Hah? Astaga!"Wahyudi merasakan kepalanya semakin berat dan napasnya yang mendadak tercekat. Dia segera duduk di kursi teras dan membaca ulang pesan dari ibunya. "Aduh, ibu ini gimana sih? Udah jatuh, tertimpa beton ini namanya. Untung saja aku kuat dan nggak kena stroke," ujar Wahyudi. Dia segera meraih ponsel nya dan menelepon ibunya. "Halo, assalamu'alaikum, Bu.""Waalaikumsalam, halo anak ganteng! Gimana kabar kamu? Sudah baca pesan dari Ibu?""Sudah, Bu. Tapi....""Nah, kamu bisa kan nyumbang tiga juta saja. Kalau acara nikahnya masih akan dibicarakan waktu lamaran. Tapi sepertinya tiga bulan lagi kata adikmu. Soalnya adik kamu mau nabung dulu. Dan kamu nanti nyumbang lima juta ya saat adik kamu nikahan? Adikmu mau beli mobil setelah ibu membelikannya rumah yan
Wahyudi seketika mendelik mendegar kata-kata sang adik. "Aduh, Gusti! Cobaan apa lagi ini?"Wahyudi segera berdiri dari posisi berbaringnya di kursi. Dia nyaris terjatuh tersandung kaki meja saat kepalanya terasa mendadak pusing. "Astaga! Ada apa sih?! Jangan-jangan kolesterol atau tekanan darah ku naik karena selama ini aku jarang banget nakan sayur. Hanya awal menikah dulu saja. Setelah empat bulan menikah, Adelia mulai masak yang enak-enak. Dan sembilan bulan pernikahan ini, dia minggat begitu saja. Tanpa pesan pula," gumam Wahyudi duduk di lantai dengan duduk di kursi sofa ruang tamunya. "Hah! Adelia bikin stres aja. Belum lagi ibu ini, kenapa justru cari ribut dengan pak Sanusi sih? Padahal ibu tahu kalau bapaknya Adelia itu kayak preman pasar. Tapi kok bisa-bisanya sih ibu cari keributan di sana. Gimana kalau bapaknya Adelia tahu aku memberikan nafkah lima ribu pada anaknya? Tapi, aku kan cuma ngajari Adelia agar berhemat agar kami bisa mulai menabung jika dia hamil?" gumam W
"Hah, saya menyesal telah menyetujui pernikahan Adelia denganmu! Seharus nya kamu ini dilaporkan ke polisi karena menelantarkan anak saya! Gaji kamu seperti nya lebih dari cukup jika kamu berikan pada anak saya untuk uang nafkah!" ujar Wati emosi membuat Wahyudi dan Ambar berpandangan. "Eh, bu Wati! Dulu itu saat saya baru menikah dengan almarhum bapaknya Wahyudi, semua cukup-cukup saja tuh! Uang lima ribu bisa makan enak dengan kenyang. Bahkan sampai saya sampai punya anak pun saya dan anak-anak bisa makan puas tanpa kelaparan! Saya bahkan rajin nanem-nanem singkong, tomat, lombok dan pisang, beberapa tanaman juga saya rawat sehingga bisa dimasak. Saya juga miara ayam, kambing dan sapi buat bantu perekonomian keluarga. Dasar Adelia nya saja yang malas. Dia mana pernah kepikiran untuk berhemat dan menabung untuk masa depan anak-anak nya kelak! Bisanya memboroskan uang suaminya. Jadi perempuan itu harusnya bisa membantu suami cari duit!" ucap Ambar berapi-api. Sanusi dan Wati yang
Baru saja Wahyudi memarkirkan motor nya di pinggir jalan dekat warung, saat dia melihat sosok Adelia melintas keluar dari warung. "Astaga! Adelia!" seru Wahyudi. Wahyudi segera melompat dari motor nya dan hampir berlari mengejar sosok perempuan yang berjalan dengan cepat. "Del, Adelia!" seru Wahyudi lirih. Karena dia antara yakin dengan tak yakin terhadap pandangan nya. Malam itu gelap, mendung. Bulan dan bintang bersembunyi di balik awan. Lampu warung memang terang, hanya sebatas di dalam dan teras warung, sedangkan di sekeliling warung hanya ada lampu jalan yang berwarna kekuningan. Perempuan berambut panjang dan bercelana jins yang berjarak kurang lebih dua ratus meter dari tempat Wahyudi memarkir motor memalingkan wajahnya sekilas ke belakang, dan Wahyudi terkesiap saat melihat tulang pipi dan hidung mancung nya. "Del! Adel!"Wahyudi semakin bersemangat mengejar perempuan itu namun tiba-tiba dia menabrak seseorang, hingga seseorang itu terjatuh. "Aduh!" pekik orang yang dit
