Wahyudi menghela napas panjang. Pikiran nya berkecamuk kebingungan."Sepertinya besok aku harus datang ke pengadilan agama. Daripada aku harus membayar hutang Adelia, lebih baik aku meminta maaf padanya. Dan akan jauh lebih baik jika dia kerja di rumah."Wahyudi menghela napas panjang lalu tersenyum lebar. Merasa menemukan ide cemerlang. "Yah, betul sekali! Dengan minta modal dari keluarga nya, dia bisa saja jualan online atau jualan makanan ringan. Dekat perumahan kan ada SD. Wah ide bagus! Dengan begitu Adelia bisa membayar utangnya pada debt collect*r itu. Nanti kalau kurang, aku tambahin saja.Daripada aku harus berpisah dengan Adelia, lalu mulai lagi harus mengenal perempuan lain. Ah, malah ribet. Apalagi nanti kalau berpisah dengan Adelia, nggak ada yang menyapu, mengepel, mencuci, dan menyetrika bajuku. Hah, daripada capek-capek melakukan pekerjaan rumah tangga padahal aku sudah kecapean di pabrik, atau buang-buang duit untuk mencari dan membayar ART, tidak ada salahnya aku m
Beberapa hari sebelum nya, Suara ketukan pintu di rumah Roni membuat lelaki yang sedang memegang sapu itu berlalu ke arah pintu depan rumah nya. "Eh, kamu Yud. Ayo masuk dulu. Aku masih mau nyapu-nyapu rumah," ujar Roni setelah membuka pintu. Pemuda itu mengerut kan keningnya saat melihat Wahyudi yang sedang datang ke rumahnya pagi-pagi."Hm, aku enggak lama kok, Ron. Jadi aku di depan pintu saja. Aku hanya ingin minta tolong padamu," ujar Wahyudi dengan wajah memelas."Oh ya? Minta tolong apa, Yud?""Tenang saja, kali ini aku tidak akan meminjam uang padamu. Aku hanya ingin meminta kamu menjadi saksi saat aku sidang kedua di pengadilan. Jadwal nya seminggu lagi. Rencana nya aku tidak ingin melibatkan ibu dan keluarga ku yang lain dalam kasus perceraian ku. Karena ibuku juga menyuruhku bercerai tapi aku ingin mempertahankan rumah tanggaku. Jadi aku ingin mengajak kamu menjadi saksi yang membelaku di depan hakim. Untuk saksi lain, aku akan mengajak teman yang lain. Jadi kamu mau kan
LIMA RIBU DI TANGAN ISTRI YANG TEPAT13 A"Pak Wahyudi! Jangan membuat keributan di sini! Saya bisa melaporkan bapak ke kantor polisi atas tuduhan penganiayaan!" ujar Rosa dengan tegas. Ambar dan Wawan segera mendekat ke arah Wahyudi dan masing-masing dari mereka menarik tangan Wahyudi. Wahyudi menggeram dengan kesal dan perlahan berdiri menjauh dari tubuh Roni. Roni mengusap sudut bibirnya yang berdarah akibat pukulan Wahyudi. Dia sangat ingin membalas Wahyudi, tapi ditahan nya. Dia tidak ingin memperburuk karir nya maupun sang kakak. "Tuduhan kamu palsu. Kamu tidak mempunyai bukti tentang apa yang sudah kamu katakan," sahut Roni. Wahyudi menghela napas kasar, lalu menatap ke arah Roni dengan tajam. "Awas saja kamu! Aku pasti akan membuat kamu menyesal!" ujar Wahyudi sebelum dia akhirnya pergi karena ajakan adik dan ibunya. "Yud, kita pergi saja. Jangan membuat malu dan masalah lagi!" bisik Ambar di telinga anak sulung nya. Wahyudi mendengkus kasar dan segera pergi dari ruang
"Astaga, dompet ku ilang! Copet! Copet!" teriak Wahyudi dengan pilu. Beberapa orang berlari ke arah Wahyudi. Lelaki itu menunjuk-nunjuk ke arah copet itu berlari. "Tolong bantu saya! Saya dicopet!" seru Wahyudi. Dia berteriak dengan keras lalu berlari ke arah berlarinya si copet. Beberapa orang membantu Wahyudi ikut mengejar copet itu. "Apa warna baju copet nya, Pak?" tanya orang yang ikut membantu Wahyudi mengejar copet itu. "Baju nya hitam, Pak. Pakai masker!" ujar Wahyudi disertai napas yang ngos-ngosan. "Sial*n! Cepet banget larinya copet itu!" gumam Wahyudi kesal. Karena memang setelah beberapa saat mengejar si copet, mereka tidak bisa menemukan jejak copet itu. Tapi dia tetap melanjutkan berlari karena arah jalannya hanya satu, jadi menurut pikiran Wahyudi, pencopet itu masih bisa terkejar dan tidak mungkin bisa berlari jauh. Wahyudi dan beberapa orang yang ikut berlari sampai di persimpangan jalan. Wahyudi yang kecapean dan merasa perutnya mual karena baru makan tapi lan
