"Astaga, dompet ku ilang! Copet! Copet!" teriak Wahyudi dengan pilu. Beberapa orang berlari ke arah Wahyudi. Lelaki itu menunjuk-nunjuk ke arah copet itu berlari. "Tolong bantu saya! Saya dicopet!" seru Wahyudi. Dia berteriak dengan keras lalu berlari ke arah berlarinya si copet. Beberapa orang membantu Wahyudi ikut mengejar copet itu. "Apa warna baju copet nya, Pak?" tanya orang yang ikut membantu Wahyudi mengejar copet itu. "Baju nya hitam, Pak. Pakai masker!" ujar Wahyudi disertai napas yang ngos-ngosan. "Sial*n! Cepet banget larinya copet itu!" gumam Wahyudi kesal. Karena memang setelah beberapa saat mengejar si copet, mereka tidak bisa menemukan jejak copet itu. Tapi dia tetap melanjutkan berlari karena arah jalannya hanya satu, jadi menurut pikiran Wahyudi, pencopet itu masih bisa terkejar dan tidak mungkin bisa berlari jauh. Wahyudi dan beberapa orang yang ikut berlari sampai di persimpangan jalan. Wahyudi yang kecapean dan merasa perutnya mual karena baru makan tapi lan
UANG LIMA RIBU DI TANGAN ISTRI YANG TEPATBab (15) "Serahkan motor dan HP kamu kalau tidak, atau kamu akan kehilangan nya wa!" ancam Tito seraya menu sukkan pisau tajam pada pinggang Wahyudi.Beberapa tetes darah mengalir dari luka yang ditimbulkan oleh be gal itu. Tapi Wahyudi memutuskan untuk tidak menghentikan motor nya dan terus melajukannya perlahan. "Heh, apa kamu nggak punya kuping?! Serahkan motor, dompet, dan HP kamu!" seru Tito seraya memperdalam tu sukannya. "Ampun, Pak! Sakit! Jangan sakiti saya!" pinta Wahyudi memelas. "Makanya minggir! Atau besok kamu tidak bisa melihat matahari lagi!" Dengan ketakutan, Tito menepikan motornya dan akhirnya mau tidak mau dia mengerem motor nya sehingga berhenti di pinggiran jalan. Wahyudi bengong sesaat untuk mencari akal agar bisa menyelamatkan diri. Pandangan matanya bergerak kesana kemari mencari pertolongan. Tapi suasana area persawahan yang sepi membuatnya kehilangan harapan. "Turun! Malah bengong!" instruksi Tito membuat Wahy
"A-adelia?" tanya Wahyudi tak kalah kagetnya. Keduanya bertatapan beberapa saat, ada rasa malu menjalar di hati Wahyudi. Sedangkan Adelia merasa ji jik saat harus menatap wajah sang mantan suami yang sekarang semakin mengenaskan. "Del, Adelia! Kamu kenapa diam saja?" tanya Rosa yang menyusul Adelia karena Adelia tidak kunjung mengikuti nya. Rosa pun terpana melihat keadaan Wahyudi. Laki-laki itu segera terpaku dan terdiam beberapa saat. Sedangkan Adelia menahan tawa sekaligus prihatin melihat mantan suaminya. Dalam hatinya ingin sekali bertanya kenapa Wahyudi menjadi pengemis. Namun hal itu diurungkan nya. Dia merasa bahwa seperti apapun kehidupan Wahyudi sekarang, bukan lah urusan nya lagi. Dengan menahan seringai wajah puas, Adelia merogoh tas nya mengeluarkan dompet dari dalamnya. Dia bermaksud untuk memberikan sepuluh ribu pada Wahyudi. "Eh, apa ini?" tanya Wahyudi kaget saat dia melihat Adelia yang mengulurkan selembar uang berwarna ungu itu ke arah kaleng kosong yang dia ge
"Astaga, Yud! Kucel banget kamu! Kamu darimana saja sampai berpenampilan seperti pengemis, hah? Atau kamu benar-benar mengemis?!" tanya Ambar dengan marah. Wahyudi menatap ibunya dengan masih terdiam dan melongo. "Eh, kok diam saja sih? Apa kamu sudah tidak menghargai ibu lagi?" tanya Ambar dengan kesal. Wahyudi menelan ludah dengan susah payah, dia buru-buru turun dari motor nya lalu menyalami Ambar. Hatinya berdebar dan berharap semoga ibunya tidak menanyakan tentang perihal sikapnya yang ke pengadilan agama. "Ibu ingin bicara serius dengan kamu. Buka pintunya!"Wahyudi terdiam lalu membuka pintu depan rumahnya dan masuk ke ruang tamu diikuti oleh ibu dan adiknya. "Yud, langsung saja, ibu ingin mengatakan tiga hal padamu."Wahyudi hanya bisa pasrah. "Ya sudah. Ibu bilang aja. Kan tinggal bilang, daripada jadi bisul," ucap Wahyudi mencoba bercanda dengan ibunya untuk mencairkan suasana. Ambar merengut. "Jangan gi la kamu! Ibu tidak sedang bercanda. Langsung saja, ibu malas ba
