"Tidak. Adelia tidak ada di sini. Jangan bilang kalau anak saya menghilang?!" tanya Bapak Adelia dengan nada seram.
Wahyudi menelan ludah. Dia menatap mertuanya dengan jantung yang berdebar lebih kencang. Sanusi, mertua nya itu adalah laki-laki pindahan dari desa yang mengadu nasib ke kotanya. Dari cerita Adelia dulu, bapaknya ini adalah petani sekaligus peternak ayam yang pindah dari desa ke kota setelah menjual sawahnya yang kecil dan ayam kampungnya yang hanya beberapa ekor. Dan sekarang di kota, bapaknya menjadi pedagang beras di salah satu pasar. Tapi bagi Wahyudi, mertuanya itu lebih cocok menjadi salah satu preman daripada pedagang beras. Sanusi, bapak Adelia mendelik dant berjalan mendekat ke arah Wahyudi. "Kenapa kamu terdiam? Berati benar kalau Adelia menghilang dari rumah kamu?" Wahyudi menatap ke arah wajah mertuanya. Kata-kata nya tersumpal di kerongkongan. Dan tidak bisa keluar dari mulutnya. "Kamu jangan mangap-mangap saja seperti ikan koi yang kurang air, jelaskan pada bapak mana Adelia? Kamu kan suaminya. Masa suaminya tidak tahu kemana istrinya pergi?!" Sanusi, menjeda ucapan nya sejenak. "Atau jangan-jangan Adelia pergi karena bertengkar dengan kamu?! Ingat Wahyudi, kalau anak saya sampai kenapa-kenapa setelah menikah dengan kamu, saya sebagai bapaknya sungguh tidak ridho dan tidak ikhlas. Saya dan ibunya sudah membesarkan dan menyekolahkan nya sampai gede, eh, kamu yang sudah tinggal metik buahnya malah menyia-nyiakan anak saya. Awas saja kamu kalau membuat Adelia bersedih dan berlaku buruk padanya," ujar Sanusi penuh penekanan. Wahyudi menelan ludah susah payah. Dia menatap dengan jantung berdebar ke arah mertuanya. "Ti, tidak, Pak. Adelia tidak menghilang. Dia hanya nggak mengabari saya saat keluar rumah. Mungkin ponsel nya mati atau dia terburu-buru dan tidak punya paket data. Hm, kalau begitu saya pamit dulu, Pak. Saya akan menelepon satu persatu temannya. Maaf mengganggu," ujar Wahyudi yang langsung menjabat tangan sang mertua dan mencium punggung tangannya. "Ingat Wahyudi, pernikahan kamu itu bukan hanya mengubah status dari yang tidak boleh menjadi boleh dan sebaliknya, tapi juga kamu telah berjanji pada saya dan Tuhan untuk menjadi imam yang baik dan bertanggung jawab. Saya tidak terima jika kamu menzalimi Adelia yang menyebabkan dia pergi dari rumah tanpa pamit. Bayang kan saja kalau adik kamu yang perempuan itu menikah dan dijahati oleh suaminya. Pasti kamu tidak terima dan marah juga kan? Karena itu perlakukan lah anak saya dengan baik!" ujar Sanusi sebelum Wahyudi naik ke motor maticnya. Wahyudi dengan gusar melajukan motor nya ke warkop Cak Dul. Dilihat nya Roni masih di sana dengan menikmati pisang goreng. "Lho, kamu kok balik? Katanya pulang mau makan sop iga, atau sate, soto, Siti?" tanya Roni dengan nada bercanda. Lelaki yang sehari-harinya bekerja sebagai konten kreator dengan membuat berbagai konten lucu di youtube dan tiktok itu menatap Wahyudi dengan heran. Wahyudi menghampiri Roni dan duduk di sebelahnya. Dia dengan gusar menatap Roni. "Aku ... terancam kehilangan rumah," ujar Wahyudi gusar. Roni melongo. Pemuda yang bertetangga dua ratus meter dari rumah Wahyudi dan belum menikah itu mendelik. "Kok bisa?" Wahyudi lalu menceritakan semua yang dialami nya pada Roni. "Tuh, kan bener! Istri kamu itu pasti ada sesuatu nya sehingga bisa masak makanan enak dengan uang yang sedikit itu. Seharusnya kamu curiga bukan malah seneng, Yud," sahut Roni menghela napas panjang setelah mendengar kan cerita Wahyudi. Teman satu tongkrongan nya itu hanya