Beberapa bulan sebelumnya, "Ini uang bulanan kamu," ujar Wahyudi setelah dia baru saja gajian. Dengan mata berbinar, Adelia menerima amplop tipis berwarna coklat yang diulurkan oleh sang suami. Dahi Adelia sedikit berkerut saat membuka amplop coklat itu dan melihat isinya. "Seratus lima puluh ribu? Ini sehari kan, Mas?" tanya Adelia menatap Wahyudi dengan penuh harap. "Sehari? Sebulan lah, Del. Makanya sehari kalau bisa kamu belanja lima ribu saja. Beras, bumbu, LPG, listrik, air dan minyak goreng biar menjadi urusan ku. Kamu hanya perlu beli lauk dan sayur. Cukup kan? Lagipula Kita belum punya anak."Adelia melongo. "Astaga, Mas. Kok kamu tega sih. Mana cukup uang lima ribu sehari?" protes Adelia. Wahyudi menatap Adelia dan memeluk istrinya erat."Cukup, Sayang. Tahu tempe dan seikat bayam bisa kok buat sehari. Aku juga jarang makan di rumah. Jadi untuk makan kamu saja ya. Jangan boros-boros jadi istri. Kita harus menabung untuk calon anak kita mumpung kamu belum hamil."Adelia
Adelia tersenyum kecut dan dalam pikirannya, dia sudah merencanakan pembalasan untuk suami pelitnya itu. 'Awas saja kamu, Mas! Aku tidak ikhlas dengan nafkah yang kamu berikan! Aku akan membuatmu menyesal lebih memilih ibu dan teman-teman kamu.'"Hm, Mas. Bagaimana kalau gaji kamu masuknya ke rekeningku saja?" tanya Adelia lagi mencoba menawarkan solusi. Wahyudi mendelik. "Apa? Masuk ke rekening kamu? Nggak salah tuh? Aku lo yang kerja seharian. Biar aku lah yang mengatur keuangan. Hm, aku dan ibu. Kamu percaya saja pada ibuku yang amanah. Buktinya kan aku bisa punya rumah ini karena pemberian ibuku yang telah berhemat dari dulu, Del."Adelia menghela napas panjang. "Tapi, Mas. Uang lima ribu itu kalau untuk sehari... ""Adelia, aku tidak tahu kenapa hari ini kamu ngeyel sekali. Kita baru menikah dua bulan, dan aku tidak ingin kita bertengkar hanya gara-gara masalah uang.""Hanya kamu bilang, Mas? Uang ini memang segalanya, tapi segala-galanya butuh uang. Lalu kenapa kamu justru le
Wahyudi menghela napas panjang. Pikiran nya berkecamuk kebingungan."Sepertinya besok aku harus datang ke pengadilan agama. Daripada aku harus membayar hutang Adelia, lebih baik aku meminta maaf padanya. Dan akan jauh lebih baik jika dia kerja di rumah."Wahyudi menghela napas panjang lalu tersenyum lebar. Merasa menemukan ide cemerlang. "Yah, betul sekali! Dengan minta modal dari keluarga nya, dia bisa saja jualan online atau jualan makanan ringan. Dekat perumahan kan ada SD. Wah ide bagus! Dengan begitu Adelia bisa membayar utangnya pada debt collect*r itu. Nanti kalau kurang, aku tambahin saja.Daripada aku harus berpisah dengan Adelia, lalu mulai lagi harus mengenal perempuan lain. Ah, malah ribet. Apalagi nanti kalau berpisah dengan Adelia, nggak ada yang menyapu, mengepel, mencuci, dan menyetrika bajuku. Hah, daripada capek-capek melakukan pekerjaan rumah tangga padahal aku sudah kecapean di pabrik, atau buang-buang duit untuk mencari dan membayar ART, tidak ada salahnya aku m