UANG LIMA RIBU DI TANGAN ISTRI YANG TEPATBab (15) "Serahkan motor dan HP kamu kalau tidak, atau kamu akan kehilangan nya wa!" ancam Tito seraya menu sukkan pisau tajam pada pinggang Wahyudi.Beberapa tetes darah mengalir dari luka yang ditimbulkan oleh be gal itu. Tapi Wahyudi memutuskan untuk tidak menghentikan motor nya dan terus melajukannya perlahan. "Heh, apa kamu nggak punya kuping?! Serahkan motor, dompet, dan HP kamu!" seru Tito seraya memperdalam tu sukannya. "Ampun, Pak! Sakit! Jangan sakiti saya!" pinta Wahyudi memelas. "Makanya minggir! Atau besok kamu tidak bisa melihat matahari lagi!" Dengan ketakutan, Tito menepikan motornya dan akhirnya mau tidak mau dia mengerem motor nya sehingga berhenti di pinggiran jalan. Wahyudi bengong sesaat untuk mencari akal agar bisa menyelamatkan diri. Pandangan matanya bergerak kesana kemari mencari pertolongan. Tapi suasana area persawahan yang sepi membuatnya kehilangan harapan. "Turun! Malah bengong!" instruksi Tito membuat Wahy
"A-adelia?" tanya Wahyudi tak kalah kagetnya. Keduanya bertatapan beberapa saat, ada rasa malu menjalar di hati Wahyudi. Sedangkan Adelia merasa ji jik saat harus menatap wajah sang mantan suami yang sekarang semakin mengenaskan. "Del, Adelia! Kamu kenapa diam saja?" tanya Rosa yang menyusul Adelia karena Adelia tidak kunjung mengikuti nya. Rosa pun terpana melihat keadaan Wahyudi. Laki-laki itu segera terpaku dan terdiam beberapa saat. Sedangkan Adelia menahan tawa sekaligus prihatin melihat mantan suaminya. Dalam hatinya ingin sekali bertanya kenapa Wahyudi menjadi pengemis. Namun hal itu diurungkan nya. Dia merasa bahwa seperti apapun kehidupan Wahyudi sekarang, bukan lah urusan nya lagi. Dengan menahan seringai wajah puas, Adelia merogoh tas nya mengeluarkan dompet dari dalamnya. Dia bermaksud untuk memberikan sepuluh ribu pada Wahyudi. "Eh, apa ini?" tanya Wahyudi kaget saat dia melihat Adelia yang mengulurkan selembar uang berwarna ungu itu ke arah kaleng kosong yang dia ge
"Astaga, Yud! Kucel banget kamu! Kamu darimana saja sampai berpenampilan seperti pengemis, hah? Atau kamu benar-benar mengemis?!" tanya Ambar dengan marah. Wahyudi menatap ibunya dengan masih terdiam dan melongo. "Eh, kok diam saja sih? Apa kamu sudah tidak menghargai ibu lagi?" tanya Ambar dengan kesal. Wahyudi menelan ludah dengan susah payah, dia buru-buru turun dari motor nya lalu menyalami Ambar. Hatinya berdebar dan berharap semoga ibunya tidak menanyakan tentang perihal sikapnya yang ke pengadilan agama. "Ibu ingin bicara serius dengan kamu. Buka pintunya!"Wahyudi terdiam lalu membuka pintu depan rumahnya dan masuk ke ruang tamu diikuti oleh ibu dan adiknya. "Yud, langsung saja, ibu ingin mengatakan tiga hal padamu."Wahyudi hanya bisa pasrah. "Ya sudah. Ibu bilang aja. Kan tinggal bilang, daripada jadi bisul," ucap Wahyudi mencoba bercanda dengan ibunya untuk mencairkan suasana. Ambar merengut. "Jangan gi la kamu! Ibu tidak sedang bercanda. Langsung saja, ibu malas ba
Roni berpikir sejenak. "Kalau begitu, kamu datang saja ke pernikahan adik kelas kamu dengan ku," sahut Roni dengan yakin membuat Adelia melongo. "Hah? Nanti kalau tambah rusuh gimana? Kan dulu mas Wahyudi memukuli kamu saat kita di pengadilan agama?" tanya Adelia. Roni menghela napas panjang. "Hal itu tidak akan terjadi, Mbak. Dulu kan kamu belum bercerai dengan Wahyudi dan dia masih berharap padamu. Kalau sekarang, kalian sudah resmi bercerai dan aku rasa dia tidak akan mengharap kan mu. Makanya aku antar kan saja ke pernikahan adik kelas kamu, sekaligus bisa mengantisipasi hal buruk yang terjadi nantinya," sahut Roni. Adelia manggut-manggut dan berpikir sejenak. "Baik lah kalau begitu. Tapi sebenarnya ada yang menganggu pikiranku." Adelia menatap Roni ragu. Roni menautkan kedua alisnya. "Ada apa? Bilang saja apapun yang mengganjal di pikiran kamu, Mbak. Aku akan mencoba mencari kan solusinya," ujar Roni sungguh-sungguh. "Apa nggak ada perempuan yang marah jika mas Roni bersi