bisa terdiam dan memijat kepala nya dengan gusar. "Aku boleh pinjam uang padamu nggak?" "Hah? Nggak salah nih? Dulu bukannya kamu yang pernah bilang padaku kalau kerja kayak aku itu hanya buang-buang waktu karena penghasilan nya tidak sebesar karyawan?" tanya Roni. "Ayolah, Ron. Kemarin itu aku khilaf. Sekarang aku bingung harus bagaimana lagi untuk membayar tiga bulan utang Adelia. Eh, tapi sebenarnya aku juga mau bayar empat bulan sekalian bulan depan sih," ujar Wahyudi menggantung. "Memang nya kamu butuh pinjam uang berapa?" tanya Roni. "Nggak banyak. Empat bulan sekitar tiga puluh juta." Roni seketika melotot mendengar ucapan Wahyudi. "Hah? Tiga puluh juta nggak banyak katanu?" Wahyudi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku janji akan bekerja lebih keras untuk membayar utang kamu. Aku akan mengambil lemburan-lemburan di pabrik. Kalau perlu aku akan ngojol tiap malam," ujar Wahyudi meyakinkan Roni. "Jadi kamu mau kan meminjam kan uang padaku? Kamu nggak kasihan sama aku kalau aku jadi gembel?" "Gini ya, Yud. Akun itu kan konten kreator. Penghasilan perbulan enggak mesti. Aku juga ada rumah yang harus dicicil, karena nggak ada yang bantu aku nyicil rumah, orang tuaku sudah nggak ada dan nggak ninggalin warisan selain ilmu. Jadi aku nggak bisa nolongin kamu. Aku ingin tahun ini rumahku lunas dan bisa nabung lah bikin toko sembako. Aku ingin menikah tahun depan. Dan yang pasti aku ingin memberikan nafkah yang layak pada istriku. Ehm, maaf ya. Bukan nafkah yang hanya lima ribu sehari," ujar Roni membuat telinga Wahyudi memerah. "Astaga, kamu nyindir aku?! Kalau nggak mau bantu, ya nggak apa-apa! Nggak usah nyindir nafkah lima ribu segala! Bikin kesel!" ujar Wahyudi berkacak pinggang. Roni hanya terdiam mendengar kata-kata Wahyudi. 'Waduh, pas minjam aja galak banget. Apalagi nanti pas ditagih,' batin Roni. "Lagipula kamu bilang kamu ingin nikah tahun depan? Sama siapa? Kamu aja nggak punya pacar!" ujar Wahyudi sengit lalu segera meninggalkan Roni yang hanya mengelus dada. Wahyudi baru saja memarkirkan motor nya di teras rumah, saat terdengar notifikasi ponsel di sakunya. Dengan segera, lelaki itu meraih ponsel dan melihat pesan yang dikirimkan padanya. Siapa tahu Adelia mengirim kan pesan dan mengatakan bahwa semua yang dia lakukan saat ini adalah prank semata. Namun kepala Wahyudi semakin pusing saat ternyata pengirim pesan itu adalah ibunya dari kabupaten sebelah. [Yud, anak ibu yang paling ganteng. Adik kedua kamu ingin menikah. Kamu masih punya tabungan kan untuk membantu ibu melamar calon istri adik kamu. Nggak banyak cuma tiga juta saja. Soalnya uang simpanan ibu mepet juga.] "Hah? Astaga!" Next?[Yud, anak ibu yang paling ganteng. Adik kedua kamu ingin menikah. Kamu masih punya tabungan kan untuk membantu ibu melamar calon istri adik kamu. Nggak banyak cuma tiga juta saja. Soalnya uang simpanan ibu mepet juga.]"Hah? Astaga!"Wahyudi merasakan kepalanya semakin berat dan napasnya yang mendadak tercekat. Dia segera duduk di kursi teras dan membaca ulang pesan dari ibunya. "Aduh, ibu ini gimana sih? Udah jatuh, tertimpa beton ini namanya. Untung saja aku kuat dan nggak kena stroke," ujar Wahyudi. Dia segera meraih ponsel nya dan menelepon ibunya. "Halo, assalamu'alaikum, Bu.""Waalaikumsalam, halo anak ganteng! Gimana kabar kamu? Sudah baca pesan dari Ibu?""Sudah, Bu. Tapi....""Nah, kamu bisa kan nyumbang tiga juta saja. Kalau acara nikahnya masih akan dibicarakan waktu lamaran. Tapi sepertinya tiga bulan lagi kata adikmu. Soalnya adik kamu mau nabung dulu. Dan kamu nanti nyumbang lima juta ya saat adik kamu nikahan? Adikmu mau beli mobil setelah ibu membelikannya rumah yan