Roni berpikir sejenak. "Kalau begitu, kamu datang saja ke pernikahan adik kelas kamu dengan ku," sahut Roni dengan yakin membuat Adelia melongo. "Hah? Nanti kalau tambah rusuh gimana? Kan dulu mas Wahyudi memukuli kamu saat kita di pengadilan agama?" tanya Adelia. Roni menghela napas panjang. "Hal itu tidak akan terjadi, Mbak. Dulu kan kamu belum bercerai dengan Wahyudi dan dia masih berharap padamu. Kalau sekarang, kalian sudah resmi bercerai dan aku rasa dia tidak akan mengharap kan mu. Makanya aku antar kan saja ke pernikahan adik kelas kamu, sekaligus bisa mengantisipasi hal buruk yang terjadi nantinya," sahut Roni. Adelia manggut-manggut dan berpikir sejenak. "Baik lah kalau begitu. Tapi sebenarnya ada yang menganggu pikiranku." Adelia menatap Roni ragu. Roni menautkan kedua alisnya. "Ada apa? Bilang saja apapun yang mengganjal di pikiran kamu, Mbak. Aku akan mencoba mencari kan solusinya," ujar Roni sungguh-sungguh. "Apa nggak ada perempuan yang marah jika mas Roni bersi
Flash back on :Wahyudi baru saja pulang kerja saat notifikasi pesan di ponselnya berbunyi. Dengan segera Wahyudi membaca pesan whatsapp dari ibunya. [081xxx, itu nomor anaknya teman ibu. Kamu bisa menghubungi dia dulu agar kalian bisa akrab saat pernikahan Wawan.]Wahyudi menghela napas panjang, meskipun lelah, dia juga penasaran dengan anak teman ibunya itu. Dan mata Wahyudi pun mendelik saat melihat foto anak dari teman ibunya itu. "Wah, cakep juga, kelihatan nya juga kaya dan terawat. Namanya Wina ya? Kalau aku bisa menggaet Wina, Adelia bakalan menyesal sudah meninggalkan aku. Astaga, kok mikirin Adelia lagi?!Pokoknya aku harus menggaet Wina agar dia bisa membantuku membayar hutang dan mempertahankan rumah ini!" tekad Wahyudi bersemangat. Wahyudi pun tanpa membuang waktu segera mengirim pesan pendekatan pada Wina. Tentu saja setelah mengubah foto profil nya dengan foto paling tampan. [Selamat sore, Wina ya?][Iya. Siapa nih? Dapat nomor aku darimana?]Tak lama menunggu, Wi
"Astaga, Mbak. Maaf ya. Mbak pasti mual muntah karena aroma parfum saya. Mbak nya sedang hamil ya? Berarti sama kayak saya dulu, saat hamil nggak bisa deket-deket bau parfum," ucap ibu itu dengan pandangan penuh rasa bersalah pada Wina. "A-apa?" tanya Wahyudi kaget. Lelaki itu menoleh ke arah Wina yang mengeluarkan isi perutnya di stand milik Adelia. Adelia mendelik dan beberapa pasang mata menatap dengan antusias pada stand nya. Penasaran dengan apa yang terjadi di stand Adelia dan kelanjutannya. Wahyudi mendelik ke arah Wina. Mencoba mencari tanda gejala kehamilan pada perempuan itu. 'Astaga, apa Wina hamil? Wah, padahal aku belum ngapa-ngapain sama dia, kok dia bisa hamil?' batin Wahyudi bingung dan kacau.Wina menatap ke arah Wahyudi, lalu memaksakan senyuman walaupun wajahnya memucat. "Aku nggak hamil. Dari kemarin aku belum makan dan aku punya sakit maagh. Jadi aku mual dan muntah, Mas," sahut Wina terbata-bata.Wahyudi menatap Wina dengan iba. "Oh jadi kamu sedang sakit? K
"Maaf menunggu lama." Wina muncul di pintu depan kontrakannya dengan membawa alat tes kehamilan lalu mendekati Wahyudi. Dia menyerahkan benda itu ke tangan Wahyudi yang segera mengerutkan dahinya mengamati alat tes kehamilan yang ada di tangannya. "Ini... Garis sa... tu?!"Wina tersenyum penuh kemenangan seraya menatap ke arah Wahyudi."Sekarang kamu sudah tahu bahwa aku tidak berbohong kan, Mas? Ibu-ibu yang ada di stand mantan istri kamu itu ngarang cerita dan memfitnah aku entah apa alasannya."Wahyudi menatap ke arah Wina dengan perasaan tidak enak dan canggung. "Iya, maafkan aku, Win. Aku tahu sekarang kamu yang benar. Kamu tidak hamil."Wahyudi menjeda kalimat nya. "Oh, aku tahu, Win! Jangan-jangan Adelia, si mantan istri aku tadi sengaja menyuruh ibu-ibu jahat untuk memfitnah kamu. Bisa jadi kan dia nggak suka sama kita yang terlihat mesra dan romantis lalu ingin membuat kita saling menjauh?" sambung Wahyudi. Wina hanya menghela nafas panjang. Senyum lebar terpampang di wajah