Wahyudi seketika mendelik mendegar kata-kata sang adik. "Aduh, Gusti! Cobaan apa lagi ini?"Wahyudi segera berdiri dari posisi berbaringnya di kursi. Dia nyaris terjatuh tersandung kaki meja saat kepalanya terasa mendadak pusing. "Astaga! Ada apa sih?! Jangan-jangan kolesterol atau tekanan darah ku naik karena selama ini aku jarang banget nakan sayur. Hanya awal menikah dulu saja. Setelah empat bulan menikah, Adelia mulai masak yang enak-enak. Dan sembilan bulan pernikahan ini, dia minggat begitu saja. Tanpa pesan pula," gumam Wahyudi duduk di lantai dengan duduk di kursi sofa ruang tamunya. "Hah! Adelia bikin stres aja. Belum lagi ibu ini, kenapa justru cari ribut dengan pak Sanusi sih? Padahal ibu tahu kalau bapaknya Adelia itu kayak preman pasar. Tapi kok bisa-bisanya sih ibu cari keributan di sana. Gimana kalau bapaknya Adelia tahu aku memberikan nafkah lima ribu pada anaknya? Tapi, aku kan cuma ngajari Adelia agar berhemat agar kami bisa mulai menabung jika dia hamil?" gumam W
"Hah, saya menyesal telah menyetujui pernikahan Adelia denganmu! Seharus nya kamu ini dilaporkan ke polisi karena menelantarkan anak saya! Gaji kamu seperti nya lebih dari cukup jika kamu berikan pada anak saya untuk uang nafkah!" ujar Wati emosi membuat Wahyudi dan Ambar berpandangan. "Eh, bu Wati! Dulu itu saat saya baru menikah dengan almarhum bapaknya Wahyudi, semua cukup-cukup saja tuh! Uang lima ribu bisa makan enak dengan kenyang. Bahkan sampai saya sampai punya anak pun saya dan anak-anak bisa makan puas tanpa kelaparan! Saya bahkan rajin nanem-nanem singkong, tomat, lombok dan pisang, beberapa tanaman juga saya rawat sehingga bisa dimasak. Saya juga miara ayam, kambing dan sapi buat bantu perekonomian keluarga. Dasar Adelia nya saja yang malas. Dia mana pernah kepikiran untuk berhemat dan menabung untuk masa depan anak-anak nya kelak! Bisanya memboroskan uang suaminya. Jadi perempuan itu harusnya bisa membantu suami cari duit!" ucap Ambar berapi-api. Sanusi dan Wati yang
Baru saja Wahyudi memarkirkan motor nya di pinggir jalan dekat warung, saat dia melihat sosok Adelia melintas keluar dari warung. "Astaga! Adelia!" seru Wahyudi. Wahyudi segera melompat dari motor nya dan hampir berlari mengejar sosok perempuan yang berjalan dengan cepat. "Del, Adelia!" seru Wahyudi lirih. Karena dia antara yakin dengan tak yakin terhadap pandangan nya. Malam itu gelap, mendung. Bulan dan bintang bersembunyi di balik awan. Lampu warung memang terang, hanya sebatas di dalam dan teras warung, sedangkan di sekeliling warung hanya ada lampu jalan yang berwarna kekuningan. Perempuan berambut panjang dan bercelana jins yang berjarak kurang lebih dua ratus meter dari tempat Wahyudi memarkir motor memalingkan wajahnya sekilas ke belakang, dan Wahyudi terkesiap saat melihat tulang pipi dan hidung mancung nya. "Del! Adel!"Wahyudi semakin bersemangat mengejar perempuan itu namun tiba-tiba dia menabrak seseorang, hingga seseorang itu terjatuh. "Aduh!" pekik orang yang dit
Beberapa bulan sebelumnya, "Ini uang bulanan kamu," ujar Wahyudi setelah dia baru saja gajian. Dengan mata berbinar, Adelia menerima amplop tipis berwarna coklat yang diulurkan oleh sang suami. Dahi Adelia sedikit berkerut saat membuka amplop coklat itu dan melihat isinya. "Seratus lima puluh ribu? Ini sehari kan, Mas?" tanya Adelia menatap Wahyudi dengan penuh harap. "Sehari? Sebulan lah, Del. Makanya sehari kalau bisa kamu belanja lima ribu saja. Beras, bumbu, LPG, listrik, air dan minyak goreng biar menjadi urusan ku. Kamu hanya perlu beli lauk dan sayur. Cukup kan? Lagipula Kita belum punya anak."Adelia melongo. "Astaga, Mas. Kok kamu tega sih. Mana cukup uang lima ribu sehari?" protes Adelia. Wahyudi menatap Adelia dan memeluk istrinya erat."Cukup, Sayang. Tahu tempe dan seikat bayam bisa kok buat sehari. Aku juga jarang makan di rumah. Jadi untuk makan kamu saja ya. Jangan boros-boros jadi istri. Kita harus menabung untuk calon anak kita mumpung kamu belum hamil."Adelia
Adelia tersenyum kecut dan dalam pikirannya, dia sudah merencanakan pembalasan untuk suami pelitnya itu. 'Awas saja kamu, Mas! Aku tidak ikhlas dengan nafkah yang kamu berikan! Aku akan membuatmu menyesal lebih memilih ibu dan teman-teman kamu.'"Hm, Mas. Bagaimana kalau gaji kamu masuknya ke rekeningku saja?" tanya Adelia lagi mencoba menawarkan solusi. Wahyudi mendelik. "Apa? Masuk ke rekening kamu? Nggak salah tuh? Aku lo yang kerja seharian. Biar aku lah yang mengatur keuangan. Hm, aku dan ibu. Kamu percaya saja pada ibuku yang amanah. Buktinya kan aku bisa punya rumah ini karena pemberian ibuku yang telah berhemat dari dulu, Del."Adelia menghela napas panjang. "Tapi, Mas. Uang lima ribu itu kalau untuk sehari... ""Adelia, aku tidak tahu kenapa hari ini kamu ngeyel sekali. Kita baru menikah dua bulan, dan aku tidak ingin kita bertengkar hanya gara-gara masalah uang.""Hanya kamu bilang, Mas? Uang ini memang segalanya, tapi segala-galanya butuh uang. Lalu kenapa kamu justru le
Wahyudi menghela napas panjang. Pikiran nya berkecamuk kebingungan."Sepertinya besok aku harus datang ke pengadilan agama. Daripada aku harus membayar hutang Adelia, lebih baik aku meminta maaf padanya. Dan akan jauh lebih baik jika dia kerja di rumah."Wahyudi menghela napas panjang lalu tersenyum lebar. Merasa menemukan ide cemerlang. "Yah, betul sekali! Dengan minta modal dari keluarga nya, dia bisa saja jualan online atau jualan makanan ringan. Dekat perumahan kan ada SD. Wah ide bagus! Dengan begitu Adelia bisa membayar utangnya pada debt collect*r itu. Nanti kalau kurang, aku tambahin saja.Daripada aku harus berpisah dengan Adelia, lalu mulai lagi harus mengenal perempuan lain. Ah, malah ribet. Apalagi nanti kalau berpisah dengan Adelia, nggak ada yang menyapu, mengepel, mencuci, dan menyetrika bajuku. Hah, daripada capek-capek melakukan pekerjaan rumah tangga padahal aku sudah kecapean di pabrik, atau buang-buang duit untuk mencari dan membayar ART, tidak ada salahnya aku m
Beberapa hari sebelum nya, Suara ketukan pintu di rumah Roni membuat lelaki yang sedang memegang sapu itu berlalu ke arah pintu depan rumah nya. "Eh, kamu Yud. Ayo masuk dulu. Aku masih mau nyapu-nyapu rumah," ujar Roni setelah membuka pintu. Pemuda itu mengerut kan keningnya saat melihat Wahyudi yang sedang datang ke rumahnya pagi-pagi."Hm, aku enggak lama kok, Ron. Jadi aku di depan pintu saja. Aku hanya ingin minta tolong padamu," ujar Wahyudi dengan wajah memelas."Oh ya? Minta tolong apa, Yud?""Tenang saja, kali ini aku tidak akan meminjam uang padamu. Aku hanya ingin meminta kamu menjadi saksi saat aku sidang kedua di pengadilan. Jadwal nya seminggu lagi. Rencana nya aku tidak ingin melibatkan ibu dan keluarga ku yang lain dalam kasus perceraian ku. Karena ibuku juga menyuruhku bercerai tapi aku ingin mempertahankan rumah tanggaku. Jadi aku ingin mengajak kamu menjadi saksi yang membelaku di depan hakim. Untuk saksi lain, aku akan mengajak teman yang lain. Jadi kamu mau kan